Monday, October 15, 2018

Merawat Habitus “Ego Cogito Ergo Sum” Melalui Literasi


Merawat Habitus “Ego Cogito Ergo Sum” Melalui Literasi

Awas virus Anti Intelektualisme

Manusia menghadapi tantangan dan hambatan dalam menjalani kodratnya kini semakin nyata dan berkembang dari waktu ke waktu seperti tourbulance. Setiap masa ada peristiwa maupun permasalahan dan begitu massive-nya sebagai akibat dari globalisasi atau sering dinamakan wicked problem. Secara sederhana wicked problem dimaknai sebagai masalah yang tak bisa diatasi sendiri, namun harus ditangani, tidak peduli menghasilkan penyelesaian secara benar atau salah.
Masalah yang disebabkan oleh faktor manusia begitu melekat pada setiap aktor atau agen manusia. Ujaran kebencian dilakukan baik di dunia nyata maupun dunia maya dan kini semakin meraja lela tak berkesudahan. Penyebaran berita hoax dimana-mana dan diperparah dengan kebiasaan kita yang begitu mudah membagikan kepada orang lain tanpa memastikan kebenaran sumbernya. Lebih gila lagi justru menciptakan organisasi yang begitu skematis, sistematis berupa pasukan siber (cyber troops) sekaligus memobilisasikannya menjadi mesin pembuat akun-akun palsu, penyebar ujaran kebencian, berita hoax, bahkan tindakan persekusi.
Menurut Zen RS, kekhawatiran terhadap berbagai permasalahan yang semakin kompleks dalam proses kehidupan berbangsa di Indonesia dewasa ini diperparah dengan melemahnya daya nalar dan suburnya sikap “Anti-Intelektualisme”. Dalam pandangannya, anti-intelektualisme merupakan sikap dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset, diskusi, hingga debat. Hal serupa diutarakan oleh Richard Hofstadter, bahwa anti-intelektualisme diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang terus-menerus (ajeg) atau konstan terhadap dunia ide dan siapapun yang menekuninya. Turunan dari hal itu adalah syak wasangka terhadap filsafat, sains, sastra, dan seni, pendek kata: “mencurigai teori”, sehingga sering terdengar kalimat sindiran atau bahkan sarkasme semacam ”ah, sok berteori”, ”cuma bisa ngomong, teori doang”. Itulah cerminan sikap anti-intelektualisme.
Tulisan singkat ini mencoba mengurai upaya menghadapi dan menepis anti-intelektualisme melalui refleksi diri dengan menumbuhkan sikap nalar kritis. Tentu saja upaya yang harus dan pasti segera dilakukan adalah menanamkan pada diri kita untuk segera mungkin membuang jauh anti-intelektualisme itu dengan mengembangkan habitus “ego cogito ergo sum” melalui literasi.

 “Ego Cogito Ergo Sum” dengan literasi untuk memperkuat nalar kritis 

Ego Cogito Ergo Sum atau dimaknai dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran Rene Descartes (1644) yang dihasilkan melalui meditasi keraguan (kegelisahan) oleh adanya “ketidakpastian pemikiran” Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Descartes membangun dan menganalisa dengan metodenya sendiri untuk memperoleh kebenaran secara pasti dan hasilnya benar-benar logis. Cogito dimulai dari metode “penyangsian” yang dilakukan Descartes seradikal mungkin. Kesangsian ini meliputi seluruh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya dalam dunia material, ada tubuh, ada Tuhan).
Dalam pandangan Descartes manusia merupakan makhluk dualitas, substansinya yaitu: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain. Jika diperoleh suatu kebenaran yang pasti (kuat) dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar (fundamen) bagi ilmu pengetahuan. Maka, Ego Cogito ergo sum: “saya menyangsikan suatu ada”, maka kebenaran yang muncul tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa berfikir tentang “ada” membuat manusia “ada”.
Esensi “Ego cogito ergo sum” membebaskan nalar manusia dari belenggu anti-intelektualisme dan membangun pengetahuan. Pengetahuan harus berpijak realitas dengan bangunan nalar kritis, begitu sabda Immanuel Kant. Kritis pada berbagai realitas hegemonik, ketidak adilan, penjajahan, ketimpangan, ketidakberdayaan. Seperti sabda Karl Marx untuk menggelorakan manusia agar melek pada ketimpangan realitas, dimana pengetahuan kritis ingin mengembalikan manusia kepada qudratnya, yaitu memanusiakan manusia.
Men-design bangunan nalar kritis perlu bahan-bahan yang diperoleh dari literasi. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara (keberaksaraan). Walau sejatinya literasi memiliki pengertian luas, bukan berarti tunggal melainkan beragam (multi literacies). Beragam arti tersebut, seperti literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi keberaksaraan atau literasi juga dapat diartikan sebagai melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap berbagai masalah ideologi, ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan.
Beberapa tahun lalu, Kajian Perpustakaan Nasional mengambil contoh dari 12 Provinsi dan 28 kabupaten dan kota di Indonesia, menyatakan bahwa minat baca masyarakat termasuk dalam kategori rendah yakni dengan angka sebesar 25,1. Hasil penelitian UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada 2012, menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya bahwa di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Data ditahun 2014 menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia membaca hanya 27 (dua puluh tujuh) halaman buku dalam satu tahun. Sementara di tahun 2015, Programme for International Student Assesment (PISA), OECD menyatakan kompetensi membaca belum meningkat signifikan, dari 396 poin (2012) menjadi 397 poin. Hingga pada 2016, World’s Most Literate Nations, Central Connecticut State University (penelitian dilakukan 2003-2014) bahwa literasi Indonesia berada di peringkat ke-60, posisi kedua terbawah dari 61 negara.
Lantas bagaimana mewujudkan gairah dalam meningkatkan budaya berliterasi itu sendiri? Budaya berliterasi, baik membaca maupun menulis tidak akan hadir ketika kita tidak mau membentuk sebuah kebiasaan (habitus). Bourdieu (1994) menjelaskan bahwa habitus dipahami sebagai hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, walaupun tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis ini menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus membaca perlu ditanamkan pada diri bukan untuk menghabiskan waktu (to kill time) sebagaimana anggapan banyak orang selama ini, tetapi jadikanlah membaca untuk mengisi waktu (to full time).
Sejalan dengan pendapat Joko Priyono (2017), kita mungkin patut berbangga, ketika terus dan mau ikut forum-forum intelektual, membangun peer-discussion, merawat nalar kritis atau bahkan mendapati banyaknya kebutuhan akan bahan bacaan. Jika sudah berada pada tahap itu, maka hal yang dilakukan adalah menjaga bagaimana untuk terus bertahan hingga waktu yang tak terbatas atau dapat berkesinambungan (sustainable). Merawat habitus “ego cogito ergo sum” dengan berliterasi yang dimekarkan dengan bangunan dialog, hasil kritik, eksperimen maupun percakapan dengan alam semesta akan menjadikan nalar kritis berada pada kodratnya. Habitus literasi yang tumbuh dan berkembang menunjang “ego cogito ergo sum”, sehingga memungkinkan seorang untuk menuliskan, menarasikan, menceritakan hingga mendialogkan ilmu pengetahuan (science) dan mematikan anti-intelektualisme. Karenanya kita wajib merawat “ego cogito ergo sum” dengan literasi.


DERS, 10/15/18

No comments:

Post a Comment