Monday, February 22, 2016

Buku berjudul “Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society” oleh Prof (Ris) Hermawan Sulistyo PhD



Buku berjudul “Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society” oleh Prof (Ris) Hermawan Sulistyo PhD edisi tahun 2009 berisi:

Gagasan mendasar penyelenggaraan keamanan adalah dalam usaha mewujudkan perlindungan seluruh bangsa dan tanah air Indonesia diadakan usaha pertahanan dan keamanan Negara sebagaimana tercantum dalam pasal 30 UUD 1945. Usaha keamanan Negara dilaksanakan dalam system keamanan rakyat semesta yang diselenggarakan oleh fungsi kepolisian Negara republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan seluruh rakyat sebagai kekuatan pendukung. Dalam penyelenggaraannya diperlukan kesamaan dalam tata pikir dan tata laku.
Bangsa Indonesia terbangun dari ikatan rasa senasib yang berhasil mewujudkan suatu jati diri bangsa melalui sumpah pemuda. Dengan adanya pergerakan kemerdekaan telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Bangsa Indonesia telah menegara sejak proklamasi. Kemudian membentuk susunan pemerintahan untuk melayani rakyat yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan menurut undang-undang.
Hakikat aman adalah suatu keadaan bebas dari bahaya yang dirasakan seseorang. Suatu keadaan dinyatakan aman bila semua orang secara bersama memiliki perasaan bebas dari bahaya. Hakikat keamanan pada dasarnya melekat pada kehidupan manusia yaitu kebutuhan untuk mengatasi rangkaian kesulitan. Manusia berbudaya kemudian membentuk peradaban dengan membangun ikatan yang mengatur tata kehidupan bersama.
Tujuan Negara di bidang keamanan adalah melindungi warga Negara sehingga terjamin rasa aman di seluruh wilayah Negara. Rasa aman mencakup empat unsur yang menyatu, yaitu security (rasa bebas dari gangguan badani maupun rohani), safety (rasa terjaminnya keselamatan terhadap dirinya, miliknya dan hak-hak serta kehormatannya), surety (rasa terjaminnya kepastian tentang benar dan salah menurut hokum, peace (rasa damai, bebas dari kekhawatiran).
Negara dalam mewujudkan keamanan, menyelenggarakan upaya penanggulangan gangguan keamanan. Untuk mengantisipasi ambang gangguan dan gangguan nyata.Usaha keamanan Negara adalah semua bentuk dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh Negara dan seluruh rakyat dalam system keamanan rakyat semesta. Dalam system ini diperlukan adanya kekuatan utama/Polri dan kekuatan pendukung/seluruh rakyat, secara universal di semua Negara disebut polisi.
Penyelenggaraan keamanan dilandaskan tata nilai yang lengkap merupakan tiang dari bangunan peradaban bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bernilai luhur, membahagiakan, dan membanggakan. Tata nilai mendasar adalah pancasila sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Reformasi 1998 menjadi momen Polri dipisahkan dari ABRI sejak 1 april 2001 sehingga membawa konsekuensi pemisahan fungsi pertahanan (eksternal) dan fungsi keamanan dalam negeri (internal). Hal ini menjadi isu penting dalam reformasi yang belum selesai dengan munculnya wacana RUU Kamnas dan lain-lain.
Banyak sekali pengertian Negara menurut para ahli yang sebenarnya memiliki hakikat tujuan Negara berarti memelihara hak dan kemerdekaan warga negaranya dengan membentuk dan memelihara hukum. Untuk menentukan batasan kehidupan manusia maka memiliki dua tugas yaitu mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang social dan mengorganisir manusia dan golongan ke arah yang tercapainya tujuan masyarakat.
Bentuk Negara kesatuan republik pada hakekatnya berdasarkan kepada konsep demokrasi yang hakikatnya suatu system bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada kekuasaan di tangan rakyat. Negara hukum mengandung pengertian konstitusi menjadi hukum tertinggi sehingga penyelenggaraan Negara harus dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang bersumber pada konstitusi.
Banyak perubahan fundamental terjadi yang mempengaruhi reformasi di Indonesia, proses reformasi ini menjadi inti dari demokratisasi di Indonesia. Proses tersebut antara lain adalah: proses amandemen UUD 1945, format politik baru MPR/DPR yang mendasari pemilu, hubungan otonomi pusat daerah, pemilu presiden/wapres secara langsung, diakhirinya pengangkatan TNI/POLRI dalam parlemen, netralitas TNI/Polri/PNS, lembaga independen (KPK), terwujudnya mahkamah konstitusi, pemisahan TNI dan Polri.
Proses reformasi tersebut melahirkan pemisahan fungsi keamanan dalam negeri dan fungsi pertahanan Negara yang diemban militer. Namun berbagai perkembangan lingkungan strategis domestic dan internasional menjadi kendala yang mendorong munculnya pemikiran perlunya system keamanan nasional. Proses reformasi ini seakan mengalami langkah mundur meletakkan Polri dan TNI berada dibawah payung koordinasi Dewan Keamanan Nasional. Rancangan ini memungkinkan TNI aktif dalam menangani keamanan dalam negeri dan dengan atas Nama stabilitas tindakan represif dapat terulang kembali.

Konsep dan teori keamanan Negara dan keamanan nasional.
Sebuah Negara setidaknya mensyaratkan empat hal yaitu rakyat, wilayah, kedaulatan dan pengakuan dari negara lain. Faktor kedaulatan terkait ancaman terhadap otoritas sehingga upaya melanggar kedaulatan dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu Negara. Pendekatan sumber ancaman dibagi dalam 3 tipe yaitu ancaman internal, eksternal, dan internal-eksternal.
Keamanan nasional dapat didefinisikan dalam dua perspektif, pertama: cakupan keamanan nasional terdiri atas pertahanan luar, keamanan dalam negeri, public order, serta penanganan bencana alam. Sedangkan perpektif kedua melihat sudut pandang obyek yakni keselamatan Negara, keselamatan masyarakat dan keselamatan individu.  Kedua perspektif ini saling melengkapi dengan berprinsip pada tiga hal yakni demokrasi, penghargaan hak-hak sipil, serta penggunaan kekerasan merupakan pilihan terakhir.
Secara garis besar, keamanan nasional mencakup empat ruang lingkup yaitu keamanan individu, keamanan masyarakat, keamanan Negara (internal security) dan pertahanan Negara (eksternal security). Dalam usaha penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara paling tidak mengkait pada empat fungsi untuk kepentingan keamanan yang bersifat nasional yaitu kedaulatan bangsa, pertahanan, tegaknya hukum dan ketertiban, dan perlindungan masyarakat.
Masalah keamanan adalah masalah kemanusiaan, maka Hakikat penyelenggaraan keamanan adalah terciptanya rasa aman setiap warga Negara Indonesia menjadi tanggung jawab Polri. Konsep keamanan Polri adalah keamanan dalam negeri yang bermakna suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya kamtibmas, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.  Istilah lain adalah keamanan dan ketertiban masyarakat, istilah ini menggambarkan suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional. Dalam rangka pencapaian tujuan nasional tersebut ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman.
Pertahanan adalah segala upaya untuk mempertahankan kedaulatan Negara terhadap ancaman dari dalam ataupun luar negeri.  Sedangkan keamanan terkait dengan upaya menciptakan keamanan di dalam negeri terhadap segala ancaman yang mengganggu kehidupan masyarakat maupun pembangunan nasional. Polri menyadari adanya kondisi stabilitas Negara yaitu kondisi yang stabil atau tidak terganggunya keamanan di masyarakat secara signifikan.
Upaya penanganan keamanan pendekatannya dipilah kedalam keadaan normal dan dalam keadaan genting atau darurat. Dalam keadaan genting atau darurat diperlukan manajemen krisis, yang dalam konteks ini paling krusial adalah Undang-undang penataan keamanan dalam keadaan darurat regional atau nasional.

Polemic RUU keamanan nasional
Keamanan diadopsi militer diperlakukan sebagai keamanan dengan huruf “k” kecil. Hal ini merupakan bagian dari keamanan dengan huruf “K” besar yang disebut keamanan nasional. Dalam arti luas keamanan nasional dapat berarti usaha untuk menciptakan kondisi kehidupan nasional yang bebas dari berbagai ancaman baik militer maupun non militer, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Paradigma ini melihat keamanan nasional bukan hanya terbatas kedaulatan Negara serta keamanan dan ketertiban masyarakat semata tetapi juga mencakup keamanan insani atau keamanan individu (human security). Pandangan ini menjadi payung teoritik ruang lingkup keamanan. Polri hanya akan mencakup keamanan dalam huruf “k” kecil focus pada pemeliharaan kamtibmas konsekuensinya cukup ditempatkan di bawah departemen dalam negeri, atau divalidasi sebagai departemen pemerintahan. Perspektif ini tidak sesuai konsep nasional – Negara.
Seluruh kalangan yang terlibat penyusunan RUU keamanan bersepakat istilah keamanan (security) pada tataran Negara-bangsa (nation-state) merujuk pada istilah nasional bukan Negara. Sehingga digunakan istilah keamanan nasional yang mempunyai implikasi strategis yaitu tugas dan tanggung jawab keamanan secara nasional menjadi tanggung jawab militer bahkan hingga menyangkut tataran keamanan individu yang disebut human security. Inilah yang melandasi pembedaan keamanan “K” huruf besar dan keamanan “k” kecil, yaitu keamanan manusia, operasi militer selain perang. Sebaliknya polri menggunakan istilah keamanan Negara, karena konsep human security pada dasarnya adalah keselamatan individu dalam hal rasa aman pada tingkat perorangan.
Format RUU Kamnas pada hakikatnya bertujuan merevisi dan menjadi induk terhadap beberapa undang-undang, juga disertai wacana mengubah status dan kedudukan Polri agar kembali dibawah suatu departemen. Penyusunan draft ini merupakan upaya pemerintah memulihkan dan memperluas kembali peran serta dan dominasi TNI di bidang non pertahanan seperti di masa lalu. Solusi yang bisa ditempuh yakni mengganti RUU Kamnas dengan RUU perbantuan TNI terhadap Polri.
Pandangan tentang keamanan Negara mutlak diperlukan untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan nasional, maka masalah yang masih perlu diatur adalah masalah dalam menghadapi ancaman yang membahayakan keamanan Negara secara luas. Rasa aman merupakan perasaan bebas dari kekhawatiran dan ketakutan akan ancaman terhadap keselamatan diri maupun harta benda seseorang dari pihak lain.
Secara normative prinsip tersebut diterjemahkan pemisahan fungsi pertahanan yang dilaksanakan militer dan fungsi keamanan yang dilaksanakan polisi. Perkembangan lingkungan strategis mendorong perluasan makna pertahanan strategis yang semula semata-mata bersifat fisik yaitu ancaman terhadap kedaulatan territorial Negara menjadi transnasional.
Setiap Negara memiliki praksis falsafah tersendiri tentang keamanan, prinsip universal dari status institusional kepolisian adalah institusi sipil yang sangat berbeda dengan fungsi dan institusi pertahanan. Begitu pula dengan wacana perubahan kedudukan Polri secara filosofi dan norma kepolisian universal menerapkan norma diskresi tidak sesuai bila Polri ditempatkan dibawah suatu departemen karena akan menghilangkan prinsip diskresi, mempersempit kewenangan kepolisian, terjadi conceptual fallacies (kesalahan konseptual) dalam memandang paralelisme antar institusi pemerintah dan juga definisi sempit sebagai institusi polisi sipil, persepsi Polri semata-mata sebagai agen pemelihara keamanan dan ketertiban dan mengabaikan fungsi lainnya,

Sunday, February 21, 2016

PEMOLISIAN PADA ERA DIGITAL

PEMOLISIAN PADA ERA DIGITAL
Oleh; Eko SUDARTO[1]

Masyarakat online
“Do we want to police in the future the way we are policing today? I don’t think so. How did we get to where we are today? We looked; we listened; we learned; we changed; we grew with the times. That’s our job as leaders today.” (Jim Fox, Chief Newport News, Virginia, Police Department)

Pernyataan Jim Fox mengindikasikan bahwa kepolisian tidak bisa bekerja statis (monoton), namun selalu berkembang menyesuaikan waktu dan tuntutan perubahan yang terjadi pada masyarakatnya (equilibrium dynamic).
Masyarakat di seluruh muka bumi dewasa ini mengalami adanya peningkatan “migrasi” dari “second place” menuju wilayah baru yang dinamakan “third space” (ruang ketiga). Manifestasinya adalah akibat terjadinya perkembangan teknologi informasi, maka terciptalah apa yang disebut sebagai ruang online, dari masyarakat fisik (nyata/real) menjadi masyarakat virtual (cyber/maya). Populasi migrasi ini membentuk komunitas yang dinamakan virtual villages (desa-desa maya), cities virtual (kota-kota maya) dan kelompok-kelompok dunia maya lainnya.
Secara online ruang non-game seperti e-buy (pembelian elektronik), activity world (Dunia aktivitas) dan second life (kehidupan Kedua), misalnya, sengaja memanfaatkan wacana masyarakat dalam upaya untuk menciptakan ruang komunal dan tanggung jawab bersama di antara mereka, pengguna internet (netizenship). Sementara mayoritas warga internet lain mencari alternatif untuk berpartisipasi secara online. Kegemaran ini mengakibatkan masalah serius berupa penyimpangan / kejahatan cyber. Sehingga komunitas online berupaya mengembangkan kontrol dan regulasi pada komunitas mereka sendiri, hal ini perlu campur tangan pemerintah.
Tulisan ini membahas bagaimana peran pemerintah, terutama kepolisian dalam mengontrol dunia virtual pada ruang sosial online (hubungan) guna mempertahankan “virtual community” (masyarakat dunia maya) tetap teratur dan tertib pada kaidah hukum yang real (nyata).
Teknologi, cybercrime dan ketidakteraturan jaringan
Menurut Poerbahawadja Harahap, pengertian teknologi adalah: 1) Ilmu yang menyelidiki cara- cara kerja di dalam tehnik; 2). Ilmu pengetahuan yang digunakan dalam pabrik-pabrik dan industri-industri. Sehingga teknologi merupakan sesuatu cipta karya manusia yang disesuaikan dengan lingkungan. Demikian halnya dengan teknologi vitural sebagaimana pandangan Lawrence Lessig (1999) bahwa teknologi internet bisa dikontrol atau diatur, sebaliknya pandangan tentang “realisme digital” mengakui kapasitas yang mengganggu teknologi dalam dunia maya. Ruang Maya memiliki pengertian yang lebih luas daripada internet. Meskipun demikian Lessig mengakui bahwa tidak ada garis tegas yang membedakan ruang maya dengan internet.
Lessig (1999) menemukan benang merah yang menghubungkan semua karakteristik internet dengan kode atau arsitektur yang digunakan untuk mengontrol efektifitas teknologi sebagai regulator. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan dalam beberapa cara, yaitu pertama, teknologi dapat mengganggu tindakan manusia, memaksa individu untuk menegosiasikan kembali jalur dan tujuan; kedua, teknologi, kode atau arsitektur ditempa; itu mudah dibentuk oleh aktor yang memiliki akses ke kontrol; ketiga, cara di mana teknologi memaksakan kendala pada bagaimana orang bisa berperilaku lebih meresap dan langsung dari modus ke lain regulasi; keempat, teknologi lebih mudah dan cepat adaptif dari hukum, norma-norma atau pasar terhadap ancaman cyber kriminal, yang memungkinkan untuk mengontrol perilaku baik pidana dan sub-kriminal; kelima, perubahan sistem arsitektur hukum menggabungkan pendekatan pencegahan, hal ini jauh lebih efektif untuk mencegah pelanggaran secara online sebagai lawan reaktif mengidentifikasi dan menangkap pelaku.
Meningkatkan perhatian media telah mengangkat cyber crime dalam kesadaran public. Kejahatan pedofilia secara online, cyber terorism, pencurian identitas, penipuan online, infeksi malware, spam, serangan penolakan layanan, hacktivism dan kejahatan rasial secara online telah mengubah Internet menjadi 'tempat yang berbahaya' yang sering disalahartikan sebagai sesuatu yang penuh dengan risiko.



Hukum dan Pemolisian
Penggunaan hukum melalui penerbitan undang undang ITE[2] adalah sebagai upaya pemerintahan dalam melakukan kontrol maupun pengawasan terhadap komunitas online. Sementara hukum pada umumnya lambat untuk menuntut pelaku cyber yang telah melakukan kejahatan. Masalah hukum yang timbul cenderung lebih berhubungan dengan penerapan prosedur hukum dari hukum sub-stantif itu sendiri.
Namun hukum hanya melayani suatu tujuan sampai titik tertentu. Sebuah karakteristik umum dari banyak kejahatan di dunia maya adalah bahwa; 1) kejahatan ini menyebabkan dampak kerugian yang rendah; 2). Korban kejahatan bersifat massal, sehingga jika diakumulasikan maka kerugian besar; 3). Kejahatan ini tersebar secara global; 4). Kejahatan initidak mengenal batas yuridiksi hukum. Akibatnya, mereka yang berada diluar paradigma tradisional menjadi terkena dampak (populasi risiko).
Kepolisian lokal dalam penanganan terhadap kasus ini mengalami kendala sumber daya yang terbatas, hal ini sering sulit untuk membenarkan kriteria 'kepentingan umum' yang akan melepaskan sumber daya polisi untuk penyelidikan individu korban kejahatan cyber crime.
Tantangan selanjutnya adalah masalah kesenjangan hukum dalam kasus-kasus antar yurisdiksi. Protokol, termasuk Cybercrime Convention dan pembentukan kemitraan multi lembaga dan forum, membantu dalam memfasilitasi kerjasama internasional, tetapi mereka bergantung pada pelanggaran atau kejahatan tersebut diberikan prioritas yang sama di setiap yurisdiksi. Jika, misalnya, kasus ini jelas tindak pidana yang investigasi membawa mandat yang kuat dari masyarakat, seperti penyelidikan pornografi online anak, maka sumber daya penyelidikan biasanya cukup bermasalah dari sudut polisi pandang. Namun, apabila tidak ada mandat tersirat, seperti dengan pelanggaran selain pornografi anak, kemudian sumber daya menjadi lebih bermasalah, terutama jika perilaku menyimpang tersebut merupakan pelanggaran dalam suatu yurisdiksi tetapi tidak sama.

Peran Polisi
Meskipun kepolisian dan posisi konstitusionalnya telah berubah sejak dilakukan pembentukan, namun prinsip-prinsip dasar kepolisian tetap dipertahankan sebagai ritual untuk penyesuaian dengan modernitas. Kepolisian lokal (setempat) merupakan birokratis responsif yang diselenggarakan untuk mempertahankan ketertiban dan menegakkan hukum, bertugas melakukan indentifikasi di tengan masyarakat, profesional dalam melakukan tugas pokoknya, bertanggung jawab kepada hukum dan masyarakat atas tindakan mereka. Namun, meningkatnya penggunaan internet dan dunia maya, telah menciptakan dampak transformatif global yang turut menciptakan berbagai tantangan yang sama sekali baru untuk kepolisian lokal. Batas-batas yuridiksi atas domain keamanan menjadi pertanyaan dan bisa sebenarnya meminggirkan peran kepolisian lokal.
Tidak hanya konsep cybercrime mengakibatkan masalah bagi polisi lokal karena menyinggung terkait internet berlangsung dalam konteks global sedangkan kejahatan nasional cenderung didefinisikan dengan tindakan investigasi oleh kepolisian lokal, namun kepolisian (cyber police) juga memiliki urusan kompleks dengan sifat dari kepolisian dan keamanan. Peran polisi harus dipahami dalam arsitektur yang lebih luas dan sebagian besar informal cyber police tidak hanya memberlakukan norma dan hukum tetapi juga mempertahankan agar cara yang sangat berbeda.
Memahami posisi ini memungkinkan harapan yang lebih realistis dan pemahaman tentang peran kepolisian. Hal ini juga membantu untuk mengidentifikasi lebih luas isu-isu lintas yurisdiksi dan lintas sektoral bahwa polisi harus hadir untuk untuk berpartisipasi penuh dalam cyber police, dengan merangkul kedua konsep jaringan dan teknologi. Jaringan tumbuh dari sumber keamanan (yang mencakup polisi sebagai node) selama beberapa dekade terakhir telah muncul sebagai salah satu bagian dari pergeseran ke arah masyarakat jaringan. Transformasi baru perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan legitimasi struktur kepolisian (cyber police), definisi hukum melintasi batas-batas, diterima secara luas kerangka akuntabilitas kepada publik, nilai-nilai bersama, multi lembaga dan dialog lintas sektoral, dan banyak lagi.
Peran yang terbatas saat ini bagi polisi terutama dalam kaitannya dengan rendahnya tingkat jaminan keamanan secara online kepada masyarakat, berarti diperlukan regulasi bagi pemeliharaan keamanan untuk penegakan hukum.

Partisipasi semua pihak
Perilaku sosial online pada masyarakat dunia dewasa ini telah menjadi suatu kebutuhan yang semakin kompleks. Ketika kita memasuki era informasi yang cepat dan tepat, secara online masyarakat tidak lagi hanya melarikan diri dari tanggung jawab kehidupan pertama (pribadi), namun eksistensi mereka menjadi lebih berarti di rentang yang lebih luas pada dimensi ruang dan waktu. Mereka telah menjadi komunitas “third space” (ruang ketiga-virtual) untuk “kehidupan kedua” (sosial geografi), tapi ruang tersebut sangat terhubung dengan kehidupan fisik mereka.
Bukti nyata transformasi ini ada pada diri kita dan sekitarnya, jutaan manusia berpartisipasi dalam komunitas online yang menarik, online membentuk tingkah laku konsumen, hubungan emosional semakin sering ditempa secara online sebelum benar-benar bertemu di dunia nyata, bekerja di rumah menjadi lebih sering dilakukan, hubungan online dengan pemerintah berkaitan dengan berbagai masalah, seperti pajak; nasihat; berbagai bentuk pendaftaran dan berbagi informasi menjadi hal yang biasa dilakukan secara online. Namun, perilaku online yang menimbulkan kejahatan perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya mekanisme kontrol dan pengawasan.
Dengan pemisahan tugas cyber police antara fungsi pemeliharaan ketertiban dan penegakan hukum, maka bisa dibuat sebagai masalah hukum yang kurangnya sumber daya teknologi, baik fungsi kontrol maupun pengawasan. Karenanya diperlukan adanya partisipasi semua pihak, terutama komunitas online untuk aktif membangun bentuk perpolisian masyarakat online (e-policing) melalui pemeliharaan norma teknologi jaringan untuk memfasilitasi fungsi kontrol sosial dan pengawasan. Sementara pemerintah harus terus berupaya mediasi setiap permasalahan hukum cyber yang timbul dari nasional atau perbedaan hukum yurisdiksi dalam definisi.




References

AP Edy Atmojo (2013); Kedaulatan Negara di ruang maya; kritik UU ITE dalam pemikiran Satjipto Rahardjo.

Brenner, S. (2001) ‘Is There Such a Thing as “Virtual Crime”? California Criminal Law Review 4(1): http://www.boalt.org/CCLR/v4/v4brenner.htm

DAVID S. WALL AND MATTHEW WILLIAMS, Policing diversity in the digital age: Maintaining order in virtual communities


[1] Mahasiswa S3, KIK-STIK PTIK Angkatan 1, Penugasan tentang Pemolisian pada Era Digital, tanggal 14 Januari 2016.
[2] Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008, adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.