Saturday, October 19, 2019

PROFESIONALITAS POLRI, TANGGUNG JAWAB KITA BERSAMA


PROFESIONALITAS POLRI, TANGGUNG JAWAB KITA BERSAMA
Oleh; Eko SUDARTO[1]

Agensi kuat dan berpengaruh
            Artikel singkat ini, ditulis disela siaga satu di hari minggu, tanggal 20 Oktober 2019, terkait dengan agenda nasional berupa Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2019 hingga 2024. Bahasan tulisan berkisar pada kebijakan Kalemdiklat Polri, Komjen Pol. Drs. Arief Sulistyanto, MSi. terkait penyusunan program pendidikan dan latihan (sunprodiklat) Polri ke depan.
            Sebelum membahas kebijakan sunprodiklat tersebut, ada baiknya memahami sedikit tentang agensi ini. Secara sederhana, sosok orang nomor satu di Lemdiklat Polri saat ini merupakan seorang agensi yang kuat dan berpengaruh. Pemahanan dan pemaknaan istilah agensi dapat dijelaskan sebagaimana pendapat Anthoni Giddens dalam teori strukturasinya tentang agen dan struktur. Dalam konteks ini, istilah "agen" merujuk pada kapasitas seseorang untuk bertindak secara independen dan membuat pilihan sendiri. Sementara “agensi” merupakan kapasitas status dan peran yang bersamanya melekat legalitas atau simbol. Istilah “kuat” dan “berpengaruh” adalah sebuah penilaian didasarkan pada pandangan umum secara kualitatif, baik internal (masyarakat Polri) maupun eksternal (masyarakat luas).
            Dengan sekilas gambaran diatas, maka secara jelas bisa dimaknai arah kebijakannya dalam membangun sistem program pendidikan dan pelatihan (sisprodiklat) Polri yang dicanangkan, yaitu “Profesionalitas Polri, Tanggung Jawab Kita Bersama”. Implikasi dan implementasi kebijakan tersebut dapat dipahami sebagai sebuah tujuan untuk membangun struktur Prodiklat Polri yang lebih baik.
Arti penting dalam pengertian struktur bisa dikatakan sebagai pelengkap penjelasan mengenai agen. Struktur menurut Giddens terkait dengan hal-hal berikut; 1). Struktur merupakan sifat-sifat terstuktur yang mengikat ruang dan waktu dalam sistem sosial. Sifat-sifat ini mungkin menjadi praktik sosial yang sama terlihat berlangsung melebihi rentang ruang-waktu yang meminjamkan kepadanya dalam bentuk sistemik; 2). Struktur merupakan keteraturan yang sebenarnya dari hubungan transformative, yang berarti sistem sosial karena praktik-prakitk sosial yang tereproduksi tidak memiliki strukutur, tetapi lebih menunjukkan sifat-sifat struktural dan keberadaan struktur itu sebagai kehadiran ruang dan waktu, hanya dalam penggambarannya seperti pada prakitk-prakitk sosial dan sebagai memori yang menemukan arah pada perilaku agen manusia yang dapat dikenali.
Sehingga kebijakan Kalemdiklat Polri dalam sunprodiklat dengan tema “Profesionalitas Polri, Tanggung Jawab Kita Bersama” dapat dimaknai sebagai ajakan pada seluruh komponen untuk terlibat dalam proses penyusuannya. Tersirat bukan hanya internal Polri saja namun juga partisipasi eksternal untuk turut membangun struktur sunprodiklat Polri tersebut.

Profesionalitas polri
            Giddens[2] berpendapat, bahwa “agensi kuat dan berpengaruh akan membentuk struktur baru, dan sebaliknya struktur kuat dan berpengaruh menghasilkan agen-agen yang baik”. Bahwa manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki konsekuensi yang tidak disengaja (unintended consequences) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulang-ulang.
            Pemahaman tentang konsep Giddens tersebut dimaknai dan diimplementasikan oleh Kalemdiklat Polri dengan hasrat untuk membangun kapital[3] individu Polri dan institusi Polri agar menjadi profesional. Dalam dunia pekerjaan, satu hal yang harus dimiliki adalah tentang sikap profesional, yaitu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan keahlian atau kemampuan yang dimiliki secara objektif. seseorang dapat dikatakan memiliki sikap profesional dapat memposisikan dirinya agar mampu memahami tugas dan tanggung jawab, hubungan dan relasi, serta fokus dan konsisten terhadap urusan pekerjaan.
Profesionalitas memiliki nilai-nilai; 1). Keunggulan (Excellence Oriented): Orientasi pada prestasi, dedikasi, kejujuran, dan kreatifitas proaktif berbasis kinerja; 2). Intergritas (Integrate): Orientasi pada komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral profesi; 3). Akuntabilitas (Accountable): Berorientasi pada sistem yang dapat ditelusuri jalurnya yang logis dan dapat diaudit mulai dari tingkat Individu sampai Institusi Polri; 4). Tranparansi (transparence): Orientasi pada keterbukaan, kepercayaan menghargai keragaman dan perbedaan serta tidak diskriminatif; 5). Kualifikasi (Qualified) mempunyai dasar pengetahuan dan pengakuan; 6). Berbasis teknologi dan pengetahuan (Technology and Knowledge Based): semaksimal mungkin dalam menggunakan pengetahuan pada semua tingkat anggota Polri sesuai dengan tuntutan tugasnya; dan 7). Memecahkan masalah (Problem Solver): fokus pada memecahkan masalah, mengambil keputusan yang sistematis dan memperkecil permainan politik organisasi. 
Secara spesifik Kalemdiklat Polri menyederhanakan bahwa profesionalitas harus memiliki standar; kualitas, perilaku, moralitas dan produktifitas. Dengan pemahaman lebih detail, profesionalitas Polri didasarkan kepada elemen-elemen sebagai berikut; 1. Ahli dalam bidang tugas (staf maupun operasional) kepolisian; 2). Bekerja dengan benar dan obyektif; 3). Tidak berpihak, jujur dan berani; 4). Solutif dan tuntas; 5). Proaktif dalam atasi masalah; 6). Prediktif; 7). Tidak mengecewakan; 8). Sinergis, kolaboratif dan komunikatif; 9). Kompeten, kompetetif dan percaya diri; dan 10). Cerdas secara Intelektual, Emosional dan Spiritual.
Profesionalitas Polri melalui Lemdiklat dibangun sebagai struktur (budaya) untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang akan hasil (output), yaitu agensi atau personil Polri yang profesional di lapangan. Analogi yang senantiasa digunakan oleh Kalemdiklat adalah “Air jernih di hulu, akan mengalir ke hilir”, bahwa dengan proses pendidikan yang baik di pusat (sumbernya; hulu), tentu akan menghasilkan peserta didik yang baik pula. Tentu saja profesionalitas prodiklat tidak cukup dengan mempertahankan yang telah ada, namun juga perlu refisi, evaluasi perbaikan yang disesuaikan dengan berbagai tantangan global yang dinamikanya semakin berkembang (equilibrium dynamic).

Rakorsun (rapat koordinasi penyusunan) prodiklat Polri
Rapat koordinasi penyususan (rakorsun) Prodiklat Polri di Bandung, 9 sampai dengan 11 Oktober 2019 lalu, dianggap merupakan struktur baru di lingkungan Lemdiklat. Rakorsun prodiklat Polri ini merupakan siklus dari Skep Kapolri nomor 50, Februari tahun 2019 tentang Perencanaan, Pengusulan Prodiklat Polri. Adapun secara lengkap, siklus tersebut berturut-turut berawal dari usulan prodiklat dari Pembina fungsi (setelah melalui proses panjang) ke Lemdiklat Polri, maka diteruskan dengan; 1). mengakomodir dan menghimpun usulan-usulan tersebut; 2). Merumuskan tujuan diklat, profil dan skill; 3). Sunprodiklat (disinilah posisi tulisan ini); 4). Finalisasi prodiklat; dan 5). Sidang pleno wandiklat (dewan).
Mekanisme rakorsun prodiklat di Bandung beberapa waktu lalu menjadi berbeda dengan yang sudah dilakukan selama ini. Hal ini karena menghadirkan seluruh pengemban terkait bidang fungsi pendidikan dan latihan untuk bersama-sama menyusun program pendidikan dan latihan (Prodiklat Polri) untuk setahun kedepan. Tak kurang dari 200an personil Polri seluruh Polda dan Pembina fungsi hadir, seperti para Kepala Biro SDM Polda, para Kepala Sekolah Polisi Negara (Ka SPN), para Kepala Pusat Pendidikan, para Pembina Fungsi dan juga menghadirkan akademisi ahli dalam hal penyusunan prodiklat.
Hal-hal mendasar dilakukannya rakorsun prodiklat Polri adalah; 1). perkembangan lingkungan strategi kedepan; 2). pertimbangan urgensi suatu usulan prodiklat; 3). pembahasan prodiklat perlu fokus kepada substansi; 4). perlu pembahasan prodiklat secara tuntas; 5).  memperhatikan perkembangan piranti lunak yang ada di internal Polri; 6). Harus memperhatikan nomenklatur sisdiklat Polri; 7). Menetapkan efektifitas waktu prodik (bangspes); 8). Pengaturan waktu pelaksanaan buka-tutup prodiklat (over lapping); 9). Mempertimbangkan ketersediaan perserta prodiklat; dan 10). Mengacu pada agenda nasional (agar tidak berbenturan).
Dengan demikian, penyusunan prodiklat Polri hendaknya memiliki landasan filosofis, psikologis, sosial budaya dan yuridis. Landasan filosofis didasarkan pada pengembangan prodiklat mencakup tentang landasan filsafat, mengidentifikasi dan mengimplementasikannya. Dengan filsafat metodologi praktik pendidikan dan pelatihan yang terarah, timbal baliknya adalah pratik pendidikan dan pelatihan tersebut menjadi bahan bagi pertimbangan filosofis. Sehingga landasan filosofis menjadi landasan penting dalam pengembangan prodiklat. Filsafat pendidikan menjadi dasar dan arah pendidikan, sedangkan pelaksanaannya melalui proses pendidikan dan pelatihan.
Landasan psikologis dalam pengembangan prodiklat mencakup tentang perilaku dan fungsi mental manusia sebagai objek pendidikan dan pelatihan secara ilmiah dan mengidentifikasinya. Dalam pengembangan kurikulum paling tidak ada 2 (dua) cabang psikologis, yakni psikologis perkembangan dan psikologis belajar. Ada 9 (Sembilan) aspek psikologis yang dikembangkan dengan perantara berbagai mata pelajaran dalam prodiklat Polri (bangspes), yaitu; 1). Aspek Ketakwaan; 2). Aspek Cipta; 3). Aspek Rasa; 4). Aspek Karsa; 5). Aspek Karya (Kreatif); 6). Aspek Karya (Keuletan); 7). Aspek Kesehatan; 8). Aspek Sosial; dan 9). Aspek Individu.
Berikutnya adalah landasan sosial budaya yaitu suatu landasan prodiklat yang didasarkan pada tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia di masyarakat dan mengidentifikasinya. Dengan landasan Sosial Budaya diharapkan lahirnya agen-agensi yang bermutu, mengerti dan mampu membangun masyarakat. Maka dari itu, prodiklat dengan segala perangkatnya, berupa kurikulum, perangkat pendidikan, tujuan, isi bahkan proses disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan masyarakat yang terus berkembang.
Terakhir adalah landasan yuridis yaitu prodiklat Polri pada dasaranya adalah produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI yang didasarkan pada konstitusi/UUD. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan prodiklat Polri adalah UUD 1945 (pembukaan alinea IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU tentang pendidikan (UU No. 20 Tahun 2003), UU No 2 tahun 2012 tentang kepolisian RI, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan dari Dirjen Dikti, peraturan-peraturan tentang pendidikan dan lain sebagainya.
Dasar pemikiran dari para penyusun prodiklat Polri adalah dinamika perkembangan siatuasi, baik internal maupun eksternal. Karenanya para peserta diberikan pembekalan di hari pertama dengan mengetahui situasi perkembangan lingkungan strategi yang disampaikan oleh fungsi intelijen. Kemudian mengetahui kebijakan manajemen Polri (Operasional dan administrasi keuangan) dan kebijakan pengemban Sumber Daya Manusia dalam hal kajian strategis.  Seluk-beluk proses jalannya sunprodiklat 3 hari menjadi berisi dan bermakna dengan eksistensi agensi Kalemdiklat dalam prosesnya. Tidak hanya serius dalam kehadiran, namun konten yang dihasilkan dalam sunprodiklat menjadi lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Tuntutan dan harapan masyarakat
            Lemdiklat Polri secara khusus memiliki tanggung jawab untuk membangun agen-agen Polri yang profesional. Tanggung jawab tersebut diimplementasikan dengan membangun struktur yang kuat dan berpengaruh sebagai fasilitas bagi proses pendidikan dan pelatihan. Seluruh proses penyusunan prodiklat tersebut harus dilakukan dengan benar, serius dan tidak boleh asal-asalan, karena hasil didik dari prodiklat Polri akan menjadi lini terdepan interaksi Polri dengan masyarakatnya. Lini terdepan Polri tersebut sangat menentukan wajah dan tampilan profesionalitas Polri. Semakin baik sistem prodiklat Polri, setidaknya menghasilkan produk prodiklat yang bisa menjadi cermin baik bagi Polri.
            Berbagai peristiwa yang terjadi dewasa ini, seperti peristiwa penusukan Menko Polhukam, Jenderal (P) Wiranto, penganiayaan pengunjuk rasa yang masuk di masjid, dan berbagai tindakan pungutan liar yang mudah dijumpai di media sosial, menimbulkan beragam pertanyaan publik tentang bagaimana sistem pendidikan dan latihan Polri selama ini? Tentu saja berbagai peristiwa ketidakprofesionalitasan, ketidaketisan dan berbagai pelanggaran norma tersebut tidak diajarkan di lembaga pendidikan dan latihan Polri.  
            Secara sederhana, masyarakat menuntut Polri untuk mampu mewujudkan rasa aman, menciptakan keadilan dan bisa diandalkan serta dipercaya. Sebuah harapan yang dari waktu ke waktu menjadi visi dan misi pimpinan Polri. Walaupun menurut hasil riset dari Markplus Insight merilis bahwa tingkat kepercayaan masyarakat di daerah terhadap kinerja Polri mencapai angka 90 persen, namun tetap saja berbagai harapan dan tuntutan masyarakat terhadap Polri terus saja bergulir.

Inovasi dan implementasi perubahan
Globalisasi secara masif merubah tatanan kehidupan sosial masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan berdampak negatif timbulnya masalah kriminalitas yang menganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk dapat menghadapi tantangan dan tuntutan dinamika masyarakat ke depan yang semakin kompleks ke-21, Kalemdiklat Polri harus mempersiapkan agen-agen dan strukturnya agar profesional. Para agen disiapkan agar mempunyai visi, berani melakukan introspeksi dan mau memahami kompleksitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Karenanya tuntutan untuk meningkatkan kapital budaya para agensi maupun struktur Polri menjadi syarat mutlak.
Profesionalitas Polri merupakan tuntutan masyarakat. Hal ini harus dilandasi oleh kemajuan pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia, sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang senantiasa terus berkembang. Pembaharuan pendidikan dan pelatihan Polri di lembaga-lembaga pendidikan harus terus dilaksanakan dengan penguatan prodiklat yang berbasis kompetensi. Menghadapi era milenial dan revolusi 4.0, Polri dituntut menyiapkan prodiklat yang sesuai dengan Pola pendidikan dan pengasuhan terhadap para siswa didik sesuai dengan generasinya, yaitu generasi milenial. Tradisi kekerasan dan otoriter dihilangkan dan diubah dengan prodiklat yang didasarkan pada pola perilaku yang komunikatif dan demokratis namun tetap tegas dalam bersikap, cerdas dalam berpikir, dan bertindak.Visi pendidikan Polri untuk membentuk SDM Polri yang unggul dan kompetitif tersebut selaras dengan visi Presiden Joko Widodo yaitu membangun SDM yang unggul untuk mewujudkan Indonesia Maju.
Prodiklat Polri memang harus dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, karenanya perkembangan prodiklat harus terencana secara matang. Perubahan yang mendadak hanya akan menimbulkan kegoncangan perjalanan pendidikan dan latihan yang tidak perlu terjadi, dan hanya akan menimbulkan stagnasi bahkan kebuntuan. Oleh karena itu, sebaiknya perubahan dan perkembangan prodiklat Polri harus terkait dengan perubahan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan. Prodiklat Polri selain mengacu pada sistim Pendidikan Nasional, juga harus diselaraskan dengan perkembangan situasi global dan tantangannya, baik internal maupun eksternal. Sehingga kerjasama dan pelibatan komponen Pendidikan dari dalam maupun luar negeri menjadi sangat penting dan semakin krusial.
Kedepan, struktur sunprodiklat Polri dengan model ini perlu terus dikembangkan dengan tetap menyesuaikan perkembangan dan tuntutan zaman, sehingga prodiklat Polri bisa fleksibel dan luwes sesuai kebutuhan. Perlu kaderisasi agensi Polri yang memiliki kapital budaya dalam penyusunan prodiklat dan struktur pada level biro prodiklat Polri harus diawaki oleh agen-agen kuat dan berpengaruh. Demikian halnya pembaharuan perangkat prodiklat, baik perangkat pengendali pendidikan, kurikulum, bahan anjar dan lain sebagainya harus senantiasa dilakukan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis dan tuntutan perubahan masyarakat.
Bravo…Pak Kalemdiklat Polri dengan kebijakan “Profesionalitas Polri, Menjadi Tanggung Jawab Kita Bersama”.

Daftar pustaka
Giddens, Anthony (1984); The Constitution of Society – The Outline of the Theory of Structuration; (terjemahan). Penerbit Pedati, Jakarta.
Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction: a social critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press.



[1] Dr pada Kajian Ilmu Kepolisian, saat ini menjabat sebagai Kabag Um, Lemdiklat Polri.
[2] Giddens adalah teoritis sosial Inggris masa kini yang sangat penting dan salah seorang dari sedikit teoritisi yang sangat berpengaruh di dunia.
[3] Dalam konteks ini adalah Konsep kapital (capital) atau modal budaya. Konsep ini dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Ada 4 kapital, yaitu kapital simbolik, kapital ekonomi, kapital budaya dan kapital sosial.

Thursday, February 28, 2019

Binmas Noken: “Kearifan Lokal Dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua”


Binmas Noken:
“Kearifan Lokal Dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua”
Oleh; Eko SUDARTO[1]


Tulisan santai ini menguraikan pandangan dan pengalaman, baik sebagai pribadi (agen) maupun personil Polri (agensi) yang berada di “Surga Kecil yang jatuh ke bumi”, yaitu Papua. Tentu banyak pendapat subyektif yang semua itu dilatarbelakangi kekaguman dan ketakjuban karena kebesaran Illahi untuk tanah ini. Karenanya perlu kebijaksanaan pembaca dalam menyikapinya. Mari tong baca sudah…

Lamunan Di Atas Awan
Sa so rasa Papua ni macam sapu tanah kelahiran”, lamunanku melayang. Terbayang, bahwa keragaman sosial budaya Papua menjadi melting pot kekayaan Indonesia. Selain memang unik luar biasa, kekhasan bumi Papua dipenuhi oleh sejuta pesona, baik kebudayaan tradisionalnya maupun kekayaan alam yang nggak ternilai harganya. Tak melulu soal emas di Tembagapura atau kabarnya juga uranium, tanah Papua juga sangat kaya akan keanekaragaman flora dan fauna-nya. Saya yakin dan percaya bahwa masih terdapat banyak sumber daya, suku bangsa, jenis hewan dan tumbuhan di sini yang belum teridentifikasi.
Saya tersadar saat berada diantara awan putih yang menyilaukan pada ketinggian diatas 23.000 feet.  Tersadar dalam penerbangan dari Puncak Jaya menuju Timika pada Senin, 22 Oktober 2018. Terbang kali ini dengan pesawat jenis Pesawat Cessna Grand Caravan EX yang memiliki daya angkut 12 (dua belas) penumpang atau sebesar 1,350 kg. Entah sudah berapa kali saya melakukan penerbangan dengan pesawat kecil sejenis ini selama operasi ini berlangsung.
Teringat pada petugas bandara yang memberitahukan, bahwa “Biasa jadwal pesawat ke Timika hari Selasa, tapi kebetulan ada pesawat “carteran” naik dari Timika, jadi dong bisa bawa penumpang balik ke Timika”, demikian penjelasan petugas di bagian cargo Bandara Puncak Jaya.  Dan benar saja, pesawat dengan kapasitas 12 (dua belas) sampai 16 (enam belas) orang tersebut hanya ditungangi 6 orang, termasuk kru pesawat. Terlalu seru untuk dituliskan perjalanan tersebut.
Terbang antar kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua menjadi suatu hal yang tak terelakkan sejak April 2018 lalu. Penerbangan merupakan sarana utama di Papua, karena akses jalan darat belum sepenuhnya mampu menghubungkan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penerbangan dari dan ke Timika, Jayapura, Wamena menembus pegunungan Lanny Jaya, Yahokimo, Nabire, Mulia Puncak Jaya hingga Ilaga, Puncak. Sasaran berikutnya tentu Pegunungan Bintang dan Paniai. Beruntung “journey” dan melihat lokasi baru merupakan satu aktivitas yang menyenangkan.
Penugasan kali ini membawa nuansa berbeda, sangat spesial karena selain merasa “matang” sebagai seorang anggota Polri, juga exiting karena memiliki ketertaikan luar biasa untuk kembali bertugas di Papua. 
Jika flassback sedikit, saya mengawali tugas sebagai Perwira Remaja Polri di Merauke tahun 1992, kemudian berpindah sebagai Kapolsek di Dok. 8, Jayapura Utara, kemudian beberapa saat bertugas di Bidang Operasi Polda Papua (Irian Jaya saat itu), bergeser sebagai Kepala Bagian Operasi di Polres Mimika di tahun 1998 dan mengemban tugas sebagai Kasat Sabhara di Polres Sorong di tahun 1999, hingga akhirnya menempuh pendidikan pengembangan ke PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Jakarta. By the way, saya tidak ingin berlama-lama bernostalgia dengan mengenang perjalanan karier tugas tersebut.
Bertugas dalam kapasitas agensi sebagai Kepala Satuan Tugas Khusus (Kasatgassus) Binmas pada Operasi Khusus Papua 2018 ini merupakan “anugerah Allah SWT” buat saya. Betapa tidak, Pimpinan Polri mengalokasikan budget anggaran yang begitu besar kepada Satgas Binmas Noken untuk membantu mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Papua. Tentu rasa syukur atas kebesaran Illahi yang memberikan Polri seorang Pemimpin (Kapolri) yang peduli dan atensi pada bumi Cendrawasih ini.

Konsep Besar Pemikiran Kapolri
Jenderal Polisi Prof. Tito Karnavian, PhD, sebagai Kapolri dalam pernyataannya menyatakan bahwa perubahan citra dengan cara kerja professional di iklim demokrasi harus dipedomani. Kebijakan yang membentuk Polri memiliki Profesionalisme, Modern dan Terpercaya (Promoter) bermakna dukungan penuh terhadap pencapaian masyarakat madani. Implementasi akademik dari kebijakan tersebut tertuang dalam bukunya, yang berjudul “Democratic policing”. Konsep “Democatic Policing” merupakan komitmen Polri untuk mengawal keseimbangan antara ketertiban publik dengan Hak Asasi Manusia dalam mengisi pembangunan.
Sebagai seorang akademisi dan pimpinan tertinggi institusi Kepolisian Republik Indonesia saat ini, Bapak Kapolri memiliki konsep besar dalam membantu penyelesaian masalah-masalah di Papua. Hal ini bukan saja terkait kedua kapasitas tersebut, namun karena hati dan pikiran beliau terlanjur “mencintai” tanah Papua, apalagi dengan riwayat penugasannya sebagai Kapolda ke-24 (Periode 2012 s/d 2014). Masalah Papua adalah masalah yang serius bangsa yang memerlukan penanganan sinergis dan simultan dari semua elemen pemerintahan dan lembaga. Secara sederhana beliau mengidentifikasikannya menjadi 3 (tiga) substansi pokok permasalahan di Papua, yaitu masalah marginalisasi, genosida dan masalah hak asasi manusia. Ke-3 masalah tersebut masih meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Papua dan perlu proses panjang mengobati luka tersebut.
Terhadap masalah-masalah marginalisasi dan genosida, sangat sulit ditemukan saat ini di belahan dunia manapun, apalagi di Papua. Namun masalah HAM sangat memungkinkan terjadi jika aparat tidak memiliki komitmen kuat dalam menjalankan tugas-tugasnya. Karenanya, para pengiat HAM dan rakyat Papua yang berseberangan pendapat dengan keutuhan negara, senantiasa mencari celah untuk menjadikan isu-isu tersebut ditarik ke ranah internasional. Menghadapi situasi tersebut, kebijakan Kapolri untuk masyarakat dan rakyat Papua adalah “to win the heart and mind”. Lalu bagaimana menerjemahkan pemikiran besar Kapolri tersebut?
Polri, memiliki fasilitas yang berfungsi membangun interaksi dengan masyarakat melalui metode soft approach, yaitu Fungsi Binmas. Soft approach atau soft Power berfungsi sebagai jalan untuk mengubah persepsi kebencian aparat Polri.  Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara membangun komunikasi berupa dialog-dialog interaktif.  Mekanismenya dapat dilakukan dengan cara menjaga tindakan dengan strategi-strategi yang cenderung bergerak pada arah tindakan non fisik sebagaimana pendapat Joseph S. Nye.
Polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dengan fungsi sebagai “teman masyarakat”, agen pencari solusi keadilan, menghormati kearifan lokal, agen penjaga persatuan, dan penindak pelanggaran hukum dengan cara-cara yang lebih manusiawi (soft approach). Hal ini selaras dengan mawrah tugas kepolisian di berbagai belahan dunia (universal), yaitu community policing, democractic policing, serta community development.
Konsep Binmas Noken berawal dari keinginan kuat dari Brigadir Jenderal Hery Nahak selaku Kepala Operasi khusus ini untuk menganti konsep Binmas Pioneer, agar lebih membumi (local wisdom). Maka diskusi pencarian namapun tak dapat dihindarkan. Terkadang ada Kaka Mathius Fakhiri, Kaka Patrige Renwarin, Ade “Pajero” atau Rontini, Ade John Isir, Ade Afred Papare, Ade Semi dan anggota Satgas lainnya. Tak terhitung berapa kali pertemuan dilakukan, walaupun materi pertemuan bukan sekedar mencari konsep “nama” yang pas untuk Satgas Binmas, namun pada setiap pertemuan selalu menjadi bahan diskusi. Tak lepas, MOP (joke-joke khas Papua) senantiasa mewarnai setiap pertemuan. Ada banyak usulan nama-nama, seperti Cendrawasih, Matoa, Honai, dan lain-lain, namun dirasakan belum juga sesuai dengan selera dan harapan. Hingga pada satu kesempatan, ditemukan satu kata yang bisa melekat cocok dan “pas”, yaitu Noken. Makna Noken tentu menjadi bahasan tersendiri pada tulisan ini.
Kembali kepada sejarah awal, apa itu Binmas Pioner? Dalam pandangan saya, konsep Binmas Pioner yang dibentuk pada era tahun 1991 oleh Kapolda Papua pada saat itu, yaitu Bapak Hindarto dan dikembangkan dengan kebijakan dan implementasinya oleh Bapak Muharsipin (Alm). Konsep Binmas Pioner esensinya adalah membangun interaksi petugas Polri yang telah dibekali kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk membantu masyarakat dengan memberikan contoh atau sebagai pioneer di lingkungannya bertugas. Bentuk-bentuk kemampuan tersebut adalah pertukangan, pertanian, perkebunan, peternakan maupun perikanan. Bahkan Pak Muharsipin membangun suatu wilayah di daerah Arso (Polres Keerom kini), yang diberi nama “Latram (Latihan Ketrampilan) Binmas Pioneer”. Di lokasi tersebut, anggota Polda Papua diberikan pelatihan, pembekalan dan ketrampilan sesuai keperluan. Alhasil, saya mengikuti 3 (tiga) kali pelatihan tersebut dan pernah memiliki lahan (spot) atas nama Polsek Jayapura Utara. Dengan kemampuan tersebut, anggota Polri bisa membantu masyarakat di lingkungannya.
Sementara konsep Binmas Noken adalah interaksi Polri langsung memberikan bantuan dan memberdayakan masyarakatnya. Dengan demikian Sumber daya menjadi begitu penting dalam hal ini. Maka political will Pimpinan Polri menjadi kuncinya. Program Binmas Noken ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), memfasilitasi pengajaran dan melakukan pendampingan kepada masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan yang digelar pada prinsipnya adalah, sesuai kebutuhan, kebiasaan, sederhana (tidak rumit) dan tidak terlalu lama. Adapun wujud kegiatannya seperti bertani, berkebun, beternak dan mengajarkan anak-anak dengan metode “trauma healing”. Sasaran akhirnya adalah masyarakat produktif dengan aktifitas pemenuhan kesejahteraan mereka dan tidak lagi berfikir membangun ideologi yang berlawanan dengan NKRI.

“NOKEN”, simbol kearifan lokal
Noken, bagi orang di luar Papua mungkin ada yang tidak tahu dan memahami, baik secara harfiah maupun filosofinya. Secara harfiah noken merupakan kantong atau tas secara tradisional khas Papua. Noken ada yang terbuat dari bahan alami, seperti tumbuhan (kulit kayu, bunga anggrek, dll), namun juga sudah banyak terbuat dari bahan-bahan modern. Noken telah menjadi salah satu kerajinan tangan khas Papua. Konon keahlian membuat noken ini didapatkan mama-mama dari para misionaris jaman Belanda. Kebiasaan yang terus mereka jaga hingga hari ini. Hingga saat ini masih dijumpai dengan mudah mama-mama yang sedang bersantai, bercengkerama sambil menganyam noken.
Kaum pria biasanya memakai noken ukuran kira-kira A-4 dan diselempangkan di bahu atau bahkan para ondo-afi (kepala suku) mengenakannya di depan. Secara filosofi, noken dimaknai sebagai wadah atau tempat untuk menampung segala aspirasi, usulan, keluhan, permasalahan warga masyarakat untuk dicarikan solusinya. Sementara kaum perempuan biasanya menggunakan noken yang lebih besar yang diletakkan di bagian belakang dengan tali yang dikaitkan di kepala untuk menenteng bawaan Biasanya hasil kebun (sayuran, umbi-umbian), kayu, anak babi bahkan anak mereka. Membawa beban seberat itu sampai berkilo-kilo meter dengan jalan kaki. Bayangkan betapa kuatnya leher dan kepala mama-mama itu. Kalau noken kecil isinya biasanya hanya keperluan sehari-hari termasuk “sirih pinang”, sedangkan tas noken yang lebih besar isinya bisa sangat beragam, disitulah Noken bermakna sebagai “kehidupan”. 
Harga sebuah tas noken ini beragam, tergantung dari bahan dasarnya. Noken kecil dari bahan benang moderen harganya antara Rp.100 ribu hingga Rp.150 ribu. Sedang noken besar bisa mencapai harga Rp. 300 ribu. Noken dari bahan serat kayu harganya jauh lebih mahal, apalagi bahan yang terbuat dari batang anggrek. Ukuran kecil harganya mencapai Rp. 1 juta hingga Rp. 3 juta untuk ukuran besar.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan bahwa alasan kuat yang menjadikan “noken Papua” diterima dan diakui serta disahkan oleh UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai warisan dunia karena terancam globalisasi dunia. Noken juga terancam punah dan mendesak untuk dilindungi, karenanya perlu dilestarikan dan dijaga sebagai suatu budaya turun temurun dari leluhur. Noken akhirnya lulus nominasi warisan budaya tak benda yang sudah diakui dan disahkan oleh UNESCO sejak 4 Desember 2012 di Paris, Perancis.
Dengan penjelasan diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Binmas Noken sebenarnya memiliki tugas besar yang harus diemban. Tidak bisa sekedar menjalankan proyek-proyek interaksi Polri-Masyarakat saja, namun lebih dari itu, perlu bekerja didasari oleh ketulusan hati. Sebagaimana pesan Bapak Kapolri, to win the heart and mind maka bekerja dengan hati tulus dan pikiran sehat menjadi modal bagi personil Binmas Noken Polri. Personil Binmas Noken Polri pada tahun pertama (2018) berjumlah 40 (empat puluh) orang yang tersebar di 9 (Sembilan) wilayah Polres. Sementara di tahun 2019 ini, personil Binmas Noken Polri berjumlah 81 (delapan puluh Satu) orang yang tersebar di 11 (sebelas) wilayah Polres.

Implementasi program Binmas Noken Polri
Binmas Noken Polri, dituntut untuk mampu mengimplementasi konsep “soft approach” untuk “to win heart and mind” masyarakat Papua, khususnya di Pegunungan Tengah. Dengan berbekal wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang konsep “community policing”, serta dukungan para pakar, seperti Prof. Hermawan “Kikiek” Sulistyo (Sahli Kapolri), Prof. Bambang Shergi (UI), Dr. James Riyadi (CSIS), Dr. Adriana Elizabeth (LIPI), Dr, Djuni Thamrin  (UBJ), Dr. Marcel Pandin dan banyak lagi agen maupun agensi yang mendukung operasionalisasi Binmas Noken ini. Hal lain yang senantiasa harus dibangun adalah kerjasama antar Satgas dalam Operasi Nemangkawi dan tentu saja membentuk soliditas personil Binmas Noken.  
Para pakar dan ahlitersebut mendampingi praktek dan interaksi Binmas Noken di lapangan dalam implementasi “nyata” untuk masyarakat, khususnya di Pegunungan Tengah Papua. Mereka semua terlibat aktif memberikan pendapat dan pandangan terhadap seluruh program dan agenda yang tergelar. Secara sederhana, kegiatan Binmas Noken yang bersifat fisik bangunan dan non fisik.
Kegiatan yang bersifat fisik bangunan terdiri dari proyek-proyek berupa spot kandang babi, spot kandang ayam, spot lebah madu, spot pertanian, spot kandang kambing, maupun spot kandang sapi. Spot kandang babi tergelar di hampir semua wilayah Polres, yaitu di 9 (Sembilan) Kabupaten, seperti Yahukimo, Mimika, Puncak Jaya, Wamena, Pegunungan Bintang, Nabire, Paniai, Jayawijaya dan Nduga.
Pada masing-masing tempat, terdapat spot kandang babi yang per-kandangnya berisi 10 (sepuluh) ekor babi.  Pembagian maupun pengaturan pengelolaan Babi-babi tersebut diserahkan melalui mekanisme diskusi antar warga, namun personil Binmas Noken tetap menyiapkan babi, melakukan pelatihan, bersama-sama membuatkan kandang, membantu menyiapkan pakan dan terus melakukan mendampingi. Khusus di Timika, dibangun Pusat Pelatihan Binmas Noken untuk peternakan Babi, yang memiliki kapasitas 100 (seratus) ekor.
Selain ternak babi, di Kabupaten Wamena diberikan pelatihan lebah madu. Mengapa lebah madu begitu penting? Pada sekitar awal tahun 1990-an, madu Wamena sangat terkenal, namun akhir-akhir ini, “Madu asli Wamena” sudah jarang terdengar, karenanya program Binmas Noken Polri membantu masyarakat Wamena untuk lebih berdaya dalam mengelola peternakan lebah madu. Mekanismenya sama diberikan kepada para petani, yaitu memberikan metode pelatihan dan pembimbingan. Untuk periode kedepan, ada keinginan warga masyarakat Wamena untuk memelihara kelinci. Binmas Noken Polri harus menjajagi harapan dan keinginan tersebut.
Khusus di Nabire ada 3 (tiga) spot kandang sapi yang masing-masing terisi 10 (sepuluh) ekor. Masyarakat di Nabire tinggal di dataran rendah dan bersosialisasi dengan warga transmigran, sehingga sudah mampu beradaptasi dengan ternak selain babi, yaitu sapi. Demikian pula dengan masyarakat di Keerom yang saat ini diberi 10 (sepuluh) ekor kambing dan masyarakat Pegunungan Bintang (Oksibil) diberi 4 (empat) ekor kambing. Dalam hal ini, pemberian kambing kepada masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mencoba memberikan fariasi kebutuhan akan daging selain daging babi. 
Sedangkan di Timika, Binmas Noken Polri mecoba mengembangkan peternakan ayam kampung super yang dalam waktu 67 (enam puluh tujuh) hari sudah bisa dikonsumsi. Spot kandang yang dibangun ada 7 (tujun) kandang, dimana masing-masing kandang memiliki kapasitas produksi sebanyak 1000 (seribu) ekor.
Kegiatan bersifat fisik lainnya berupa spot perkebunan dan pertanian sementara dilakukan di Timika dan Wamena. Hal ini mengingat budaya bertani yang dilakukan oleh masyarakat pegunungan, berupa bercocok tanam, baru sebatas menanam umbi-umbian, seperti talas (hipere) singkong (kasbi) maupun ubi rambat. Sistem pertanian di bererapa wilayah di pegunungan masih perlu proses pendampingan lebih lanjut. Sedangkan untuk tanaman jangka panjang, Binmas Noken mengandeng pengiat kopi Papua, untuk melakukan pendampingan dalam proses pengolahan kopi.
Kegiatan bersifat Non Fisik (Polisi Pi Ajar) adalah satu kegiatan belajar mengajar yang didalamnya mengadung trauma healing (outdoor). Kegiatan di-design berupa aktivitas yang menyenangkan buat anak-anak, didalamnya berisi ajaran-ajaran tentang wawasan kebangsaan, pengetahuan umum, matematika dan budi pekerti. Kegiatan Polisi Pi Ajar ini dilakukan di semua wilayah sebaran program Binmas Noken. Selain melibatkan tokoh-tokoh besar dalam mekanisme kegiatannya, juga menghadirkan figur-figur instruktur maupun pelatih, baik berasal dari Papua maupun dari wilayah lain.
Dalam perjalanannya hingga saat ini, Binmas Noken-pun akhirnya menemukan dan membangun kebersamaan dengan barbagai tokoh setempat, ada Pak Musa di Timika, ada Maximus Lanny di Wamena, ada Bram Maruanaya di Nabire dan banyak lagi. Selain mereka adalah orang yang berfikiran maju, bekerja keras dan kooperatif, mereka adalah orang-orang yang mau berubah untuk kemajuan dan masa depan lebih baik.

Dinamika di lapangan
Dalam implementasi program Binmas Noken di lapangan, tentu saja terdapat banyak ekses dari dinamika yang berkembang. Hal tersebut disamping memerlukan mekanisme manajemen Polri, juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang di lapangan.
Secara geografis daerah operasi atau wilayah penugasan, siapa tak mengenal Papua. Papua adalah salah satu propinsi eksotik di Indonesia yang memiliki wilayah luas dengan struktur geografi perbukitan dan jajaran pegunungan yang menakjubkan. Satu hal yang pasti, bahwa transportasi antar wilayah hanya bisa ditempuh melalui udara. Dengan jadwal yang berubah-ubah. Perjalanan darat tidak mudah dilakukan, karena beresiko tinggi adanya gangguan keamanan, disamping belum semua jalur darat terhubung. Hanya ada beberapa jalur darat seperti jalur trans Wamena-Lanny Jaya yang cukup rawan penghadangan dari kelompok criminal bersenjata. Bahkan di salah satu tikungan di Pirime, dikenal dengan “Tikungan Tito Karnavian”. Menurut Waka Ops, Bang Sugeng Priyanto (saat itu menjabat Kasat Brimob) pada tahun 2012 terjadi penghadangan dan penyerangan KKB kepada Kapolda Papua. Selanjutnya jalur trans Nabire-Paniai yang sering terjadi longsor dan bahkan gangguan keamanan. Dan tentu saja terbatasnya rest area disepanjang ke-2 jalan trans tersebut.
Secara khusus, terdapat beberapa hal kegiatan yang telah direncanakan di suatu daerah tidak bisa dilaksanakan tepat waktu mengingat situasi kerawanan daerah tersebut. Misalnya pelaksaaan kegiatan “Polisi Pi Ajar” di wilayah seperti Puncak Jaya, Lanny Jaya, bahkan di Tembagapura.
Secara Demografi, masyarakat tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang hanya terdiri dari 2 (dua) atau 3 (tiga) kepala keluarga dalam 1 kelompok dengan jarak antar kelompok yang cukup jauh. Hal ini selain menyulitkan untuk dijangkau, juga tidak tersedianya sarana-prasarana jalan untuk mencapai keberadaan mereka. Posisi rumah-rumah penduduk tersebut dapat dilihat dari atas dengan pesawat sejenis caravan. Luar biasa perjuangan masyarakat untuk hidup di lokasi yang jauh dari komunitas.
Pola piker (Mindset) sebagian besar masyarakat, utamanya di Pegunungan Tengah yang terlanjur terbuai dengan program bantuan tunai pemerintah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah diberikan, membentuk perilaku masyarakat yang tidak mandiri dan cenderung bersifat menunggu pemberian. Hal lain sebagaimana diakui pejabat Wakil Bupati Wamena adalah budaya membuat proposal untuk pencairan dana. Masyarakat menjadi malas berupaya dan bekerja.
Hal lain yang dijumpai dalam perjalanan operasi Binmas Noken Polri ini adalah kesulitan untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Pemerintah Daerah. Berbagai alasan yang dijumpai adalah kebanyakan pejabat Pemda yang tugas keluar kota dan secara umum masih belum sepenuhnya mendukung program bahkan cenderung malas tahu. Hal ini sepatutnya menjadi pekerjaan dinas, namun karena Binmas Noken sudah lakukan, maka mereka merasa selain terbantu, juga tidak perlu repot-repot.
Fenomena yang dihadapi dilapangan terhadap nilai mata uang juga berubah. Dalam penyusunan anggaran, penetapan pagu anggaran pusat dipaksakan untuk diadopsi. Sementara realita implementasi di lapangan bisa jauh berbeda, bahkan bisa berbeda lebih dari 100 (seratus) persen. Hal ini terjadi terutama di daerah pegunungan yang menjadi sangat tinggi sehingga pembiayaan terhadap satu kegiatan melebihi dari yang telah di anggarkan. Seperti harga-harga kebutuhan untuk kegiatan, baik sarana kontak maupun binaan spot. Hal ini tentu sangat mempengaruhi dan menghambat dinamika operasional.

Maju terus ka?
Pimpinan Polri melalui Kaops Nemangkawi sebagai penanggung jawab jalannya operasi khusus di Papua tetap memandang bahwa tugas ini perlu dilanjutkan. Penegasan itu mengindikasikan bahwa operasi dengan pendekatan humanis (soft approach) yang dilakukan Binmas Noken bisa diterima oleh masyarakat dan menjadi harapan. Tentu saja tugas-tugas pemberdayaan masyarakat tersebut, bukanlah ranah tugas kepolisian, namun merupakan ranah tugas instansi pemerintahan terkait.
Untuk itu kegiatan operasional Binmas Noken di masa mendatang, menjadi penting dengan mengintenfifkan kerjasama dan membuka feedback dari para Kepala Wilayah dan para Kepala Dinas di 11 (sebelas) kabupaten. Disamping itu, perlu membangun jaringan dan inovasi pemberdayaan masyarakat Papua, melibatkan generasi kritis terutama civitas akademi, Universitas Cendrawasih, Jayapura. Karena itu, implementasi Program Binmas Noken Polri harus tetap berpedoman pada mekanisme sinergitas stakes holder dan counterparts’ dengan tetap memperhatikan kearifan lokal (local wisdom).
Over all, kita wajib berterima kasih kepada Bapak Kapolri sebagai Pemimpin Tertinggi di salah satu lembaga besar di Republik ini, yaitu Polri  yang begitu cinta dan peduli terhadap Papua. “Terima kasih, Bapak Kapolri. Sa Papua, Sa Indonesia”.

Salam Noken untuk kehidupan.



[1] Dr. Pada Kajian Ilmu Kepolisian, Kasatgas Binmas Noken Polri, Ops. Nemangkawi 2019 (2/27/2019)