Sunday, February 21, 2016

PEMOLISIAN PADA ERA DIGITAL

PEMOLISIAN PADA ERA DIGITAL
Oleh; Eko SUDARTO[1]

Masyarakat online
“Do we want to police in the future the way we are policing today? I don’t think so. How did we get to where we are today? We looked; we listened; we learned; we changed; we grew with the times. That’s our job as leaders today.” (Jim Fox, Chief Newport News, Virginia, Police Department)

Pernyataan Jim Fox mengindikasikan bahwa kepolisian tidak bisa bekerja statis (monoton), namun selalu berkembang menyesuaikan waktu dan tuntutan perubahan yang terjadi pada masyarakatnya (equilibrium dynamic).
Masyarakat di seluruh muka bumi dewasa ini mengalami adanya peningkatan “migrasi” dari “second place” menuju wilayah baru yang dinamakan “third space” (ruang ketiga). Manifestasinya adalah akibat terjadinya perkembangan teknologi informasi, maka terciptalah apa yang disebut sebagai ruang online, dari masyarakat fisik (nyata/real) menjadi masyarakat virtual (cyber/maya). Populasi migrasi ini membentuk komunitas yang dinamakan virtual villages (desa-desa maya), cities virtual (kota-kota maya) dan kelompok-kelompok dunia maya lainnya.
Secara online ruang non-game seperti e-buy (pembelian elektronik), activity world (Dunia aktivitas) dan second life (kehidupan Kedua), misalnya, sengaja memanfaatkan wacana masyarakat dalam upaya untuk menciptakan ruang komunal dan tanggung jawab bersama di antara mereka, pengguna internet (netizenship). Sementara mayoritas warga internet lain mencari alternatif untuk berpartisipasi secara online. Kegemaran ini mengakibatkan masalah serius berupa penyimpangan / kejahatan cyber. Sehingga komunitas online berupaya mengembangkan kontrol dan regulasi pada komunitas mereka sendiri, hal ini perlu campur tangan pemerintah.
Tulisan ini membahas bagaimana peran pemerintah, terutama kepolisian dalam mengontrol dunia virtual pada ruang sosial online (hubungan) guna mempertahankan “virtual community” (masyarakat dunia maya) tetap teratur dan tertib pada kaidah hukum yang real (nyata).
Teknologi, cybercrime dan ketidakteraturan jaringan
Menurut Poerbahawadja Harahap, pengertian teknologi adalah: 1) Ilmu yang menyelidiki cara- cara kerja di dalam tehnik; 2). Ilmu pengetahuan yang digunakan dalam pabrik-pabrik dan industri-industri. Sehingga teknologi merupakan sesuatu cipta karya manusia yang disesuaikan dengan lingkungan. Demikian halnya dengan teknologi vitural sebagaimana pandangan Lawrence Lessig (1999) bahwa teknologi internet bisa dikontrol atau diatur, sebaliknya pandangan tentang “realisme digital” mengakui kapasitas yang mengganggu teknologi dalam dunia maya. Ruang Maya memiliki pengertian yang lebih luas daripada internet. Meskipun demikian Lessig mengakui bahwa tidak ada garis tegas yang membedakan ruang maya dengan internet.
Lessig (1999) menemukan benang merah yang menghubungkan semua karakteristik internet dengan kode atau arsitektur yang digunakan untuk mengontrol efektifitas teknologi sebagai regulator. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan dalam beberapa cara, yaitu pertama, teknologi dapat mengganggu tindakan manusia, memaksa individu untuk menegosiasikan kembali jalur dan tujuan; kedua, teknologi, kode atau arsitektur ditempa; itu mudah dibentuk oleh aktor yang memiliki akses ke kontrol; ketiga, cara di mana teknologi memaksakan kendala pada bagaimana orang bisa berperilaku lebih meresap dan langsung dari modus ke lain regulasi; keempat, teknologi lebih mudah dan cepat adaptif dari hukum, norma-norma atau pasar terhadap ancaman cyber kriminal, yang memungkinkan untuk mengontrol perilaku baik pidana dan sub-kriminal; kelima, perubahan sistem arsitektur hukum menggabungkan pendekatan pencegahan, hal ini jauh lebih efektif untuk mencegah pelanggaran secara online sebagai lawan reaktif mengidentifikasi dan menangkap pelaku.
Meningkatkan perhatian media telah mengangkat cyber crime dalam kesadaran public. Kejahatan pedofilia secara online, cyber terorism, pencurian identitas, penipuan online, infeksi malware, spam, serangan penolakan layanan, hacktivism dan kejahatan rasial secara online telah mengubah Internet menjadi 'tempat yang berbahaya' yang sering disalahartikan sebagai sesuatu yang penuh dengan risiko.



Hukum dan Pemolisian
Penggunaan hukum melalui penerbitan undang undang ITE[2] adalah sebagai upaya pemerintahan dalam melakukan kontrol maupun pengawasan terhadap komunitas online. Sementara hukum pada umumnya lambat untuk menuntut pelaku cyber yang telah melakukan kejahatan. Masalah hukum yang timbul cenderung lebih berhubungan dengan penerapan prosedur hukum dari hukum sub-stantif itu sendiri.
Namun hukum hanya melayani suatu tujuan sampai titik tertentu. Sebuah karakteristik umum dari banyak kejahatan di dunia maya adalah bahwa; 1) kejahatan ini menyebabkan dampak kerugian yang rendah; 2). Korban kejahatan bersifat massal, sehingga jika diakumulasikan maka kerugian besar; 3). Kejahatan ini tersebar secara global; 4). Kejahatan initidak mengenal batas yuridiksi hukum. Akibatnya, mereka yang berada diluar paradigma tradisional menjadi terkena dampak (populasi risiko).
Kepolisian lokal dalam penanganan terhadap kasus ini mengalami kendala sumber daya yang terbatas, hal ini sering sulit untuk membenarkan kriteria 'kepentingan umum' yang akan melepaskan sumber daya polisi untuk penyelidikan individu korban kejahatan cyber crime.
Tantangan selanjutnya adalah masalah kesenjangan hukum dalam kasus-kasus antar yurisdiksi. Protokol, termasuk Cybercrime Convention dan pembentukan kemitraan multi lembaga dan forum, membantu dalam memfasilitasi kerjasama internasional, tetapi mereka bergantung pada pelanggaran atau kejahatan tersebut diberikan prioritas yang sama di setiap yurisdiksi. Jika, misalnya, kasus ini jelas tindak pidana yang investigasi membawa mandat yang kuat dari masyarakat, seperti penyelidikan pornografi online anak, maka sumber daya penyelidikan biasanya cukup bermasalah dari sudut polisi pandang. Namun, apabila tidak ada mandat tersirat, seperti dengan pelanggaran selain pornografi anak, kemudian sumber daya menjadi lebih bermasalah, terutama jika perilaku menyimpang tersebut merupakan pelanggaran dalam suatu yurisdiksi tetapi tidak sama.

Peran Polisi
Meskipun kepolisian dan posisi konstitusionalnya telah berubah sejak dilakukan pembentukan, namun prinsip-prinsip dasar kepolisian tetap dipertahankan sebagai ritual untuk penyesuaian dengan modernitas. Kepolisian lokal (setempat) merupakan birokratis responsif yang diselenggarakan untuk mempertahankan ketertiban dan menegakkan hukum, bertugas melakukan indentifikasi di tengan masyarakat, profesional dalam melakukan tugas pokoknya, bertanggung jawab kepada hukum dan masyarakat atas tindakan mereka. Namun, meningkatnya penggunaan internet dan dunia maya, telah menciptakan dampak transformatif global yang turut menciptakan berbagai tantangan yang sama sekali baru untuk kepolisian lokal. Batas-batas yuridiksi atas domain keamanan menjadi pertanyaan dan bisa sebenarnya meminggirkan peran kepolisian lokal.
Tidak hanya konsep cybercrime mengakibatkan masalah bagi polisi lokal karena menyinggung terkait internet berlangsung dalam konteks global sedangkan kejahatan nasional cenderung didefinisikan dengan tindakan investigasi oleh kepolisian lokal, namun kepolisian (cyber police) juga memiliki urusan kompleks dengan sifat dari kepolisian dan keamanan. Peran polisi harus dipahami dalam arsitektur yang lebih luas dan sebagian besar informal cyber police tidak hanya memberlakukan norma dan hukum tetapi juga mempertahankan agar cara yang sangat berbeda.
Memahami posisi ini memungkinkan harapan yang lebih realistis dan pemahaman tentang peran kepolisian. Hal ini juga membantu untuk mengidentifikasi lebih luas isu-isu lintas yurisdiksi dan lintas sektoral bahwa polisi harus hadir untuk untuk berpartisipasi penuh dalam cyber police, dengan merangkul kedua konsep jaringan dan teknologi. Jaringan tumbuh dari sumber keamanan (yang mencakup polisi sebagai node) selama beberapa dekade terakhir telah muncul sebagai salah satu bagian dari pergeseran ke arah masyarakat jaringan. Transformasi baru perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan legitimasi struktur kepolisian (cyber police), definisi hukum melintasi batas-batas, diterima secara luas kerangka akuntabilitas kepada publik, nilai-nilai bersama, multi lembaga dan dialog lintas sektoral, dan banyak lagi.
Peran yang terbatas saat ini bagi polisi terutama dalam kaitannya dengan rendahnya tingkat jaminan keamanan secara online kepada masyarakat, berarti diperlukan regulasi bagi pemeliharaan keamanan untuk penegakan hukum.

Partisipasi semua pihak
Perilaku sosial online pada masyarakat dunia dewasa ini telah menjadi suatu kebutuhan yang semakin kompleks. Ketika kita memasuki era informasi yang cepat dan tepat, secara online masyarakat tidak lagi hanya melarikan diri dari tanggung jawab kehidupan pertama (pribadi), namun eksistensi mereka menjadi lebih berarti di rentang yang lebih luas pada dimensi ruang dan waktu. Mereka telah menjadi komunitas “third space” (ruang ketiga-virtual) untuk “kehidupan kedua” (sosial geografi), tapi ruang tersebut sangat terhubung dengan kehidupan fisik mereka.
Bukti nyata transformasi ini ada pada diri kita dan sekitarnya, jutaan manusia berpartisipasi dalam komunitas online yang menarik, online membentuk tingkah laku konsumen, hubungan emosional semakin sering ditempa secara online sebelum benar-benar bertemu di dunia nyata, bekerja di rumah menjadi lebih sering dilakukan, hubungan online dengan pemerintah berkaitan dengan berbagai masalah, seperti pajak; nasihat; berbagai bentuk pendaftaran dan berbagi informasi menjadi hal yang biasa dilakukan secara online. Namun, perilaku online yang menimbulkan kejahatan perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya mekanisme kontrol dan pengawasan.
Dengan pemisahan tugas cyber police antara fungsi pemeliharaan ketertiban dan penegakan hukum, maka bisa dibuat sebagai masalah hukum yang kurangnya sumber daya teknologi, baik fungsi kontrol maupun pengawasan. Karenanya diperlukan adanya partisipasi semua pihak, terutama komunitas online untuk aktif membangun bentuk perpolisian masyarakat online (e-policing) melalui pemeliharaan norma teknologi jaringan untuk memfasilitasi fungsi kontrol sosial dan pengawasan. Sementara pemerintah harus terus berupaya mediasi setiap permasalahan hukum cyber yang timbul dari nasional atau perbedaan hukum yurisdiksi dalam definisi.




References

AP Edy Atmojo (2013); Kedaulatan Negara di ruang maya; kritik UU ITE dalam pemikiran Satjipto Rahardjo.

Brenner, S. (2001) ‘Is There Such a Thing as “Virtual Crime”? California Criminal Law Review 4(1): http://www.boalt.org/CCLR/v4/v4brenner.htm

DAVID S. WALL AND MATTHEW WILLIAMS, Policing diversity in the digital age: Maintaining order in virtual communities


[1] Mahasiswa S3, KIK-STIK PTIK Angkatan 1, Penugasan tentang Pemolisian pada Era Digital, tanggal 14 Januari 2016.
[2] Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008, adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

No comments:

Post a Comment