Monday, August 24, 2015

Budaya dan police sub-culture



Budaya dan police sub-culture[1]
Eko SUDARTO[2]

Pendahuluan
Tulisan tentang kebudayaan dan Ilmu Kepolisian. Saya ingin menunjukkan bahwa kebudayaan kepolisian  merupakan akar yang terbentuk dari budaya masyarakat yang lebih besar, dengan kata lain kebudayaan polisi adalah bagian kebudayaan nasional (sub culture). Hal ini karena Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) adalah bagian dari bangsa (nation) Indonesia, sehingga sub culture Polri sebenarnya merupakan bagian yang melengkapi kebudayaan Indonesia.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture yang sering diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini akan disampaikan berbagai definisi tentang kebudayaan.

Berbagai pandangan tentang kebudayaan
Definisi kebudayaan itu banyak sekali lebih, di Indonesia, sedikitnya ada  6 (enam) Sosiolog maupun Antropolog yang sangat concern tentang kebudayaan, diantaranya adalah: Kuncaraningrat, Parsudi Suparlan, Ki Hajar Dewantoro, Selo Sumarjan, dan lain sebagainya. Kebudayaan adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakarpada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar. Kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; 1) Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb; 2). Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia dalam masyarakatnya; 3). Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia, termasuk produk arsitektur.
Fungsi kebudayaan menurut Soewondo bs, (1982), bahwa kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan  sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan maka dengan sendirinya kebudayaan akan  hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan  mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang timbul.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, beberapa definisi tentang budaya dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu;
1.     Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964), dalam bukunya setangkai Bunga Sosiologi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat mengkasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (immaterial culture). Rasa menghasilkan kaidah dan nilai sosial, termasuk didalamnya agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang meruoakan hasil ekspresi jiwa. Cipta merupakan mental dan kemampuan berfikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa dan Cipta dinamakan kebudayaan rohaniah (immaterial culture).
2.     Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (1948) dalam bukunya “Man and his work”, mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik, sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan organisasi kekuatan (politik)
3.     Andreas Eppink (2001), kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
4.    Edward B. Tylor (1884), “Culture... is that complex whole which includes knowledge, beliefs, arts, morals, law, customs, and any other capabilities and habits acquired by [a human] as a member of society”, bahwa  kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
5.    Koentjaraningrat (1982), sebagaimana pemikiran Malinoski bahwa konsep mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap yang kemudian  membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi yaitu: a). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat; b). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan; c). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosila pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Dari berbagai pengertian kebudayaan dapat disimpulkan sebagai suatu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur Kebudayaan Universal menurut konsep Bronislaw Malinowski (1943) mempunyai tiga Wujud Kebudayaan, yaitu Sistem Budaya, Sistem Sosial, dan Kebudayaan Fisik. Selanjutnya Malinowski mendefinisikan  kebudayaan di dunia terbagi kedalam 7 (Tujuh) Unsur Universal, yaitu; 1) Bahasa; 2). Sistem Teknologi; 3). Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian; 4). Organisasi Sosial; 5). Sistem Pengetahuan; 6). Religi (agama) dan 7). Kesenian

Kasus Angeline dalam perspektif budaya
Polda Denpasar, Bali menangani kasus Angeline (8) ditemukan tewas di belakang halaman rumahnya di dekat kandang ayam di rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar pada tanggal 10 Juni 2015. Angeline awalnya dikabarkan hilang oleh ibu angkatnya Margriet pada 16 Mei 2015. Polisi kemudian dituntut melakukan penyelidikan, penyidikan dan  telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus ini yakni mantan pembantu di rumah Margriet, yaitu  Agus sebagai tersangka dengan dugaan pembunuh Angeline, dan Margriet sebagai tersangka dengan dugaan penelantaran anak.
Dalam proses penyidikan, Polri membutuhkan Bantuan ahli kriminolog karena menemukan para tersangka memberikan keterangan yang kerap berubah. Walaupun Polri juga menggunakan bantuan alat pendeteksi kebohongan, namun demikian, alat tersebut tidak dapat dijadikan indikator pasti seseorang berbohong atau tidak. Pelibatan ahli kriminolog dalam hal ini Prof. Ronny Nitibaskara dalam kasus Angeline diperlukan untuk pendalaman kebenaran atas keterangan Agus melalui sistem lie detector.
Dalam penjelasan pada perkuliahan S3 Kajian Ilmu Kepolisian di STIK-PTIK, Jakarta, Prof. Ronny Nitibaskara menjelaskan bahwa disiplin ilmu kriminologi budaya bisa melihat apakah  orang itu mengatakan benar atau berbohong. Karena setiap manusia memiliki sinyal pada gerakan reflek yang tidak disadari apabila ada reaksi tertentu yang tidak bisa dikendalikan oleh pikiran mereka, dan gerakan tersebut secara umum  itu bisa dibaca ahli kriminologi. Beberapa contoh lainnya seperti kerutan dahi, bentuk dagu, kerutan kening, kerlingan mata dan lain sebagainya.
  
6 (enam) focal concerns sebagai lower-class subculture
Kriminolog Walter B. Miller (1958), dalam bukunya berjudul “implications of urban lower-class culture for social work, mendefinisikan bahwa Sub culture disebut sebagai lower-class subculture yang menekankan nilai-nilai yang dibangun di atas 6 (enam) focal concerns. Dari penjelasan Miller tentang perilaku budaya kelas bawah, dapat dianalisa pada  petugas kepolisian sebagai adaptasi dengan premis sebagai berikut:

a. Trouble 
Hingga kini, sinyalemen terhadap adanya perilaku kekerasan oleh pihak anggota kepolisian masih terjadi, hal ini  karena adanya kesalahpahaman atau pun tidak adanya kontrol emosi pada individu-individu anggota Polri. Perilaku tersebut dapat terjadi dimana saja, baik di ruang interogasi, kerusuhan, ataupun dalam aksi unjuk rasa. Dalam berbagai peristiwa  demonstrasi yang tidak terkendali, maka sudah pasti terjadi bentrokan fisik antara pelaku demonstrasi dan aparat kepolisian yang bertugas. Pada saat itu  aparat kepolisian dituntut untuk memiliki kesabaran dan kesadaran yang tinggi. Jika petugas kepolisian tidak dapat mengandalikan emosinya, maka yang terjadi adalah trouble atau masalah, sehingga dapat melakukan tindakan yang cenderung bersifat agresif terhadap para demonstran. Seperti menganiaya atau melakukan penyiksaan yang berakibat luka fisik, cacat dan bahkan meninggal.

b. Toughness
Dalam berbagai situasi tugas dan kewajiban, anggota  Polri   yang selain dituntut  mempunyai berbagai   aspek  kemampuan, kelebihan atau keunggulan secara fisik dan mental, juga dituntut untuk memiliki keteguhan (toughness). Hal ini sangat penting, karena dengan sikap dan kemampuan keteguhan jiwa yang baik tentu akan mendukung berbagai bentuk penugasan yang diberikan kepada petugas kepolisian tersebut. Seperti contoh, seorang anggotan yang memiliki  kemampuan  beladiri, selain   mendapat  pengakuan  lebih  didalam kesatuannya, maka  jika kemampuannya tersebut hingga berprestasi akan sangat menunjang kariernya.

c. Smartness
Salah satu persyaratan untuk bisa menjadi anggota Polri dalam proses rekruitmen  adalah melewati seleksi dan lulus secara akademis. Hal ini berarti untuk menjadi petugas polisi setidaknya harus memiliki tingkat kecerdasan yang memadai karena sistem pendidikan di Polri terus berlanjut dan berjenjang. Dengan memiliki otak cemerlang diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang semakin beragamnya dan meningkat. Polri juga terus mengembangkan sistem pendidikan dan mencerdaskan personilnya, baik pendidikan kedinasan maupun ilmu kepolisian (sciences). Hal ini untuk mendukung dalam tugasnya sebagai pelayanan kepolisian untuk mendapatkan rasa aman. Rasa aman tersebut akan diaktualisasikan dengan baik oleh jajaran kepolisian melalui petugas-petugasnya yang cerdas, seperti kemampuan melalukan antisipasi, prediksi dan tindakan deskresi kepolisian secara tepat dan cepat.

d. Exitement
Sebagai individu, pada hakekatnya anggota Polisi saja sama dengan manusia pada umumnya yang memiliki keunikan sendiri dan tidak sama dengan individu yang lain. Sifat dan perilaku tersebut berkembang dari pengalaman hidup, dipengaruhi juga oleh adanya cita-cita, keyakinan hidup, sikap dan juga etika serta moral. Juga memiliki berbagai Perasaan seperti gembira, sedih, galau, gelisah dan lain sebaginya. Sebuah perasaan yang menggambarkan kegembiraan yang berlebihan (excitement) dicontohkan perayaan suatu keberhasilan  dengan minuman  berakohol  tinggi  sambil  menyanyi  sekeras-kerasnya diiringi irama alat musik gitar yang tidak beraturan.  

e. Authonomy
Polri merupakan lembaga tinggi negara yang otonom (authonomy) dibawah Presiden Republik Indonesia. Keberadaannya yang begitu otonom, membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan kekuatan organisasi, memiliki kemandirian, keberanian, ketegasan, memiliki tanggung jawab, dan serta menjadi tauladan. Organisasi yang otonom sangat memerlukan seorang pemimpin yang berniat menjadikan institusi Polri menjadi lebih baik.


Daftar Pustaka

1.     Walter B. Miller, 1995, Implication of urban lower-class culture for social work, the social review, Special Youth Program, Roxbury, Massachusetts.
2.     Baal, J. Van. 1988. “Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya”, PT. Gramedia, Jakarta
3.     Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
4.     Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I.:Erlangga. Jakarta
5.     Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Teori Antropologi I. UI Press. Jakarta
6.     Sjaifuddin, Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Prenada Media. Jakarta
7.     TB. Ronny Nitibaskara, 2015, catatan mata kuliah Ilmu kepolisian dan budaya, pada kuliah S3-Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK, Jakarta.




[1] Ringkasan (resume) dari mata kuliah yang diberikan oleh Prof. TB. Ronny Nitibaskara pada mahasiswa S3, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK PTIK tentang Budaya dan  Ilmu Kepolisian.  
2] Mahasiswa S3 Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK Jakarta

Sunday, August 23, 2015

“CODE OF SILENCE” PADA TIPOLOGI KORUPSI POLISI




CODE OF SILENCE” PADA TIPOLOGI KORUPSI POLISI
Eko Sudarto[1]

Pengantar
Tulisan ini ingin menunjukkan sebuah budaya kepolisian secara umum di dunia yang dikenal dengan istilah atau konsep “code of silence”, yaitu  mencermati suatu pelanggaran dengan sikap diam (GTM: Gerakan tutup mulut) dalam konotasi bahwa seseorang petugas tahu tentang  adanya suatu penyelewengan atau kejahatan korupsi tetapi tidak mau melapor  (not report) karena adanya suatu “saling pengertian”, khususnya dalam menghadapi perilaku korupsi. Tujuan penulisan ini, selain membangun kritik pribadi (self-criticism)[2] yang harus dilakukan untuk intropeksi bagi pembenahan organisasi ke depan, juga mencoba menggambarkan terjadinya “code of silence” pada berbagai tipe korupsi di tubuh kepolisian.
Skandal besar kepolisian New York di tahun 1960an, dikenal dengan scandal “ Frank Serpicodapat diilustrasikan bahwa:
A code of silence is a condition in effect when a person opts to withhold what is believed to be vital or important information voluntarily or involuntarily. The code of silence is usually either kept because of threat of force, or danger to oneself, or being branded as a traitor or an outcast within the unit or organization as the experiences of the police whistleblower[3]. Police are known to have a well-developed Blue Code of Silence.

Keberadaan “code of silence” pada organisasi kepolisian membentuk budaya negatif yang kronis dan bisa merusak norma aturan yang berlaku berupa kode etik (ethic code) dan kode pelaksanaan tugas (code of conduct) bagi organisasi. Polri harus secara serius menyikapi gejala atau tanda-tanda (symptom) tersebut dan hal ini harus dilawan dengan prosedur penegakan hukum secara konsisten dan mengembangkan budaya transparansi serta kontrol. 
“Code of silence” menjadi paradigma yang memperkuat perilaku korupsi di tubuh kepolisian. Hal ini terjadi karena lemahnya system kontrol dari dalam organisasi kepolisian (internal) maupun maupun system kontrol (external) publik.

Bentuk Korupsi polisi
Terdapat banyak asumsi, mengapa korupsi di tubuh kepolisian sulit untuk dilawan, seperti luasnya kewenangan deskresi kepolisian, minimnya saksi yang dapat dipercaya di pihak korban, itulah yang kemudian dikenal dengan “tembok biru” (blue wall)atau “sandi diam” (code of silence) diantara petugas kepolisian dan korupsi pada umumnya secara alami tersembunyi.
Roebuck dan Barker (1974), membagi ada 8 (delapan) jenis korupsi yaitu; (1) Korupsi yang dilakukan karena kekuasaan (Corruption of authority); (2) mengembalikan (barang curian) kepada pemiliknya (kick back); (3) Mencuri kesempatan (Opportunistic theft); (4) Menyesuaikan dengan kondisi baru (Shakedowns); (5) Melindungi berbagai aktivitas illegal (Protection of illegal activities);  (6) Melakukan penyuapan atau pengaturan (The fix); (7)  Melakukan aktivitas criminal secara langsung (Direct criminal activities); (8) Melakukan suap / pembayaran di lingkup internal ( Internal payoffs).                                             
   Terdapat beberapa literatur dan definisi korupsi polisi (police corruption), namun menurut Roebuck dan Barker[4] (1974) adalah berbagai bentuk “kebiasaan yang dilarang melibatkan aparat penegak hukum untuk menerima atau mengharapkan agar mendapatkan sesuatu, melalui tindakan kebaikan karena posisi jabatannya, suatu yang berpotensi mendapatkan secara tidak sah berupa hadiah materi atau keuntungan.
Sementara kebiasaan [5] adalah kebiasaan-kebiasaan yang didefinisikan sebagai korupsi polisi dengan melanggar sistem  norma-norma; (1) Penodaan-penodaan secara format terhadap aturan-aturan departemen kepolisian, hukum-hukum, perundang-undangan, kebijakan-kebijakan; (2) Penodaan-penodaan secara tidak formal (Aturan Operasi secara Umum); (3) Penodaan-penodaan dari hukum-hukum criminal.
Keberadaan korupsi polisi menjadi semakin rusak bahkan bertambah parah dengan adanya “code of silence”, karena di hampir semua aktivitas kepolisian sangat berkaitan erat dengan fungsi-fungsi otoritas kekuasaan sebagaimana disebutkan diatas. Tumbuh suburnya kerusakan pada system-sistem di kepolisian adalah karena sebagian besar petugas memegang dan mempedomani “code of silence” sebagai sebuah kehormatan dan jati diri yang sebenarnya salah arah. Karena Institusi kepolisian memiliki “code of conduct” dan “code of ethic” yang menjadi dasar dan pedoman bertindak.
Dalam prakteknya, code of silence dilakukan dengan didasari oleh “saling tahu” antara sesama petugas, “saling menguntungkan”, “saling menjaga”, dan  bahkan “ saling melindungi” perilaku korupsi polisi. Pola hubungan “code of silence” ini berlaku dalam berbagai jenjang tingkat kepangkatan, baik antar sesama, antara senior dan junior, maupun antar bawahan dan atasan.
Hal tersebut menjadi suatu kebiasaan yang terpola dan berlangsung tetap “ajeg” atau terus menerus, sehingga menjadi virus akut yang terus tumbuh subur menyebar ke seluruh sistem dalam tubuh organisasi. Analisa akan mendapatkan bahwa jika  organisasi polisi sudah seperti ini, maka yang terjadi adalah ketidakefisienan (inefficient), ketidakefektifan (ineffective) ketidakpercayaan (untrusted), tidak dapat diandalkan (unreliable) dan pada akhirnya menjadi beban bagi stakeholder-nya, yaitu masyarakat dan Negara.  
Berbagai peristiwa atau study kasus dari “code of silence” yang rawan terhadap korupsi kepolisian bisa dianalisa pada bidang tugas operasional maupun bidang pembinaan. Hal ini terutama terjadi pada fungsi atau bidang tugas kepolisian yang memiliki wewenang atau otoritas yang bersifat  kekuasaan seperti fungsi pelayanan, penegakan hukum,  penertbitan perijinan, pengendalian maupun pengadaan baik barang maupun jasa  dan lain sebagainya.
Pada Fungsi tugas operasional Lalu lintas dengan kewenangan perijinannya kita seriang mendengar banyaknya complain masyarakat (public complain), sehingga bermunculan adagium seperti, “prit jigo”, “jebakan polisi”, “wereng coklat”, dan lain sejenisnya. Pada fungsi reserse kepolisian dengan kewenangan penegakkan hukumnya yang dapat memaksa bahkan menahan orang, sangat kental dengan nuansa korupsi sehingga berurusan dengan polisi (reserse) ibarat “lapor ayam hilang kambing”. Begitu mahalnya mencari keadilan.
Dibagian lain pada fungsi pembinaan personil dengan berbagai aktivitas pengelolaannya, salah satunya adalah kewenangan pengendalian personil tidak kalah rawannya, bahwa untuk menduduki suatu posisi jabatan perlu “deal-deal khusus” yang tidak pernah dapat diungkap (unrevealed) namun sudah menjadi rahasia umum. Demikian halnya dengan berbagai pandangan proses pengadaan barang maupun jasa di kepolisian, sangat rawan terjadinya korupsi kepolisian, seperti pembelian barang.
Pada berbagai contoh kasus tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penyebab korupsi di tubuh kepolisian dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu; 1) proses rekruitmen, pendidikan dan pelatihan serta promosi,  2) Sumber daya, seperti pembayaran dan peralatan, 3) pembuatan sistem-sistem yang akuntabel pada unit-unit kepolisian, 4) kebudayaan tradisional.

Keterbukaan sistem kontrol
Sebagaimana hasil riset tentang “code of conduct” yang dilakukan antara Februari 1999 hingga Juni 2000 di kepolisian negara bagian Amerika Serikat. Terungkap dari hasil riset bahwa “code of silence”, sebagai sebuah konsep pengetahuan yang apabila kita mempelajarinya dengan seksama tentang bagaimana cara mengontrol maka korupsi secara massive tidak akan terwujud karena semua orang menjadi lebih waspada akan adanya bahaya serta dampak negatifnya yang meluas.    
Keterbukaan terhadap kontrol publik[6] (public control) yang dewasa ini terjadi merupakan suatu iklim yang patut dijadikan sebagai momentum untuk terus berbenah. Pemerintah membuat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Polri sebagai salah satu badan publik telah mempersiapkan mekanisme internal tersebut dengan Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri. Kebijakan ini signifikan mengingat Polri adalah salah satu badan publik sipil yang memiliki fungsi untuk melindungi dan melayani masyarakat sebagai upaya menuju pemolisian yang demokratis.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        
Kesimpulan
Bukanlah hal yang mudah untuk memerangi korupsi di tubuh kepolisian. Bahwa budaya”code of silence “ dalam berbagai bentuk kasus korupsi kepolisian telah terjadi dan perlu menjadi kesadaran bersama bahayanya jika hal ini terus berlangsung tanpa mekanisme sistem control, baik internal maupun eksternal. Hal ini terjadi karena lemahnya profesionalisme dan mentalitas petugas yang dihadapkan pada berbagai tuntutan dan tantangan lingkungan.
Polri sebagai institusi Pemerintah yang bertanggung jawab pada publik, harus mempercepat dan memperluas diseminasi aturan-aturan internal Polri terkait mekanisme keterbukaan informasi publik yang menjangkau seluruh satuan kerjanya. Selain itu pelatihan keterampilan memberikan pelayanan informasi kepada publik juga harus segera dilakukan.

Daftar Pustaka 
1.     Julian B. Roebuck and Thomas Barker, 1974, a typology of Police Corruption, Mississippi State University.
2.     Kontras (Komisi Untuk Orang Hil;ang dan Tindak Kekerasan), 2011,  Pemantauan Keterbukaan Informasi Publik - POLRI 2011.
3.     Neal Trautman, 2000, Police code of silence fact revealed, Legal Officer Section, International Chief of Police.
4.     Peter S. Temes, 1994, Laura (Riding) Jakson and the Refusal to Speak, Modern Language Assosiation,
5.     Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
6.     Stuart Morishita Dubois, 2010, an exploration of the blue code of silence, university of Portsmouth, institute of criminal justice studies.
7.     Roberta Ann Johnson, 1999, whistleblowing and the police, Rutgers university journal of law and urban policy.


[1] Mahasiswa S3, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-KIK, Jakarta 2015.
[2] Shahar et al. (2006), we expected self-criticism to be positively associated with controlled motivation.
[3] Whistleblowing is a distinct form of dissent consisting of four elements: (1) the person acting
must be a member or former member of the organization at issue; (2) his information must be about
Nontrivial wrongdoing in that organization; (3) he must intend to expose the wrongdoing; and (4) he must act in a way that makes the information public.
[4] Police corruption as any type of proscribed behavior engaged in by a low enforcement officer who receive, by virtual of his position, an actual or potential unauthorized material reward or gain
[5] Behavior defined as police corruption transgress contra dictionary normative system; (1) violations of formal police departmental rules, laws, regulations, policies; (2) violations of informal (general operating) rules; (3) violations of criminal laws.
[6] Definisi dari informasi yang bukan dikecualikan adalah bila ia tidak memenuhi syarat-syarat  pengecualian sesuai dengan Pasal 17 pada UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu:
a.      tidak menghambat proses penegakan hukum (penyelidikan, penyidikan, mengungkap identitas informan, pelapor , saksi dan korban); bukan merupakan data inteijen kriminal dan rencana-rencana berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; tidak membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya dan tidak membayakan keamananperalatan, sarana dan/atau prasarana penegak hukum.
    
c.