Monday, August 24, 2015

Budaya dan police sub-culture



Budaya dan police sub-culture[1]
Eko SUDARTO[2]

Pendahuluan
Tulisan tentang kebudayaan dan Ilmu Kepolisian. Saya ingin menunjukkan bahwa kebudayaan kepolisian  merupakan akar yang terbentuk dari budaya masyarakat yang lebih besar, dengan kata lain kebudayaan polisi adalah bagian kebudayaan nasional (sub culture). Hal ini karena Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) adalah bagian dari bangsa (nation) Indonesia, sehingga sub culture Polri sebenarnya merupakan bagian yang melengkapi kebudayaan Indonesia.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture yang sering diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini akan disampaikan berbagai definisi tentang kebudayaan.

Berbagai pandangan tentang kebudayaan
Definisi kebudayaan itu banyak sekali lebih, di Indonesia, sedikitnya ada  6 (enam) Sosiolog maupun Antropolog yang sangat concern tentang kebudayaan, diantaranya adalah: Kuncaraningrat, Parsudi Suparlan, Ki Hajar Dewantoro, Selo Sumarjan, dan lain sebagainya. Kebudayaan adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakarpada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar. Kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; 1) Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb; 2). Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia dalam masyarakatnya; 3). Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia, termasuk produk arsitektur.
Fungsi kebudayaan menurut Soewondo bs, (1982), bahwa kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan  sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan maka dengan sendirinya kebudayaan akan  hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan  mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang timbul.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, beberapa definisi tentang budaya dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu;
1.     Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964), dalam bukunya setangkai Bunga Sosiologi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat mengkasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (immaterial culture). Rasa menghasilkan kaidah dan nilai sosial, termasuk didalamnya agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang meruoakan hasil ekspresi jiwa. Cipta merupakan mental dan kemampuan berfikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa dan Cipta dinamakan kebudayaan rohaniah (immaterial culture).
2.     Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (1948) dalam bukunya “Man and his work”, mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik, sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan organisasi kekuatan (politik)
3.     Andreas Eppink (2001), kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
4.    Edward B. Tylor (1884), “Culture... is that complex whole which includes knowledge, beliefs, arts, morals, law, customs, and any other capabilities and habits acquired by [a human] as a member of society”, bahwa  kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
5.    Koentjaraningrat (1982), sebagaimana pemikiran Malinoski bahwa konsep mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap yang kemudian  membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi yaitu: a). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat; b). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan; c). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosila pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Dari berbagai pengertian kebudayaan dapat disimpulkan sebagai suatu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur Kebudayaan Universal menurut konsep Bronislaw Malinowski (1943) mempunyai tiga Wujud Kebudayaan, yaitu Sistem Budaya, Sistem Sosial, dan Kebudayaan Fisik. Selanjutnya Malinowski mendefinisikan  kebudayaan di dunia terbagi kedalam 7 (Tujuh) Unsur Universal, yaitu; 1) Bahasa; 2). Sistem Teknologi; 3). Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian; 4). Organisasi Sosial; 5). Sistem Pengetahuan; 6). Religi (agama) dan 7). Kesenian

Kasus Angeline dalam perspektif budaya
Polda Denpasar, Bali menangani kasus Angeline (8) ditemukan tewas di belakang halaman rumahnya di dekat kandang ayam di rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar pada tanggal 10 Juni 2015. Angeline awalnya dikabarkan hilang oleh ibu angkatnya Margriet pada 16 Mei 2015. Polisi kemudian dituntut melakukan penyelidikan, penyidikan dan  telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus ini yakni mantan pembantu di rumah Margriet, yaitu  Agus sebagai tersangka dengan dugaan pembunuh Angeline, dan Margriet sebagai tersangka dengan dugaan penelantaran anak.
Dalam proses penyidikan, Polri membutuhkan Bantuan ahli kriminolog karena menemukan para tersangka memberikan keterangan yang kerap berubah. Walaupun Polri juga menggunakan bantuan alat pendeteksi kebohongan, namun demikian, alat tersebut tidak dapat dijadikan indikator pasti seseorang berbohong atau tidak. Pelibatan ahli kriminolog dalam hal ini Prof. Ronny Nitibaskara dalam kasus Angeline diperlukan untuk pendalaman kebenaran atas keterangan Agus melalui sistem lie detector.
Dalam penjelasan pada perkuliahan S3 Kajian Ilmu Kepolisian di STIK-PTIK, Jakarta, Prof. Ronny Nitibaskara menjelaskan bahwa disiplin ilmu kriminologi budaya bisa melihat apakah  orang itu mengatakan benar atau berbohong. Karena setiap manusia memiliki sinyal pada gerakan reflek yang tidak disadari apabila ada reaksi tertentu yang tidak bisa dikendalikan oleh pikiran mereka, dan gerakan tersebut secara umum  itu bisa dibaca ahli kriminologi. Beberapa contoh lainnya seperti kerutan dahi, bentuk dagu, kerutan kening, kerlingan mata dan lain sebagainya.
  
6 (enam) focal concerns sebagai lower-class subculture
Kriminolog Walter B. Miller (1958), dalam bukunya berjudul “implications of urban lower-class culture for social work, mendefinisikan bahwa Sub culture disebut sebagai lower-class subculture yang menekankan nilai-nilai yang dibangun di atas 6 (enam) focal concerns. Dari penjelasan Miller tentang perilaku budaya kelas bawah, dapat dianalisa pada  petugas kepolisian sebagai adaptasi dengan premis sebagai berikut:

a. Trouble 
Hingga kini, sinyalemen terhadap adanya perilaku kekerasan oleh pihak anggota kepolisian masih terjadi, hal ini  karena adanya kesalahpahaman atau pun tidak adanya kontrol emosi pada individu-individu anggota Polri. Perilaku tersebut dapat terjadi dimana saja, baik di ruang interogasi, kerusuhan, ataupun dalam aksi unjuk rasa. Dalam berbagai peristiwa  demonstrasi yang tidak terkendali, maka sudah pasti terjadi bentrokan fisik antara pelaku demonstrasi dan aparat kepolisian yang bertugas. Pada saat itu  aparat kepolisian dituntut untuk memiliki kesabaran dan kesadaran yang tinggi. Jika petugas kepolisian tidak dapat mengandalikan emosinya, maka yang terjadi adalah trouble atau masalah, sehingga dapat melakukan tindakan yang cenderung bersifat agresif terhadap para demonstran. Seperti menganiaya atau melakukan penyiksaan yang berakibat luka fisik, cacat dan bahkan meninggal.

b. Toughness
Dalam berbagai situasi tugas dan kewajiban, anggota  Polri   yang selain dituntut  mempunyai berbagai   aspek  kemampuan, kelebihan atau keunggulan secara fisik dan mental, juga dituntut untuk memiliki keteguhan (toughness). Hal ini sangat penting, karena dengan sikap dan kemampuan keteguhan jiwa yang baik tentu akan mendukung berbagai bentuk penugasan yang diberikan kepada petugas kepolisian tersebut. Seperti contoh, seorang anggotan yang memiliki  kemampuan  beladiri, selain   mendapat  pengakuan  lebih  didalam kesatuannya, maka  jika kemampuannya tersebut hingga berprestasi akan sangat menunjang kariernya.

c. Smartness
Salah satu persyaratan untuk bisa menjadi anggota Polri dalam proses rekruitmen  adalah melewati seleksi dan lulus secara akademis. Hal ini berarti untuk menjadi petugas polisi setidaknya harus memiliki tingkat kecerdasan yang memadai karena sistem pendidikan di Polri terus berlanjut dan berjenjang. Dengan memiliki otak cemerlang diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang semakin beragamnya dan meningkat. Polri juga terus mengembangkan sistem pendidikan dan mencerdaskan personilnya, baik pendidikan kedinasan maupun ilmu kepolisian (sciences). Hal ini untuk mendukung dalam tugasnya sebagai pelayanan kepolisian untuk mendapatkan rasa aman. Rasa aman tersebut akan diaktualisasikan dengan baik oleh jajaran kepolisian melalui petugas-petugasnya yang cerdas, seperti kemampuan melalukan antisipasi, prediksi dan tindakan deskresi kepolisian secara tepat dan cepat.

d. Exitement
Sebagai individu, pada hakekatnya anggota Polisi saja sama dengan manusia pada umumnya yang memiliki keunikan sendiri dan tidak sama dengan individu yang lain. Sifat dan perilaku tersebut berkembang dari pengalaman hidup, dipengaruhi juga oleh adanya cita-cita, keyakinan hidup, sikap dan juga etika serta moral. Juga memiliki berbagai Perasaan seperti gembira, sedih, galau, gelisah dan lain sebaginya. Sebuah perasaan yang menggambarkan kegembiraan yang berlebihan (excitement) dicontohkan perayaan suatu keberhasilan  dengan minuman  berakohol  tinggi  sambil  menyanyi  sekeras-kerasnya diiringi irama alat musik gitar yang tidak beraturan.  

e. Authonomy
Polri merupakan lembaga tinggi negara yang otonom (authonomy) dibawah Presiden Republik Indonesia. Keberadaannya yang begitu otonom, membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan kekuatan organisasi, memiliki kemandirian, keberanian, ketegasan, memiliki tanggung jawab, dan serta menjadi tauladan. Organisasi yang otonom sangat memerlukan seorang pemimpin yang berniat menjadikan institusi Polri menjadi lebih baik.


Daftar Pustaka

1.     Walter B. Miller, 1995, Implication of urban lower-class culture for social work, the social review, Special Youth Program, Roxbury, Massachusetts.
2.     Baal, J. Van. 1988. “Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya”, PT. Gramedia, Jakarta
3.     Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
4.     Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I.:Erlangga. Jakarta
5.     Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Teori Antropologi I. UI Press. Jakarta
6.     Sjaifuddin, Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Prenada Media. Jakarta
7.     TB. Ronny Nitibaskara, 2015, catatan mata kuliah Ilmu kepolisian dan budaya, pada kuliah S3-Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK, Jakarta.




[1] Ringkasan (resume) dari mata kuliah yang diberikan oleh Prof. TB. Ronny Nitibaskara pada mahasiswa S3, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK PTIK tentang Budaya dan  Ilmu Kepolisian.  
2] Mahasiswa S3 Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK Jakarta

No comments:

Post a Comment