Monday, August 17, 2015

ANAK JALANAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PATOLOGI SOSIAL



ANAK JALANAN DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF PATOLOGI SOSIAL
Eko Sudarto[1]

Abstraksi
“Keberadaan anak-anak, selain merupakan penerus keberlangsungan suatu generasi, juga aset yang berharga bagi sebuah keluarga dan masyarakat dalam menyongsong masa depan. Lingkungan dan dukungan sosial yang diciptakan dari keluarga dan masyarakat yang baik, akan menjadikan seorang anak sebagai satu generasi yang baik. Indikasinya dapat dilihat pada kemampuan diri si “anak” tersebut untuk berperan sosial sesuai harapan dan keinginan masyarakatnya. Namun demikian tidak semua anak di Indonesia memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara lebih baik dalam kehidupannya. Banyak dari mereka yang menghadapi masalah sosial yang serius, baik psiokologis, fisiologis, ekonomis dan lain-lainnya. Mereka gagal menjadi generasi yang mampu menyesuaikan dengan lingkungan. Kondisi “external” di luar dirinyalah yang paling banyak menjadi penyebabnya, baik dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga, maupun lingkungan yang luas yaitu masyarakatnya, bahkan negara. Mereka menjadi mengalami “patologi sosial” karena ketidakmampuan dirinya dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang membuat mereka menjadi “anak-anak jalanan”. Dari realitas tersebut perlu ditelaah secara cermat untuk dicarikan solusi terhadap problem sosial anak-anak terlantar di Indonesia”.


I.                PENDAHULUAN

Latar Belakang
          

          Tulisan ini tentang permasalahan anak-anak jalanan di Indonesia. Ingin ditunjukkan kondisi anak-anak jalanan dalam perspeltif patologi sosial sebagaimana penelitian Haenonen (2000, dalam Aptekar & Haenonen 2003), Saat ini terdapat 150 juta anak jalanan di seluruh dunia dan diperkirakan akan meningkat menjadi 800 juta pada tahun 2020. Rubini (2002) menyebutkan bahwa anak jalanan yang terdata diseluruh Indonesia mencapai 170.000 jiwa. Jumlah tersebut diyakini terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang meningkat sangat pesat dan tidak diiringi oleh peluang lapangan kerja yang memadai.
            Penduduk di kawasan pedesaan melakukan urbanisasi, berusaha mencari mata pencaharian di wilayah perkotaan dengan membawa keluarga, termasuk anak-anak mereka. Urbanisasi merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan mobilitas penduduk yang dapat dianalisakan menjadi 2 (dua) konteks. Pertama, perpindahan penduduk dari desa ke kota karena adanya motivasi[2] dan kedua, berpindah penduduk ke kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat urbanisasi nasional pada tahun 2000 adalah 36,46% naik menjadi 40.48% di tahun 2005. Tingkat urbanisasi ini diperkirakan akan naik menjadi 48,41% di tahun 2015 serta naik menjadi 52,20% ditahun 2020.
            Mereka yang datang ke kota tanpa memiliki bekal keterampilan serta pengetahuan yang memadai hanya akan menjadi tuna karya di kota. Kalaupun mereka bekerja biasanya hanya menjadi buruh serabutan, pengemis, pengamen, pemulung dan bahkan ada juga yang pada akhirnya menjadi penjahat di kota. Akibat persaingan yang ketat dalam memperoleh pendapatan serta minimnya lapangan kerja memunculkan pula pengangguran yang pada gilirannya melahirkan pekerjaan tidak terhormat, disamping menyertakan pula istilah “patologis sosial”. Contohnya dengan mencuri, memeras, dan mengabaikan anak-anaknya, sehingga maraklah istilah “anak jalanan”.
            Selain mereka adalah generasi yang “rentan” (vulnerable generation), tak jarang iklim jalanan yang keras membuat mereka menjadi korban, tentu masih ingat pelaku sodomi dan pembunuhan anak jalanan Siswanto alias Robot Gedek yang terjadi di tahun 1994-1996 dengan korban 12 orang anak. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan dan mendekam di LP Nusakambangan, namun meninggal dunia karena serangan jantung pada tanggal 26 Maret 2007. Dan tersangka Beikuni alias Babe (49), tersangka mutilasi 14 bocah. Kasus-kasus tersebut mengingatkan kita semua, bahwa anak-anak jalanan menjadi fenomena perspektif patologi sosial yang perlu menjadi perhatian serius dari kita semua, utamanya Pemerintah.

Pengertian Anak dan anak jalanan
Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bab I pasal 1, pengertian “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (Sekretariat Negara.Repubilik Indonesia (Setneg RI, 2008). Sementara “Anak jalanan” adalah anak yang hidup dan beraktifitas di jalan. Anak jalanan beraktifitas sepanjang hari di jalan dengan waktu rata-rata 8 jam (Werdiastuti, 1998).  Menurut Friends International (2009), anak jalanan adalah anak yang lebih banyak beraktifitas di jalan. Menurut Johanes (1996, dalam, Kartika, 1997), anak jalanan adalah anak yang menggunakan sebagian waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau putus hubungan dengan keluarga, dan anak-anak yang hidup mandiri sejak masa kecil karena kehilangan orang tua.
Definisi dan kriteria PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), Dinas Sosial menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, salah satunya bekerja dengan mengemis dan menjadi pengamen, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya.
Menurut M. Ishaq (2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni: (1) mencari kepuasan; (2) mengais nafkah dan, (3) tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan itu erat kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di alun-alun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan mall.
Sunusi (dalam Lestari dan Karyani, 1997) pada survey dan wawancara terhadap anak jalanan di Jakarta dan Surabaya yang dilakukan Universitas Diponegoro dan Departemen Sosial, mendefinisikan 4 kategori anak-anak jalanan yaitu: (1). Anak jalanan tanpa ikatan keluarga; (2). Anak jalanan yang masih mempunyai ikatan dengan keluarga; (3). Anak jalanan satu-satunya yang mencari nafkah dalam keluarga (who are sole bread winners); (4). Anak jalanan yang berpendidikan atau tidak berpendidikan atau tanpa ikatan dengan keluarga.
Sementara itu, Mulandar (1996) memberikan empat ciri yang melekat ketika seorang anak digolongkan sebagai anak jalanan, (1). Berada ditempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari, (2). Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit sekali yang tamat Sekolah Dasar); (3). Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya); (4). Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal).
Selain ciri khas yang melekat akan keberadaanya, anak jalanan juga dapat dibedakan dalam tiga kelompok. Surbakti dalam Suyanto (2002) membagi pengelompokan anak jalanan tersebut sebagai berikut; (1). Children on the Street yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalanan, namun mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Fungsi anak jalanan dalam kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh orang tuanya; (2). Children of the Street yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial dan ekonomi, beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tua mereka tetapi frekuensinya tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, lari, atau pergi dari rumah; (3) Children from Families of the Street yakni anak anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan, walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari suatu tempat ketempat yang lain dengan segala resikonya.
Menurut Depsos RI (1998, dalam Andari 2007), anak jalanan terdiri dari tiga kategori, yaitu: children of the street, children on the street, dan vulnerable on the street. Children of the street adalah anak yang beraktifitas dan tinggal di jalan, serta sudah terlepas dari keluarga. Children on the street adalah anak yang beraktifitas di jalan, tetapi masih mempunyai keluarga dan pulang ke rumah. Vulnerable on the street adalah anak yang beresiko menjadi anak jalanan yaitu dari keluarga miskin, keluarga yang sering konflik, anak yang diacuhkan oleh keluarga, dan mulai bergaul dengan anak jalanan.
            Dari berbagai definisi tentang istilah “anak-anak jalanan” (street children) tersebut, kamus Oxford menyatakan bahwa anak jalanan adalah “a homeless or neglected child who lives chiefly in the streets” (seorang gelandangan atau anak yang diabaikan yang hidup mandiri di jalanan), sedangkan istilah yang ditetapkan oleh UNICEF, sebagai berikut: “street children are most practically difined as those minors who spend at least a major part of their waking hours working or wandering in urban streets” (anak-anak jalanan adalah mereka yang pada prakteknya didefinisikan sebagai mereka kaun minoritas yang menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja atau mengembara di jalanan).

II.              Patologi Sosial
Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk masyarakat organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan konsep penyakit. Sedangkan kata sosial dapat diartikan sebagai tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau masyarakat.
Sebenarnya, perspektif mengenai patologi sosial (social pathology) adalah merupakan analogi organik. Herbert Spencer memandang bahwa masyrakata tak ubahnya seperti sebuah organis (organism) yang jumlahnya besar, dengan struktur yang kompleks dan hidup mengunggusli bagian yang lainnya” (society is like an organism in that it has mass, a complexity of structure that increases with its growth, interdependent parts and life that surpasses the life of any particular part).  
Sementara itu, selama komunitas membuat individu mengikat kebersamaan dalam hubungan sosial, patologi sosial merujuk kepada “ketidaksesuaian” (maladjustment) dalam hubungan sosial. Patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. (Koe soe khiam. 1963)
           
Sejarah dan latar belakang Patologi Sosial
Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog mendefinisikan patologi sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal.
“This simplistic and conservative strand of social pathology had its heyday before World War I, especially between 1890 and 1910. After the war, it went into slow down but steady decline. In the 1960’s, however, there was a resurgence of the social pathology perspective, with some sociologists again writing about the “pathology” of our exixtence” (Smith; p.18)

Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi. Hal ini disamping mampu memberikan berbagai alternatif kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang biasa disebut “masalah sosial” atau “patologi sosial”.
Adanya revolusi industry “industry revolution” menunjukan betapa cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemakaian mesin-mesin industri di pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran.
Penduduk desa yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke kota-kota industri, jumlah pengangguran di kota semakin besar, adanya kecenderungan pengusaha lebih menyukai tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih murah dan lebih rendah upahnya). Pada akhirnya, keadaan ini semakin menambah banyaknya masalah kemasyarakatan (social problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melkuikan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang lain.
Banyak pribadi yang mengalami gangguan jiwa, dan muncul konflik antar budaya yang ditandai dengan keresahan sosial, pertikaian serta pertikaian kelompok-kelompok sosial disertai prilaku melanggar norma-norma hukum formal. Situasi sosial sedemikian ini dapat menimbulkan prilaku patologi sosial yang menyimpang dari pola umum. Dalam keadaan seperti ini orang-orang hanya mentaati norma dan peraturannya sendiri.
Mereka terbiasa dengan prilaku senang mengeksploitasi orang lain, merampas dan memeras hak-hak orang lain. Akibatnya banyak muncul masalah sosial seperti sosiopatik, deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial dan diferensi sosial apabila tingkah laku menyimpang (deviance) seperti merajalela korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maraknya kriminalitas (pencurian, penodongan dan pembunuhan), deviasi seksual, dan seterusnya.

Anak Jalanan dalam perspektif Patologi Sosial
            Anak jalanan tumbuh dengan berbagai latar belakang sosial, seperti anak broken home, anak yatim yang terbuang, anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki, atau anak-anak yang harus membantu ekonomi orang tuanya maupun anak-anak yang lari dari berbagai problem keluarga maupun di lingkungan sekitarnya. Masyarakat seringkali menganggap anak jalanan merupakan anak yang urakan, tidak tahu aturan, terbelakang dan sangat dekat dengan tindak kriminal. Dari pandangan ini maka secara tidak langsung memunculkan sifat introvet dari anak jalanan tersebut dalam bergaul dengan masyarakat.
            Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.
            Patologi sosial melihat kondisi Kehidupan anak jalanan yang keras, tidak kondusif bagi perkembangan anak dan pada umumnya berada diambang kerawanan sosial, kesehatan, serta tindakan kriminal. Anak jalanan tidak mengenal keluarga, pendidikan, dan bermain. Mereka hanya kenal kekerasan di jalan setiap saat. Mereka cenderung tertutup dan hanya bisa terbuka dengan teman seprofesi atau satu kelompok saja. Dan pada kenyataanya memang tidak mudah bagi anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan untuk mencari penghasilan atau pekerjaan yang layak ditengah kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini. Tak jarang kita temui anak-anak yang mengemis dari rumah ke rumah bahkan adapula anak-anak yang melakukan tindak kriminal seperti mencopet, mencuri bahkan merampok hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mereka rasa kurang. Tetapi banyak diantara mereka yang masih bisa berfikir dengan jernih dan mencari pekerjaan halal seperti menyemir sepatu, menjual koran maupun mengamen.
Patologi sosial terhadap anak jalanan karena perlakuan secara fisik dari lingkungan sosial maupun keluarga. Berdasarkan hasil pengkajian pada anak jalanan oleh Depsos RI (2006, dalam Andari 2007) menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan disebabkan oleh korban tindak kekerasan di keluarga yang bersifat fisik (dicubit, ditempeleng, ditendang, dan ditampar), psikis (dimarah, dibentak, dicemooh, dan diomeli), dan sosial (diusir, tidak boleh bermain, dan tidak boleh sekolah), tekanan ekonomi keluarga, dipaksa oleh orang tua, diculik dan dipaksa bekerja oleh orang dewasa.
Patologi sosial pada anak-anak jalanan yang timbul karena adanya kebijakan Pemerintah yang tidak tepat dan berpihak kepada masyarakat, akan berakibat banyaknya fasilitas umum dikota besar yang menawarkan kemudahan ditengah rendahnya harga beli masyarakat. Seperti; pusat kegiatan perdagangan jasa, transportasi, hiburan, kesenian, perkantoran yang merupakan faktor penarik dari kota tersebut, sehingga membuat semua orang tertarik termasuk anak jalanan,
Patologi sosial bagi anak-anak jalanan yang merupakan akibat situasi internal keluarga faktor lingkungan keluarga yang diwarnai oleh ketidakharmonisan, baik perceraian, percekcokan, maupun kehadiran orang tua tiri, faktor ekonomi rumah tangga yang kurang mendukung memaksa setiap anggota keluarga untuk mencari penghasilan dan nafkah sendiri, faktor pendidikan yang rendah, sangat mudah bagi anak untuk terjerumus ke jalan melanggar norma sosial. Anak-anak dari keluarga miskin terpaksa meninggalkan sekolah atau tidak sekolah sama sekali. Keadaan ini diperparah oleh sikap orang tua yang lebih cenderung mendorong anaknya bekerja dan menghasilkan uang, dari pada bersekolah hanya menghabiskan uang, dan tidak menjanjikan apa-apa sehingga terbentuk pola eksploratif antara orang tua dan anak.
Anak jalanan laki-laki mulai menampilkan nilai-nilai kejantanan ketika mulai tumbuh lebih besar. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilannya. Meski secara sosial mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan sebagai tanda pembangkangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat.
Bentuk kongkrit patologi sosial yang diperankan anak-anak jalanan sebagaimana dilakukan orang dewasa, seperti: menenggak minuman keras, judi serta menggemari perilaku seks bebas (free sex). Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan. Secara bertahap anak jalanan akan mengalami perubahan perilaku ke arah pelanggaran norma dan hukum. Mereka mulai liar, cuek, seenaknya, dan tidak peduli terhadap orang lain. Perubahan perilaku tampak dari ucapan dan tindakan, kata-kata kotor dan makian sering diucapkan oleh anak jalanan (Andari, 2003). Kadang mereka juga berbuat hal-hal yang dapat merugikan orang lain, misalnya berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan, merusak body mobil dengan goresan dan lain-lain.
                         
III.      KESIMPULAN
Patologi artinya ilmu tentang penyakit (ilmu kedokteran); agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada manusia yang menderita semua jenis penyakit tersebut. Anak jalanan adalah bentuk patologi sosial yang timbul melalui keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Banyak anak-anak jalanan yang harus gagal dalam menghadapi iklim kehidupan yang keras tersebut.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama, khususnya tanggung jawab Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, yang turut serta mengesahkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan konsekuensi harus melaksanakannya. Pada Konvensi Hak Anak PBB terdapat hak anak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan, seperti: kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan, memperoleh informasi, perlindungan akibat kekerasan fisik, mental, penelantaran, kejahatan seksual. Perlindungan anak jalanan mengacu pada UUD 1945 pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Landasan ini ditindaklanjuti dengan UU Nomor 4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak, disebutkan bahwa kesejahteraan anak yang dapat menjamin kehidupan dan penghidupan, yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial adalah tanggung jawab orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

1.     Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, 1993, Jakarta
2.     Budhi Mulyadi, 2009, Studi Fenomenologi, tesis FIK-UI, Jakarta
3.     Buyung Riady, 2011, Tindakan sosial anak jalanan (pengamen) di kawasan Pantai Losari, Skripsi, Ujung Pandang.
4.     Clemens Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn and Bacon Fourth Edition, 1985
5.     Conyer Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta :  Gajah Mada University Press.
6.     Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
7.     Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005
8.     Irwanto, Farid, M. & Anwar, J. (1998). Situational analysis of children in need of special protection. Jakarta: CSDS Atma Jaya & UNICEF.
9.     Irwanto et al. (2001). Trafficking of children in Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia and ILO-IPEC.
10.  Irwanto (1995). A review of the life styles of street children in Jakarta: Toward the development of STD and HIV prevention programmes. Unpublished monograph. Atmajaya Research Center-PACT.
11.  Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,
12.  Kartini Kartono, Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006
13.  Kartono, K. 2002. Patologi Sosial, Jilid I, Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta; PT Raja Gravindo Persada.
14.  L. Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency: A Metamorphosis of the Impact of Broken Homes Sosial Problems, London, 1991
15.   Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1997
16.  Shin-ichi MATSUMOTO, 2000, street children’s problem and servives in Indonesia; centering of Jakarta, Wheat sheaf books; Sussex.
17.  Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989, hlm.10-11.
18.  Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004
19.  Soetomo, Drs., 1995, Masalah Sosial dan Pembangunan, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.



[1] Mahasiswa S-3, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK- PTIK, 2015
[2] Theory of hierarchy of need by Abraham Maslow.

No comments:

Post a Comment