Monday, September 28, 2015

Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles By Franz Magnis Suseno (Filsafat Book Review)



Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles
By Franz Magnis Suseno (Filsafat Book Review)

Pengantar
Tulisan ini merupakan book review dari buku yang berjudul “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles”, karya Franz Magnis Suseso terbitan tahun 2009. Pandangan saya terhadap judul buku tersebut adalah bagaimana kita menjadi manusia pembelajar sesuai ajaran Aristoteles.

Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak merupakan cita-cita kita semua, manusia. Di kiri kanan kita jumpai manusia yang bengkok, miring, berat sebelah, aneh, setengah lumpuh. Dan tidak utuh. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita terancam oleh kemiringan itu, bahwa kita sendiri sering lumpuh secara fisik atau jiwani, bahwa hidup kita jauh dibawah kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi kita. Kita tidak utuh.

Aristoteles[1], disamping Platon filosof Yunani paling besar, persis menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh. Selama sekitar seribu tahun Aristoteles agak dilupakan. Ditemukan kembali oleh para filosof Islam, terutama Ibn Rushd (1126-1198), yang dijuluki sebagai “Sang Bijak” dari Cordova. Dari Ibn Rushd, Aristoteles diperkenalkan ke Eropa pada abad pertengahan di mana Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikan dasar system filosofisnya. Maka sejak itu Aristoteles dikenal sebagai seorang “filosof”.

Tujuan manusia
Etika Nikomacheia yang terkenal dimulai dengan kalimat,”Setiap ketrampilan adalah ajaran, begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai”. Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena suatu tujuan, yaitu sebuah nilai. Apabila manusia mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah; Apakah tujuan manusia?

Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menjunjang tercapainya tujuan manusia, itu tidak masuk akal. Itulah prinsip etika Aristoteles dan karena itu, etika Aristoteles masuk akal. Pendekatan Aristoteles moralitas yang diajarkan tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kita akan melihat dengan lebih baik ajaran agama apabila memahami pertimbangan Aristoteles. Ia selalu menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk yang berfikir dapat mengetahui bagaimana ia seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara analitis melalui langkah-langkah logis yang bertolak dari sebuah fakta; bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.

Ada dua macam tujuan manusia, yaitu tujuan sementara dan  tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Sedangkan tujuan terakhir mestinya sesuatu yang jika tercapai maka tidak ada lagi minat untuk menggapainya, atau mencarinya. Apakah tujuan akhir itu? Aristoteles menjawab tegas; KEBAHAGIAAN!

Jawaban Aristoteles diatas sangat masuk akal, karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia. Kita semua menginginkan kebahagiaan, sehingga apapun tujuan manusia apabila tidak tercapai, maka akan tidak membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, kita dituntut memiliki moral, yang bertujuan mengantar manusia menuju tujuan kebahagiaan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan;
pertama, Kebahagiaan sebagai tujuan tujuan terakhir manusia, tidak perlu dipertentangkan dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Agama justru menegaskan bahwa tujuan akhir itu menghasilkan kebahagiaan, yaitu syurga atau nirwana. Hal ini selaras dengan pandangan Aristoteles, bahwa tuijuan akhir manusia adalah kebahagiaan, karena menurut Agama manapun, penghormatan (pemujaan) terhadap Tuhan adalah merupakan kebahagiaan tertinggi bagi manusia.
Kedua, kalua kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka menjadi semakin jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup dianggap tidak memadai lagi. Aristoteles menyebut 2 (dua) tujuan hidup yang salah, yaitu money (uang) dan fame (ketersohoran[2]).  
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagiaan itu bukan semacam sasaran yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah sesuatu yang lebih bersifat “diberikan” daripada “direbut”. Kita akan menerima kebahagiaan, apabila kita menjalani hidup yang menunjang kebahagiaan tersebut. Jadi, hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?
  
Mencari nikmat sebanyak-banyaknya?
Mencari nikmat jasmani dan menghindari perasaan sakit adalah apa yang kita miliki bersama dengan binatang, jadi bukan khas manusia. Berfokus pada kecenderungan alami ini akan menggagalkan kita dalam usaha menjadi manusia utuh.

Filosof Aristoteles menjelaskan, hanya orang yang mampu menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Yang harus kita kendalikan adalah kelakuan (hawa nafsu) yang bisa menghasilkan kebahagiaan. Nah, kelakuan manakah itu? Salah satu jawaban yang berulang kali  diberikan dalam filsafat dilontarkan oleh Epikuros [3](341-270), adalah sederhana dan sepintas sangat masuk diakal, yaitu; ‘kalau ingin bahagia, hindari perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat”.

Aristoteles ternyata serta merta menolak hedonism. Etika Nikomacheia menyebutkan 3 (tiga) pola hidup yang membawa kepuasan dalam dirinya sendiri; hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan berfilsafat. Namun yang pertama langsung disebutnya sebagai “pola hidup ternak”. Binatang melakukan  apapun semata-mata demi pencapaian nikamt (misalnya makan dan seksualitas).

Filsafat dan politik
“Bagi orang yang benar-benar jujur, bertindak jujur tidak berat. Ia tidak akan bohong untuk menyembunyikan sesuatu. Ia tidak menipu, dan sendirinya akan menolakterlibat dalam korupsi, karena ia seorang pribadi yang kuat. Sedangkan bagi orang yang tidak jujur, bertindak jujur selalu susah dan biasanya mengalah terhadap godaan dan akhirnya bertindak curang”. (Welcome to politics for you).

Kita sudah melihat jawaban Aristoteles,  ada tiga cara hidup yang bisa menjadi tujuan, yaitu; hidup mengejar nikmat, filsafat dan politik. Pilihan pertama ditolak Aristoteles, tinggal pada pilihan filsafat dan politik. Dalam tulisan Etika Nikomacheia, politik yang dimaksud oleh Aristoteles adalah berpolitik dalam negara kota Yunani (Polis), dimana orang masih dapat saling mengenal.

Berapa banyak manusia sempat berfilsafat dan berpolitik? Bahkan di negara demokratis kebanyakan warga negara berpolitik hanya dengan mengikuti pemilihan umum beberapa tahun sekali. Tentang filsafat, yaitu suatu kegiatanyang ber”theoria”. Dalam Yunani, theoria berarti “memandang”, merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang berubah, realitas illahi. Sehingga, manusia mengarahkan dirinya kepada realitas yang abadi. Dengan cara ini, manusia memperoleh Sophia (kebijaksanaan.

Aristoteles menjelaskan mengapa orang berbagagia dengan berfilsafat. Dengan berfilsafat, manusai mengangkat rohnya kea lam yang berbeda, melampaui batas-batas fisik jasmaninya. Melampaui dimensi ruang dan waktu. Namun seiring dengan munculnya filsafat timur, seperti Zoroaster, India, Budhisme, Tionghoa, Spekulasi Mistik Jawa dan munculnya agama monoteisme (Yahudi, Kristen, Islam), maka kesatuan ini terpecah. Renungan filosofis tentang Illahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup manusia pada wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Dan terlebih lagi, monoteisme membuka perspektif yang sama sekali baru, dengan penegasan bahwa “hidup tidak selesai dengan kematian”, melainkan pencapaian eksistensi yang tetap setelah kematian, entah di syurga atau neraka. Penegasan Aristoteles bahwa berfilsafat  merupakan kegiatan tertinggi bisa diartikan sebagai penegasan bahwa kita harus hidup dengan sadar, dengan rasio masuk akal, kritis, reflektif, dialogis, dan dalam diskursus. Sikap ini menuntut keterbukaan, keinginan untuk belajar terus, dan tak pernah berhenti ingin tahu, sikap kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus dengan semua yang terlibat, dan sikap rendah hati, karena seorang “filosof” selalu akan tahu bahwa banyak sekali yang belum dipahami.

Aristoteles memikirkan polis, negara kota khas Yunani. Dalam polis, setiap warga negara ikut mengurus masyarakat.karena itu dalam polis, kegiatan politik memang terbuka bagi setiap warga negara. Bagi laki-laki Yunani, terjun dalam pengurusan Polis, menjadi puncak cita-citanya untuk menjadi manusia terhormat. Berpolitik merupakan puncak kesosialan manusia (zoon politikon). Maka secara harfiah, arti berpolitik adalah keterlibatan penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi-dimensi yang terbuka baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun. Mereka yang tidak langsung berpolitik tetap diharapkan memperhatikan apa yang terjadi di dalam masyarakat, itupun deng penuh rasa tanggung jawab.  

Kita dapat merangkum, bahwa manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri, dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya.  Pengembangan diri melalui pendidikan yang bermutu merupakan tujuan penting dalam persiapan menghadapi tantangan nyata. Tentu saja  tidak ringan, namun yang terpenting adalah bahwa kita tidak bisa berkembang dengan hanya memandang, merenungkan, dan merefleksikan diri (walau kadang perlu), melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam situasi tertentu diharapkan dari kita.


Kebijaksanaan dan rasionalitas
Aristoteles menegaskan bahwa manusia yang mau menjadi utuh, mantap dalam dirinya dan mengalami kehidupannya sebagai bermakna harus mengembangkan keutamaan intelektual dan etis. Orang yang mempunyai keutamaan menjadi manusia yang berbudi luhur. Aristoteles membedakan keutamaan menjadi dua macam, yaitu keutamaan dalam berfikir dan keutamaan dalam bertindak.

Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat penting bagi kita. Kalua kita “bijaksana”, kita menjadi biasa bertindak dengan tepat dalam berbagai macam situasi. Phronesis (rasa dalam Bahasa Jawa) tahu bagaimana harus membawa diri dan bagaimana menghadapi orang lain. Phronesis (Rasa) tumbuh berkembang melalui pengalaman dan lebih penting dari sekedar episteme (ketajaman pengetahuan ilmiah). Meskipun diperlukan pengetahuan episteme untuk pemecahan masalah-masalah spesifik dan detail profesi, namun Phronesis membawa manusia untuk lebih pandai dan benar dalam membawa diri melalui kemampuan bertindak maupun komunikasi yang tepat dan etis.


Manusia utama
Kebijaksanaan (Phronesis) merupakan semacam wawasan intelektual yang akan berguna apabila didukung oleh keutamaan etis. Hanya orang yang mantap dalam bertindak secara etis akan tetap bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang tidak tertanam dalam kepribadian etis, lama kelamaan akan merosot menjadi kepintaran dan oportunisme belaka. Tetapi kepintaran saja tidak cukup untuk mendukung terwujudnya kepribadian yang mantap, kuat dan dapat diandalkan. Ketertanaman sikap etis dalam kepribadian seseorang itulah yang dimaksud oleh Aristoteles dengan keutamaan.

Manusia utama mesti mantap dan gembira karena baginya bertindak secara etis menjadi gampang dan sebaliknya, bertindak dengan tidak etis justru susah dan menyengsarakannya. Kita bisa mengambil contoh masalah kejujuran. Orang yang betul-betul jujur, bertindak jujur merupakan sesuatu yang ringan dan tidak berat. Demikian sebaliknya.

Contoh kejujuran diatas memperlihatkan mengapa Aristoteles menghubungkan kehidupan bermoral dengan rasa nikmat-gembira dan rasa sedih-sakit. Menjadi orang berkeutamaan berarti belajar merasa gembira apabila ia bertindak sesuai dengan keutamaan etis, dan merasa sedih atau resah apabila bertindak tidak etis. Tapi bagaimana kita memperoleh keutamaan? Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan bukan suatu nafsu maupun sudah bakat alami, melainkan sesuatu yang harus kita pelajari.

Bagaimana mempelajari keutamaan? Aristoteles menjawab; melalui kebiasaan. Orang yang ingin mengembangkan keutamaan harus membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu. Makin lama berusaha, maka akan semakin mudah keutamaan tersebut dilakukan. Hingga akhirnya bertindak menurut keutamaan itu akan menjadi kodratnya. Pembiasaan untuk bertindak jujur, adil, menepati janji, tidak berkeras hati dan berbagai jenis keutamaan lain juga didukung oleh pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal. Tentu, pendidikan adalah lebih daripada semacam pengkondisian, tetapi pembiasaan, belajar melakukan sesuatu secara rutin, gampang dan seakan-akan dengan sendirinya (otomatis) merupakan unsur penting dalam pembangunan karakter.

Dalam kaitan itu, Aristoteles menegaskan suatu yang sampai hari ini masih kontroversial, yaitu tanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas perkembangan kita menjadi manusia seutuhnya. Dari sini, kita dituntut untuk belajar bahwa kita harus mengetahui diri kita sendiri untuk lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan. Justru kelemahan itulah yang harus dilawan. Seperti misalnya sifat kikir, harus belajar untuk bermurah hati, dan sebagainya.

Persahabatan
Manusia mencapai puncak keutamaan dalam persahabatan sejati. Persahabatan sejati bukan kebahagiaan diri sendiri, melainkan kebahagiaan sahabatlah yang membuat kita bahagia. Persahabatan termasuk hal yang sangat perlu dan penting dalam kehidupan manusia. Persahabatan dalam arti sebenarnya adalah persahabatan antara dua manusia yang saling mencintai. Aristoteles menuliskan dengan indah, bahwa keutamaan diantara para sahabat adalah “cinta”. Persahabatan dua insan (pria dan wanita), bukan semata-mata demi kelangsungan keturunan, namun demi persatuan hidup kedua orang tersebut.

Aristoteles menegaskan bahwa manusia tidak mungkin bahagia sendirian, namun perlu sahabat untuk kebersamaan dan berkomunikasi untuk menemukan hakekat “diri sendiri’ melalui cinta. Cinta itu yang nampaknya membuat kita terikat, namun justru membebaskan kita dari keterikatan pada diri sendiri, sehingga dengan demikian kita justru semakin menjadi diri sendiri.

Hidup yang bermutu
Disini Aristoteles memberi pesan penting, bahwa manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Sekali lagi, manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan memiliki sesuatu, melainkan mengerahkan diri pada usaha bersama bagi sahabat, lingkungan dan masyarakatnya. Adalah lebih luhur mati demi sahabat daripada hidup tetapi meninggalkannya. (Reviewed by Eko SUDARTO)

 


[1] Aristoteles (384 SM – 322 SM). Ia dilahirkan di Stagyra. Pada tahun 335 mendirikan perguruan lykaion. Membuat buku-buku di Athena yang salah satunya sangat terkenal berjudul Etika Nikomancheia, yang memuat filsafat moral.
[2] Kalau ketersohorannya itu karena mutu dan prestasinya, maka mutu dan prestasinya itu yang perlu diusahakan, bukan keinginannya untuk tersohor.
[3] Yang mengemukakan hedonisme (Yunani; hedone berarti nikmat kegembiraan) adalah kaum sofis, suatu aliran filsafat yunani kuno, sebelum Platon, John Stuart Mill (abad ke 19) dan Moritz Schlick (abad ke-20) mempertahankan hedonisme.

Sunday, September 27, 2015

High Context and Low Context communication (Komunikasi Pada Fungsi Reserse dan Pada Fungsi Intelijen)




High Context and Low Context communication
(Komunikasi Pada Fungsi Reserse dan Pada Fungsi Intelijen)
 Oleh; Eko SUDARTO

Pendahuluan
Pada tulisan berikut ini ditujukkan perbedaan komunikasi yang bersifat high context dan low context pada 2 (dua) fungsi di lingkungan operasional Polri, yaitu Fungsi Reserse dan Fungsi Intelijen. Ketika berlangsung suatu proses komunikasi, maka pada saat itu baik “komunikator” (orang yang berbicara) maupun “komunikan” (orang yang diajak bicara), sangat diperngaruhi pula oleh kebiasaan (habitual) yang dimiliki sebagai latar belakang. Secara umum bahwa mereka tidak memiliki kebiasaan yang sama karena dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan pekerjaannya. Ketika itulah manusia berkomunikasi melintasi kebiasaan yang berbeda, sehingga komunikasi antara personil kedua fungsi tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari proses terbentuknya kebiasaan atau budaya kepolisian.
Pentingnya memahami latar belakang (profesi kebiasaan) seseorang, disamping akan mempermudah kita dalam berinteraksi dan menemukan kesesuaian dalam berkomunikasi secara efektif, juga menuntun kita kepada pemahaman akan kebiasaan yang membentuk suatu budaya.

Pengertian teori High Context dan Low Context
Edward T. Hall mengemukakan sebuah  teori Low Context Culture & High Context Culture yang didasari pada teori individual dan collectivism. Low context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya individual, sedangkan High context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya kolektif. Edward T. Hall (1973) menjelaskan perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks budaya rendah. 
Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbal. Sebagaimana Edward T. Hall (1976) menyatakan bahwa,”A high context (HC) communication or message is one in which most of the information is already in the person, while very little is in the coded, explicit, transmitted part of the message”.
Konteks budaya rendah (A low context / LC) ditandai dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus terang. Pada budaya konteks rendah mereka mengatatakan maksud (They say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakan (they mean what they way). Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High Context Culture. Jelasnya ditegaskan bahwa,”A low context (LC) communication is just the opposite of high context (HC), the mass of the information is vested in the explicit code”.
Namun dalam kenyataannya, sebuah kebiasaan tidak secara utuh dikategorikan High Context Culture karena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Demikian pula sebaliknya dalam sebuah kebiasaan yang didominasi Low Context Culture didalamnya terdapat bagian High Context Culture. High Context adalah perkataan atau pernyataan yang sekedar basa basi atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi arti yang serius, maksudnya adalah type high contect ini merupakan type yang suka berputar-putar dalam memberikan pernyataan sebelum menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya. Sedangkan Low Context adalah perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. Low context memang kebalikan dari High Context.
Sebagai contoh di lapangan  adalah masalah pengungkapan kasus-kasus kriminalitas oleh reserse dan pengungkapan kasus-kasus kriminalitas oleh Intelijen. Secara konseptual, kedua fungsi tersebut dipercayakan untuk saling mendukung dalam proses pengungkapan suatu kasus criminal, baik pada level terkecil di satuan setingkat Polsek, Polres hingga ke level Polda bahkan Mabes Polri. Namun realitanya, sangat jarang suatu keberhasilan pengungkapan kasus kriminalitas berhasil melalui proses kerjasama kedua fungsi tersebut. Nampaknya metode dan dinamika operasional menjadi alasan terjadinya perbedaan tersebut.
Ada 2 (dua) tipe komunikasi yang dapat diinterpretasikan dalam dinamika operasional kedua fungsi tersebut, yaitu High Context dan Low Context. Pada type pertama Fungsi Intelijen, bahwa dalam hal ini dapat dipandang sebagai High Context membutuhkan informasi-informasi tambahan untuk memahami arti dari isi atau pesan komunikasinya. Pada High Context sifatnya terkadang tidak to the point alias tersirat. Hal ini menjadi wajar karena sifat investigasi Intelijen yang beranjak dari luar (arena TKP). Sementara type kedua, yaitu Fungsi Reserse dipandang sebagai Low Context relatif mudah diinterpretasikan atau dicerna kata-katanya, karena disitu menampilkan makna tersurat, tidak bermakna ganda sehingga tidak perlu banyak usaha untuk mengartikannya.
Pada asumsi kasus diatas dapat premis bahwa ketika sebuah tugas operasi itu tidak ditujukan dengan jelas untuk siapa dan apa yang diharapkan darinya, bisa dikatakan bahwa si pemberi perintah sedang melakukan High Context Communication. Apabila mengharapkan perubahan pada mekanisme operasional, maka seharusnya yang digunakan adalah Low Context Communication, dimana tipe tersebut merupakan type yang to the point pada permasalahan dan spesifik dari sisi target khalayak maupun perilaku yang diharapkan.

Sebagai detail perbedaan komunikasi Low Context Culture & High Context Culture pada kedua fungsi tersebut, dapat dijelaskan sebagaimana diagram berikut:
Factor
High-context culture
Low-context culture
Pola Komunikasi
Banyak menggunakan metafora pesan-pesan yang implisit. Tidak  to the pointAnggota berlatar belakang intelijen sangat kental dengan pola komunikasi yang tidak “to the point” dengan kata-kata halus (sandi) dan cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga kerahasiaan dan perasaan lawan bicara agar tidak mengetahui latar belakang anggota tersebut.
Pesan yang disampaikan “to the point” tidak berputar-putar. Anggota dengan latar belakang reserse berbicara dengan logat lugas dan “to the point”.  Hal ini cerminan dari kebiasaan untuk memperoleh informasi secara langsung, sehingga orang harus berbicara apa adanya.

Sikap diri apabila terjadi kesalahan
Menerima/menyikapi kesalahan yang terjadi sebagai kesalahan pribadi, cenderung untuk menginternalisasi banyak hal. Kebiasaan anggota intelijen indentik dengan hal-hal yang lembut, dingin dan halus, kesannya cenderung mengalah agar tidak terbuka kamuflasenya (penyamarannya)
Menilai kesalahan terjadi karena faktor eksternal/orang lain. Kebiasaan anggota reserse  dikenal dengan kebiasaan tidak mau mengalah dan cenderung berargumentasi. Hal ini dikarenakan kebiasaannya melakukan investigasi dan mencari alibi.
Penggunaan
komunikasi
non-verbal
Menggunakan komunikasi non-verbal dengan ekstensif. Kebiasaan anggota  intelijen  relatif lebih menggunakan komunikasi nonverbal (isyarat atau sandi). Seperti gerakan tangan,anggukan kepala dan diam.
cenderung untuk menggunakan komunikasi verbal daripada non-verbal. Kebiasaan anggota  reserse cenderung berbicara secara tegas dan langsung pada pokok masalah menjelaskan pentingnya penggunaan komunikasi verbal.
ekspresi
Reserved, mendem jero, ilmu padi (semakin berisi semakin merunduk-rendah hati). Kebiasaan anggota  intelijen  umumnya lebih senang memendam perasaan dan secara emosional terlalu perasa dan terkesan agak penurut kepada orang lain. Anggota Intelijen  lebih banyak diam dibandingkan mengungkapkan secara verbal. Lebih kalem dan tidak banyak berbicara. Diam dalam kebiasaan Intelijen diartikan sebagai berfikir dan menganalisa.
ekspresif, kalau tidak suka/tidak setujuterhadap sesuatu akan disampaikan,tidak dipendam Kebiasaan anggota reserse  tidak lepas dari lingkungan pekerjaannya yaitu terbuka dalam segala hal. Diam diartikan menolak atau tidak setuju dalam kebiasaan anggota reserse mencerminkan pentingnya ekpresi mengenai persetujuan. Lebih ekspresif dan argumentative serta investigative.
Orientasi kepada kelompok
Pemisahan yang jelas antaraKelompok saya VS bukan kelompok saya. Kebiasaan anggota reserse  lebih memiliki orientasi pada kelompok lebih tinggi. Tercermin dengan adanya unit (satgas-satgas khusus)  dalam kelompok kekerabatan yang sangat dipegang teguh. Karena kekerabatan ini dianggap penting menyangkut keselamatan dan saling melindungi.
Terbuka tidak terikat dalam satu kelompok, bisa berpindah-pindah sesuai kebutuhan. Kebiasaan anggota intelijen  cenderung luwes dalam melihat perbedaan dalam kelompoknya dan luar kelompoknya dengan menjadikan kelompok lain sebagai referensi untuk menilai kelompoknya. Selain itu pola hubungan tetap terbangun diantara kelompoknya dan kelompok lain.
Ikatan kelompok
Memiliki ikatan kelompok yang sangat kuat, baik itu keluarga maupun kelompok masyarakat. Kebiasaan anggota reserse mencerminkan kuatnya ikatan kelompok dalam lingkungan pekerjaannya.
Cenderung untuk tidak memiliki ikatan kelompok yang kuat- lebih individual. Kebiasaan anggota intelijen memiliki sifat pertalian yang kuat dalam masyarakat. Jalinan kekerabatan dan silaturahmi yang selalu terjaga menjadi modal anggota intelijen dalam kehidupan bermasyarakat.
Komitmen terhadap hubungan dengan sesama
Komitmen yang tinggi terhadap hubungan jangka panjang-hubungan baik lebih penting daripada hubungan tugas/pekerjaan. Kebiasaan anggota  intelijen  dikenal dengan sistem kekerabatannya yang kental. Sikap saling mengenal, saling bahu-membahu (gotong-royong) menjadi ciri dari anggota intelijen. Dalam memandang persepsi tugas dan relasi, anggota intelijen cenderung mengutamakan relasi sosial dan menjadikannya sebagai media untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama (gotong-royong)
Komitmen yang rendah terhadap hubungan antar sesama- hubungan tugas/pekerjaan lebih penting dari hubungan baik. Kebiasaan personil reserse  lebih mengutamakan tugas/pekerjaan. Dalam dunia reserse esprit de corp penyidik, sehingga anggota reserse memiliki sifat kompetitif dan daya saing yang tinggi. Dengan demikian anggota resersepun dinilai lebih profesional
Fleksibilitas terhadap waktu
Waktu bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah garis-proses lebih penting daripada hasil akhir. Kebiasaan anggota reserse  lebih disiplin mengenai waktu, dikarenakan dikejar tengat waktu dalam proses penyidikan maupun pengungkapan suatu perkara (kasus).
Waktu adalah sebuah titik, jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terbuang percuma-hasil akhir lebih penting daripada proses. Kebiasaan anggota intelijen dalam  Konsep waktu cenderung fleksible dan bersifat luwes, karena perlu kesabaran dalam proses penyelidikan.

            Sebagaimana dijelaskan bahwa sebuah kebiasaan tidak secara utuh dikategorikan sepenuhnya High Context Culture karena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Dalam beberapa factor dijelaskan dalam diagram bahwa sebuah kebiasaan yang didominasi Low Context Culture didalamnya terdapat bagian High Context Culture.
Penutup
Edward T.hall dalam bukunya The dance of Life panjang lebar membahas arti pentingnya waktu bagi komunikasi antarbudaya. Menurut Hall, suatu kendala dalam hubungan antarbudaya bahwa setiap budaya memiliki kerangka waktunya sendiri yang ditandai dengan pola-pola yang unik. Pentingnya waktu bagi dalam komunikasi antar budaya adalah bahwa seringkali waktu dengan konteks tertentu (pagi, siang, sore, malam, cepat, lambat, dan sebagainya) memberikan makna tertentu kepada pesan yang disampaikan dan sebagai konsekuensinya juga membawa efek tertentu. 




Daftar Pustaka
Ampulembang Amran (2001), Perilaku Unit Kerja Reserse Dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Di Polres Depok, thesis, KIK-UI, Jakarta.

HALL, EDWARD T. The Silent Language. Garden City, N.Y.:Doubleday & Company, Inc., 1959. "Adumbration in Intercultural Communication." The Ethnography of Communication, Special Issue, American Anthropologist, Vol. 66, No. 6, Part II (December 1964),pp. 154-63.

-----"Silent Assumptions in Social Communication." Disorders of Communication, Vol. XLH, edited by Rioch and Weinstein. Research Publications, Association for Research in Nervous and Mental Disease, Baltimore: Williams and Wilkins Company, 1964.

—— "A System for the Notation of Proxemics Behavior. “American Anthropologist, Vol. 65, No. 5 (October 1963), pp. 1003-26.

Nasution, CBS (2001), Perilaku anggota unit operasional satuan intelijen dan pengamanan dipolresta bogor, thesis, KIK-UI, Jakarta.




Jakarta, 27 September 2015
Eko SUDARTO
S32015226003