Monday, September 28, 2015

Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles By Franz Magnis Suseno (Filsafat Book Review)



Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles
By Franz Magnis Suseno (Filsafat Book Review)

Pengantar
Tulisan ini merupakan book review dari buku yang berjudul “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles”, karya Franz Magnis Suseso terbitan tahun 2009. Pandangan saya terhadap judul buku tersebut adalah bagaimana kita menjadi manusia pembelajar sesuai ajaran Aristoteles.

Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak merupakan cita-cita kita semua, manusia. Di kiri kanan kita jumpai manusia yang bengkok, miring, berat sebelah, aneh, setengah lumpuh. Dan tidak utuh. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita terancam oleh kemiringan itu, bahwa kita sendiri sering lumpuh secara fisik atau jiwani, bahwa hidup kita jauh dibawah kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi kita. Kita tidak utuh.

Aristoteles[1], disamping Platon filosof Yunani paling besar, persis menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh. Selama sekitar seribu tahun Aristoteles agak dilupakan. Ditemukan kembali oleh para filosof Islam, terutama Ibn Rushd (1126-1198), yang dijuluki sebagai “Sang Bijak” dari Cordova. Dari Ibn Rushd, Aristoteles diperkenalkan ke Eropa pada abad pertengahan di mana Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikan dasar system filosofisnya. Maka sejak itu Aristoteles dikenal sebagai seorang “filosof”.

Tujuan manusia
Etika Nikomacheia yang terkenal dimulai dengan kalimat,”Setiap ketrampilan adalah ajaran, begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai”. Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena suatu tujuan, yaitu sebuah nilai. Apabila manusia mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah; Apakah tujuan manusia?

Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menjunjang tercapainya tujuan manusia, itu tidak masuk akal. Itulah prinsip etika Aristoteles dan karena itu, etika Aristoteles masuk akal. Pendekatan Aristoteles moralitas yang diajarkan tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kita akan melihat dengan lebih baik ajaran agama apabila memahami pertimbangan Aristoteles. Ia selalu menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk yang berfikir dapat mengetahui bagaimana ia seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara analitis melalui langkah-langkah logis yang bertolak dari sebuah fakta; bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.

Ada dua macam tujuan manusia, yaitu tujuan sementara dan  tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Sedangkan tujuan terakhir mestinya sesuatu yang jika tercapai maka tidak ada lagi minat untuk menggapainya, atau mencarinya. Apakah tujuan akhir itu? Aristoteles menjawab tegas; KEBAHAGIAAN!

Jawaban Aristoteles diatas sangat masuk akal, karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia. Kita semua menginginkan kebahagiaan, sehingga apapun tujuan manusia apabila tidak tercapai, maka akan tidak membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, kita dituntut memiliki moral, yang bertujuan mengantar manusia menuju tujuan kebahagiaan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan;
pertama, Kebahagiaan sebagai tujuan tujuan terakhir manusia, tidak perlu dipertentangkan dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Agama justru menegaskan bahwa tujuan akhir itu menghasilkan kebahagiaan, yaitu syurga atau nirwana. Hal ini selaras dengan pandangan Aristoteles, bahwa tuijuan akhir manusia adalah kebahagiaan, karena menurut Agama manapun, penghormatan (pemujaan) terhadap Tuhan adalah merupakan kebahagiaan tertinggi bagi manusia.
Kedua, kalua kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka menjadi semakin jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup dianggap tidak memadai lagi. Aristoteles menyebut 2 (dua) tujuan hidup yang salah, yaitu money (uang) dan fame (ketersohoran[2]).  
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagiaan itu bukan semacam sasaran yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah sesuatu yang lebih bersifat “diberikan” daripada “direbut”. Kita akan menerima kebahagiaan, apabila kita menjalani hidup yang menunjang kebahagiaan tersebut. Jadi, hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?
  
Mencari nikmat sebanyak-banyaknya?
Mencari nikmat jasmani dan menghindari perasaan sakit adalah apa yang kita miliki bersama dengan binatang, jadi bukan khas manusia. Berfokus pada kecenderungan alami ini akan menggagalkan kita dalam usaha menjadi manusia utuh.

Filosof Aristoteles menjelaskan, hanya orang yang mampu menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Yang harus kita kendalikan adalah kelakuan (hawa nafsu) yang bisa menghasilkan kebahagiaan. Nah, kelakuan manakah itu? Salah satu jawaban yang berulang kali  diberikan dalam filsafat dilontarkan oleh Epikuros [3](341-270), adalah sederhana dan sepintas sangat masuk diakal, yaitu; ‘kalau ingin bahagia, hindari perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat”.

Aristoteles ternyata serta merta menolak hedonism. Etika Nikomacheia menyebutkan 3 (tiga) pola hidup yang membawa kepuasan dalam dirinya sendiri; hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan berfilsafat. Namun yang pertama langsung disebutnya sebagai “pola hidup ternak”. Binatang melakukan  apapun semata-mata demi pencapaian nikamt (misalnya makan dan seksualitas).

Filsafat dan politik
“Bagi orang yang benar-benar jujur, bertindak jujur tidak berat. Ia tidak akan bohong untuk menyembunyikan sesuatu. Ia tidak menipu, dan sendirinya akan menolakterlibat dalam korupsi, karena ia seorang pribadi yang kuat. Sedangkan bagi orang yang tidak jujur, bertindak jujur selalu susah dan biasanya mengalah terhadap godaan dan akhirnya bertindak curang”. (Welcome to politics for you).

Kita sudah melihat jawaban Aristoteles,  ada tiga cara hidup yang bisa menjadi tujuan, yaitu; hidup mengejar nikmat, filsafat dan politik. Pilihan pertama ditolak Aristoteles, tinggal pada pilihan filsafat dan politik. Dalam tulisan Etika Nikomacheia, politik yang dimaksud oleh Aristoteles adalah berpolitik dalam negara kota Yunani (Polis), dimana orang masih dapat saling mengenal.

Berapa banyak manusia sempat berfilsafat dan berpolitik? Bahkan di negara demokratis kebanyakan warga negara berpolitik hanya dengan mengikuti pemilihan umum beberapa tahun sekali. Tentang filsafat, yaitu suatu kegiatanyang ber”theoria”. Dalam Yunani, theoria berarti “memandang”, merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang berubah, realitas illahi. Sehingga, manusia mengarahkan dirinya kepada realitas yang abadi. Dengan cara ini, manusia memperoleh Sophia (kebijaksanaan.

Aristoteles menjelaskan mengapa orang berbagagia dengan berfilsafat. Dengan berfilsafat, manusai mengangkat rohnya kea lam yang berbeda, melampaui batas-batas fisik jasmaninya. Melampaui dimensi ruang dan waktu. Namun seiring dengan munculnya filsafat timur, seperti Zoroaster, India, Budhisme, Tionghoa, Spekulasi Mistik Jawa dan munculnya agama monoteisme (Yahudi, Kristen, Islam), maka kesatuan ini terpecah. Renungan filosofis tentang Illahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup manusia pada wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Dan terlebih lagi, monoteisme membuka perspektif yang sama sekali baru, dengan penegasan bahwa “hidup tidak selesai dengan kematian”, melainkan pencapaian eksistensi yang tetap setelah kematian, entah di syurga atau neraka. Penegasan Aristoteles bahwa berfilsafat  merupakan kegiatan tertinggi bisa diartikan sebagai penegasan bahwa kita harus hidup dengan sadar, dengan rasio masuk akal, kritis, reflektif, dialogis, dan dalam diskursus. Sikap ini menuntut keterbukaan, keinginan untuk belajar terus, dan tak pernah berhenti ingin tahu, sikap kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus dengan semua yang terlibat, dan sikap rendah hati, karena seorang “filosof” selalu akan tahu bahwa banyak sekali yang belum dipahami.

Aristoteles memikirkan polis, negara kota khas Yunani. Dalam polis, setiap warga negara ikut mengurus masyarakat.karena itu dalam polis, kegiatan politik memang terbuka bagi setiap warga negara. Bagi laki-laki Yunani, terjun dalam pengurusan Polis, menjadi puncak cita-citanya untuk menjadi manusia terhormat. Berpolitik merupakan puncak kesosialan manusia (zoon politikon). Maka secara harfiah, arti berpolitik adalah keterlibatan penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi-dimensi yang terbuka baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun. Mereka yang tidak langsung berpolitik tetap diharapkan memperhatikan apa yang terjadi di dalam masyarakat, itupun deng penuh rasa tanggung jawab.  

Kita dapat merangkum, bahwa manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri, dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya.  Pengembangan diri melalui pendidikan yang bermutu merupakan tujuan penting dalam persiapan menghadapi tantangan nyata. Tentu saja  tidak ringan, namun yang terpenting adalah bahwa kita tidak bisa berkembang dengan hanya memandang, merenungkan, dan merefleksikan diri (walau kadang perlu), melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam situasi tertentu diharapkan dari kita.


Kebijaksanaan dan rasionalitas
Aristoteles menegaskan bahwa manusia yang mau menjadi utuh, mantap dalam dirinya dan mengalami kehidupannya sebagai bermakna harus mengembangkan keutamaan intelektual dan etis. Orang yang mempunyai keutamaan menjadi manusia yang berbudi luhur. Aristoteles membedakan keutamaan menjadi dua macam, yaitu keutamaan dalam berfikir dan keutamaan dalam bertindak.

Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat penting bagi kita. Kalua kita “bijaksana”, kita menjadi biasa bertindak dengan tepat dalam berbagai macam situasi. Phronesis (rasa dalam Bahasa Jawa) tahu bagaimana harus membawa diri dan bagaimana menghadapi orang lain. Phronesis (Rasa) tumbuh berkembang melalui pengalaman dan lebih penting dari sekedar episteme (ketajaman pengetahuan ilmiah). Meskipun diperlukan pengetahuan episteme untuk pemecahan masalah-masalah spesifik dan detail profesi, namun Phronesis membawa manusia untuk lebih pandai dan benar dalam membawa diri melalui kemampuan bertindak maupun komunikasi yang tepat dan etis.


Manusia utama
Kebijaksanaan (Phronesis) merupakan semacam wawasan intelektual yang akan berguna apabila didukung oleh keutamaan etis. Hanya orang yang mantap dalam bertindak secara etis akan tetap bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang tidak tertanam dalam kepribadian etis, lama kelamaan akan merosot menjadi kepintaran dan oportunisme belaka. Tetapi kepintaran saja tidak cukup untuk mendukung terwujudnya kepribadian yang mantap, kuat dan dapat diandalkan. Ketertanaman sikap etis dalam kepribadian seseorang itulah yang dimaksud oleh Aristoteles dengan keutamaan.

Manusia utama mesti mantap dan gembira karena baginya bertindak secara etis menjadi gampang dan sebaliknya, bertindak dengan tidak etis justru susah dan menyengsarakannya. Kita bisa mengambil contoh masalah kejujuran. Orang yang betul-betul jujur, bertindak jujur merupakan sesuatu yang ringan dan tidak berat. Demikian sebaliknya.

Contoh kejujuran diatas memperlihatkan mengapa Aristoteles menghubungkan kehidupan bermoral dengan rasa nikmat-gembira dan rasa sedih-sakit. Menjadi orang berkeutamaan berarti belajar merasa gembira apabila ia bertindak sesuai dengan keutamaan etis, dan merasa sedih atau resah apabila bertindak tidak etis. Tapi bagaimana kita memperoleh keutamaan? Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan bukan suatu nafsu maupun sudah bakat alami, melainkan sesuatu yang harus kita pelajari.

Bagaimana mempelajari keutamaan? Aristoteles menjawab; melalui kebiasaan. Orang yang ingin mengembangkan keutamaan harus membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu. Makin lama berusaha, maka akan semakin mudah keutamaan tersebut dilakukan. Hingga akhirnya bertindak menurut keutamaan itu akan menjadi kodratnya. Pembiasaan untuk bertindak jujur, adil, menepati janji, tidak berkeras hati dan berbagai jenis keutamaan lain juga didukung oleh pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal. Tentu, pendidikan adalah lebih daripada semacam pengkondisian, tetapi pembiasaan, belajar melakukan sesuatu secara rutin, gampang dan seakan-akan dengan sendirinya (otomatis) merupakan unsur penting dalam pembangunan karakter.

Dalam kaitan itu, Aristoteles menegaskan suatu yang sampai hari ini masih kontroversial, yaitu tanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas perkembangan kita menjadi manusia seutuhnya. Dari sini, kita dituntut untuk belajar bahwa kita harus mengetahui diri kita sendiri untuk lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan. Justru kelemahan itulah yang harus dilawan. Seperti misalnya sifat kikir, harus belajar untuk bermurah hati, dan sebagainya.

Persahabatan
Manusia mencapai puncak keutamaan dalam persahabatan sejati. Persahabatan sejati bukan kebahagiaan diri sendiri, melainkan kebahagiaan sahabatlah yang membuat kita bahagia. Persahabatan termasuk hal yang sangat perlu dan penting dalam kehidupan manusia. Persahabatan dalam arti sebenarnya adalah persahabatan antara dua manusia yang saling mencintai. Aristoteles menuliskan dengan indah, bahwa keutamaan diantara para sahabat adalah “cinta”. Persahabatan dua insan (pria dan wanita), bukan semata-mata demi kelangsungan keturunan, namun demi persatuan hidup kedua orang tersebut.

Aristoteles menegaskan bahwa manusia tidak mungkin bahagia sendirian, namun perlu sahabat untuk kebersamaan dan berkomunikasi untuk menemukan hakekat “diri sendiri’ melalui cinta. Cinta itu yang nampaknya membuat kita terikat, namun justru membebaskan kita dari keterikatan pada diri sendiri, sehingga dengan demikian kita justru semakin menjadi diri sendiri.

Hidup yang bermutu
Disini Aristoteles memberi pesan penting, bahwa manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Sekali lagi, manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan memiliki sesuatu, melainkan mengerahkan diri pada usaha bersama bagi sahabat, lingkungan dan masyarakatnya. Adalah lebih luhur mati demi sahabat daripada hidup tetapi meninggalkannya. (Reviewed by Eko SUDARTO)

 


[1] Aristoteles (384 SM – 322 SM). Ia dilahirkan di Stagyra. Pada tahun 335 mendirikan perguruan lykaion. Membuat buku-buku di Athena yang salah satunya sangat terkenal berjudul Etika Nikomancheia, yang memuat filsafat moral.
[2] Kalau ketersohorannya itu karena mutu dan prestasinya, maka mutu dan prestasinya itu yang perlu diusahakan, bukan keinginannya untuk tersohor.
[3] Yang mengemukakan hedonisme (Yunani; hedone berarti nikmat kegembiraan) adalah kaum sofis, suatu aliran filsafat yunani kuno, sebelum Platon, John Stuart Mill (abad ke 19) dan Moritz Schlick (abad ke-20) mempertahankan hedonisme.

No comments:

Post a Comment