Friday, October 16, 2015

Konflik Penambangan Pasir Di Lumajang (Studi Kasus; Terbunuhnya Samsul alias Salim Kancil)





Sabtu, 17 Oktober 2015

Konflik Penambangan Pasir Di Lumajang
(Studi Kasus; Terbunuhnya Samsul alias Salim Kancil)
Oleh;
Eko SUDARTO[1]

Pendahuluan
Tulisan ini tentang konflik sebagai suatu proses adanya perebutan tujuan, baik antar individu atau antar kelompok untuk memenangkan atau mencapai sesuatu, juga ingin ditunjukkan pada tulisan tentang bagaimana konflik bersifat saling menghancurkan lawan. Latar belakang tulisan ini adalah adanya peristiwa penganiayaan sekaligus pembunuhan terhadap Topas dan Salim alias Kancil (46 tahun) pada 26 September 2015. Pembunuhan tersebut berkaitan erat dengan penolakan para korban terhadap praktik penambangan pasir di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang.
Latar belakang peristiwa diatas bermula dari terpilihnya kembali Hariyono sebagai Kepala Desa sekitar bulan Februari-Maret 2014 yang sering mengelar rapat pada malam hari dengan agenda pengembangan Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-Awar sebagai kawasan wisata. Dalam beberapa kali kesempatan rapat, dihadiri Hariyono sebagai Kepala Desa, Desir[2], Hendra (asisten Perhutani Kecamatan Pasirian) dan Hanafi (Tim Pendamping Masyarakat), Rahmat (Sekretaris Desa Selok Awar-awar). Selain itu, Abdul Basar selaku Camat Pasirian, AKP Sudarmanto sebagai Kapolsek Pasirian dan Ratmanto[3] pegawai Administratur Perhutani KPH Probolingo juga pernah hadir pada suatu rapat.
Pada beberapa rapat selanjutnya menghadirkan sejumlah kecil petani pemilik sawah dengan imbalan uang Rp 50 ribu/sekali rapat. Dari para petani tersebut, anggota tim sukses mengumpulkan KTP (Kaetu Tanda Penduduk) yang akan diajukan untuk mengurus perizinan pengembangan kawasan wisata. Pengembangan kawasan wisata dijadikan dasar bagi upaya penggusuran sawah-sawah petani di kawasan pesisir Watu Pecak dan dilakukannya penambangan pasir menggunakan alat berat. Para petani diusir dengan alasan lahan yang mereka garap adalah milik Perhutani. Perhutani merupakan petugas yang mendampingi komunitas-komunitas LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) di satu kecamatan, sedangkan TPM (Tenaga Pelatih Masyarakat) merupakan mitra Perhutani dalam pendampingan LMDH. Perhutanipun terusir dari hutan di Desa Selok Awar-Awar karena kuatnya dominasi preman tambang pasir.
Hadirnya tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Paringin tersebut dianggap merupakan petaka bagi para petani dan juga merusak hutan wisata sebagai jalur kendaraan truk. Upaya pengusiran para petani dari sawah milik mereka di pesisir Watu Pecak jelas mendapat perlawanan dari para petani penggarap sawah. Salah satu pemilik sawah adalah Salim alias Kancil yang memiliki tanah garapan seluas 2, 5 (dua setengah) hektare dari hasil kerja kerasnya menguruk (menimbun) kawasan pesisir sejak tahun 1980-an.  
Sejak rencana pembukaan tambang, Salim terus diteror karena sawah Salim persis berada di jalur keluar-masuk dan parkir truk. Karena tidak kooperatif, Desir dan Haryono akhirnya menyita paksa sawah Salim dan menjanjikan bagi hasil dari parkir truk. Namun, janji itu tidak pernah ditepati dan Salim akhirnya berjuang bersama petani lain yang juga menjadi korban pengerukan pasir untuk menyuarakan kebenaran dan menuntut hak atas tanah mereka.
Sebelum terjadinya konflik atau “perang”, sebenarnya sudah terlihat fenomena atau gejala adanya resistensi (perlawanan) dari masyarakat lokal dan merupakan isu yang kerap terjadi di hampir setiap lokasi penambangan. Salim dan kelompoknya melaporkan adanya intimidasi dan ancaman terhadap warga penolak (kontra) penambangan pasir tersebut ke pihak kepolisian, namun tidak direspon hingga terjadinya penyiksaan dan berujung pembunuhan terhadapnya. Masyarakat akhirnya menyimpulkan adanya indikasi terjadinya pembiaran dan absennya tindakan perlindungan dari aparat kepolisian.
Konflik sosial di Lumajang tersebut menurut Kontras[4] (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) semakin menambah panjang catatan kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia (human right defender) di Indonesia.  Setidaknya Kontras mencatat terdapat 13 (tiga belas)[5] bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sejumlah aktor dalam praktik tersebut. Secara umum perubahan lingkungan akibat praktik tambang pasir  ilegal menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan ekosistem, terganggunya kegiatan budaya warga akibat rusaknya pantai Watu Pecak Kabupaten Lumajang, terjadinya perubahan lingkungan pemukiman menjadi gersang dan berdebu, rusaknya sistem irigasi yang menyebabkan kekeringan lahan pertanian warga, terganggunya kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian warga, rusaknya jalan desa akibat lalu-lalang truk pengangkut pasir dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah masyarakat majemuk, kasus konflik di Lumajang mengindikasikan terjadinya instabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri[6]. Hal tersebut bisa merupakan sumber potensi disintegrasi sosial yang memicu meluasnya konflik komunal (sosial). Potensi konflik tersebut dapat terwujud sebagai konflik-konflik antar individu yang berkembang menjadi konflik-konflik soaial yang melibatkan seluruh anggota sukubangsa di Lumajang. Konflik sosial antar kelompok masyarakat yang mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan dalam negeri yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan nasional.
Setiap penanganan konflik berpotensi kekerasan horizontal memerlukan perhatian khusus, sehingga Polri perlu mengantisipasi kerawanan yang lebih besar dengan menggelar berbagai operasional kepolisian, baik pre-emtif, preventif maupun represif kepolisian berupa penegakan hukum. Adanya berbagai ketidakseimbangan atau ketimpangan sosial dalam pengelolaan tambang pasir di beberapa lokasi tersebut perlu disadari sebagai kegagalan pihak Pemerintah Daerah dan kepolisian di Kabupaten Lumajang dalam melindungi keselamatan warganya. Langkah tindakan cepat dari satuan atas pihak kepolisian di Polda Jawa Timur dinilai sebagai quick respond perlu diapresiasi dan dijaga kesinambungannya oleh satuan kepolisian di tingkat bawah dengan wujud  kesungguhan penanganan kasus, khususnya pasca terbunuhnya Salim alias Kancil.

Konflik pertambangan pasir di Lumajang
Lumajang adalah salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup baik. Secara geografis kabupaten ini terletak pada koordinat 112°53' - 113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang Selatan. Luas wilayahnya adalah 1.790,90 km2, sedangkan jumlah penduduknya 1.064.343 jiwa dan memiliki wilayah administrasi dengan 21 Kecamatan, 7 Kelurahan dan 168 Desa, diantaranya adalah desa Selok Awar-awar, Paringin[7].
Kabupaten Lumajang berdekatan dengan beberapa gunung (Bromo, Tengger, Semeru) dan sekitar 60.000 hektarnya merupakan pertambangan pasir vulkanik dengan kualitas sangat baik. Kandungan logam yang terdapat pada pasir Lumajang didominasi oleh kandungan ferum (Fe) yaitu sekitar 40-50% dan mengandung berbagai bahan pengotor seperti Titanium (Ti), Vanadium (V), Nikel (Ni), dan Cobalt (Co). Dari kandungan tersebut, maka pertambangan pasir Lumajang banyak digunakan sebagai bahan dasar pemenuhan berbagai kebutuhan industry, seperti logam besi, industri semen, bahan dasar tinta kering (toner) pada mesin fotokopi dan tinta laser, bahan utama untuk pita kaset, pewarna serta campuran (filter) untuk cat, bahan dasar industri magnet permanent.

Peta: Potensi Kabupaten Lumajang dan lokasi Desa Selok Awar-awar, Paringin

Kondisi tersebut menuntut Kabupaten Lumajang menjadi “produsen” tambang pasir yang mengirim pasir ke berbagai daerah, bahkan hingga eksport ke beberapa negara. Pasir Besi adalah salah satu harta kekayaan alam yang dimiliki oleh Kabupaten Lumajang. Namun, dengan keberadaannya yang sangat kontroversial ini, berbagai pihak yang memiliki unsur kepentingan baik secara politik, ekonomi dan sosial mulai meletakkan tangannya untuk berebut kebenaran yang salah. Hal ini terbukti dengan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat muncul tanpa ada pihak-pihak yang berani bertanggungjawab atas sebuah spekulasi yang mereka pikir cukup rasional. Semakin komplek akar permasalahan galian Golongan C ini. Semakin tak terarah pula paradigma yang terbangun di masyarakat.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kabupaten Lumajang, 2010 diketahui lebih dari 500 (Lima ratus) truk angkutan tambang pasir dengan kapasitas 3 (tiga) hingga16 (enam belas) ton melintasi jalan antara Probolinggo menuju Lumajang dalam setiap harinya.
Sebuah sumber daya besar yang harus dikelola dengan benar akan terwujud keseimbangan lingkungan dan sosial. Namun ditengah hiruk pikuknya dinamika pertambangan pasir di Lumajang tersebut tersebut, ternyata timbul konflik fisik akibat tidak terwujudnya keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya tersebut, sehingga mengakibatkan terbunuhnya Salim alias Kancil dan Tosan yang mengalami luka berat.
Terkait suatu konflik fisik atau “bentrokan” yang melibatkan dua individu atau kelompok (kelompok yang pro melawan kelompok kontra), biasanya terhenti untuk sesaat untuk meredakan duka, dalam hal ini yang dialami keluarga Samsul alias Salim Kancil dan merawat luka korban lain, yaitu Tosan. Bahkan kedua kelompom tadi memanfaatkan peluang istirahat tersebut untuk mengatur berbagai strategi pembalasan dendam atau mengalahkan sampai lawan. Situasi kini semakin kompleks dan berkembang dengan kemajuan zaman dan peradaban, yaitu bergabungnya berbagai kelompok kepentingan, seperti LSM maupun pemerhati masalah Hak Asasi Manusia dan Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Contoh klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sukubangsa Yale di Puncak Jaya yang sering terlibat “perang suku” dengan sukubangsa Dani di lembah Baliem, Wamena, Papua (Suparlan, 2003).
Koch (1971) dalam Suparlan (2003) menjelaskan bahwa suatu perang sebagai sebuah simptom, pada umumnya terjadi ketidakadaan, atau karena tidak cukupnya, atau juga telah hancurnya prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk menjembatani adanya perbedaan-perbedaan yang dapat digunakan untuk memecahkan dan menghentikan “perang” atau konflik tersebut. Ada yang diungkapkan Koch tersebut menegaskan bahwa ketiadaan pranata aturan atau prosedur yang ditaati oleh kelompok-kelompok yang berbeda pandangan menjadi semakin jelas dengan tidak tercapainya solusi secara damai. Timbulnya korban akibat perang kedua kubu menjadi sarana yang menghentikan perang atau konflik.
 Dahrendorf (1959) dalam Suparlan (2003) mengembangkan model konflik berpandangan bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik-konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan Karl Marx, tetapi disebabkan pula oleh berbagai aspek dari lingkungan masyarakat itu sendiri. Masyarakat merupakan lingkungan organisasi sosial yang menyajikan pendistribusian kekuatan yang tidak merata, sehingga timbul golongan-golongan (kelas-kelas sosial) dalam masyarakat. Pada kasus ini menjadi jelas bagaimana dominasi dan ketidakadilan antara kubu yang kuat dan kelompok masyarakat lebih lemah yang diwakili Samsul alias Salim Kancil dan Tosan. Konflik sosial dapat bersumber dari perebutan berbagai sumber daya, baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, agama, antar suku, antar etnis, batas wilayah, sumber daya alam, maupun berbagai aspek lainnya dalam masyarakat, termasuk sumber daya pertambangan.
  Coakley (1986) dalam Suparlan (2003) melihat kehidupan manusia sebagai sebuah keteraturan yang terwujud berkat adanya berbagai dukungan yang bersumber di dalam masyarakat. Dukungan tersebut adalah berbagai pranata sosial, Norma sosial serta nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Model yang dianalogikan Coakley adalah dialektik dari hakekat olah raga yaitu kompetisi sebagai suatu konflik. Kompetisi adalah suatu persaingan antar individu atau kelompok untuk saling mengalahkan namun melalui mekanisme aturan yang jujur (fair). Model keteraturan ini menuntut nilai-nilai budaya, etika, kejujuran dan perwujudan permainannya dinamakan sportivitas. Untuk mengawal kompetisi tersebut diperlukan wasit yang adil dalam memimpin jalannya pertandingan.
Sementara itu, Bailey (1969) dalam Suparlan (2003) menjelaskan dalam proses-proses politik, bahwa persaingan antara dua atau lebih kelompok untuk memperebutkan posisi atau kekuasaan penentu bagi kebijakan umum atau publik mengenai penguasaan suatu jabatan serta alokasi dan pendistribusian dari sumber daya terbatas dan berharga. Model Bailey tersebut disebut sebagai model zero sum game karena dalam model ini yang ada hanya persaingan dari beberapa pihak untuk mendapatkan pemenang. Tentu diperlukan wasit dan juri yang adil. Kedua model tersebut berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip demokrasi.
Model keteraturan dari Coakley dan Bailey bertentangan dengan model ekuilibrium dari Talcott Parson dan Edward Shill yang umumnya digunakan dalam system pemerintahan pseudo demokrasi atau otoriter. Model ekuilibrim ini secara mencolok digunakan oleh Pemerintahan Orde Baru pada masa Soeharto[8]. Dalam paradigm ekuilibrium, konflik dan dinamika masyarakat yang anti kestabilan adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak fungsional dalam kehidupan sosial sehingga merusak kestabilan dan harus ditiadakan atau ditumpas.
Konflik penambangan Pasir di Lumajang menunjukkan secara singkat melibatkan masyarakat lokal, Pemerintah dan korporasi (perusahaan). Nampaknya bahwa posisi antara negara dengan masyarakat tidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan oleh pengusaha mengekspresikan individualisme yang hanya dilakukan oleh mereka yang berkuasa, seringkali dianggap memiliki hak untuk berpolitik termasuk berkonflik sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf. Selain itu da­lam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah seringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal dalam kebanyakan kasus-kasus lingkungan, korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun kolektif.
Dari gambaran tersebut di atas sangat jelas bahwa masing-masing pihak yang berkonflik memiliki kepentingan masing-masing, warga yang merasa memiliki kepentingan atas tanah dan masa depan penghidupan mereka memperkirakan akan terganggu jika proses penambangan pasir terus berlangsung. Disisi lain kepentingan pemerintah kabupaten Lumajang yang untuk mengelola daerahnya melalui eksplorasi bahan tambang pasir. Sebenarnya kebijakan tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab yang sah dari Pemerintah Kabupaten Lumajan , karena tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Perlawanan lokal (rakyat) mengandung kepercayaan sosial bahwa kekuatan perubahan ada di tangan rakyat. Hal ini merujuk kepada kelompok yang memiliki hubungan langsung dengan kepemilikan sumber daya (asset) pada tanah dan kawasan ulayat, tetapi tidak mendapatkan nilai ekonomi, sosial dan budaya yang mendukung kelangsungan hidup mereka. Perlawanan yang mereka lakukan adalah untuk memaksa negara mengubah mekanisme aturan terkait operasionalisasi penambangan pasir.

Resistensi Masyarakat Lokal di Penambangan
Resistensi secara jelas bisa disebut sebagai “perlawanan”. Dalam pandangan Scott[9] (2000) maka resistensi dalam konteks ini merujuk pada pengertiannya sebagai “tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kelompok yang kalah yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh kelompok yang berhadapan dengan kelompok yang kalah”. Dalam teorinya, Scott menyatakan bahwa resistensi yang dilancarkan oleh rakyat kecil bisa sangat beragam, mulai dari gaya subversif yang halus, pembangkangan, hingga pemberontakan.
Pendekatan dalam teori ini berawal dari perspektif moral ekonomi Scottian (2013) yang dibangun oleh James C Scott. Menurutnya kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral yang sangat mengedepankan prinsip keselamatan petani. Moralitas keselamatan adalah kunci dalam pendekatan moral ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian Scott di Malaysia, Everyday Forms Of Resistance, bahwa bentuk perlawanan terselubung petani sebagai reaksi atas everyday forms of repression yang dilakukan oleh para tuan tanah, korporasi dan negara yang merupakan musuh bersama mereka. Dengan demikian, prinsip mendahulukan keselamatan menjadi sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani untuk menolak perubahan dan siap melakukan perlawanan bila dihadapkan pada kenyataan yang tidak berpihak pada mereka. Aktivitas kegiatan yang dilakukan Salim dan kelompoknya jelas mengadopsi perspektif Scottian.
Schein (1988) berpendapat bahwa sebelum terjadinya konflik, biasanya didahului oleh munculnya gejala atau simptom berupa adanya resistensi terhadap perubahan dan simptom merupakan suatu yang paling mendasar pada fenomena organisasi (masyarakat). Sejumlah penulis telah menentukan adanya fenomena resistansi dalam suatu konflik. Misalnya, Ansoff (1988) mendefinisikan resistensi sebagai fenomena beragam, yang memperkenalkan penundaan tak terduga, biaya dan ketidakstabilan ke dalam proses perubahan strategis, sementara Zaltman dan Duncan (1977) mendefinisikan resistensi sebagai setiap perilaku yang berfungsi untuk mempertahankan status quo dalam menghadapi tekanan untuk mengubah status quo.
Dengan demikian, resistensi dalam pengaturan organisasi, adalah ekspresi dari pemesanan yang biasanya muncul sebagai respon atau reaksi untuk mengubah (Block 1989). Ungkapan ini biasanya disaksikan oleh manajemen sebagai tindakan karyawan yang dianggap mencoba untuk menghentikan, menunda, atau mengubah perubahan (Bemmels dan Reshef, 1991). Jadi resistensi paling sering dikaitkan dengan sikap karyawan yang berkonotasi negatif atau dengan perilaku kontra produktif. Bahwa terdapat 3 (tiga) kelompok yang melakukan resistensi, pertama, resistensi obyektif yaitu penolakan yang cukup beralasan, masuk akal dan itu dinyatakan dengan tegas. Kedua, resistensi subyektif-pasif yaitu penolakan yang tidak jelas alasannya secara organisasi, pribadi dan dilakukan secara diam-diam. Ketiga, Resistesi subyektif-aktif, yaitu tidak jelas alasannya secara organisasi, pribadi, melawan terang-terangan.
Menurut Raymond L.Bryant dan Sinéad Bailey, (1997) dalam bukunya “Third World Political Ecology” menjelaskan bahwa ada beberapa asumsi mendasar dalam praktek ekologi politik:
First, costs and benefits associated with environmental change are distributed unequally. Changes in the environment do not affect society in a homogenous way: political, social, and economic differences account for uneven distribution of costs and benefits. Political power plays an important role in such inequalities. Second, this unequal environmental distribution inevitably reinforces or reduces existing social and economic inequalities. In this assumption, political ecology runs into political economies as any change in environmental conditions must affect the political and economic status quo. Third, the unequal distribution of costs and benefits and the reinforcing or reducing of pre-existing inequalities hold political implications in terms of the altered power relationships that are produced”.

Secara singkat asumsi Raymond L.Bryant dan Sinéad Bailey tersebut dapat dijelaskan bahwa pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa distribusi biaya dan manfaat yang tidak me­rata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga me­miliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor (pelaku) dengan aktor lainnya.
Beberapa aktor dalam organisasi masyarakat yang terlibat dalam konflik salah satu dan aktor yang penting pertama ada­lah negara (state) yang berfungsi sebagai pengguna maupun pelindung sumber daya alam. Karena itu negara juga sering mengalami konflik kepentingan. Namun, se­cara teoretis, banyak kritik terhadap eksistensi negara ini, seperti yang disampaikan Bryant and Bailey (1997). Salah satunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha mengejar pembangunan ekonomi, termasuk beru­saha menarik perusahaan multinasional untuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan lingkungan.
Aktor kedua adalah pengusaha (corporate), baik perusahaan multinasional maupun nasional. Aktor ini yang sering disebut sebagai kekuatan kapitalisme. Telah sedikit disinggung diatas bahwa kapitalisme seolah merupakan suatu keharusan yang menjadi target pencapaian tujuan suatu pembangunan kemakmuran suatu negara, sehingga mengabaikan nilai-nilai sosial dan lingkungan ekologi. Dengan kebijakan politik demikian membela kepentingan pengusaha, maka dapat dipastikan bahwa ada pihak yang termarginalkan, yaitu masyarakat.
Aktor yang ketiga adalah rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab, menurut Herbert Marcuse (2002) melalui buku One Dimensional Man (Masyarakat satu dimensi), bahwa dominasi terhadap alam terkait dengan dominasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga de-humanisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap alam.
Adapun yang menjadi latar belakang timbulnya resistensi penambangan yang berakibat pada konflik komunal menurut Regus, Max (2009) dapat dikategorikan dalam 5 (lima) penyebab, yaitu adanya dominasi, marginalisasi, degradasi ekologis, degradasi sosial budaya dan kemiskinan. Dapat digambarkan dalam diagram berikut;

Tabel 1. Analisa sebab resistensi menurut mekanisme Max Regus (2009) dijelaskan sebagai berikut:
SEBAB
FOKUS
Dominasi
Posisi negara dan korporasi tanpa melibatkan kontrol rakyat lokal
Marginalisasi
Mekanisme yang dijalankan korporasi dan negara untuk mengasingkan “masyarakat lokal” dari keseluruhan persoalan tambang (regulasi, operasi, dampak, dan lain sebagainya)
Degradasi Ekologis
Menurunnya kualitas lingkungan terutama kawasan hutan, tanah, ekosistem laut yang mempengaruhi masyarakat lokal sebagai masyarakat petani di Lumajang
Degradasi Sosial Budaya
Rusaknya tata kelola sosial masyarakat lokal akibat penghancuran massive atas lingkungan hidup (kawasan, hutan dan tanah) yang memiliki hubungan dengan kehidupan manusia.
Kemiskinan
Konsep sirkulasi kemakmuran dengan mekanisme pembagian hasil antara negara dan korporasi tidak berkaitan secara signifikan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal di desa Selok Awar-awar.

Skeman Max Regus (2009) diatas dapat dijelaskan pertama, Adanya struktur dominasi mendeskripsikan posisi satu atau lebih kekuasaan (elemen) yang menguasai elemen lainnya dalam konstruksi sosial. Dominasi merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam terciptanya kapasitas (kekuasaan) yang melampaui keberadaan elemen lain. Dominasi berarti kekuatan dan implementasi kekuasaan tanpa kontrol. Penguasaan ini tidak hanya berhubungan dengan praktik tambang saja, melainkan pada keseluruhan proses operasional, baik penyusunan regulasi yang dikeluarkan negara maupun aspek-aspek lainnya. Dalam konteks ini, kekuatan negara dan korporasi melampai posisi dan kepentingan masyarakat lokal di Lumajang.
Kedua, adanya “marginalisasi” adalah suatu proses atau usaha membatasi peran terhadap kelompok tertentu, menempatkan atau menggeser kepinggir bahkan kalua perlu melenyapkan. Jadi marginalisasi adalah merupakan proses pengabaian hak-hak yang seharusnya didapat oleh pihak-pihak termarginalkan.
Ketiga “degradasi ekologis” yaitu adanya dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup, yaitu bersifat langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab utama kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk se­tempat yang mengeksploitasi tambang/ ling­kungan secara illegal dan berlebihan karena desakan kebutuhan.
Keempat, adanya “degradasi sosial budaya”, bahwa pengaruh globalisasi dan neoliberalisme kini telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Trend globalisasi yang sering diperbincangkan oleh banyak orang dewasa ini seolah-olah itu terjadi secara alamiah dan wajar sebagai konsekuensi logis dari dinamika pembangunan yang progresif. Pengabaian terhadap fakta dibalik by design globalisasi dan neoliberalisme yang merupakan metamerfosa dari liberalisme, kian memperlemah refleksi kritis negara-negara berkembang yang termasuk Indonesia akan posisinya yang terhimpit oleh arus globalisasi dan hegemoni neoliberalisme yang sedang mengarahkan bangsa ini menjadi republik pasar bebas. Degradasi budaya adalah pemindahan budaya yang disebabkan oleh budaya yang kurang menarik, dipublikasikan sehingga budaya itu dianggap kuno. Degradasi budaya di Indonesia dinilai sudah cukup mengkhawatirkan baik fisik maupun non-fisik. Dengan demikian dibutuhkan upaya pemajuan kebudayaan yang bersifat pragmatik, holistik, dan sinergis.
Kelima, masih tingginya angka Kemiskinan. Pertanyaan yang muncul yaitu seberapa efektifkah keberadaan perusahaan (korporasi) di suatu wilayah pertambangan dalam mengurangi tingkat kemiskinan? Logikanya, pertambahan jumlah perusahaan pertambangan akan berbanding lurus terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Hal ini akanterealisasi manakala perusahaan pertambangan mempunyai komitmen untuk berkontribusi dalam pembangunan masyarakat baik pada aspek ekonomis, sosial, maupun lingkungan. Inilah yang disebut dengan corporate social responsibility (CSR) yang menekankan pada tanggung jawab moral terhadap masyarakat dimana perusahaan beroperasi, baik dalam lingkungan sekitar maupun masyarakat luas. Perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi sumber daya alam selayaknya tidak hanya bertanggung jawab dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Namun sudah seharusnya berkontribusi terhadap dampak yang telah ditimbulkan atas kegiatan operasi perusahaan. Eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan tidak serta merta berjalan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Keberadaannya tidak jarang memberikan dampak negative terhadap lingkungan masyarakat sekitar, misalnya suara bising, polusi, hilir mudik kendaraan yang merusak fasilitas publik, hingga kecemasan apabila eksplorasi yang dilakukan akan menimbulkan bencana baik akibat gangguan alam maupun faktor kelalaian manusia.

Perpektif Solutif konflik
Berbagai konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat manapun di dunia, termasuk yang terjadi di Lumajang, didahului oleh adanya perebutan kepentingan akan sumber-sumber daya atau sumber rejeki. Dari perebutan yang sifatnya antar individu kemudian meluas antar kelompok kecil hingga meluas menjadi kelompok yang lebih besar. Apaila perselisihan tersebut berlangsung sesuai norma dan mengikuti pranata aturan main yang adil (sum zero game), maka kemungkinan terciptanya konflik sosial diantara mereka tidak akan terjadi. Premise berikutnya, yaitu walaupun perebutan tadi berjalan tidak adil atau sewenang-wenang oleh kelompok yang kuat kepada yang lemah, tetapi apabila ada wasit (penegak hukum atau Pemerintah) yang bertindak adil, maka konflik bisa diredam. Namun kasus di Lumajang mengindikasikan sebaliknya, bahwa Pemerintah yang selayaknya berfungsi sebagai wasit justru menjadi penekan yang dominan, sehingga masyarakat bukannya mendapatkan perlindungan secara layak (adil) malahan menjadi semakin termarginalkan.
Pemerintah sebaiknya mendengar dan memposisikan masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sampai sekarang ini. Geertz (2007) dalam Hartono berpendapat bahwa kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Bentuk kearifan lokal dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu aspek yang berwujud (tangible) dan aspek yang tidak berwujud (intangible). Lebih jauh kearifan lokal merupa­kan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu­daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah bu­daya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Peran Pemerintah sebagai penyelenggara negara hendaknya memfungsikan Wirausaha sosial yang bisa dikelola bersama oleh masyarakat dengan kearifan lokalnya seperti menggunakan kekuatan modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Melalui kearifan lokal dan modal sosial tersebut maka sumberdaya alam/potensi yang ada bisa terjaga kelestariannya untuk kesejahteraan warga masyarakat.
Permasalahannya yang terjadi dewasa ini adalah terkikisnya peran dan fungsi kearifan lokal dan modal sosial akibat pengaruh modernisasi, sehingga yang perlu dilakukan yaitu membangun serta menumbuhkannya kembali.  Kearifan lokal dan modal sosial masyarakat sebagai akar kekuatan dapat mendorong munculnya berbagai aktivitas ekonomi untuk kepentingan bersama. Dengan begitu, akan lahir kelompok-kelompok warga yang produktif, inovatif, dan mampu membuka peluang kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Usaha-usaha masyarakat tersebut dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan sehingga tercipta hubungan keduanya saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Kebutuhan perusahaan terpenuhi dan masyarakat pun memperoleh keuntungan. Dalam hal ini program-program CSR (corporate social responsibility) yang dilakukan oleh perusahaan dapat diarahkan pada peningkatan kapasitas masyarakat, manajemen usaha, menjembatani perluasan jaringan, dalam hal pemasaran produk usaha masyarakat maupun program pengentasan kemiskinan.
Pada kasus ini sebenarnya terungkap beberapa upaya solusi dari Pemerintah Desa, yaitu dengan penggunaan kekuatan kekuasaan (power) yang biasa dilakukan dimasa Soeharto. Dimana orang-orang yang berkuasa atau yang berpengaruh “memaksakan kehendaknya” untuk masuk ke dalam kelompok yang menolak perubahan itu melalui berbagai cara. Yang terjadi adalah kegagalan total yang berakibat konflik fisik yang membawa kematian Salim alias Kancil.
Solusi yang perlu dilakukan adalah menggunakan berbagai cara berkomunikasi yang cocok dan sesuai dengan situasi dan keadaan, seperti memberikan penjelasan untuk orang yang tidak paham, gunakan penjelasan yang jelas pengertiannya (clear-cut). Untuk orang yang senior (orang tua), gunakan ajakan bersifat himbauan secara halus. Untuk orang yang berpengaruh lebih baik menggunakan bahasa yang memuliakan. Untuk orang yang banyak dan berbeda-beda (misalnya dalam meeting), gunakan bahasa yang mudah dipahami (tidak berbelit-belit atau bahkan tidak dimengerti). Dan bila harus menggunakan “paksaan”, maka dilakukan sesuai aturan yang sudah disepakati dalam organisasi (masyarakat), misalnya peringatan atau sangsi. Menurut Anderson (1990) bahwa langkah pemecahan masalah dalam rangka menghadapi resistensi ada 6 (enam) tahapan, yaitu:
  1. Lakukan Identifikasi dan defenisikan masalah itu dengan tepat, sehingga resistensi tidak menjadi besar karena kesalah pahaman arti tehadap tujuan yang akan dicapai.
  2. Koleksi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Resistensi, bukan berarti perjuangan kalah menang, namun dapat ditangani dengan menawarkan win-win solution.
  3. Tentukan kriteria penyelesaian masalah yang akan digunakan untuk mengevaluasi solusi alternatif.
  4. Evaluasi solusi alternatif yang sudah dipilih sebagai satu-satunya sikap dalam mengatasi resistensi
  5. Pemilihan solusi alternatif dengan tegas dan beribawa, tidak ambivalen.
  6. Lakukan dan laksanakan solusi alternatif itu dengan tegas dan berikan penghargaan kepada mereka yang menerimanya dengan baik.
Saran solutif lain dalam literatur manajemen adalah menggunakan teknik partisipatif yang dianggap metode terbaik untuk penanganan resistensi. Partisipasi karyawan (masyarakat) dalam manajemen sebagai sarana menyelesaikan resistensi telah diteliti sejak pertengahan 1940-an. Penelitian secara klasik oleh Lewin (1991) dan Coch dan Perancis (1948) menyimpulkan bahwa keduanya terlibat dalam tahap pembelajaran, perencanaan dan pelaksanaan proses perubahan secara signifikan mempengaruhi komitmen untuk berubah dan tampaknya menurunkan resistensi.
Penyelesaian konflik
Pola penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa proses atau pendekatan, di antaranya melalui negosiasi, yaitu dilakukannya proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak lain (kelompok atau organisasi). Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.
Selain negosiasi, hal lain yang bisa dilakukan adalah melalui reconciliation, yaitu melakukan diskusi penyelesaian masalah sosial melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Proses mediasi juga bisa digencarkan oleh pihak kepolisian yang sudah seharusnya mampu memfasilitasi untuk memediasikan kedua belah pihak untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini sangat dimungkinkan karena konflik ini sudah melibatkan beberapa tindakan kriminal dari warga seperti penganiayaan terhadap Tosan, Perebutan Tanah milik Salim, dan lain-lain. Karena tindak kriminalitas inilah penegak hukum dapat masuk berperan dalam memediasi pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tidak meluas dan berkepanjangan.
Proses penyelesaian konflik berikutnya bisa melalui lembaga Arbitration, dimana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer. Kepolisian sebagai pihak ketiga, selain berfungsi sebagai wasit (birokrasi pemerintah), dituntut untuk melakukan penanganan sebaik mungkin. Penanganan terbaik seharusnya dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik fisik antara pihak-pihak yang bersengketa. Tuntutan dilakukannya deteksi dan pencegahan dini (early detection) sangat diperlukan dalam mengantisipasi setiap dinamika organisasi (masyarakat), sehingga keberhasilan kepolisian sebenarnya terlihat pada tataran terjadinya keseimbangan konflik di masyarakat. Jika konflik memang terjadi, sedapat mungkin dilakukan mediasi melalui proses tawar menawar diantara pihak yang berkonflik mengenai solusi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak (win win solution).
            Suatu konflik bersifat fisik antar perorangan atau konflik sosial yang telah ditangani dan diselesaikan hingga mencapai kesepakatan damai, tidak serta merta selesai begitu saja. Ibarat teori gunung es, masih tersisa dendam akibat kerugian pada salah satu pihak (harta benda apalagi koban nyawa). Walaupun sudah ada tindakan hukum (rule of law) dan kompensasi atas kerugian tersebut, tetapi perasaan sakit hati dan dendam tersebut tidak akan hilang begitu saja. Anak keturunan Salim alias Kancil, pasti akan selalu “trauma” jika mengenang dan teringat bagaimana kelompok 12 (dua belas) menghabisi ayahnya dengan kejam di depan mata kepalanya sendiri. Kepolisian sebagai pihak ketiga (wasit) sekaligus penyelenggara negara dalam konteks keamanan dan ketertiban, sedapat mungkin menjadi pengendali masalah-masalah sosial tersebut. Meredam setiap upaya-upaya pertengkaran agar konflik fisik tidak terwujud kembali diantara mereka.
           
Penutup
Konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Keberadaan konflik menjelaskan adanya suatu proses perubahan sosial dalam tatanan kehidupan, sehingga dapat dipastikan bahwa apabila “tidak ada konflik” maka tidak ada suatu bentuk pemecahan terhadap suatu permasalahan sosial. Ketika suatu daerah memiliki potensi sumber daya, maka upaya untuk melakukan eksplorasi oleh Pemerintah sangat dimungkinkan sebagai tugas dan tanggung jawabnya dalam pencapaian tujuan pencapaian kesejahteraan raknyatnya. Masalah timbul ketika, pembuatan kebijakan itu tidak melibatkan masyarakat sebagai subjek yang sejak lama memanfaatkan potensi alam tersebut dalam bentuk lain (pertanian, peternakan, perkebunan, dan lain-lain).
Pemerintah harus dan wajib hukumnya melakukan berbagai cara untuk melakukan sosialisasi terhadap masyarakat, bukan serta merta mengeluarkan kebijakan yang justru sangat membebani dan merugikan masyarakat. Jika tidak melalui komunikasi dan sosialiasi yang baik tentunya akan menimbulkan benih-benih resistensi yang berujung konflik hingga “perang secara fisik”. Mengubah tatanan kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Adanya resistensi lokal adalah ungkapan perlawanan masyarakat terhadap ekspansi korporasi tambang yang mendapat dukungan regulasi negara pada proses eksploitasi.
Etika lingkungan dalam perspektif lokal yang merujuk pada apresiasi korporasi terhadap keberadaan aspek-aspek lokal belum menjadi bagian dari keseluruhan paradigm industri tambang di Lumajang. Hal ini menjadi menarik karena masyarakat lokal mampu menempatkan posisi kritis terutama untuk melihat, mengukur serta mengevaluasi peran-peran utama yang seharusnya ditunjukkan negara dan bagaimana korporasi mesti memperhatikan kepentingan masyarakat lokal di Lumajang.
Selain Salim alias Kancil dan Tosan, tentu masih ada banyak lagi permasalahan yang belum dapat diungkap dari konteks permasalahan tambang di Lumajang ini. Namun ola yang ditunjukkan korporasi selalu sama, yaitu merebut basis justifikasi regulasi untuk setiap tindakan yang berpeluang merugikan masyarakat lokal dan negara. Degradasi multi aspek yang telah ditimbulkan sebagai akibat operasi korporasi telah menumbuhkan perlawanan tanpa henti dari masyarakat lokal maupun pengiat hak-hak asazi manusia dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Rekomendasi
Kepolisian disamping harus mengusut tuntas kasus salim alias Kancil dan Tosan secara transparan, juga harus mampu menjaga keamanan di wilayahnya melalui mekanisme tugas pokoknya, seperti peningkatan deteksi dini (early detection). Memberikan jaminan rasa aman kepada semua pihak pasca konflik, memastikan proses penegakan hukum seadil-adilnya dijalankan sesuai aturan yang berlaku serta berperan menjadi wasit yang adil dalam setiap penanganan konflik maupun masalah-masalah sosial.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang diharapkan secara cepat melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap berbagai kebijakan dalam proses mengelola sumber daya alam, seperti mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan pertambangan pasir secara tepat untuk kemakmuran masyarakatnya. Mampu mengatur penggunaan dan pemanfaatan kembali sumber daya alam dengan mengendalikan setiap kebijakan yang berdampak sosial, memberikan peluang bagi pelibatan masyarakat secara proporsional serta mengembangkan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Dhrendorf, Ralf.  1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisa-Kritik. Jakarta: CV Rajawali.

Lester R, Brown, (1992) “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Ling­kungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Marcuse, H - One-Dimensional Man, 2nd edn. (Routledge, 2002)
Scott, J. C. (1985). Weapons of the weak: everyday forms of pleasant resistance. New Haven and London, Yale University Press

Rahardjo Satjipto (2002) Polisi Sipil dalam perubahan sosial, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Robbins, Stephen P. (2002). Perilaku Organisasi, Terjemahan Hadyana Pujaatmaka, PT Prenhallindo, Jakarta.

Regus, Max (2009), Tambang dan Perlawanan Rakyat; Studi kasus Tambang di Manggarai, NTT; Jurnal Sosiologi Masyarakat, Januari 2011, Universitas Indonesia.

Raymond L.Bryant and Sinéad Bailey, 1997, Third World Political Ecology, Simultaneously published in the USA and Canada, by Routledge, 29 West 35th Street, New York, NY 10001.

Suparlan, Parsudi (2008), Dari masyarakat majemuk menuju masyarakat multi kultural; Konflik, Konflik Sosial, Konflik Antar Suku bangsa dan upaya mengatasinya. YPKIK (Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian), Jakarta.

Yudi Hartono, (tanpa tahun), Kearifan Lokal Tradisi Uyen Sapi Perajut Integrasi Sosial (Studi Kasus Di Desa Jonggol Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo), Artikel.

Mula Tambang di Selok Awar-Awar,

Peta Kecamatan dan Desa di Kabupaten Lumajang



[1] Penugasan Akhir Semester I mata Kuliah Hubungan Antar Suku Bangsa dan Masalah-masalah sosial, Program Doktoral, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK, Jakarta.
[2] Selain sebagai Ketua LMDH Selok Awar-Awar, juga  Ketua Tim 12 yang mendukung pemenangan Kades Haryono dan menjadi pasukan sadis yang membantai Salim Kancil dan Tosan
[3] Perhutani KPH Probolingo mengemban penguasaan hutan di Probolinggo, Lumajang, dan Situbondo.
[4] Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk pada tanggal 20 Maret 1998, adalah sebuah gugus tugas yang dibentuk oleh sejumlah LSM seperti LPHAM (Lembaga Pembela Hak-hak Asazi Manusia), ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), CPSM (Center for Policy Strategic Management), PIPHAM (Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia - Center for Human Right Education), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan sebuah organisasi mahasiswa PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
[5] antara lain; (1) hak atas lingkungan yang baik dan sehat, (2) hak atas kesehatan, (3) hak atas air bersih, (4) hak atas pekerjaan, (5) hak atas pangan, (6) hak atas pemukiman yang baik, (7) hak atas pelayanan publik, (8) hak atas penikmatan warisan budaya, (9) hak atas rasa aman, (10) hak atas kebebasan berekspesi dan beropini, (11) hak untuk berkumpul dan berserikat, (12) hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan tindakan keji lainnya, (13) hingga hilangnya hak hidup yang dialami Salim alias Kancil.
[6] Dalam Pasal 1 angka 6 UU No 2 tahun 2002 tentang Polri dijelaskan Keamanan dalam negeri (Kamdagri) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
[8] Soeharto merupakan Presiden Republik Indonesia ke-dua yang dikenal sebaga satu-satunya Presiden yang memiliki masa jabatan terlama yaitu sekitar 32 Tahun.
[9] James C. Scott adalah seorang Professor of Political Science and Chairman of the Council on Southeast Asian Studies, di Universitas Yale.