Thursday, April 7, 2016

Kerinduan akan ramah tamah khas Indonesia

Kerinduan akan ramah tamah khas Indonesia
Oleh; Eko SUDARTO[1]

Pagi yang mengejutkan
“Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan, keramahtamahan dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan dalam memberi menciptakan kasih.”

Tulisan sederhana ini adalah sebuah catatan pengalaman getir sekaligus memprihatinkan saya alami di suatu pagi yang sejuk di seputar kampus PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Peristiwa tersebut terjadi pada saat saya melakukan olah raga pagi dengan bersepeda. Ketika keluar kesatriaan, antrian kendaraan (mobil) nampak padat menunggu lampu hijau menyala. Saya berusaha menyelip maju diantara antrian kendaraan tersebut (karena tidak ada jalur sepeda), namun karena kurangnya keseimbangan dalam mengemudikan maka sepeda oleng dan badan saya menyentuh sebuah mobil dinas milik Polri. Diluar dugaan, klakson keras memekikan telinga berulang kali ditujukan pada saya. Saya mencoba menyadari kekeliruan dan mengabaikan klakson tadi dengan melanjutkan perjalanan menuju arah pasar Santa.
Diluar dugaan, kendaraan tadi lewat melintasi saya dan seseorang di kursi tengah menurunkan kacanya dia meneriakan sesuatu yang kasar (kalau diartikan “moron” Inggris). Kali ini saya membathin, beginikah perilaku seorang yang “bermobil”? Pasti orang tersebut seorang perwira menengah Polri, dan tentunya memiliki martabat yang baik. Sambil mengayuh sepeda, saya terus berfikir dan membatin, hingga akhirnya saya melihat mobil tersebut berhenti disuatu tempat tidak seberapa jauh di depan. Dengan penuh hormat (cool, calm dan confident), saya hampiri mobil tersebut sambil menunggu di samping pintu mobil sang “pejabat” untuk mengklarifikasi kejadian tersebut.
Sekali lagi diluar dugaan, si “pejabat”, yang notabene saya “kenal” tersebut dengan nada marah menghardik dan menunjukkan ketidaksukaan akan kehadiran saya. Untuk meredam amarahnya, saya perkenalkan diri dan ternyata hal itu sedikit efektif sehingga membuatnya menurunkan nada bicara, namun sekali lagi saya heran karena selama melakukan komunikasi dan memberikan penjelasan, “pejabat” tersebut sama sekali tidak mau melihatkan padangannya kepada saya. Permintaan maaf yang saya sampaikanpun ditanggapi dingin dengan terus memandangi smartphone-nya. Mungkin “beliau” memang  sibuk sampai tersenyumpun tidak sempat, sayapun segera pamit dan berlalu dari hadapannya. Thanks’ God it’s my great day.


Kemana sikap toleransi, santun, dan ramah yang menjadi Citra Bangsa ini?
Peristiwa diatas menunjukan masalah moral terkait sikap toleransi, sikap sopan santun dan keramahtamahan. Ramah yang berarti baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan. Ramah adalah sesuatu yang berhubungan dengan senyum dan sapaan hangat.
Sebagaimana disadari, bahwa sejak dahulu penduduk bangsa ini (read: Indonesia) sudah dikenal dengan sebutan sebagai orang yang ramah, santun, dan bertoleransi, bahkan suka menolong sesama walaupun sebelumnya tidak saling mengenal. Toleransi antar umat beragama pun terjalin sangat baik, walaupun berbeda keyakinan mereka tetap rukun hidup bermasyarakat. Tidaklah mengherankan jika banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia untuk menikmati keindahan alam dan belajar mengenai seni budaya bangsa Indonesia, tidak sedikit pula wisatawan yang berkunjung untuk sekedar merasakan keramahtamahan penduduk negeri ini. Hal ini bukan tanpa dasar, bahwa anggapan terhadap warga Negara Indonesia sebagai orang yang ramah, karena mereka selalu disambut dengan senyuman dan keramahtamahan yang khas dari penduduk bangsa ini.
Namun kini, semua sifat-sifat itu seakan mulai pudar dan hilang dilanda arus globalisasi. Sifat-sifat sejati manusia seperti ramah, santun, toleransi seakan menjadi barang langka yang sangat susah dijumpai. Peristiwa diatas merupakan peristiwa yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, dimana ada orang yang mementingkan ego masing-masing, baik ego yang sifatnya pribadi, kelompok atau golongan. Manusia Indonesia seakan sudah tidak memiliki jati diri sebagai bangsa yang toleran dan ramah dan bahkan tidak sedikit wisatawan asing menjadi korban.
Ada fenomena, bahwa sikap ramah dan toleransi memudar tatkala seseorang mempunyai kedudukan atau jabatan dalam suatu instansi pemerintahan. Mereka beranggapan bahwa mereka telah mempunyai kedudukan jadi harus lebih dihormati. Hal ini sungguh menyedihkan bahwa kita yang seharusnya melindungi rakyat tetapi malah melakukan tindakan tidak tepat (unappropriated), hanya karena masalah yang sepele. Dalam peristiwa diatas, bukan tidak mungkin terjadi perdebatan jalanan seandainya tidak ada pihak yang bersikap “waras”. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila ramah tamah khas Indonesia masih kuat terjaga dengan baik. Sebuah gelombang perubahan besar kebudayaan telah menggerus norma-norma kehidupan lokal, namun apakah kita juga akan kehilangan  ramah tamah khas Indonesia?

Untuk menjadi perenungan kita
Peristiwa diatas berkesan dalam bagi pribadi saya, karenanya timbul berbagai pertanyaan; apakah sifat ramah, santun, dan toleransi yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dulu sudah tidak berlaku lagi saat ini, atau sudah diganti dengan trend dan budaya asing yang cenderung bebas? Jika hal itu benar, dengan cara apa sikap tersebut dapat kembali melekat dalam kehidupan sehari-hari?
Catatan ini hanya sekedar refleksi pengingat bagi diri pribadi selaku Perwira Menengah Polri, agar senantiasa mampu mengendalikan diri dan tidak membangun jarak antara Pangkat (kedudukan) dengan lingkungan sosial dimana berada. Semoga kita semua, anak bangsa Indonesia dapat kembali menumbuhkan sikap dan sifat-sifat mulia tersebut karena pada dasarnya bangsa ini terkenal dengan kesantunannya, keramahannya dan sikap toleransi yang baik antar sesama.


[1] Kombes Pol, Analis Kebijakan pada NCB Interpol Indonesia sebagai mahasiswa program Doktoral pada STIK-PTIK, Jakarta.

Sunday, March 6, 2016

review buku Teori-teori kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional-2



Pendahuluan
Buku ini memuat pandangan-pandangan kritis tentang hubungan interasional dari para pemikir seperti; Theodor Adorno, Giorgio Agamben, Hannah Arendt, Alain Badiou, Jean Baudrillard, Simone De Beauvoir, Walter Benjamin, Roy Bhaskar, Pierre Bourdieu, Judith Butler, Gilles Deleuze, Jacques Derrida, Frantz Fanon, Michael Foucault, Sigmund Freud, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, G.W.F. Hegel, Marthin Heidegger, Immanuel Kant, Julia Kristeva, Emmanuel Levinas, Karl Marx, Juan-Luc Nancy, Friedrich Nietzche, Jaques Ranciere, Richard Rorty, Edward Said, Carl Schmitt, Gayatri Chakravority Spivak, Paul Virilio dan  Slovaj Zizek.
Pada review buku Teori-teori kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional ini, dikupas pemikiran Pierre Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis dan meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis. Bourdieu dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang dikembangkannya amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, Bourdieu mengajar di lycĂ©e di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.

Pemikiran Pierre Bourdieu
Pandangan Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog merupakan salah satu  tokoh pemikir Perancis terhadap ilmu-ilmu sosial budaya adalah keberhasilannya membangun teori umum tentang praktik sosial. Karya-karyanya bersumber dan merupakan hasil pengolahan dari berbagai sumber daya intelektual semacam Marx, Durkheim, Weber, Saussure, Wittgenstein, Benveniste, dan dari rentangan pemikiran fenomenologi hingga strukturalisme bahkan ke filsafat analitis. Secara signifikan Bordieu berhasil menerapkan secara konsisten kerangka pemikiran, teori, dan metodenya pada semua subjek yang dia bahas. Bourdieu adalah sosiolog yang paling banyak dikutip sebagai acuan. Hal ini menarik juga untuk dijadikan acuan tentang pemikiran Bourdieu tentang hubungan internasional.
Bourdieu menyebut alirannya sendiri sebagai constructivist structuralism atau structuralist constructivism. Itu artinya ia masih mengaku diri seorang strukturalis, tetapi dalam pengertian yang berbeda dengan tradisi Saussurian atau Levi Straussian. Pemikiran Bourdieu terkait erat dengan perdebatan tentang struktur dan agensi. Perdebatan itu memusat pada peran pengaruh institusional dan struktural dalam membentuk masyarakat dan sebaliknya sejauh mana tindakan-tindakan dan inisiatif individual bermain dalam proses yang sama.
Dua perkakas konseptual yang layak diperdebatkan dalam karya Bourdieu adalah habitus dan arena. Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (pratique sociale), pertarungan (lutte), dan strategi.
1.         Praktik Sosial (pratique sociale)
Dalam upaya mengatasi oposisi klasik fenomenologi versus strukturalisme, Bourdieu menawarkan konsep praktik. Pada situasi tersebut Bourdieu memperlakukan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi struktur, disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi. Praktik sosial memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku (agents). Dimensi kedua adalah pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku.

2.         Habitus
Habitus menurut Bourdieu merupakan sistem yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung tetap (ajeg) didalam diri pelaku sepanjang hidupnya, yang berfungsi sebagai basis pembentuk praktik yang terstruktur dan secara objektif disatukan. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Skema habitus dan bentuk-bentuk klasifikasi primer bergerak dari bawah atas kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan pelaku. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia.

3.         Kapital atau Modal
Kapital adalah modal yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Definisi modal bagi Bourdieu sangatlah luas dan mencakup barang-barang material (yang dapat memiliki nilai simbolis), juga yang tak tersentuh, tapi secara budaya merupakan atribut yang signifikan, semacam prestise, status, otoritas, dan legitimasi (yang diacu sebagai modal simbolis), sejalan dengan modal budaya (yang didefinisikan sebagai pengetahuan atau juga selera yang bernilai secara budaya dan pola-pola konsumsi). Istilah tersebut diperluas definisinya menjadi ‘semua barang, baik material maupun simbolis, tanpa pembedaan, yang menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan berharga untuk dikejar dan dicari didalam suatu formasi sosial tertentu’.  

4.         Arena
Arena (champ) dalam banyak hal didefinisikan oleh suatu sistem hubungan-hubungan objektif kekuasaan antara posisi-posisi sosial yang berhubungan dan suatu sistem hubungan-hubungan objektif diantara titik-titik simbolis. Konsep arena memang diartikan sebagai suatu arena kekuatan-kekuatan. Konsep ini dibutuhkan untuk menempatkan arena sebagai sesuatu yang dinamis suatu arena yang didalamnya bermacam-macam potensi hadir. Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat.
Dengan demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan kapital yang tepat untuk arena itu. Jika seseorang  tidak memiliki habitus dan kapital yang tepat untuk satu arena, maka  kemungkinan besar  akan gagal dalam arena yang telah dipilihnya tersebut.

5.         Persaingan dan Strategi (Competition and strategy)
Suatu arena selalu menjadi ajang konflik antar individu atau antar kelompok yang berusaha mempertahankan atau mengubah distribusi bentuk-bentuk kapital tertentu. Pelaku-pelaku yang berpartisipasi dalam persaingan ini memiliki visi yang berbeda-beda. Sebagaian dari mereka yang berada dalam posisi dominan berusaha melestarikan status quo, sebagian lainnya yang terdominasi berusaha mengubah distribusi kapital dan posisi-posisi didalamnya sehingga terjadi mobilitas sosial. Pertarungan tidak bisa dilepaskan dari strategi. Dalam konsep Bourdieu strategi adalah sesuatu yang mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terkontrol oleh si pelaku atau sebaliknya ia semata-mata hasil dari sesuatu yang mekanis diluar kesadaran individu atau kelompok.
Strategi menurut Bourdieu dapat digolongkan dalam beberapa jenis: (1) Strategi investasi biologis, yang dalam kelompok ini dapat dibedakan dua hal: strategi kesuburan (menggunakan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal) dan pencegahan (ditujukan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan fisik). (2) Strategi suksesif, yaitu strategi ini bermaksud menjamin pengalihan harta warisan antar generasi dengan pemborosan seminimal mungkin. (3) Strategi edukatif, yaitu suatu kelompok sosial bermaksud memproduksi pelaku-pelaku sosial baru yang layak dan mampu menerima warisan dari kelompok-kelompok sosial tersebut. (4) Strategi investasi ekonomi, yaitu strategi yang berorientasi pada pelestarian atau peningkatan modal ekonomi didalam berbagai ruang sosial. (5) Strategi investasi simbolis, yaitu strategi terkait dengan semua tindakan yang melestarikan dan meningkatkan modal pengakuan, legitimasi, dan kehormatan.

6.         Dalam Praktik Penelitian
Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya dengan praktik penelitian adalah penekanan pada pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk dibelakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan dilapangan. Dalam praktik penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Kedua, harus menetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berbeda didalam arena ini. Ketiga, harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperolehnya melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut kondisi sosial-ekonomi, yang berada dalam satu jalur yang didefinisikan didalam arena yang dianggap memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.

7.         Pendidikan (education)
Pemikiran dan pandangan Bourdieu tentang pendidikan adalah suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menutup pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital sebagai seorang pembelajar. Dan orang-orang yang ditolak ini adalah umumnya kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk belajar secara akademik. Dengan demikian, pendidikan, pada hakekatnya, bersifat diskriminatif. Secara tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah “kalah”, baik secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara mekanis, nyaris otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si “bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital intelektual).
Tentang pendidikan moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Sehingga sarana pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi favoritnya. Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan. Sementara, dalam ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah paksaan, atau dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah sebabnya, mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan pendidikan moral.

8.         Pembedaan (distinction)
Bourdieu juga merumuskan konsep pembedaan (distinction). Secara singkat, pembedaan berarti tindakan membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas menengah ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan dengan kelas ekonomi yang lebih rendah.
Dalam konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya melakukan pembedaan terhadap lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka merasa “berbeda”, jika mampu membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam negerti. Inilah permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas ekonomi menengah ke bawah juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu, tindakan tersebut bukanlah merupakan pembedaan, melainkan suatu bentuk perlawanan. Jadi, jika datang dari atas, pengambilan posisi untuk mendapatkan pengakuan disebut sebagai distinction. Dan jika datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah, misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian anti kemapanan, atau justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan (resistance).

9.         Status Bahasa
Bourdieu juga banyak menulis soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan. Sebaliknya, bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat, juga masyarakat dunia internasional. Tata bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya di masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu “teks” yang perlu untuk terus dipahami secara kritis.
Ilmu pengetahuan modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai pada kebenaran. Keyakinan para ilmuwan modern bahwa bahasa ilmu pengetahuan adalah bahasa obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu sendiri dan ilmu pengetahuan merupakan jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada kebenaran. Namun bagi Bourdieu, para ilmuwan secara sadar menyembunyikan kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah berlangsung di masyarakat. Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa yang lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Di masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan orang lainnya yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah.

11.       Dominasi Simbolik
 Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. dalam konteks pemolisian internasional misalnya, Seorang Instruktur Asing yang otoriter di kelas, namun tidak mendapatkan perlawanan apapun dari muridnya, karena muridnya telah menyetujui “penindasan” yang dilakukan oleh gurunya. Atau seorang Tamu asing yang tidak mendapat perlakuan yang layak, walaupun telah dirugikan oleh tuan rumah (Negara Asing), karena secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh tuan rumah (di negara asing).

12.       Doxa
Puncak dari Mekanisme dominasi simbolik adalah pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan. Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.
Doxa juga berlaku di dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme kontemporer (realitas dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung, seperti menghitung “uang belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa yang dapat dilihat oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas ilmiah) yang dianggap sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai). Banyak ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya. Mereka menerima begitu saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka kehilangan sikap kritis. Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan penguasa, dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.

Penutup
           Ketika mencoba memahami pemikiran Bourdieu perlu direnungkan bahwa ilmu pengetahuan sosial dan filsafat harus mampu mengangkat dan menganalisis berbagai situasi di masyarakat yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan sosial yang disebutnya sebagai sosiologi reflektif dan sosiologi kritis. Dalam dunia internasional yang terus berubah sebagaimana dinamika perubahan sosial lainnya, Bourdieu berpendapat bahwa perubahan sosial bisa dilakukan, jika orang memiliki habitus, kapital, dan mampu menempatkan keduanya dalam konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk semua arena, mulai dari arena pendidikan, arena budaya, dan sebagainya.
Namun, itu semua belum cukup, karena perlu kemampuan menempatkan diri (positioning) secara tepat dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan kepintaran akademik bisa menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik, jika tidak bisa menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada. Kemampuan menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema yang tepat, nada yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat.
        
Book Review;
Buku karangan Edkins, Jenny, Vaughan-Williams, Nick, yang berjudul Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Editor: Tectona Radik.--Ed. 1, Cet. 1.--Yogyakarta:", tebal xv, 539 hlm; 23 cm,  ISBN/ISSN; 979-2462-33-3, terbitan Pustaka Pelajar Group, cetak tahun 2012.

Teori-teori kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional



Pendahuluan
Buku ini memuat pandangan-pandangan kritis tentang hubungan interasional dari para pemikir seperti; Theodor Adorno, Giorgio Agamben, Hannah Arendt, Alain Badiou, Jean Baudrillard, Simone De Beauvoir, Walter Benjamin, Roy Bhaskar, Pierre Bourdieu, Judith Butler, Gilles Deleuze, Jacques Derrida, Frantz Fanon, Michael Foucault, Sigmund Freud, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, G.W.F. Hegel, Marthin Heidegger, Immanuel Kant, Julia Kristeva, Emmanuel Levinas, Karl Marx, Juan-Luc Nancy, Friedrich Nietzche, Jaques Ranciere, Richard Rorty, Edward Said, Carl Schmitt, Gayatri Chakravority Spivak, Paul Virilio dan  Slovaj Zizek.
Para penulis dalam buku “Teori-teori Kritis” yang disusun secara sporadis tersebut hendak menciptakan gerbong-gerbong pemikiran melalui metode kritis, sebagaimana yang telah disampaikan Michel Foucault bahwa “pengetahuan tidak sekedar dibuat demi pemahaman; itu justru dibuat untuk memotong setajam-tajamnya”. Apa yang menjadi pemahaman para teoritisi sosial maupun politik, seharusnya tidak hanya menyajikan secara deskriptif persoalan-persoalan yang di hadapi oleh manusia, atau dalam hubungan internasional adalah negara, pada taraf ini Karl Marx juga berpesan secara tegas terhadap para filsuf dengan pernyataan “tugas filsuf bukanlah memberikan gambaran utuh tentang dunia, namun yang terpenting adalah merubahnya”, seperti dalam buku ini, meskipun penulis menyajikan berbagai pendekatan teori kritis dari banyak pemikir sosiolog atau politik, dan bahkan filsuf modern, namun belum mampu secara jujur dan tegas berbicara tentang kelemahan dari para pemikir-pemikir itu sendiri.

Tentang Teori Kritis
 Teori kritis merupakan  suatu konsep akademisi yang rumit untuk dimengerti dan dipahami yang lahir dengan tidak memiliki ide-ide pokok sebagaimana layaknya sebuah teori, namun teori kritis muncul sebagai kritikan terhadap teori-teori pendahulunya, yaitu teori Tradisional. Teori Tradisional adalah sebuah teori yang terdapat dalam  prespektif realis dan liberalis.
Pengaruh teori kritis ini mulai dirasakan disekitar tahun 1980 meskipun teori kritis sendiri telah ada sejak abad 20. Teori-teori kritis pada awalnya merujuk pada serangkaian pemikiran mereka yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an,  yang kemudian dikenal sebagai Die Frankfurter Schule atau Frankfurt School yang banyak memperoleh inspirasi dari, atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti George Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama sekali, serta tidak bisa dilepaskan dari konsepsi pemikiran Karl Marx. Mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis melalui beberapa generasi pemikiran, dan memproduksi sejumlah varian pemikiran, sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan pemikiran yang monolitik.
Teori kritis saat ini membuka kembali asumsi-asumsi yang telah mendasari pemikiran politik, yaitu dengan mempertanyakan titik awal berfikir secara politis. Dimana semua yang dipahami sebagai struktur atau hal yang nyata dari partikel-partikel kecil merupakan bentukan dari berbagai gagasan yang mapan. Adapun Pertentangan yang terjadi adalah persoalan mengatur susunan partikel itu menjadi suatu hal yang barangkali harus diterima sebagai kebenaran, atau yang lebih naif adalah keniscayaan.
Ada pertanyaan yang harus diajukan pada buku “Teori-teori Kritis”, yaitu kenapa rangkaian pemikiran ini dimulai dengan Theodor Adorno (dialectic of enlightenment) yang menyebutkan bahwa pencerahan adalah totalitarian (Adorno dan horkheimar 1997:6), padahal jika melihat narasi agung pemikiran kritis ala barat, dimulai dengan perselisihan antara positivis dan empiris, yang kemudian menjadi madzhab teori-teori sosial dan politik pasca renaisans; Yang justru di buka oleh Hegel, Marx, Kant selanjutnya di bunuh oleh Nietzsche serta Freud. Kecurigaan ini sangat kentara sekali dalam rangka memberikan legitimasi forma pada hegemoni mazhab frankfrut, yang kemudian di gunakan sebagai pendekatan politik internasional dan juga menjaga stabilitas pemikiran kritis terhadap kritik atas teori-teori kritis (politik internasional dan geografi pemikirannya).
           Pada mulanya teori kritis di gunakan sebagai pisau analisa untuk mendapatkan gejala-gejala umum pada sistem sosial, akan tetapi disini dari sebagain besar pemikiran mulai dari mazhab frankfrut hingga mundur kebelakang seperti marx, hegel, kant dijadikan suatu model pendekatan untuk menganalisis politik internasional atau bahkan meniadakan kehadirannya. Negara akan berbeda makna dan fungsi jika metode-metode kritis dilakukan dengan berbagai varian pemikiran. Disatu sisi multyminded theory mereformasi struktur negara dengan cara komprehensif yang bersifat temporal. Atau sesuai dengan dimensi terbatas, bukan menjadi satu kesepakatan realitas sebagaimana yang di ajarkan oleh kaum realisme atau neo realism.  
Inti dan tujuan dari teori kritis adalah untuk menelusuri penderitaan manusia akibat dari penindasan dan dengan membukanya praktek emansipatif. Teori kritis ini memiliki maksud untuk mendobrak irasionalitas masyarakat modern. Dalam pandangan Horkheimer teori kritis merupakan sebuah teori yang tidak dapat terlepas dari konteks sosial dimana munculnya teori tersebut denagan disertainya penertapan praktis dalam teori tersebut. Dengan adanya sebuah konteks jaman dalam sebuah teori kritis, manakala pada jaman tersebut memiliki karakter yang sama, makan tidak mustahil bahwa teori itu pun mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Adanya kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper, 1985). Salah satu contoh yang membenarkan teori kritis ini adalah sebuah teori yang diusung oleh ajaran Marx, yang memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula sama halnya dengan kehidupan yang ada pada Indonesia dewasa ini, yang menunjukan karakter yang sama, maka dengan demikian teori kritis memiliki relevansinya. Oleh karena itu pula, sebuah teori kritis, dalam penilaian Horkheimer (dalam Bohman, 2005; hal. 1), bisa dianggap mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yakni teori tersebut harus: Pertama, Explanotory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya, yang wajar dan tidak wajar. Kedua, Practical antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya demikian. Ketiga, Normative memiliki keterkaitan dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.

Penutup
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pendekatan teori ini bersifat spekulatif murni yang mana pada titik tertentu, teori ini adalah sebagai pewaris dari ajaran Karl Marx yang menjadi emansipatoris. Teori ini bukan hanya menjelaskan, merefleksikan dan menata akan tetapi teori ini juga mau mengubah realitas sosil yang ada. Keberadaan teori kritis ini adalah sebagai konstruktivisme, yang mampu memahani struktur sosial dan politik sebagai produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamilah memiliki karakter politis yang terkait dengan kehidupan sosial dan politik.
Dan berkembangnya sifat politis pengetahuan di pengaruhi oleh pemikiran Emmanuel Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, dimana dengan adanya keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat memahami dunia secara menyeluruh melainkan hanya sebagian saja (parsial). Hegel dan Marx memiliki pemikiran bahwa terbentuknya sebuah teori tidak terlepas dari figur seorang masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap proses pembentukan sebuah teori. Sementara pemikiran Max Horkheimer membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni Teori Tradisional dan Teori Kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoritis dan obyek kajiannya, yang artinya teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat. Sementara Teori Kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-subyek dan beragument bahwa teori selalu memiliki dan tujuan fungsi tertentu.


Book Review;
Buku karangan Edkins, Jenny,Vaughan-Williams, Nick, yang berjudul Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Editor: Tectona Radik.--Ed. 1, Cet. 1.--Yogyakarta:", tebal xv, 539 hlm; 23 cm,  ISBN/ISSN; 979-2462-33-3, terbitan Pustaka Pelajar Group, cetak tahun 2012.