Saturday, October 13, 2018

“Gastro” Policing ala Binmas Noken


“Gastro” Policing ala Binmas Noken

Ketertarikan saya pada istilah (terminologi) “gastro” berawal dari pertemuan antara delegasi Satgassus Ops Papua, yang dipimpin Waka Ops, KBP Dr. Tornagogo Sihombing dengan delegasi Kemenlu yang dipimpin oleh Dirjen IDP (Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik) Kemenlu, Bapak  Cecep Herawan pada Kamis, 11 Oktober 2018.
Sesaat setelah membuka acara peluncuran buku karya Farida Ugesta berjudul “Potret Inspirasi dari Timur”  dan buku karya Niko Watimena yang berjudul “Papua Etnografi” di Kantin Diplomasi, Kemenlu RI tersebut, Pak Dirjen langsung mengajak delegasi Polri ke luar ruangan. Namun rupanya tidak jauh, hanya bersebelahan dengan ruang peluncuran buku. Pak Dirjen menjelaskan bahwa ruang pertemuan ini adalah ruangan khusus yang didisain untuk menghisap cerutu atau “cigar” sekaligus untuk berdiplomasi.
Jalannya pertemuan bersifat informal dan santai tersebut membahas tentang dinamika kegiatan masing-masing delegasi terhadap masalah Papua. Hal yang menarik buat saya adalah sudut pandang pemberitaan atau media yang dilakukan oleh Kemenlu selama ini lebih mengekspos respon dan tanggapan masyarakat (internasional) dan tidak mengekspos keberhasilan menurut versi sendiri (Kemenlu). Jadi pihak lain yang didesain melakukan ekspos tersebut (tidak narsis), dan efektivitas hasilnya sangat dirasakan positif. Apakah Polri saat ini melakukan mekanisme pemberitaan seperti itu?
Saat tulisan ini dibuat, saya sudah berada di Jayapura, bertemu KBP Faizal Ramadhani dan melanjutkan habitus kami, yaitu berbagi cerita, sharing pendapat dan informasi tentang berbagai hal, termasuk esensi pertemuan dengan Dirjen IDP serta menunjukkan buku karya Farida Ugesta tadi. Sebuah buku yang menurut saya sangat ringan dibaca, pemilihan “doksa” yang tepat namun mengalirkan inspirasi bagi Satgas karena tokoh-tokoh yang dihadirkan memang luar biasa tersebut adalah riil, hidup dan bisa dijumpai. Salah satu tokoh inspirasi sebagaimana diulas di dalam di buku tersebut, yaitu Chef dari Rimba Papua “Chato” (Charles Toto) di “Pits Corner” yang merupakan markas kedua Satgas Papua.
Pertemuan dengan Chef Chato membawa inspirasi “gastro” semakin nyata, bagaimana kuliner menjadi pembuka sekat perbedaan antar bangsa, ras maupun agama. Chato adalah sosok sederhana putra asli Papua yang banyak belajar dari alam rimba Papua dan memperkenalkan kuliner Papua pada dunia. Menurutnya Paus Franciskus dan Bill Gates adalah dua nama pesohor yang pernah menikmati karya olahannya. Chef Chato menjadi “Gastro Diplomacy” Indonesia tentang kuliner dari rimba Papua.
Gastro diplomacy dikenal merupakan inisiatif awal diplomasi kuliner yang diluncurkan oleh Pemerintah Thailand pada tahun 2002. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong lebih banyak wisatawan asing dari seluruh penjuru dunia untuk memakan masakan khas Thailand. Contoh lain dari gastro diplomacy adalah Korea dengan diplomasi kimchi dan Malaysia dengan proyek Malaysian Kitchen.
Gastro Diplomacy diadopsi dari kata gastronomi yang bermakna upaboga yang tidak serupa dengan istilah kuliner. Menurut Indra Kataren (Presiden dari Indonesia Gastronomy Association) bahwa kuliner merupakan Art of Cooking atau penyajian masakan oleh seorang chef, sementara Gastronomi sebagai the art of eating yakni perjamuan makanan yang dihubungkan dengan nilai-nilai kebudayaan. sehingga penikmat kuliner bisa memahami bahwa kuliner memiliki unsur sejarah, nilai serta kebudayaan.
Sebagai mahluk hidup, Abraham maslow menegaskan bahwa satu diantara 5 (lima) kebutuhan dasar yang utama (primer) adalah fisiologis. Ini adalah kebutuhan biologis, berupa kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Secara sederhana, terkait kebutuhan makan dan minum dapat dikategorikan dalam lingkup “Gastro”, artinya bahwa dengan kecukupan pada pemenuhan kebutuhan “masalah perut” ini akan menadi energi manusia untuk bertahan, berkembang dan berproduksi. Semua dinamika manusia tidak akan terlepas dari urusan “Gastro” tersebut. 
Jika istilah “gastro” itu dapat disamakan atau diartikan dengan “urusan perut”, maka sebenarnya apa yang dilakukan Satgas Binmas Noken di Papua dalam konteks pemenuhan kesejahteraan ini dapat dikategorikan sebagai “Gastro Policing”. Istilah Policing merujuk pada kegiatan interaksi atau dinamika pertautan kepolisian dengan masyarakatnya. Sehingga terminology “Gastro Policing” secara sederhana dimaknai sebagai wujud dinamika kepolisian dalam mendukung masyarakat mencapai terpenuhinya kesejahteraan, khusunya “urusan perut”.

DERS-10/14/2018

No comments:

Post a Comment