Monday, November 19, 2018

Napak Tilas Boven Digoel; Membangkitkan Kembali Jiwa Patriotisme


Napak Tilas Boven Digoel; Membangkitkan Kembali Jiwa Patriotisme
Oleh: Eko SUDARTO[1]

Boven Digoel
"Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku." (Bung Hatta; 20 Januari 1934)

Syukur dan haru menyertai hati, “terobati sudah”. Setelah memendam obsesi dan keinginan untuk berkunjung ke Boven Digoel, akhirnya harapan dan imian itu terwujud pada Sabtu, 17 November 2018. Turun dari Helicopter Daupin Polri, bersama pimpinan penugasan Brigjen Herry Nahak dan beberapa staf penugasan, saya merasakan “atmosphere” patriotisme di antara bangunan penuh sejarah kelam di masa lalu.
Lebih dari itu, perjalanan ini bukan sekedar perjalanan biasa, namun terasa seperti mengikuti kilas balik perjuangan di masa lalu. Hal ini bukan tanpa alasan, bahwa Boven Digoel bisa menjadi magnit untuk membangkitkan dan menggelorakan kembali jiwa dan semangat patriotisme anak bangsa. Boven Digoel menjadi saksi bisu bagi perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Sayuti Melik, Marco Kartodikromo, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, dan Ilyas Ya'kub dan para pejuang yang konon jumlahnya mencapai 1.308 orang.
Mungkin bagi sebagian orang Indonesia, nama Boven Digoel terasa asing ditelinga, namun tentu banyak juga yang mendengar nama itu sebagai memori sejarah bangsa ini. Kabupaten Boven Digoel merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Papua, dengan Tanah Merah sebagai Ibu Kotanya. Jumlah penduduknya tidak terlalu padat sekitar 35.376 jiwa dengan luas wilayah sekitar 26.838 km2. Boven Digul, Asmat dan Mappi di bagian selatan, merupakan kabupaten hasil pemekaran dari wilayah administrasi Kabupaten Merauke yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002.

Dimensi sejarah Penjara Boven Digoel
Waka Polres beserta beberapa Perwira Polres Boven Digul mengantar dan mencoba memberikan informasi kepada kami.  Kompleks penjara yang bersebelahan dengan Polres Boven Digoel ini dibangun secara bertahap dan sudah ada ketika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para tokoh perjuangan lainnya dibuang oleh Belanda pada 1935.
Secara singkat, penjara ini tidak terlalu besar dan mungkin hanya berkisar 2 (dua) hektar tanah. Adapun bangunan terdiri terdiri 5 (lima) gedung yaitu 2 (dua) gedung tahanan yang terdiri dari beberapa sel (kamar tahanan), satu gedung tahanan wanita, satu banguna gedung kamar mandi dan toilet dan satu gedung kantor magistratuur.
Didepan pintu ruangan-ruangan tahanan tersebut terdapat tulisan Belanda, seperti capaciteit 3 kamer-6 sterkte. Mungkin artinya kapasitas kamar tersebut menampung. Juga ada sejenis barak yang tertulis capaciteit 25/40 tergantung besar kecilnya kamar. Ketika berada di suatu ruangan, ditemukan sebuah bangku panjang dan terdapat goresan bertuliskan “M. Hatta’. Konon, di bangku tersebut dikhabarkan Bung Hatta yang tiba di akhir Januari 1935 biasa duduk dan bercengkrama dengan penghuni tahanan lainnya. Ada 2 jenis tahanan, yaitu mereka yang mau bekerja untuk Belanda (werkwillig) dan yang tak bersedia (naturalis). Hatta memilih yang kedua, beliau lebih memilih bekerja sebagai penulis di beberapa harian waktu itu. Walaupun tidak memperoleh uang sama sekali dan hanya mendapat jatah pangan yang pas-pasan dengan jatah beras, ikan asin, teh, kacang hijau, dan minyak kelapa, beliau tetap tegar menjalaninya. Saya sempatkan duduk di bangku itu dan mencoba menikmati bayangan masa silam dimana Sang Proklamator masih menjalani masa pengasingannya sambil menuangkan gagasan-gagasannya. Sebuah fantasi kehidupan luar biasa yang saya peroleh.
Boven Digul merupakan horror. Digoel tercatat dalam sejarah sebagai tempat terisolasi di tengah lebatnya hutan belantara Papua. Terkenal dengan alamnya demikian keras, selain banyak dihuni buaya, dengan suhu udara panas dan hutan lebat. Tempat itu dikepung hutan rimba nan lebat yang jauh dari manapun. Makin mencekam karena bermukim dan bersarangnya nyamuk malaria tropikana yang masif dan ganas mematikan. Jika tahanan mau kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Mereka harus menempuh hampir 500 (lima ratus) kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya, lalu menyeberangi Selat Torres dan hampir dipastikan menemui ajal dalam pelarian.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Boven Digoel disiapkan secara tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda. Melalui perintah Gubernur Jenderal de Graeff pada 16 Maret 1927. Boven Digoel dibangun untuk menampung tawanan pemberontakan November PKI pada tahun 1926. Kondisi penjara yang sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan yang dianggap memiliki kekuatan pengaruh yang tinggi.

Situs yang terabaikan
Dalam banyak literatur, kita akan selalu mengenang Bung Karno kata-kata sakti Sang Proklamator pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau disingkat "Jasmerah". Juga pesan-pesan patriotisme terkenal lainnya, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.” Nampak bahwa Bung Karno memiliki visi jauh ke depan tentang nilai yang sangat penting dan berharga sebuah sejarah bagi kehidupan masa depan bangsa ini.
Penjara Boven Digoel hendaknya jangan pernah terlupakan sebagai bagian dari sejarah perjuangan dan perjalanan bangsa ini. Walaupun saat ini di Boven Digoel hanya terdapat bekas bangunan penjara (kamp konsentrasi atau kamp interniran) zaman Belanda, namun perlu dirawat dengan baik. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Boven Digoel merupakan kamp konsentrasi pertama yang dibuat kaum kolonial. Kelompok pertama yang dibawa ke sana adalah kaum pemberontak Partai Komunis Indonesia tahun 1927.
Melihat kondisi bangunan peninggalan sejarah di Boven Digoel, sepertinya kita harus lebih mencintai mereka (para pahlawan) yang sudah berjuang berkorban nyawa.Tidak seperti di Jakarta, Jogjakarta atau mungkin kota lainnya yang pernah menjadi tempat pengasingan para pahlawan. Situs atau peninggalan sejarahnya masih terawat dengan baik serta dilestarikan. Boven Digoel masih jauh dari itu. Mungkin perlu penyadaran bersama, bahwa situs-situs peninggalan sejarah atau sejenisnya adalah arena belajar sejarah yang tepat bagi anak-anak bangsa. Bukan sekedar tempat mengenang masa lalu perjuangan pahlawan, namun menjadi tempat yang patut dikenang karena memiliki nilai, jiwa dan semangat patriotisme sebagai pejuang kehidupan.
Keberadaan patung Bung Hatta yang dibangun pada 13 April 2015 terletak berdekatan dengan Polres Boven Digoel mungkin menjadikan situs ini aman dari tangan-tangan jahil dan tidak bertanggung jawab. Tugas Pemerintah dan kita semua yang terpenting berikutnya adalah memastikan nilai sejarah penjara yang ditanamkan sang founding father bangsa ini tetap bersemayam dengan bangunan tersebut. Memberikan pemahaman agar anak cucu bisa memaknai perjuangan melalui perawatan dan pengembangan situs tersebut.

Potensi pariwisata sejarah
Upaya Bupati Boven Digoel, Bapak Benediktus Tambonop untuk menjaga dan menyadarkan potensi wisata sejarah patut diapresiasi dan didukung. Kebijakan pemerintah Pusat dan daerah mendukung sinergitas antar stake holder dan counterpart perlu dipacu untuk peningkatan implementasinya. Meskipun nilai ekonomis dan matematis secara kuantitas pengunjung ke cagar budaya tersebut kecil, namun kualitas ketertarikan dan keterikatan pada sejarah Penjara Boven Digoel patut dipelihara bagi pecinta sejarah dan generasi muda bangsa.
Tarif transportasi masyarakat dari Merauke-Boven Digoel untuk sekali jalan berkisar Rp 700.000,- perorang dengan menempuh jarak sekitar 410 (empat ratus sepuluh) kilometer dengan medan tempuh yang penuh perjuangan. Jauh dari fasilitas jalan seperti di Pulau Jawa tentunya. Pesawat bisa jadi alternatif. Namun, tarifnya Rp 1 juta per orang untuk menempuh rute Merauke-Boven Digoel selama sekitar satu jam. Asalkan, cuaca memungkinkan pesawat menerbangi rute tersebut.
Walaupun kota Boven Digoel agak terisolasi dan tidak seramai kota seperti Sentani atau Timika, namun pembangunan berjalan dan memiliki keindahan alam yang tak kalah memukau. Potensi pariwisatanya pernah dipamerkan pada ajang Papua Week di Floriade Expo-2012 di Venlo, Belanda. Para wisatawan juga dapat menikmati keindahan dan eksotisme burung cendrawasih kaisar (Paradisaea guilielmi) dan Rumah Pohon milik Suku Korowai. Suku ini baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 (tiga puluh)  tahun lalu di pedalaman Papua. Suku terasing ini hingga sekarang masih ada dan hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut rumah tinggi. Tujuan Suku Korowai membangun rumah tinggi adalah untuk menghindari serangan binatang buas dan suku lainnya. Pada kesempatan tersebut saya menyempatkan diri untuk naik ke rumah pohon milik keluarga Bapak Pangrasius Liwop yang tingginya mencapai hampir 25 (dua puluh lima) meter. That's so amazing.
Sejarah telah banyak membuktikan, bahwa kegigihan Bung Hatta dan para pejuang yang tinggal di Boven Digoel bisa menjadi bekal penting untuk membangun kesadaran bahwa Indonesia ini dibangun oleh orang-orang yang bersedia menderita. Brigjen Herry Nahak menyampaikan bahwa Kapolri, Jenderal Tito Karnavian selalu mengingatkan akan hal senada. "Pemimpin Polri yang tangguh tercipta dari tempaan di tempat-tempat kotor dan becek. Bukan dengan segala macam fasilitas dan kemudahan.” (…DERS…)




[1] Kasatgas Binmas Noken Polri 2018, 20 November 2018.

No comments:

Post a Comment