Monday, July 24, 2017

BENTURAN ANTAR PERADABAN DAN MASA DEPAN POLITIK DUNIA



BENTURAN ANTAR PERADABAN DAN MASA DEPAN POLITIK DUNIA
(The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order)
Pengarang: Samuel P. Huntington
Penterjemah: M. Sadat Ismail
(Penerbit : Qalam, Tebal : 619 Hlm)

PENDAHULUAN

Samuel P. Huntington menulis buku “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ditulis pada tahun 1996. Isinya memperkirakan terjadinya perbenturan antar budaya Barat dan Timur, sesuai kerangka pikir yang dituliskan Huntington. Buku ini merupakan karya Best Seller (monumental) yang menjadi kontroversi dan memicu polemik di berbagai belahan dunia selama lebih dari tiga tahun.
Dalam tulisannya tentang The Clash Of Civilizations (benturan antar peradaban), Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas:”Menurut Hipotesis saya,“sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya”.  Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Buku ini memiliki 5 tema utama yang berhubungan dengan identitas-identitas kebudayaan yang membetuk suatu pola-pola yang saling berkesinambungan dan penggabungan konflik-konflik yang terjadi pasca perang dingin, yakni;
1).        Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik global memiliki sifat yang mengandung banyak sisi didalamnya serta terdapat beberapa peradaban didalamnya yang mengakibatlan lahirnya sebuah peradaban baru yang bukan merupakan pembaratan dari masyarakatnya.
2).        Pergeseran sebuah kekuatan diantara berbagai macam peradaban-peradaban.
3).        Lahirnya sebuah dunia baru yang menggunakan sebuah peradaban sebagai landasannya; dan masyarakatnya yang memiliki persamaan kebudayaan dan saling mendukung satu samalain lewat kerja sama yang harmonis antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
4).        Kepura-puraan masyarakat barat yang secara menyeluruh mengakibatkan terjadinya konflik-konflik baru dengan peradaban lain, seperti kaum Muslim dengan non-muslim.
5)         Kelangsungan hidup peradaban barat tergantung pada masyarakat barat sendiri, tentang bagaimana sikap mereka terhadap kebudayaan barat, serta rasa memiliki masyarakat barat kepada kebudayaan mereka.
Buku ini dianggap merupakan referensi kunci untuk memahami dimana posisi kita dalam percaturan geopolitik internasional memasuki millennium ketiga pasca runtuhnya system komunisme dan berakhirnya perang dingin.

ISTILAH DAN KAWASAN PERADABAN
Istilah “benturan antar peradaban” sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington merupakan identitas budaya dan agama yang menjadi sumber utama konflik dalam dunia pasca Perang Dingin. Merupakan hubungan bermusuhan tanpa kekerasan antara negara-negara Komunis pimpinan Uni Soviet dan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat yang berlangsung antara sekitar tahun 1946 dan 1989.
Apa yang maksud dengan “peradaban”?  Huntington, walapun agak rancu namun mendefinisikan dalam bukunya, bahwa “Peradaban” yang dia jelaskan bisa terdiri dari negara dan kelompok sosial, seperti kelompok etnik dan minoritas religius. Tapi peradaban bisa juga mengacu pada kedekatan geografik dan persamaan bahasa. Yang tampaknya menjadi suatu kriterium utama dalam definisinya tentang peradaban adalah agama yang paling dominan.  Berdasarkan definisinya yang agak rancu tadi, dia mengidentifikasi beberapa peradaban utama dunia. Di antaranya, peradaban Barat, dunia bagian Timur, dan peradaban Muslim. 
Peradaban Barat mencakup beberapa kawasan geografik. Ada Australasia, kawasan yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan pulau-pulau yang berdekatan di Samudera Pasifik Selatan; Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada); dan Eropa (seperti Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, dan Belanda), termasuk Eropa Tengah dan Eropa Timur-Tengah yang dominan Katolik. Ia mencakup juga Oseania, kawasan geografik yang terdiri dari kebanyakan pulau yang lebih kecil di bagian barat dan tengah Samudera Pasifik, yang mencakup juga Australia dan Selandia Baru.
Peradaban dunia bagian Timur adalah suatu campuran peradaban penganut Buddhisme dan Hinduisme serta peradaban Sino dan Jepang. Secara khusus, peradaban Sino terdiri dari penduduk Cina, Korea, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Orang-orang Cina perantauan, terutama di Asia Tenggara, tergolong pada peradaban Sino.
Peradaban Muslim mencakup penduduk Timur Tengah, kecuali Armenia, Siprus, Etiopia, Georgia, Yunani, Israel, Kazakhstan, dan Sudan. Ia mencakup juga Afrika Barat bagian utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Kepulauan Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Kepulauan Maldives.

BENTURAN ANTAR PERADABAN

Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990 dan berakhirnya bipolaritas Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Peristiwa perang dingin merupakan sebuah peristiwa besar dunia yang menjadi saksi terjadinya perubahan-perubahan pola pikir beserta identitas dunia. Pada masa-masa pasca terjadinya perang dingin di Unisoviet, banyak sekali bendera yang dikibarkan secara silih berganti. Satu bendera dinaikkan, kemudian diturunkan lagi dan diganti dengan bendera-bendera lainnya. Naik turunnya bendera ini menjelaskan bahwa betapa pentingnya identitas suatu bangsa pada masa itu. Betapa pentingnya sebuah identitas baru untuk menjelaskan siapa dan bagaimana suatu bangsa tersebut. Perang dingin sendiri merupakan sebuah peristiwa besar dunia yang menyebabkan runtuhnnya negara unisoviet dan berubah menjadi beberapa negara.
Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya.  Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Dalam bukunya yang berjudul Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Samuel P Huntington menyebutkan pemikirannya sekurang-kurangnya ada enam alasan yang dijadikan sebagai dasar yang pakai untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan carut-marutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi.
Ekspansi Barat mampu menawarkan modernisasi dan westernisasi bagi masyarakat-masyarakat non-barat. Tokoh-tokoh politik dan intelektual dari masyarakat tersebut memberikan reaksi terhadap pengaruh barat. Reaksi masyarakat rehadap adanya modernisasi dan westernisasi bermacam-macam, diantaranya menolak modernisasi dan westernisasi, menerima modernisasi dan westernisasi.
Jepang merupakan Negara yang hanya menerima bentuk-bentuk modernisasi tertentu, seperti penggunaan senjata api sedangkan agama Kristen, sangat dibatasi. Di Cina juga melakukan penolakan atas modernisasi dan westernisasi.  Kemalisme, merupakan bentuk reaksi masyarakat non barat terhadap modernisasi dan westernisasi yang dilakukan oleh barat. Bentuk ini mengatakan bahwa modernisasi dan westernisasi dibutuhkan dan perlu, bahwa kebudayaan pribumi tidak dapat disepadankan dengan modernisasi dan harus ditinggalkan atau dibuang, dan bahwa masyarakat harus sepenuhnya terbaratkan supaya dapat mengikuti arus modernisasi.
Modernisasi dan westernisasi masing-masing saling menopang dan harus berjalan secara beriringan. Reformisme. Penolakan terhadap modernisasi dan westernisasi menjadikan masyarakat yang terbelakang tenggelam di tengah-tengah kancah dunia modern. Di jepang terdapat Wakon, Yosei: “semangat Jepang, teknik barat”. Di Mesir, Muhammad Ali “berusaha melakukan modernisasi tanpa budaya eksesif westernisasi”.
Pada fase-fase awal perubahan, westernisasi menawarkan modernisasi. Pada fase-fase akhir, modernisasi menawarkan de-westernisasi dan kebangkitan kebudayaan pribumi melalui dua cara. Pada tataran sosial, modernisasi mendorong kearah kemajuan dalam bidang ekonomi, militer dan politik dari suatu masyarakat secara keseluruhan dan membangkitkan keyakinan diri penduduk setempat terhadap kebudayaan mereka sendiri, sehingga secara kultural mereka percaya diri. Pada tingkatan individual, modernisasi menggerakkan perasaan terasing dan anomalie, yang dapat melepaskan ikatan-ikatan tradisional dan hubungan-hubungan sosial serta mengantarkan pada krisis identitas yang jawabannya hanya dapat ditemukan dalam agama.
Benturan antarperadaban dinilai lemah karena menunjukkan suatu geografi yang dibayangkan “terkurung pada dirinya” dan setiap ras memiliki takdir dan psikologi yang khusus. Hal ini menunjukkan suatu taksonomi (asas-asas pengelompokan) yang sederhana dan acak karena mengabaikan dinamika internal dan ketegangan pendukung di dalam suatu peradaban, mengabaikan fakta bahwa ada peradaban yang terpecah-pecah dan menunjukkan sedikit kesatuan internal. Contoh: dunia Muslim yang sangat terpecah-pecah sesuai garis-garis etnik dari orang Arab, Persia, Turki, Pakistan, Kurdi, Berber, Albania, Bosnia, Afrika, dan Indonesia – masing-masing memiliki pandangan dunia yang berbeda-beda. Selain itu juga mengabaikan fakta bahwa dalam masyarakat Islam secara khusus, konflik timbul antara nilai-nilai agama tradisional dan “modernitas”: nilai-nilai konsumerisme dan dunia hiburan.
Dalam dunia baru ini, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antar kelas sosial, antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik anatara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Selama beberapa tahun mendatang, dunia Barat (western) dipandang akan tetap sebagai peradaban yang paling berpengaruh. Namun, manakala dihadapkan pada keberadaan peradaban-peradaban lain, dapat saja mengalami kemunduran. Hal ini akan menyebabkan pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.
Sebagian orang menyatakan bahwa abad ini menjadi saksi lahirnya peradaban universal yang mengimplikasikan adanya pandangan umum bahwa kehadiran suatu budaya senantiasa tidak dapat lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku dan institusi-institusi oleh umat manusia diseluruh dunia. Konsep peradaban universal sesungguhnya merupakan produk Barat (Western) yang merupakan hasil proses panjang modernisasi sejak abad ke XVIII. Masyarakat modern sangat jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam masyarakat tradisional baik dalam sikap-sikap, nilai-nilai, pengetahuan maupun kebudayaannya. Lahirnya sebuah peradaban universal dengan berbagai makna pentingnya bukan merupakan hasil dari westernisasi masyarakat-masyarakat non-Barat. Namun sebaliknya, eksplansi Barat mampu menawarkan modernisasi maupun westernisasi bagi masyarakat-masyarakat non-Barat.
            Selama berabad-abad, masyarakat-masyarakat non-Barat merasa iri terhadap kemajuan-kemajuan yang dicapai Barat dalam bidang ekonomi, teknologi, militer, dan politik. Mereka berusaha menemukan rahasia keberhasilan tersebut melalui berbagai institusi dan nilai-nilai Barat. Manakala mereka merasa telah menemukannya, merekapun mencoba menerapkannya di dalam masyarakat mereka sendiri. Untuk menjadi kaya dan penuh kekuatan, mereka harus seperti Barat. Hal ini menyebabkan pergeseran kekuatan di antara berbagai peradaban di mana peradaban-peradaban Asia memperluas kekuatan kekuatan ekonomi, militer dan politik mereka. Disaat kebangkitan Asia khususnya Asia Timur menjadi sebab meningkatnya ekonomi rata-rata yang spektakuler, namun disisi lain kebangkitan Islam tengah dikobarkan oleh pertumbuhan rata-rata penduduk yang sama-sama spektakulernya. Dengan demikian, peradaban-peradaban non-Barat secara umum menegaskan kembali nilai-nilai budaya mereka sendiri.
            Seiring dengan bergulirnya arus modernisasi, politik global mengalami rekonfigurasi di sepanjang lintas batas cultural. Berbagai masyarakat dan Negara yang memiliki kemiripan kebudayaan saling bergandengan, dan mereka yang berada di wilayah kebudayaan yang berbeda saling terpisahkan. Dalam dunia baru, identitas cultural merupakan faktor utama yang membentuk asosiasi-asosiasi dan antagonisme-antagonisme antar Negara. Ini melahirkan sebuah dunia yang didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban. Namun, upaya untuk menggantikan peradaban lain senantiasa tidak berhasil.
            Pada saat muncul fenomena politik global, Negara-negara inti dari peradaban-peradaban besar menjadikan dua (Negara) superpower sebagai tiang-tiang panjang utama. Perubahan perubahan yang terjadi lebih banyak berkaitan erat dengan peradaban-peradaban Barat, Ortodoks, dan Tionghoa (sinic). Dalam hal ini, berbagai pengelompokan sivilisasional yang ada melibatkan Negara-negara inti sekaligus Negara-negara anggota. Secara cultural, masing-masing Negara tersebut saling berdampingan, memiliki kemiripan dari segi populasi minoritas, dan yang kontoversial, terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari kebudayaan-kebudayaan Negara-negara tetangga. Masing-masing Negara yang berada pada blok-blok sivilisasional ini sering kali cenderung mengalami perputaran konsertris di sekitar satu atau lebih Negara inti, yang merefleksikan derajat identifikasi dan pengintegrasian mereka ke dalam blok-blok tersebut. kurang diakuinya sebuah Negara inti menjadikan kehadiran islam semakin memiliki arti penting dalam kesadaran umum, sekalipun hanya berkembang sebagai sebuah permulaan dari suatu tatanan politik. Hal ini menjadikan Negara-negara saling bertumpu pada peradaban-peradaban mereka sendiri.
            Dalam dunia baru, hubungan-hubungan antara Negara dengan peradaban menjadi semakin sulit dan tidak jarang menunjukan kecenderungan yang antagonistic. Dan beberapa hubungan interperadaban lebih mengarah pada konflik dari pada bentuk hububungan-hubungan lainnya. Pada tingkatan mikro, terdapat garis persinggungan yang sangat tajam antara umat Islam dengan kaum Ortodoks dan umat Hindu, antara masyarakat Afrika dengan umat Kristen Barat, tetangga mereka. Pada tingkatan makro, terdapat pembedaan yang sangat nyata antara Barat dan non-barat. Hal ini ditandai adanya konflik yang semakin meningkat antara umat Islam dan masyarakat-masyarakat Asia, di satu pihak dengan Barat di pihak lain. Dimasa yang akan datang, benturan-benturan yang terjadi tampaknya lebih disebabkan oleh arogansi Barat, intoleransi umat Islam, dan arogansi Tionghoa.
            Peradaban Barat merupakan perdaban besar yang sering kali memicu terjadinya benturan keras antar peradaban. Hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan Barat dengan kekuasaan dan kebudayaan dari peradaban lain menjadi karakteristik umum dari dunia peradaban. Kalangan non-Barat tidak ragu-ragu menunjukan adanya jurang pemisah antara prinsip Barat dengan kebijakan Barat. Masyarakat-masyarakat non-barat berusaha membebaskan diri dari dominasi cultural, militer, dan ekonomi Barat. Dalam hal ini Negara sangat berperan penting dalam mencegah konflik-konflik yang terjadi.
            Peradaban Barat jelas berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang pernah ada, karena peradaban barat mampu mempengaruhi peradaban-peradaban lain yang pernah ada sejak 1500 Masehi. Barat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi yang kemudian menyebar keseluruh dunia dan sebagai hasilnya masyarakat dari perdaban-peradaban lain berusaha mengikuti jejak barat dalam hal mencapai kesejahteraan dan modernitas. Namun disisi lain kebudayaan Barat dihadapkan pada tantangan dari kelompok-kelompok kebudayaan lain yang hidup di tengah-tengah masyarakat barat itu sendiri. Tantangan yang lebih nyata dan berbahaya adalah apa yang terjadi pada Amerika Serikat. Secara historis, identitas nasional Amerika Serikat secara cultural merupakan warisan peradaban Barat dan secara politis berasal dari prinsip-prinsip Kredo Amerika yang diterima sepenuhnya oleh masyarakat Amerika yang berupa kebebasan, demokrasi, individualisme, persamaan dihadapan hukum, konstitualisme dan hak-hak pribadi. Hal ini menjadikan kelangsungan hidup (peradaban) Barat tergantung pada penegasan kembali Amerika atas identitas ke-barat-an mereka dan keyakinan Negara-negara Barat tentang ‘keunikan’ peradaban mereka, bukan peradaban universal dan persatuan mereka untuk dihadapkan pada tantangan-tantangan yang datang dari masyarakat-masyarakat non-Barat mempertahankan serta memperbaruinya.
            Sebuah perang yang melibatkan Negara-negara inti dari peradaban-peradaban besar dunia sebagai suatu hal yang bisa saja terjadi. Perang seperti itu, sebagaimana telah kita ketahui, berasal dari sebuah garis persinggungan perang di antara berbagai kelompok yang berasal dari peradaban-peradaban yang berbeda, dan yang paling sering melibatkan kaum Muslim dengan non-Muslim serta yang lainnya. Terhindarnya perang global antar peradaban tergantung pada kebijakan dan kerja sama para pemimpin dunia dalam mempertahankan karakter multisivisasional dari politik global.

PERGESERAN PERADABAN MENUJU ERA BARU
Huntington menolak kepercayaan luas masyarakat Barat bahwa nilai-nilai dan sistem politik Barat bisa diterima dan dipraktekkan di manapun di dunia. Ini kepercayaan yang naïf. Karena itu, upaya pihak barat tak henti-hentinya mendorong demokratisasi dan terlaksananya norma-norma “universal” dari mereka yang akan menimbulkan sikap bermusuhan diantara  peradaban-peradaban. Bukankah merekalah yang membentuk sistem internasional, menulis undang-undangnya, dan memberi isinya dalam bentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Huntington lalu mengidentifikasi suatu pergeseran utama dari kekuasaan ekonomi, militer, dan politik dari Barat ke peradaban-peradaban dunia yang lain. Pergeseran utama itu terjadi melalui munculnya dua “peradaban penantang”: peradaban Sino dan Muslim.  Peradaban Sino di Asia Timur tengah menegaskan diri dan nilai-nilainya dalam kaitan dengan peradaban Barat. Apa penyebab penegasan diri peradaban Sino? Pertumbuhan ekonominya yang cepat. Dia percaya tujuan khusus Cina dengan bertindak demikian adalah untuk menegaskan kembali dirinya sebagai penguasa regional; negara-negara lain di kawasan itu akan “membutuhkan” Cina. Mengapa? Sejarah Cina dan negara-negara itu adalah sejarah tentang struktur komando hierarkis, struktur yang menyiratkan pengaruh ajaran Konfusius (yang menekankan penguasaan diri, kepatuhan pada hierarki sosial, dan ketertiban sosial dan politik) di balik peradaban Sino. Struktur ini bertolak belakang dengan individualisme (kepercayaan akan pentingnya kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat) dan pluralisme yang dinilai tinggi di Barat.

Heterogenitas kultural (culture dominan) berasumsi bahwa globalisasi kapitalisme konsumer akan mendorong hilangnya keragaman budaya. Intinya meningkatnya kesamaan budaya akan menghapuskan otonomi budaya akibat imprealisme cultural. Pesatnya perkembangan sistem kapitalisme di berbagai belahan dunia telah mengkonstruksi sebuah situasi dimana para pelaku usaha bisa dengan sangat bebas melakukan inovasi dan pengembangan terhadap usahanya. Beberapa perusahaan bahkan bisa berkembang hingga menjadi perusahaan yang sangat besar dan mampu menguasai pangsa pasar usaha mereka di negara tersebut. Ketika perusahaan-perusahaan tersebut semakin berkembang besar, dan atau muncul perusahaan kompetitor baru yang juga pesat perkembangannya, perusahaan tersebut akan “merasa” bahwa tempat mereka berusaha sudah menjadi terlalu “sempit” bagi perkembangan usaha. Mereka pun akan mencoba mencari pangsa pasar baru dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Jika dalam usaha ekspansi ini banyak pihak antarnegara yang dilibatkan sehingga menciptakan perdagangan antarnegara, maka terjadilah perdagangan global.
 Pada pihak yang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap cara hidup dan peradaban manusia. Banyak hal telah ditemukan dan banyak penemuan telah disempurnakan sebagai upaya untuk mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan yang paling pesat dan paling terasa dampaknya adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan bidang ini telah membawa manusia pada sebuah era peradaban baru, dimana segala persoalan komunikasi dan sharing informasi telah menjadi hal yang tidak terlalu dirisaukan lagi karena adanya evolusi cara dalam berkomunikasi. Saat ini setiap orang di dunia dengan mudah berhubungan dengan orang lain walaupun jarak yang memisahkan mereka sangat jauh. Setiap orang di dunia juga bisa saling terhubung 24 jam dan bisa bertukar ribuan byte informasi dengan hanya memencet tombol-tombol ataupun berbicara melalui mokrofon. Sebuah informasi yang sama juga bisa diakses dan diketahui oleh jutaan manusia pada waktu bersamaan tanpa adanya kesulitan sehingga seakan-akan sudah tidak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan manusia dengan manusia yang lain maka terjadilah globalisasi informasi.
Secara umum, globalisasi bukanlah sebuah ide yang buruk. Banyak kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan oleh manusia melalui globalisasi, mulai dari kemudahan akses informasi dan komunikasi, layanan perbankan, akses hiburan, dan sebagainya. Selain itu, komunikasi dan persahabatan antarmanusia antarnegara akan semakin terbentuk dan bisa semakin memperkuat ikatan yang mengesampingkan perbedaan tersebut. Akan tetapi, globalisasi ternyata memiliki kecenderungan untuk menciptakan sebuah situasi dimana suatu budaya yang mengglobal akan mendominasi budaya lokal.
Globalisasi membuka kesempatan bagi penyeragaman (homogenisasi) budaya yang mengakibatkan produk budaya global mengalahkan produk budaya lokal. Globalisasi terjadi atas dukungan kemajuan teknologi. Teknologi sendiri dalam hal ini sebenarnya merupakan sebuah simbol modernitas. Sampai pada titik ini sebenarnya bisa dipahami mengapa banyak orang lebih suka menkonsumsi produk globalisasi daripada produk lokal. Sepertinya ada sebuah identitas yang coba diraih oleh para konsumen tersebut: jika ingin modern, maka gunakanlah produk-produk hasil dari modernitas. Di sisi lain, karena globalisasi juga menyebarkan trend-trend populer yang dianggap “gaul” atau kekinian, perkembangan budaya populer tampaknya juga mempengaruhi perilaku tersebut.
Jika kita melupakan adanya kecenderungan homogenisasi yang terjadi pada setiap proses globalisasi, maka bisa saja kita kehilangan apa yang kita miliki sebagai identitas budaya. Sekilas homogenisasi membuat setiap orang melupakan segala perbedaannya karena memang ketidakseragaman yang terjadi pada akhirnya melebur, sehingga menyebabkan seakan semuanya bersatu untuk menjadi satu indentitas. Namun, jika hal ini kita dukung sepenuhnya, maka kita akan benar-benar kehilangan identitas sejati kita.
Dalam konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat akan terpinggirkannya atau hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi dari produk budaya global. Semua pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari homogenisasi budaya. Tanpa kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran budaya global yang mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah ternyata masih banyak anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan kalangan anak muda kita justru menjadi pendukung secara langsung maupun tidak terhadap produk-produk budaya global.
Adanya budaya baru dari barat tidak sepenuhnya akan menghilangkan budaya lokal. Mengutip ucapan Michel Wivieorka, bahwa ketika “globalisasi semakin memperdalam cengkeramannya, maka masyarakat berusaha melakukan apa yang dia sebut sebagai glokalisasi”. Demikian pula yang dikatakan oleh Huntington dalam bukunya Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia (2002: 12, 8-9): “sebagian masyarakat-masyarakat non barat, berusaha menandingi barat dan berjuang mengejar ketertinggalan mereka dari barat. Masyarakat-masyarakat non barat, terutama masyarakat Asia Timur, mengembangkan kekayaan ekonomi mereka serta menciptakan basis kekuatan militer dan politik. Seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri, mereka semakin memantapkan nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak segala “pemaksaan” yang dilakukan oleh barat terhadap mereka”.
Dalam Bab III juga Huntington, mengatakan bahwa “Lahirnya sebuah dunia yang didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban, masyarakat-masyarakat yang memiliki afinitas-afinitas cultural saling bekerja sama antar satu dengan yang lain, upaya untuk menggantikan peradaban suatu masyrakat dengan peradaban lain senantiasa tidak berhasil, dan masing-masing Negara saling bertumpu pada peradaban mereka sendiri”. (Huntington, 2002: 6)
Oleh karena itu, sekalipun ada upaya homogenisasi budaya, maka akan selalu ada upaya dari masyarakat “lain” sebagai tujuan dari upaya homogenisasi tersebut untuk melakukan upaya-upaya penolakan. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali Jinnah, Harry Lee dan Solomon Bandaranaike. Mereka melakukan “pribumisasi-diri” di tengah-tengah masyarakat mereka. Bahkan gerakan pribumisasi seolah-olah telah menjadi mode di seluruh dunia non barat. Dalam masyarakat Islam terkenadal dengan gerakan “Re-islamisasi”, di India terdapat kecenderungan melakukan penolakan terhadap bentuk-bentuk serta nilai-nilai barat dan telah terjadi “Hinduisasi” dalam kehidupan social politik. Di Asia timur, kalangan pemerintah menawarkan konfusianisme, para tokoh poltik dan kaum intelektual berbicara tentang “Asianisasi”.
Berbagai macam upaya penolakan yang dilakukan oleh masyarakat non-barat terhadap globalisasi, westernisasi maupun modernisasi telah mencapai bentuk yang sangat beragam. Westoksikasi atau penolakan masyarakat non-barat adalah sebuah deklarasi independensi cultural dari pengaruh barat, suatu pernyataan bahwa “kami akan menjadi modern, tetapi akami tidak akan seperti anda”.(Huntington, 2002:166)
Jadi, homogenisasi budaya atau imprealisme budaya bisa mempengaruhi masyarakat baik pada pola hidup, pola perilaku, cara makan, selera makan, cara berpakaian, dan bahkan pemikiran masyarakat, namun upaya-upaya “westoksikasi” akan terus selalu ada sehingga pluralism budaya tidak akan hilang begitu saja.


HAKIKAT BENTURAN PERADABAN
Peradaban (hadhârah) secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman. Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman.
Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa—yang kemudian dikenal dengan renaissance dan rasa percaya diri  terhadap karakter progresif era modern. Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi yang dimanifestsikan dalam perilaku tentang kehidupan.
Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
1.     Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
2.     Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal.
Peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun sistem. Ditinjau dari definisi ini, mabda’ menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau bertolak belakang.  Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh para pendusta dan pembohong.

BEBERAPA FAKTOR PEMICU BENTURAN PERADABAN ISLAM DAN BARAT

Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:

1.     Faktor agama.

Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M. Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.
Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma)  terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata "christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.

2.     Faktor ekonomi.

Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam. Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State). 
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi  peradaban  Barat saat ini. Benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.



3.     Faktor ideologi.

Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam—sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.  Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.

HUBUNGAN PERADABAN DENGAN NEGARA  

Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara  adalah “wadah”-nya. Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti.  Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain.
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan "wadah" bagi peradaban Islam Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekulerlah yang kemudian mendominasi saat ini.
Demikian pula peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniah di Turki (1924 M).
Polarisasi budaya dan peradaban dunia telah menimbulkan pelbagai prasangka dan stereotip yang sering kali menimbulkan konflik. Pembagian dunia menjadi Timur dan Barat juga menambah rumitnya persoalan tentang dimana sebenarnya kita berpijak, karena kategori Timur dan Barat ternyata tidak hanya ditentukan oleh tempat dan letak geografis, tetapi juga oleh pandangan dunia, aliran politik, peradaban dan kebudayaan yang kita miliki.

MASA DEPAN PERADABAN
Ketika sebuah peradaban baru muncul, maka hal tersebut artinya merupkan berakhirnya dari sebuah peradaban lama. Akhir dari sebuah sejarah diartikan pula sebagai akhir dari sebuah peradaban dunia. Peradaban barat mislanya, peradaban ini merupakan peradaban terbesar pada masanya, peradaban ini mampu mempengaruhi peradaban lain dalam berbagai hal. Tidak mudah bagi Barat untuk mencapai puncak kejayaan. Barat harus mengalami masa-masa sulit dan pasang surut dalam berbagai bidang. Barat mampu menghadapi konflik-konflik yang melibatkannya, bahkan peradaban barat pernah mengalami masa dimana barat berada pada ambang kehancuran, namun barat tetap menyelesaikannya dan melewatinya dengan baik dan tegas, itulah yang membuat barat sebagai peradaban yang kuat seiring berjalannya waktu. Barat pernah mengalami konflik, dimana mereka saling berdebat mengenai hakikat dan masa depan  barat sendiri yang mendorong barat menjadi peradaban yang lebih dan lebih kuat lagi dari sebelumknya.
Perang antar peradaban merupakan perang yang meibatkan negara-negara yang memiliki konflik dimasa lalu dan berkelanjutan sampai saat ini. Perang antarperadaban sangat berpengaruh terhadap hidup matinya sebuah peradaban. Perang ini menimbulkan simpati dari suatu negara terhadap negara lain yang dianggap memiliki persamaan dan kesamaan pedoman hidup serta tujuan hidup. Misalnya, negara barat yang mebantu bagian dari barat, negara islam yang membantu negara islam lainnya saat mengalami peperangan, negara Kristen yang membantu atau mendukung dari belakang negara yang bagian Kristen, daln sejenisnya.  Konflik-konflik yang terjadi tersebut pada akhirnya membentuk era baru yakni yang disebut dengan modernisasi. Modernisasi sendiri dianggap sebagai era dimana era ini akan mensejahterakan peradaban-peradaban di dunia. Era dimana tidak ada konflik-konflik yang akan menimbulkan perpecahan dalam peradaban, namun persatuan demi kesejahteraan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Samuel P. Huntington (1996), Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, CV. Qalam. Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment