Trans Nabire-Paniai: jalur “Killing Zone” yang mendebarkan
Oleh: Eko SUDARTO[1]
Perjalanan darat dari Nabire ke
Paniai (Enarotali) merupakan rute terberat yang saya rasakan dibandingkan dengan
perjalanan dari Wamena ke Lanny Jaya atau dari Merauke ke Sota. Hal ini karena trans
Nabire-Paniai yang berjarak 360-an KM tersebut memiliki medan yang
berbukit-bukit terjal, lembah dan jurang curam serta rawan longsor yang
membelah hutan belantara. Tak kurang dari 10 (sepuluh) lokasi perbaikan
fasilitas jalan dan jembatan dijumpai sepanjang jalan trans Nabire-Paniai
tersebut.
Perjalanan selama kurang lebih 7
(tujuh) jam tersebut harus ditempuh untuk memastikan implementasi program peternakan
babi di 2 (dua) spot di wilayah Paniai. Spot tersebut terletak di kampung
Timida yang dikelola Bapak Yulianus Gobai dan spot Kampung Madi yang dikelola
Pendeta Yunus Yogi. Selain itu juga untuk memberikan dukungan dan motivasi
kepada personil Binmas Noken di wilayah Polres Nabire (Bripka Jimmy John
Manobi) dan Polres Paniai (Brigadir I Komang Artama) dalam mengimplementasikan
program.
Sebenarnya, alternatif perjalanan
lain bisa juga ditempuh melalui jalur udara dari Nabire ke Wagete. Dari Bandara
Wagete ke Paniai dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 1,5 hingga 2 jam. Namun
tidak ada jadwal penerbangan regular di jalur ini, sehingga hanya bisa dengan charter pesawat yang memerlukan biaya berkisar 35 (tiga puluh
lima) juta rupiah untuk satu kali jalan. Sementara melalui jalan darat berkisar
hingga 5 (lima) juta rupiah pulang-pergi,
maka perjalanan darat menjadi pilihan banyak orang.
Berbekal informasi yang diperoleh
dari Waka Polres Paniai, Kompol Robert Pui yang kebetulan satu pesawat. Pak
Robert selesai mengikuti kegiatan arahan Kapolda dan para Kasat Binmas serta
Bhabinkamtibmas di Jayapura. Setelah bermalam di Nabire, perjalanan Nabire-Paniaipun
dilakukan pada Senin, tanggal 5 November 2018 sekitar jam 04.00 WIT. Dengan
menggunakan 3 (tiga) kendaraan, 2 (dua) jenis Toyota Hilux dan Fortuner.
Kabut tebal masih menyelimuti
sepanjang perjalanan, ruas jalan walau sebagian besar beraspal namun sempit
berkelok-kelok, turun naik terjal berliku dan curam disamping kanan-kiri jurang
dalam mengangga. Di awal perjalanan sudah terasa sekali bahwa iklim Papua memang
sangat keras dan penuh misteri. Wow…. Saya paksakan diri untuk tidur sepanjang
awal perjalanan hingga Reza (supir muda usia 23 tahun) tanpa sengaja membangunkan
kami, karena ban kiri depan mobil tersobek akibat menghantam batu tajam.
Dalam suasana hujan cukup deras, Reza
akhirnya berhasil mengatasi masalah tersebut dan melanjutkan perjalanan hingga
tiba di suatu daerah yang disebut rest
area, yaitu Siriwa. Jarak Nabire-Siriwa diperkirakan 100 km. Nampak
beberapa warung makan yang lumayan representatif untuk sejenak istirahat. Seusai
sarapan pagi dengan “teh hangat” dan “coto conro”, perjalananpun dilanjutkan
walaupun suasana hujan masih cukup deras dan jam telah menunjukkan sekitar
pukul 07.30 WIT.
Sepanjang perjalanan, Bripka Jimmy,
Reza sang supir dan Kompol Yosep Goran (Kanit Peternakan) berbagi cerita dan
pengalaman tentang suka-duka melewati perjalanan trans Nabire-Paniai. Pak Yosep
mengisahkan bahwa belum lama ini, Karo Ops Polda Papua, KBP Gatot Haribowo
terpaksa harus bermalam tengah perjalanan (KM 148) karena jalanan yang longsor.
Sementara I Komang Artama di tahun 2006 pernah terjebak longsoran bukit di KM
81 hingga KM 93 bersama 6 anggota Polres Paniai yang membawa 6 (enam) unit
motor baru. Solusi yang dilakukannya waktu itu adalah bergantian bahu membahu
memanggul motor tersebut satu-persatu melewati areal longsoran.
Jimmy tak kalah seru menceritakan
bahwa daerah trans Nabire-Paniai beberapa waktu lalu masih cukup rawan dari
gangguan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) dibawah pimpinan Yulius Nawipa. Ada
peristiwa yang masih melekat dalam ingatannya, bahwa terjadi penyerangan
terhadap anggota Polri di tahun 2005, yaitu di KM 121. Walaupun tidak ada korban
saat itu, namun kontak tembak sempat berlangsung. Peritiwa penghadangan dan penembakan juga
terjadi di tahun 2013, ada 2 (dua) anggota Polres Paniai, satu diantaranya
ditembak di perjalanan Paniai-Nabire menjelang Natal. Anggota yang terluka di
bagian punggung tersebut melarikan diri dan bertahan sampai Polsek Kamuu dan
berhasil diselamatkan jiwanya.
Kerawanan kriminal di Wilayah trans
Nabire-Paniai lainnya adalah penghadangan atau dikenal dengan istilah “palang
jalan”. Dimana oknum atau pelaku akan menghadang mobil atau kendaraan yang
lewat dengan senjata tajam (parang, tombang, panah) maupun batu untuk meminta
sesuatu secara paksa. Menurut Jimmy, wilayah paling sering terjadi penghadangan
adalah Uga Puga dan daerah pintu angin Wagete dekat danau Tigi.
Sementara Reza mengisahkan bahwa
dirinya telah menjalani profesi sebagai supir trans Nabire-Paniai sejak tahun
2012. Reza mengaku sudah sering mendengar dari sesama supir trans Nabire-Paniai
tentang isu-isu tersebut dan bagaimana mengatasinya. Pengalamannya pernah dihadang sebanyak 2 (dua)
kali. Pada saat peristiwa penghadangan pertama, Reza tetap fokus mengemudi dan
menambah laju kecepatan kendaraannya sebagaimana cerita rekan-rekannya sesama
supir, sehingga pelaku “palang jalan” menyingkir dan sempat memukul kaca spion
kanan mobilnya hingga nyaris terlepas. Rezapun selamat dari penghadangan
tersebut. Sementara pada penghadangan yang kedua, Reza dari jarak jauh sudah
memacu kendaraannya. Hal ini membuat pelaku panik dan melempari mobilnya dan
mengakibatkan penyok di bagian belakang.
Cerita seru Reza terhenti sesaat
melintasi wilayah Polsek Kamuu (Moanamani atau Dogiyai), masih Polres
Nabire. “Berarti kita sudah tempuh 200
(dua ratus) kilometer, Komandan,” tegas Jimmy. Maka saya putuskan untuk
istirahat sejenak sambil ke kamar kecil, ngobrol dan berfoto bersama dengan sekitar
6 hingga 7 orang anggota Polsek yang sedang jaga di ruang pelayanan.
Perjalanan berikutnya, walau masih
tetap terjal dan berliku, namun dirasakan cukup singkat menuju Polres Paniai.
Alhamdulillah, sekitar jam 14.00 WIT kedatangan tim Binmas Noken sudah ditunggu
dan disambut oleh Kapolres, AKBP Abdullah Wakhid, Kasat Binmas Polres, Iptu
Mansur dan beberapa personil serta anggota Binmas Noken, Brigadir I Komang
Artama. Bagi saya, ini merupakan perjalanan yang memerlukan ketahanan fisik dan
mental. Khususnya diperlukan supir yang extra waspada karena banyaknya warga
masyarakat yang berjalan kaki di kanan-kiri ruas jalan dengan “malas tahu” dan
tanpa terasa kepala lumayan pusing juga. (…ders…)
Salam komandan!
ReplyDeletemenarik sekali cerita tentang jalur Nabire-Paniai ini, kebetulan saya juga sudah berkali-kali melewati jalur ini dan memang, ini salah satu jalur paling berat di Papua yang pernah saya lewati. Berat karena jaraknya dan berat karena kejutan-kejutan di perjalanan yang kadang tidak terduga.