Bercanda dengan “Hiu Paus” di Teluk Cendrawasih
Oleh; Eko SUDARTO[1]
Sekitar
sembilah bulan sudah saya menikmati penugasan Binmas Noken
Polri di beberapa wilayah Pegunungan Tengah Papua. Berkunjung dan memastikan
program berjalan di beberapa wilayah kabupaten, dari Wamena, Lanny Jaya,
Yahokimo, Puncak Jaya (Mulia), Puncak (Ilaga), Timika, Pegunungan Bintang
(Kiwirok), Nabire hingga Paniai (Enarotali), bahkan sempat ke Merauke. Serasa kembali
ke tanah kelahiran, karenanya senang dibilang anak “Jamer” alias “Jawa Merauke”.
Dalam
perjalanan dari Paniai menuju Nabire, Jimmy (anggota Binmas Noken Polres
Nabire) menyarankan untuk mengunjungi “Kalilemon
Dive Resort” di kawasan reservasi Teluk Cendrawasih. “Disana ada ikan Hiu
Paus, Komandan,” tegasnya mempengaruhi. Ingatan sayapun langsung tertuju pada
sahabat satu di Manokwari, Papua Barat, Kaka Sagi Dharma yang sambal menyelam berfoto
di lautan bersama ikan Hiu Paus besar yang jinak. Juga beragam informasi
tentang mahluk laut jenis ikan Hiu Laut (Whale
Shark) ini yang tergolong unik dan langka. Maka tekadpun bulat, sambal menunggu
waktu keberangkatan ke Jayapura, lebih baik memanfaatkan waktu untuk melihat
mahluk raksasa laut yang langka dan dilindungi tersebut.
Sejenak
di Polres Nabire, saya sempatkan sesaat bertatap muka dan diskusi dengan beberapa
anggota Satuan Binmas Polres Nabire yang juga dihadiri oleh Waka dan Kabag Ops
Polres. Dan beberapa waktu kemudian Kapolres-pun bergabung dalam diskusi kami,
khususnya keberadaan Ikan Hiu Paus. Para pejabat Polres Nabire tersebut
mendukung saya untuk mengunjungi lokasi ikan Hiu Paus tersebut. “Tidak lengkap
di Nabire kalau belum melihat Hiu Paus, Bang,” ujar Sonny Tampubolon, Kapolres
Nabire.
Beruntung
perjalanan didampingi Kabag Ops, AKP. Helmi Tamaela, sehingga bisa memberikan
banyak informasi terutama lokasi yang akan dituju, yaitu Kalilemon dive resort. Perjalanan darat dari Nabire menuju lokasi ke
Pantai Wagi harus ditempuh selama 1, 5 jam. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan
dengan menggunakan 2 (dua) buah speed
boath pada umumnya diperkirakan memakan waktu 30 (tiga puluh) menit dengan
kecepatan rata-rata 20 (dua puluh) knot. Namun setelah hampir 1 (satu) jam menembus
gelapnya teluk Cendrawasih, kamipun sampai dan disambut oleh lelaki setengah
baya dan Helmi yang telah tiba lebih awal. Lelaki tersebut ternyata pemilik,
pengelola dan pendiri resort, namanya Bapak Bram Maruanaya.
Sekilas
dari nama belakang dan perawakannya, Pak Bram yang berdarah Ambon (Maluku)
tersebut ternyata putra dari seorang purnawirawan Polri. Pak Bram memiliki 6
saudara, awalnya merintis kariernya sebagai enterpreuner
di bidang tehnik dan meubeler. Ayah 2
(dua) putra ini awalnya ditentang sang istri tercinta pada saat membangun resort 10 tahun lalu. Bukan itu saja,
masyarakat sekitar resort-pun pada
awalnya menentang usahanya karena ia tidak pernah memberikan “uang” tunai, tapi
hanya pelatihan dan pembinaan. Sungguh awal-awal yang berat dan sulit harus dilalui
Pak Bram, hingga akhirnya di tahun 2015 datang bantuan dari Dirjen Perimbangan
Keuangan Negara.
Ngobrol
berdua berteman kopi “Moanamani” dan
cerita sahut-menyahut mengalur alami di atas salah satu spot utama berukuran
sekitar 10 x 15 meter dengan bahan-bahan kayu besi yang kokoh. Secara keseluruhan,
luas lokasi resort memanjang sekitar 200 meter dengan lebar 20 meter kebelakang
sudah ditutup oleh tebing. Saat ini dihuni oleh 4 (empat) keluarga yang sejak
awal dididik dan dibina oleh Pak Bram. Sedangkan personil lainnya ada yang
pulang-pergi dari rumahnya ke resort. Sebagian lagi ada yang sudah mandiri dengan
membuka usaha diving, bengkel, meubel, maupun sebagai trasporter laut.
Keingintahuan
saya tentang tempat reservasi yang sekaligus berfungsi sebagai balai latihan
kerja menambah suasana malam walaupun dihembus angin laut, namun semakin
bergairah, karena Pak Bram seorang yang sangat terbuka dan menyenangkan. Cerita
tanpa arah namun penuh keterbukaan, mulai dari masalah keluarga, anak-anak,
harapan dan impian usaha non provit-nya
untuk masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan hingga masalah “ikan Hiu
Paus” terus bergulir.
Pada saat
mengulas “ikan Hiu Paus” yang nama latinnya adalah Rhincodon
typus, Pak Bram bisa dengan leluasa
menceritakan dan menjawab apapun yang ditanyakan. Pengetahuan dan kekayaan budayanya
terhadap ikan Hiu Paus semakin bertambah, karena hampir selama 10 tahun terus
berinteraksi dengan ratusan pengunjung orang asing. Mereka datang dengan
berbagai alasan, baik hanya sekedar tertarik untuk datang melihat, para pejabat
asing maupun ahli-ahli dari luar negeri yang datang untuk mempelajarinya. Para
ahli yang datang dari berbagai negara, seperti Amerika, Jepang, Swiss,
Australia, Jerman dan banyak lagi. Tak ayal, bantuan peralatan dan teknologi
diberikan untuk bisa memantau, mendeteksi bahkan memonitor setiap pergerakan
ikan Hiu Laut ini.
Menurutnya,
para ahli saat ini baru bisa mendeteksi ada sekitar 138 (seratus tiga puluh
delapan) ekor. Sebagian dari ikan-ikan tersebut dipasang sejenis “chips” di siripnya. Chips tersebut
berfungsi memonitor setiap gerakan, suhu air, kelembaban, kedalaman air, maupun
jalur (rute) migrasi. Pernah ada satu ikan bermigrasi ke Pilipina, terpantau
berangkat dan kembali melalui jalur (rute) serta kedalaman yang sama. Juga termonitor
ikan-ikan tersebut bermigrasi hingga ke perairan Karibia di kedalaman 2000 feet. Konon, ikan-ikan tersebut sanggup
menyelam hingga kedalaman 6000 feet. Juga
termonitor pergerakan ikan-ikan tersebut di sepanjang perairan Australia. Bagaimana
memonitor pergerakan mereka? Pak Bram memiliki akses khusus untuk membuka link yang diberikan oleh para ahli yang
memonitor aktivitas ikan-ikan tersebut di Amerika Serikat.
Pertanyaan
saya adalah mengapa ikan-ikan itu hampir setiap saat ada di perairan Nabire
atau teluk Cendrawasih? Kemungkinan utama disebabkan oleh banyaknya plankton
laut dan ikan-ikan kecil sebagai makanan utama ikan-ikan tersebut, sehingga
mereka lebih banyak berdiam di Nabire. Cerita semakin seru, namun harus
diakhiri oleh Pak Bram karena saya esok harus bertemu dengan raksasa laut
tersebut.
Sekitar
06.45, Pak Bram dan Andrian Yamban (speed
nakhoda boath) sudah membawa kami melaju mendekati bagan (rumah terapung
tempat menangkap ikan) terdekat. Banyak yang menganggap ikan terbesar di dunia
adalah ikan paus, padahal Paus bukanlah ikan karena hewan mamalia. Hiu paus (whale shark, Rhincodon typus) adalah
spesies ikan terbesar di dunia dan bisa mencapai panjang 13 hingga 15 meter.
Walau masih satu keluarga dengan hiu putih besar (great white shark) yang terkenal ganas, justru perilaku hiu paus
sangat jauh berbeda.
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, muncul
3 (tiga) ekor ikan Hiu Paus tersebut. Saya, sengaja beratribut segera terjun nyebur
di kehijauan dan kebiruan toska yang menghampar, tak sabar ingin melihat dan
mendekat. Cukup menyelam sesaat saja, dengan jelas terlihat gerakan yang anggun
dan sangat menyenangkan berada dekat ikan tersebut. Bersyukur saya bisa sedikit
menahan napas dan Pak Bram yang membawa kamera bisa mengambil posisi untuk
mengabadikan momen langka tersebut. Berenang sambil terus mengingat semua petunjuk
Pak Bram, saya menjaga jarak dan tetap terkagum-kagum akan kebesaran ciptaan
dan keruniaNya bagi Papua yang kaya ini.
Pantas saja Ibu Tito Karnavian, Slank dan para
pencinta hewan sangat geram ketika ada sekelompok penyelam yang mengajak
bermain ikan Hiu Paus dengan cara-cara yang tidak bertanggung-jawab. Walaupun mereka
berhasil ditangkap, namun belum ada payung hukum yang bisa dijadikan acuan
untuk menjatuhkan sangsi bagi mereka. Tentu peristiwa tersebut tidak boleh lagi
terjadi dan harus dijadikan pertimbangan bahwa mahluk karunia Tuhan yang satu
ini memang layak dan sangat pantas untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya.
Orang-orang seperti Pak Bram inilah sejatinya
pejuang-pejuang untuk kemanusiaan, bukan saja untuk Papua namun kelestarian
alam semesta.
Terima kasih Pak Bram.
Semoga kita bisa jumpa lagi sebelum misi suci di
tanah Papua ini usai dan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi dan melindungi
kita semua.
Aamiin yaa robbul alamin. (…ders…)
No comments:
Post a Comment