Membangun mimpi mengapai asa
para “Bhayangkara Buana 2018”
Oleh: Eko SUDARTO[1]
Agen-agen muda bersemi dalam lintas generasi
Gagasan,
inisiatif dan ide adalah konsep yang masih melekat di kepala, namun mengimplementasikannya
menjadi sebuah realita adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para pemenang. Demikian
halnya dengan mewujudkan dan melaksanakan workshop yang dilakukan oleh Bangtas,
Divhubinter Polri.
Ada nuansa
berbeda pada Workshop Alumni Pengambangan Kapasitas (Bangtas) pada Senin, 12
November 2018 di Ballroom hotel J.S
Luwansa, di Jalan Kuningan beberapa waktu lalu. Wajah-wajah cerah, cerdas, penuh
percaya diri dan semangat tersirat dari para peserta Workshop yang berkisar sekitar
220 orang di dalam ruang tersebut. Umumnya mereka adalah Perwira Remaja Polri
yang datang dari hampir seluruh Polda di Indonesia. Mereka adalah para
Bhayangkara Buana (jagad, dunia, benua) Muda yang sebagian besar merupakan
lulusan Akpol diatas tahun 2000, dengan pangkat Iptu hingga AKBP dan tersebar
dalam berbagai satuan fungsi kepolisian di tanah air. Mereka pernah menjalani
pendidikan di luar negeri, baik strata-1, strata-2 maupun berbagai kursus-kursus
(fungsi kepolisian) singkat, periode mingguan atau bulanan.
Pada workshop
ini tercipta gagasan dan forum diskusi antar para alumni luar negeri (generasi
muda Bhayangkara Buana) dengan generasi seniornya. Membangun komunikasi lintas
generasi para alumni Akademi Kepolisian bukanlah mudah, namun tidaklah sulit,
karena selain change of command yang
jelas pada struktur Polri, juga ada mekanisme “keluarga asuh” sudah menjadi
habitus mereka semasa pendidikan pembentukan di Semarang. Dalam mekanisme
keluarga asuh, dijumpai terminologi Adik Asuh, Kaka Asuh, Mbah Mentor, Buyut
Mentor maupun Cicit-Cucut Mentor yang hingga kini masih terstruktur pada
kehidupan taruna Akpol. Selain sangat efektif, mekanisme keluarga asuh ini
dapat mempermudah komunikasi lintas generasi dan meminimalisir sekat dan rentang
jarak antara senior-yunior. Dan dengan
kemajuan teknologi-informasi, mekanisme tersebut kini bisa difasilitasi (diwadahi)
dalam berbagai program aplikasi dengan mudah melalui telepon genggam (smart mobile).
Workshop menjadi
begitu bermakna dengan agenda yang di-design
dengan memadukan antara wacana teori para pakar (akademisi) dan sisi empirik para
patron (generasi senior). Agenda sehari dengan mekanisme tersebut memang sangat
padat, namun seharusnya cukup komprehensif dalam upaya mengembangkan kapital para
agen bhayangkara buana muda. Konsep Kapital yang dapat diartikan sebagai modal
atau kekayaan diungkapkan oleh sosiolog Perancis, Pieere Bourdieu (1984).
Bourdieu mengungkapkan bahwa kapital (modal atau kekayaan) adalah hal yang
memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup.
Ada banyak jenis kapital, seperti kapital Budaya (intelektual, pendidikan,
pengalaman, pengetahuan), kapital ekonomi (uang, finansial, kebendaan yang
bersifat fisik), dan kapital sosial (network,
jaringan, sahabat, teman) dan kapital simbolik (posisi, jabatan, kedudukan,
kewenangan). Diantara ke-4 (empat) kapital tersebut, Bourdieu sangat
menganjurkan untuk mengakumulasi (memperkaya) kapital budaya.
Global challenge dalam
dinamika pemolisian internasional
Desain workshop
yang dibuka oleh Kadiv Hubinter Polri, Irjen Pol. Dr. Saiful Malta tersebut menggabungkan
wacana teori dan praktek pemolisian internasional serta implementasinya. Para
akademisi yang dihadirkan diantaranya adalah pakar Hukum Internasional Prof.
Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M.,Ph.D., Penasehat Ahli Kapolri, Prof (Ris) H.
Hermawan Sulistyo, M.A., Ph.D. dan pakar Community
Policing, Brigjen Pol Dr. Chryshnanda Dwi Laksana, M.Si. Beruntung saya
memandu sesi diskusi panel dari orang-orang hebat yang telah mengubah mindset
sekaligus kapital banyak orang. Sementara dari para praktisi senior Polri,
dihadiri langsung oleh beberapa figur senior yang menjadi patron dan inspirator,
seperti BJP. H.E. Permadi (Karo Binkar SDM Polri), BJP. Eki Hari (Karo Watpers
SDM Polri), BJP. Dr. Aris Budiman (Mantan Direktur Penyidikan KPK) dan BJP. Napoleon
Bonaparte (Ses. NCB Interpol Indonesia).
Profesor
Hikmahanto Juwana membuka wawasan tentang fenomena perubahan global, bahwa
dunia terus berubah disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepentingan
nasional, teknologi digital, demokrasi yang luar biasa dan kemajuan media masa
serta teknologi informasi yang semakin masif. Hal tersebut membentuk norma baru, baik
positif maupun negatif yang menuntut negara untuk meresponnya. Respon terhadap
dampak kejahatan global menjadi tantangan yang harus dihadapi penegak hukum didunia,
khususnya institusi kepolisian.
Profesor Hermawan
Sulistyo atau lebih dikenal dengan Pro. Kikiek menyampaikan pandangannya, bahwa
dunia dalam 50 (lima puluh) tahun kedepan dihadapkan pada tantangan yang tak
kalah kompleksnya. Generasi masa kini yang lebih dikenal sebagai kaum “millennial”
harus berhadapan dengan perkembangan teknologi yang semakin kompleks, seperti
AI (artificial intelligence), crypto currency,
Nano technology dan lain sebagainya. Polisi terkena dampak langsung setiap
perubahan yang terjadi tersebut, sehingga pembangunan kapital para agen
Bhayangkara Buana menjadi suatu kewajiban yang harus dipersiapkan.
Sementara BJP.
Dr. Chrysnanda, selalu “nyerocos”dengan
gaya khasnya yang “njawani”. Beliau
senantiasa tampil enerjik memberikan
suntikan semangat anti korupsi dengan membangun “smart policing” dan “melek”
teknologi yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Menurutnya, agen Bhayangkara
Buana adalah garda terdepan sebagai agen pembaharu (agent of change) yang lebih beruntug, karena tercerahkan dengan
melihat perkembangan kepolisian di dunia luar negeri. Tugas untuk para
Bhayangkara Buana Muda ke depan adalah harus mengembangkan habitus untuk mau
menulis, “…tulis, tulis dan tulis,” tegasnya berapi-api.
Diantara
sesi pertama dan kedua, panitia mampu menghadirkan Kabareskrim Polri, Komjen Pol.
Drs. Arief Sulistyanto, M.Si untuk membekali para Bhayangkara Buana dengan
perkembangan situasi global yang menjadi tantangan Polri ke depan. Menurutnya,
kompleksitas kejahatan dengan modus operandi baru harus dihadapi dengan
profesionalitas para agen yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan. Kapital
budaya berupa pengetahuan komunikasi dan teknologi menjadi tuntutan mutlak yang
harus dimiliki oleh para agen Bhayangkara Buana.
Sesi sore hari menjadi
lebih semarak ketika Karo Misi Internasional, DHI Polri, BJP Krisna Murti menjadi
fasilitator dalam membangun komunikasi lintas generasi tersebut. Keberadaan para
praktisi dalam memberikan pandangan serta berbagi pengalaman diakomodir dan dipandu
secara apik oleh Karo Misinter. Ke-3 (tiga) panelis dengan senang hati menjadi
mentor dan patron, menyampaikan harapan dan impian kepada generasi muda
Bhayangkara Buana. BJP Eki Hari berharap agar para agen-agen yang terus
belajar, membangun network dan memiliki
kekuatan profesionalisme dengan mental dan etika sebagai landasan tindakan
kepolisian. Sementara BJP. Dr. Aris Budiman memberikan kisah pengalamannya dan
berharap bahwa martabat diri harus dijaga, karena itu adalah kehormatan yang
tak ternilai harganya. Itulah kapital budaya, berupa integritas.
Pada setiap sesi
tanya jawab, beberapa pertanyaan, pendapat dan pandangan cukup bernas dan
berani datang dari para peserta workshop yang mewarnai jalannya sesi tanya-jawab.
Selain mencerahkan, juga memberikan pertanda kuat bahwa para Bhayangkara Buana
Muda ini memiliki harapan dan masa depan lebih siap dibandingkan dari para
pendahulunya. Hal itu dapat dilihat dan dirasakan dari atmosphere berupa cara dan
sarana berkomunikasi yang baik. Cara bertanya dan bahasa yang digunakan (Indonesia
maupun Inggris) menunjukkan kualitas berkomunikasi secara baik. “Mereka adalah generasi
yang lebih dipersiapkan dibandingkan dengan generasi kita, bro”, tegasku pada
Kabag Bangtas, KBP Prastiyo Utomo.
“Menjadi Polisi itu untuk bisa membahagiakan orang lain”
Esensi
begitu padat dan jelas yang dapat ditangkap dari worshop ini adalah bagaimana kapital
para agen Bhayangkara Buana Muda ini dipersiapkan untuk menghadapi tantangan
global yang pasti dan terus akan berubah secara cepat dan masif. Tantangan
tersebut tidak akan mampu dihadapi sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain. BJP
Napoleon Bonaparte, Ses NCB Interpol menegaskan, “Tidak mungkin tantangan
global itu dihadapi sendiri.” Semua dituntut
memiliki kesadaran yang sama bahwa “team
work” harus dibangun untuk mewujudkan kebersamaan dan kekuatan dalam menghadapi
tantangan global.
Fasilitas yang
coba dibangun oleh Bangtas, Divhubinter melalui workshop tersebut menjadi suatu
keharusan untuk terus diperbaiki dan jika memungkinkan diinstitusionalisasikan sebagai
wadah alumni Bhayangkara Buana atau “peer
group”. Pada fasilitas atau wadah tersebut harus terus dibangun komunikasi
dan informasi melalui tulisan dari para agen sebagaimana harapan Dr. Chrysnanda.
Kemampuan menulis yang terus diasah akan membuka hati dan pikiran yang terkunci
oleh persepsi negatif. Selain itu, berbagai fasilitas-fasilitas baru dengan
memanfaatkan teknologi dan informasi juga harus terus dibangun untuk
menciptakan akuntabilitas, transparansi maupun profesionalisme.
Dari Workshop
ini diperoleh bukti yang tidak terbantahkan bahwa apa yang dianjurkan oleh
Bourdieu untuk mengakumulasi kapital budaya sangat didukung dan disetujui oleh
para pakar (akademisi) maupun para patron, praktisi senior Polri. Cerdas secara
intelektual disertai emosional dan spiritual ada dalam kategori kapital budaya.
Dengan kepemilikan kapital budaya, para agen selain bertindak sesuai norma ilmu
pengetahuan juga profesionalitasnya didukung etika untuk menentukan baik buruk,
etis dan tidaknya suatu tindakan.
Prof. Kikiek
dalam berbagai kesempatan mengisahkan pengalamannya, ketika bersama Kapolri mengunjungi
suatu Pos Polisi di Taiwan. Kepala Pos Polisi setempat begitu kaget ketika
diberitahu siapa rombongan yang mampir di kantornya. Dengan perasan canggung
dan kikuk sedikit takut-takut, dia menemani Kapolri dan rombongan minum teh yang
disajikan oleh personil Pos Pol tersebut. Diantara percapakan yang terjadi
selama jamuan tersebut, satu hal yang melekat dalam ingatan Kapolri maupun
Prof. Kikiek yaitu ketika Ka Pos Pol
tersebut menolak tawaran Kapolri yang akan membantu memindahkannya ke tempat
(posisi) lain. Dengan polos, Ka pos Pol tersebut menjawab, bahwa “Saya disini suka
dan mencintai pekerjaan. Saya menjadi Polisi itu untuk bisa membahagiakan orang
lain.”
Bisakah saya
menjadi Polisi yang mampu membahagiakan orang lain? (…ders…)
No comments:
Post a Comment