Napak Tilas Boven Digoel; Membangkitkan
Kembali Jiwa Patriotisme
Oleh: Eko SUDARTO[1]
Boven Digoel
"Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang
oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga
Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan
di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang
tersimpan dalam dadaku." (Bung Hatta; 20 Januari 1934)
Syukur dan haru menyertai hati, “terobati
sudah”. Setelah memendam obsesi dan keinginan
untuk berkunjung ke Boven Digoel, akhirnya harapan dan imian itu terwujud pada
Sabtu, 17 November 2018. Turun dari Helicopter
Daupin Polri, bersama pimpinan penugasan Brigjen Herry Nahak dan beberapa staf
penugasan, saya merasakan “atmosphere”
patriotisme di antara bangunan penuh sejarah kelam di masa lalu.
Lebih
dari itu, perjalanan ini bukan sekedar perjalanan biasa, namun terasa seperti
mengikuti kilas balik perjuangan di masa lalu. Hal ini bukan tanpa alasan,
bahwa Boven Digoel bisa menjadi magnit untuk membangkitkan dan menggelorakan
kembali jiwa dan semangat patriotisme anak bangsa. Boven Digoel menjadi saksi
bisu bagi perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional,
antara lain Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Sayuti Melik, Marco Kartodikromo, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, dan Ilyas Ya'kub dan para pejuang yang konon
jumlahnya mencapai 1.308 orang.
Mungkin
bagi sebagian orang Indonesia, nama Boven Digoel terasa asing ditelinga, namun tentu
banyak juga yang mendengar nama itu sebagai memori sejarah bangsa ini. Kabupaten
Boven Digoel merupakan salah satu Kabupaten di
Provinsi Papua, dengan Tanah Merah sebagai Ibu Kotanya. Jumlah
penduduknya tidak terlalu padat sekitar 35.376 jiwa dengan luas wilayah sekitar
26.838 km2. Boven Digul, Asmat dan Mappi di bagian
selatan, merupakan kabupaten hasil pemekaran dari wilayah administrasi Kabupaten
Merauke yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2002.
Dimensi
sejarah Penjara Boven Digoel
Waka
Polres beserta beberapa Perwira Polres Boven Digul mengantar dan mencoba
memberikan informasi kepada kami. Kompleks
penjara yang bersebelahan dengan Polres Boven Digoel ini dibangun secara bertahap
dan sudah ada ketika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para tokoh perjuangan
lainnya dibuang oleh Belanda pada 1935.
Secara
singkat, penjara ini tidak terlalu besar dan mungkin hanya berkisar 2 (dua)
hektar tanah. Adapun bangunan terdiri terdiri 5 (lima) gedung yaitu 2 (dua)
gedung tahanan yang terdiri dari beberapa sel (kamar tahanan), satu gedung
tahanan wanita, satu banguna gedung kamar mandi dan toilet dan satu gedung
kantor magistratuur.
Didepan
pintu ruangan-ruangan tahanan tersebut terdapat tulisan Belanda, seperti capaciteit
3 kamer-6 sterkte. Mungkin artinya kapasitas kamar tersebut
menampung. Juga ada sejenis barak yang tertulis capaciteit 25/40 tergantung
besar kecilnya kamar. Ketika berada di suatu ruangan, ditemukan sebuah bangku
panjang dan terdapat goresan bertuliskan “M. Hatta’. Konon, di bangku tersebut
dikhabarkan Bung Hatta yang tiba di akhir Januari 1935 biasa duduk dan
bercengkrama dengan penghuni tahanan lainnya. Ada 2 jenis tahanan, yaitu mereka
yang mau bekerja untuk Belanda (werkwillig) dan yang tak bersedia (naturalis).
Hatta memilih yang kedua, beliau lebih memilih bekerja sebagai penulis di
beberapa harian waktu itu. Walaupun tidak memperoleh uang sama sekali dan hanya
mendapat jatah pangan yang pas-pasan dengan jatah
beras, ikan asin, teh, kacang hijau, dan minyak kelapa, beliau tetap tegar
menjalaninya. Saya sempatkan duduk di bangku itu
dan mencoba menikmati bayangan masa silam dimana Sang Proklamator masih menjalani
masa pengasingannya sambil menuangkan gagasan-gagasannya. Sebuah fantasi kehidupan
luar biasa yang saya peroleh.
Boven
Digul
merupakan horror. Digoel tercatat dalam sejarah sebagai tempat terisolasi di
tengah lebatnya hutan belantara Papua. Terkenal dengan alamnya demikian keras,
selain banyak dihuni buaya, dengan suhu udara panas dan hutan lebat. Tempat itu
dikepung hutan rimba nan lebat yang jauh dari manapun. Makin mencekam karena bermukim
dan bersarangnya nyamuk malaria tropikana yang masif dan ganas mematikan. Jika
tahanan mau kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Mereka
harus menempuh hampir 500 (lima ratus) kilometer sepanjang Sungai Digul yang
penuh buaya, lalu menyeberangi Selat Torres dan hampir dipastikan menemui ajal
dalam pelarian.
Dalam
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Boven Digoel disiapkan secara tergesa-gesa oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Melalui perintah Gubernur Jenderal de Graeff pada 16
Maret 1927. Boven Digoel dibangun untuk menampung tawanan pemberontakan
November PKI pada tahun 1926. Kondisi penjara yang sangat tidak
bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan
perlawanan kaum pergerakan
yang dianggap memiliki kekuatan pengaruh yang tinggi.
Situs yang terabaikan
Dalam banyak literatur, kita akan selalu
mengenang Bung Karno kata-kata sakti Sang Proklamator pada Hari Ulang Tahun Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, “Jangan
Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau
disingkat "Jasmerah". Juga pesan-pesan patriotisme terkenal lainnya, “Bangsa yang besar
adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.” Nampak
bahwa Bung Karno memiliki visi jauh ke depan tentang nilai yang sangat penting
dan berharga sebuah sejarah bagi kehidupan masa depan bangsa ini.
Penjara
Boven Digoel hendaknya jangan pernah terlupakan sebagai
bagian dari sejarah perjuangan dan perjalanan bangsa ini. Walaupun saat ini di
Boven Digoel hanya terdapat bekas bangunan penjara (kamp konsentrasi atau kamp
interniran) zaman Belanda, namun perlu dirawat dengan baik. Menurut sejarawan Anhar
Gonggong, Boven Digoel merupakan kamp konsentrasi pertama yang dibuat kaum kolonial.
Kelompok pertama yang dibawa ke sana adalah kaum pemberontak Partai Komunis
Indonesia tahun 1927.
Melihat kondisi bangunan peninggalan
sejarah di Boven Digoel, sepertinya kita harus lebih mencintai mereka (para
pahlawan) yang sudah berjuang berkorban nyawa.Tidak seperti di Jakarta,
Jogjakarta atau mungkin kota lainnya yang pernah menjadi tempat pengasingan
para pahlawan. Situs atau peninggalan sejarahnya masih terawat dengan baik
serta dilestarikan. Boven Digoel masih jauh dari itu. Mungkin perlu penyadaran
bersama, bahwa situs-situs peninggalan sejarah atau sejenisnya adalah arena belajar
sejarah yang tepat bagi anak-anak bangsa. Bukan sekedar tempat mengenang masa
lalu perjuangan pahlawan, namun menjadi tempat yang patut dikenang karena memiliki
nilai, jiwa dan semangat patriotisme sebagai pejuang kehidupan.
Keberadaan patung Bung Hatta yang dibangun
pada 13 April 2015 terletak berdekatan dengan Polres Boven Digoel mungkin menjadikan
situs ini aman dari tangan-tangan jahil dan tidak bertanggung jawab. Tugas
Pemerintah dan kita semua yang terpenting berikutnya adalah memastikan nilai
sejarah penjara yang ditanamkan sang founding father bangsa ini tetap
bersemayam dengan bangunan tersebut.
Memberikan pemahaman agar anak cucu bisa memaknai perjuangan melalui perawatan
dan pengembangan situs tersebut.
Potensi
pariwisata sejarah
Upaya Bupati Boven Digoel, Bapak Benediktus
Tambonop untuk menjaga dan menyadarkan potensi wisata sejarah patut diapresiasi
dan didukung. Kebijakan pemerintah Pusat dan daerah mendukung sinergitas antar stake holder dan counterpart perlu dipacu untuk peningkatan implementasinya. Meskipun
nilai ekonomis dan matematis secara kuantitas pengunjung ke cagar budaya
tersebut kecil, namun kualitas ketertarikan dan keterikatan pada sejarah Penjara
Boven Digoel patut dipelihara bagi pecinta sejarah dan generasi muda bangsa.
Tarif
transportasi masyarakat dari Merauke-Boven Digoel untuk sekali jalan berkisar Rp
700.000,- perorang dengan menempuh jarak sekitar 410 (empat ratus sepuluh)
kilometer dengan medan tempuh yang penuh perjuangan. Jauh dari fasilitas jalan
seperti di Pulau Jawa tentunya. Pesawat bisa jadi alternatif. Namun, tarifnya
Rp 1 juta per orang untuk menempuh rute Merauke-Boven Digoel selama sekitar
satu jam. Asalkan, cuaca memungkinkan pesawat menerbangi rute tersebut.
Walaupun
kota Boven Digoel agak terisolasi dan tidak seramai kota seperti Sentani atau
Timika, namun pembangunan berjalan dan memiliki
keindahan alam yang tak kalah memukau. Potensi pariwisatanya pernah dipamerkan
pada ajang Papua Week di Floriade
Expo-2012 di Venlo, Belanda. Para wisatawan juga dapat menikmati keindahan dan
eksotisme burung cendrawasih kaisar (Paradisaea guilielmi) dan Rumah Pohon
milik Suku Korowai. Suku ini baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 (tiga
puluh) tahun lalu di pedalaman Papua.
Suku terasing ini hingga sekarang masih ada dan hidup di rumah yang dibangun di
atas pohon yang disebut rumah tinggi. Tujuan Suku Korowai membangun rumah
tinggi adalah untuk menghindari serangan binatang buas dan suku lainnya. Pada kesempatan
tersebut saya menyempatkan diri untuk naik ke rumah pohon milik keluarga Bapak
Pangrasius Liwop yang tingginya mencapai hampir 25 (dua puluh lima) meter. That's so amazing.
Sejarah
telah banyak membuktikan, bahwa kegigihan Bung Hatta dan para pejuang yang tinggal
di Boven Digoel bisa menjadi bekal penting untuk membangun kesadaran bahwa
Indonesia ini dibangun oleh orang-orang yang bersedia menderita. Brigjen Herry
Nahak menyampaikan bahwa Kapolri, Jenderal Tito Karnavian selalu mengingatkan
akan hal senada. "Pemimpin Polri yang tangguh tercipta dari tempaan di
tempat-tempat kotor dan becek. Bukan dengan
segala macam fasilitas dan kemudahan.” (…DERS…)
No comments:
Post a Comment