Perpolisian
atau Pemolisian:
Mencerna
Istilah “Policing” pada “International Policing”
Oleh: Eko
SUDARTO[1]
Penafsiran istilah “asing” yang
berbeda
Tulisan
singkat ini menguraikan pandangan saya tentang pemaknaan dan terjemahan kata “policing”
dalam istilah “internasional policing” sebagaimana tertuang dalam rencana
penulisan desertasi saya yang berjudul “Model Pemolisian Internasional Polri
(Dualitas Agen dan Struktur)”. Hal ini menjadi menarik karena istilah asing
berupa “policing” tersebut seolah menjadi perdebatan yang tidak
berujung.
Dalam
ujian sidang proposal pada tanggal 19 Desember 2016, Prof. Farouk Muhammad,
P.hd, mempertanyakan perihal pemahaman dan terjemahan dari kata “Policing”
terkait judul desertasi saya tentang “International policing”.
Saya menerjemahkan kata “policing” ke dalam Bahasa Indonesia menjadi
“pemolisian” berdasarkan pemahaman pada kepustakaan yang menjadi acuan saya,
sementara beliau menterjemahkannya dengan pemahaman “perpolisian”. Maka
terjadilah friksi pada terminologi “policing”. Friksi atau perbedaan
dalam ranah akademi adalah suatu hal yang wajar bahkan “harus ada” sebagai tesis bahwa
tidak ada kebenaran yang absolut dalam dunia pengetahuan.
Prof.
Farouk Muhammad adalah ketua team perumus sesuai
surat keputusan Kapolri No.Pol.: Skep 737/X/2005 tentang Polmas. Istilah Polmas
bukan merupakan singkatan dari “Perpolisian Masyarakat”, tetapi suatu istilah
yang diharapkan akan menggantikan berbagai istilah, sebagai terjemahan istilah
“community policing. Lampiran skep tersebut selanjutnya menyatakan
bahwa:”Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penerjemahan istilah yang berbeda
terutama bagi keperluan akademis, secara formal oleh jajaran Polri, model
tersebut diberi nama “Perpolisian Masyarakat” dan selanjutnya secara konseptual
dan operasional disebut “Polmas”. Pemahaman serupa tentang “perpolisian” ini
diperoleh dari pakar hukum pidana Indonesia, Prof. Satjipto Rahardjo.
Sementara
ada beberapa pandangan pakar lain yang tidak sepaham dengan peristilahan konsep
“Perpolisian Masyarakat” dan menerima konsep “Polmas” sebagai “kompromi”.
Seperti, Prof. Parsudi Suparlan yang mempopulerkan istilah “Pemolisian
komuniti”, sebagai terjemahan “community policing”. Prof. Parsudi
berargumen bahwa Policing adalah gerund, bukan kata benda (noun), sementara community adalah
komuniti dan bukan komunitas, karena komunitas dalam Bahasa Inggris memiliki
arti yang berbeda dengan komuniti. Pandangan Prof Parsudi Suparlan tentang “Pemolisian
Komuniti” kurang diterima kebanyakan Pakar lainnya yang lebih memilih
istilah Pemolisian Masyarakat.
Acuan
saya selanjutnya adalah tulisan Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro dalam tulisan
pada blog-nya yang berjudul “Polmas Ditinjau dari Aspek Yuridis dan
Implementasi Penegakan Hukum”. Menurut Reksodiputro (1996) Pemolisian adalah
suatu initiasi dari pencegahan dan pengendalian terhadap kejahatan serta
peradilan pidana dari hampir keseluruhan konteks sosio-kultural.
Prof.
Mardjono selanjutnya memberikan pandangannya tentang “community policing”,
sebagai berikut:
“Alih bahasa “Community Policing” dengan adanya buku
Kapolri adalah “Perpolisian Masyarakat”, disingkat “Polmas”. Saya menerima alih
bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu “lembaga” atau
“pranata” (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah “gaya” atau
“aktivitas”-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa “Pemolisian
Masyarakat“ atau “Pemolisian Komuniti”.
Acuan
saya adalah pandangan Pakar lain yang lebih memilih istilah “Pemolisian
Masyarakat” adalah Prof. Andrianus Meliala, yang berpandangan bahwa,
“…dan lebih dari sekedar teknik atau taktik kepolisian, dilakukan tatkala
menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintasa atau
saat memberikan penyuluhan (Meliala, 1999). Sementara Prof. (Ris) Hermawan
Sulistyo, PhD (2008) dalam revisi buku “Polmas” dan Dr. Chrysnanda
Dwilaksana (2005) menegaskan bahwa “Pemolisian adalah
pengindonesian dari Policing, meskipun ada yang menterjemahkan
menjadi perpolisian. Konsep pemolisian pada dasarnya adalah Gaya atau model
yang melatar belakangi sebagian atau sejumlah aktivitas kepolisian”.
Memahami
Proses pembentukan baru suatu kata atau”monomorfemis”
Saya
mencoba memahami proses perubahan terhadap suatu “kata” melalu proses
pembedahannya dalam Bahasa Indonesia. Sehubungan saya bukan ahli baasa
Indonesia, maka proses penguraian ini dilakukan mengunakan acuan literature
maupun kepustakaan dengan perspektif awam yang terukur. Bahwa sebuah
“kata“ dalam bahasa Indonesia dibentuk melalui sebuah proses yang disebut “morfologis”
dan di luar proses morfologis. Proses morfologis yaitu proses pembentukan
kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Dengan kata lain
proses morfologis adalah peristiwa penggabungan morfem yang satu dengan morfem
yang lain menjadi kata. Ciri suatu kata yang mengalami proses morfologis yaitu
mengalami perubahan bentuk, mengalami perubahan arti, mengalami perubahan
kategori/jenis kata. Terdapat tiga cara pembentukan kata melalui proses
morfologis, yaitu afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Proses
morfologis mempunyai fungsi gramatik dan fungsi semantik. Fungsi gramatik
adalah fungsi yang berhubungan dengan dengan ketatabahasaan, sedangkan fungsi
semantik adalah fungsi yang berhubungan dengan makna. Jika ditelusuri secara gramatik
(ketatabahasaan), salah satunya adalah afiksasi, yaitu proses pembentukan
kata kompleks dengan cara penambahan afiks pada bentuk dasar. Afiksasi terdiri
dari empat jenis, yaitu 1. Prefiks (awalan), 2. Infiks (sisipan), 3. Sufiks
(akhiran), dan 4. Konfiks (gabungan awalan dan akhiran). Jenis prefiks atau
awalan antara lain ber-; se-; me; ter; di-, dll. Jenis infiks (sisipan)
antara lain em-; -el-; -er-; Jenis Sufiks (akhiran) antara lain : -an;
- i; - kan;- nya. Jenis Konfiks (gabungan awalan dan akhiran) antara lain:ber-an;
ke-an; me-kan; dan lain-lain.
Pembahasan
menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi keempat, terbitan Pusat Bahasa
2008. Mendefinisikan bahwa awalan Per- dan akhiran -an pada kata
perpolisian dapat dianalisa sebagai berikut: pertama, Per- ; prefix
pembentuk verba; 1. Menjadikan atau membuat menjadi; perindah,
perjelas. 2. Membagi menjadi; perdua, pertiga; 3. Melakukan; perbuat.
4. Memanggil atau mengganggap; perbudak; pertuan. Kedua, Per-(pe-, pel-)
prefik pembentuk nomina; 1. Yang memiliki ; persegi, pemalu; 2. Yang
menghasilkan; pedagang, petelur; 3. Yang biasa melakukan (sebagai profesi,
kegemaran, kebiasaan); pertapa, petinju, pelajar; 4. Yang melakukan
pekerjaan mengenai diri; perubah. 5. Yang dikenai tindakan; pesuruh,
petatar; 6. Orang yang biasa bekerja di; pelaut, peladang; 7. Orang
yang gemar; perokok, pendaki gunung.
Sementara
sisipan -em- dan akhiran -an merupakan bentuk dari afiksasi. Jika ditelusuri, kata ”pemolisian”
terdiri dari kata dasar ”polisi” yang mendapat infiks em- dan sufiks –an,
sedangkan gabungan antara infiks dan sufiks tidak ada dalam definisi tata
bahasa Indonesia. Hal ini tentu menjadi temuan dan bentukan baru dalam tata
bahasa Indonesia, namun oleh banyak orang dianggap sebagai
kata yang monomorfemis[2]. Sehingga kata
”pemolisian” bisa dikategorikan sebagai ”bentukan baru atau monomorfemis”.
Memaknai istilah International Policing
Pengertian konsep international policing ini, diantaranya dari Jones and Newburn, 1998, Private security and public
policing, Oxford: Clarendon Press, 288.pp,
bahwa Pemolisian internasional digambarkan sebagai cara pengendalian
kejahatan, "mengacu ke bentuk terorganisir polisi sebagai suatu badan
pemeliharaan ketertiban, menjaga perdamaian, penegakan aturan atau hukum,
investigasi kejahatan, dan bentuk lain dari investigasi dan perantara
informasi".
Sementara
pandangan Matthiew Deflem
(2007), bahwa;”International policing refers to police practices that
involve citizens or jurisdictions of more than one nation” (bahwa Pemolisian Internasional
mengacu pada praktek-praktek polisi yang melibatkan warga negara atau
yurisdiksi lebih dari satu bangsa).
Pengertian
atau istilah asing tersebut menjadi muti tafsir jika diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia sebagaimana uraian diatas. Karenanya landasan pemikiran lain yang
saya gunakan dalam memaknai istilah “international policing” adalah
pengertian atau definisi yang digunakan oleh Sutanto[3]
(hal.5) dengan merujuk pada pandangan Robert C. Trojanowicz (1994) yang
mendiskripsikan istilah tersebut sebagaimana membahas istilah “Community
Policing”, bahwa;
“…any method of policing that includes a police officer
assigned to the same area, meeting and working with the residents and business
people who live and work in the beat area. The citizens and police work
together to identify the problems of the area and to collaborate in a workable
resolution of the problems. The police officer is a catalyst, moving
neighborhoods and communities towards solving their own problems and
encouraging citizens to help and look out for each other”.
(…metode pemolisian apapun yang
mencakup penugasan seorang polisi ke wilayah yang sama, bertemu dan bekerjasama
dengan penduduk setempat yang tinggal dan bekerja di wilayah tersebut. Warga
dan polisi bekerjasama untuk mengidentifikasi masalah-masalah di wilayah
tersebut dan secara bersama-sama menyelesaikannya. Petugas polisi berfungsi
sebagai katalisator, yang menggerakkan masyarakat dan komunitas ketetanggaan
dalam memecahkan masalah-masalah mereka sendiri, serta mendorong warga untuk
saling menolong dan membantu satu sama lain).
Istilah ”policing” dalam berbagai konteks, seperti
community policing, international policing, cyber policing, future policing
dan lain sebagainya, memiliki beragam definisi, sekalipun pada dasarnya banyak
yang serupa dan mirip satu sama lainnya. Sebagaimana pandangan Reksodiputro dan
Suparlan, bahwa kata ”policing” dapat dipahami sebagai suatu “lembaga” atau “pranata” (kata benda), namun juga dapat
diterjemahkan dalam pengertian yang lain, berupa “gaya” atau “aktivitas”-nya
(kata kerja).
Dalam konteks international policing, apapun
pengertian atau istilah yang digunakan seperti Pemolisian internasional,
Perpolisian internasional, dan berbagai istilah international policing dalam
bahasa Inggris, sesungguhnya merujuk kepada pengertian dan makna yang sama
sebagaimana pandangan Matthiew Deflem (2001), menyiratkan bahwa pemolisian internasional mengacu pada praktek polisi sebagai suatu “organisasi atau badan’ maupun “kegiatan atau
aktivitas” yang melibatkan
warga negara atau yurisdiksi lebih dari satu bangsa. Pemolisian didefinisikan sebagai institusi yang terkait
dengan kontrol kejahatan dan pemeliharaan ketertiban seperti yang telah
disahkan dalam konteks negara-bangsa.
Daftar Pustaka
1.
Chrysnanda Dwilaksana, 2005,
Pola-pola Pemolisian di Polres Batang, Desertasi Universitas Indonesia,
Jakarta.
2.
Deflem, Mathieu, 2007.
"International Policing." Pp. 701-705 in The Encyclopedia of Police
Science, Third Edition, edited by Jack R. Greene. New York: Routledge.
3.
Sutanto, Sulistiyo Hermawan,
Sugiyarso Tjuk; 2007, Polmas; Falsafah Baru Pemolisian (Edisi Revisi); Jakarta,
Pensil-324.
4.
Suparlan, Parsudi, 1997, Polisi dan
fungsinya dalam masyarakat, Bunga Rampai Ilmu Kepolisan.
5.
Mardjono Reksodiputro, (2013),
Polmas ditinjau dari Aspek Yuridis dan Implementasi Penegakan Hukum.
[2] Kata
Monomorfemis adalah kata-kata yang hanya terdiri dari satu morfem. Contoh bentuk
rumah, batu, satu, dua, di, ke, dari, pada, yang, karena, maka. Bentuk-bentuk
tersebut adalah satuan gramatik terkcil yang tidak dapat dibagi lagi atas
satuan lingual bermakna yang lebih kecil.Kata Polimorfemis adalah kata-kata
yang terdiri dari dua morfem atau lebih. Contoh berumah, membatik, menyatu, dan
mendua. Kata-kata tersebut terdiri dari morfem prefiks dan morfem dasar. Untuk
menentukan status monomorfemis atau polimorfemis suatu kata diperlukan beberapa
persyaratan dasar yang bersifat teoritis, diantaranya: a). pengertian kata; b).
pengertian morfem; c). prinsip-prinsip penentuan morfem; c). pengertian
dan penertapan deretan morfologis; d). analisis unsur dan unsur langsung
[3] Polmas,
Falsafah Baru Pemolisian, edisi revisi, Jend. Pol. Drs. Sutanto, Prof. (Ris)
Hermawan Sulistyo MA, Irjen Pol. Drs. Tjuk Sugiarso, Cet. 2, Jakarta-324, 2008.
No comments:
Post a Comment