Merawat Habitus “Ego Cogito Ergo
Sum”
Melalui Literasi
Awas
virus Anti Intelektualisme
Manusia
menghadapi tantangan dan hambatan dalam menjalani kodratnya kini semakin nyata
dan berkembang dari waktu ke waktu seperti tourbulance.
Setiap masa ada peristiwa maupun permasalahan dan begitu massive-nya sebagai akibat dari globalisasi atau sering dinamakan wicked problem. Secara sederhana wicked problem dimaknai sebagai masalah yang tak bisa diatasi sendiri,
namun harus ditangani, tidak peduli menghasilkan penyelesaian secara benar atau
salah.
Masalah
yang disebabkan oleh faktor manusia begitu melekat pada setiap aktor atau agen manusia.
Ujaran kebencian dilakukan baik di dunia nyata maupun dunia maya dan kini
semakin meraja lela tak berkesudahan. Penyebaran berita hoax dimana-mana
dan diperparah dengan kebiasaan kita yang begitu mudah membagikan kepada orang
lain tanpa memastikan kebenaran sumbernya. Lebih gila lagi justru menciptakan organisasi
yang begitu skematis, sistematis berupa pasukan siber (cyber troops) sekaligus memobilisasikannya menjadi mesin pembuat akun-akun
palsu, penyebar ujaran kebencian, berita hoax, bahkan tindakan
persekusi.
Menurut
Zen RS, kekhawatiran terhadap
berbagai permasalahan yang semakin kompleks dalam proses kehidupan berbangsa di
Indonesia dewasa ini diperparah dengan melemahnya daya nalar dan suburnya sikap
“Anti-Intelektualisme”. Dalam
pandangannya, anti-intelektualisme merupakan
sikap dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset,
diskusi, hingga debat. Hal serupa diutarakan oleh Richard Hofstadter, bahwa anti-intelektualisme
diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang
terus-menerus (ajeg) atau konstan
terhadap dunia ide dan siapapun yang menekuninya. Turunan dari hal
itu adalah syak wasangka terhadap
filsafat, sains, sastra, dan seni, pendek kata: “mencurigai teori”, sehingga sering
terdengar kalimat sindiran atau bahkan sarkasme
semacam ”ah, sok berteori”, ”cuma bisa ngomong, teori doang”. Itulah
cerminan sikap anti-intelektualisme.
Tulisan
singkat ini mencoba mengurai upaya menghadapi dan menepis anti-intelektualisme melalui
refleksi diri dengan menumbuhkan sikap nalar kritis. Tentu saja upaya yang
harus dan pasti segera dilakukan adalah menanamkan pada diri kita untuk segera
mungkin membuang jauh anti-intelektualisme itu dengan mengembangkan habitus “ego cogito ergo sum” melalui
literasi.
“Ego Cogito Ergo Sum” dengan literasi untuk
memperkuat nalar kritis
Ego Cogito Ergo Sum
atau dimaknai dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran Rene Descartes
(1644) yang dihasilkan melalui meditasi keraguan (kegelisahan) oleh adanya “ketidakpastian
pemikiran” Skolastik dalam menghadapi
hasil-hasil ilmu positif renaissance. Descartes membangun dan
menganalisa dengan metodenya sendiri untuk memperoleh kebenaran secara pasti
dan hasilnya benar-benar logis. Cogito dimulai dari metode “penyangsian”
yang dilakukan Descartes seradikal mungkin. Kesangsian ini meliputi seluruh ilmu
pengetahuan yang dimilikinya, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai
kini dianggap pasti (misalnya dalam dunia material, ada tubuh, ada Tuhan).
Dalam pandangan Descartes manusia merupakan makhluk
dualitas, substansinya yaitu: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh
adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan
oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari
substansi yang lain. Jika diperoleh suatu kebenaran yang pasti (kuat) dalam
kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan
harus dijadikan dasar (fundamen) bagi
ilmu pengetahuan. Maka, Ego Cogito ergo sum: “saya menyangsikan suatu ada”,
maka kebenaran yang muncul tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Dan
Descartes tidak dapat meragukan bahwa berfikir tentang “ada” membuat manusia
“ada”.
Esensi
“Ego cogito ergo sum” membebaskan nalar manusia dari belenggu anti-intelektualisme dan membangun
pengetahuan. Pengetahuan
harus berpijak realitas dengan bangunan nalar kritis, begitu sabda Immanuel Kant. Kritis pada berbagai realitas
hegemonik, ketidak adilan, penjajahan, ketimpangan, ketidakberdayaan. Seperti sabda Karl Marx untuk menggelorakan manusia agar melek pada ketimpangan
realitas,
dimana pengetahuan kritis ingin
mengembalikan manusia kepada qudratnya, yaitu memanusiakan manusia.
Men-design bangunan nalar kritis perlu bahan-bahan
yang diperoleh dari literasi. Secara sederhana, literasi dapat diartikan
sebagai kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara (keberaksaraan). Walau
sejatinya literasi memiliki pengertian luas, bukan berarti tunggal melainkan
beragam (multi literacies). Beragam arti tersebut, seperti literasi
komputer (computer literacy), literasi media (media literacy),
literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy
literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada
literasi moral (moral literacy). Jadi keberaksaraan atau literasi juga dapat
diartikan sebagai melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap
lingkungan, bahkan juga peka terhadap berbagai masalah ideologi, ekonomi,
sosial, politik, budaya maupun pertahanan.
Beberapa
tahun lalu, Kajian Perpustakaan Nasional mengambil contoh dari 12 Provinsi dan
28 kabupaten dan kota di Indonesia, menyatakan bahwa minat baca masyarakat
termasuk dalam kategori rendah yakni dengan angka sebesar 25,1. Hasil
penelitian UNESCO (United
Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization)
pada 2012, menyatakan bahwa minat
baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya bahwa di antara 250 juta
penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Data ditahun 2014 menyebutkan
bahwa anak-anak Indonesia membaca hanya 27 (dua puluh tujuh) halaman buku dalam
satu tahun. Sementara di tahun 2015, Programme
for International Student Assesment (PISA), OECD menyatakan kompetensi
membaca belum meningkat signifikan, dari 396 poin (2012) menjadi 397 poin. Hingga pada 2016, World’s Most Literate Nations, Central
Connecticut State University (penelitian dilakukan 2003-2014) bahwa
literasi Indonesia berada di peringkat ke-60, posisi kedua terbawah dari 61
negara.
Lantas bagaimana mewujudkan gairah
dalam meningkatkan budaya berliterasi itu sendiri? Budaya berliterasi, baik membaca
maupun menulis tidak akan hadir ketika kita tidak mau membentuk sebuah
kebiasaan (habitus). Bourdieu (1994) menjelaskan
bahwa habitus
dipahami sebagai hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, walaupun tidak
selalu harus disadari. Tindakan praktis ini menjadi suatu kemampuan yang
kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus membaca perlu ditanamkan
pada diri bukan untuk menghabiskan waktu (to kill time) sebagaimana
anggapan banyak orang selama ini, tetapi jadikanlah membaca untuk mengisi waktu
(to full time).
Sejalan
dengan pendapat Joko Priyono (2017), kita mungkin patut berbangga, ketika
terus dan mau ikut forum-forum intelektual, membangun peer-discussion, merawat nalar kritis atau bahkan mendapati banyaknya
kebutuhan akan bahan bacaan. Jika sudah berada pada tahap itu, maka hal yang
dilakukan adalah menjaga bagaimana untuk terus bertahan hingga waktu yang tak
terbatas atau dapat berkesinambungan (sustainable).
Merawat habitus “ego cogito ergo sum” dengan berliterasi yang dimekarkan
dengan bangunan dialog, hasil kritik, eksperimen maupun percakapan dengan alam
semesta akan menjadikan nalar kritis berada pada kodratnya. Habitus literasi yang
tumbuh dan berkembang menunjang “ego cogito ergo sum”, sehingga memungkinkan
seorang untuk menuliskan, menarasikan, menceritakan hingga mendialogkan ilmu
pengetahuan (science) dan mematikan
anti-intelektualisme. Karenanya kita wajib merawat “ego cogito ergo sum”
dengan literasi.
DERS, 10/15/18
No comments:
Post a Comment