“Gastro”
Policing ala Binmas Noken
Ketertarikan
saya pada istilah (terminologi) “gastro” berawal dari pertemuan antara delegasi
Satgassus Ops Papua, yang dipimpin Waka Ops, KBP Dr. Tornagogo Sihombing dengan
delegasi Kemenlu yang dipimpin oleh Dirjen IDP (Direktur Jenderal Informasi dan
Diplomasi Publik) Kemenlu, Bapak Cecep Herawan pada Kamis, 11 Oktober
2018.
Sesaat
setelah membuka acara peluncuran buku karya Farida Ugesta berjudul “Potret
Inspirasi dari Timur” dan buku karya Niko
Watimena yang berjudul “Papua Etnografi” di Kantin Diplomasi, Kemenlu RI
tersebut, Pak Dirjen langsung mengajak delegasi Polri ke luar ruangan. Namun
rupanya tidak jauh, hanya bersebelahan dengan ruang peluncuran buku. Pak Dirjen
menjelaskan bahwa ruang pertemuan ini adalah ruangan khusus yang didisain untuk
menghisap cerutu atau “cigar” sekaligus untuk berdiplomasi.
Jalannya
pertemuan bersifat informal dan santai tersebut membahas tentang dinamika
kegiatan masing-masing delegasi terhadap masalah Papua. Hal yang menarik buat
saya adalah sudut pandang pemberitaan atau media yang dilakukan oleh Kemenlu
selama ini lebih mengekspos respon dan tanggapan masyarakat (internasional) dan
tidak mengekspos keberhasilan menurut versi sendiri (Kemenlu). Jadi pihak lain
yang didesain melakukan ekspos tersebut (tidak narsis), dan efektivitas
hasilnya sangat dirasakan positif. Apakah Polri saat ini melakukan mekanisme
pemberitaan seperti itu?
Saat
tulisan ini dibuat, saya sudah berada di Jayapura, bertemu KBP Faizal Ramadhani
dan melanjutkan habitus kami, yaitu berbagi cerita, sharing pendapat dan
informasi tentang berbagai hal, termasuk esensi pertemuan dengan Dirjen IDP serta
menunjukkan buku karya Farida Ugesta tadi. Sebuah buku yang menurut saya sangat
ringan dibaca, pemilihan “doksa” yang
tepat namun mengalirkan inspirasi bagi Satgas karena tokoh-tokoh yang
dihadirkan memang luar biasa tersebut adalah riil, hidup dan bisa dijumpai. Salah
satu tokoh inspirasi sebagaimana diulas di dalam di buku tersebut, yaitu Chef dari
Rimba Papua “Chato” (Charles Toto) di
“Pits Corner” yang merupakan markas
kedua Satgas Papua.
Pertemuan
dengan Chef Chato membawa inspirasi
“gastro” semakin nyata, bagaimana kuliner menjadi pembuka sekat perbedaan antar
bangsa, ras maupun agama. Chato
adalah sosok sederhana putra asli Papua yang banyak belajar dari alam rimba
Papua dan memperkenalkan kuliner Papua pada dunia. Menurutnya Paus Franciskus dan Bill Gates adalah dua nama pesohor yang pernah menikmati karya
olahannya. Chef Chato menjadi “Gastro Diplomacy” Indonesia tentang
kuliner dari rimba Papua.
Gastro
diplomacy dikenal merupakan inisiatif awal diplomasi kuliner yang diluncurkan
oleh Pemerintah Thailand pada tahun 2002. Hal tersebut dilakukan untuk
mendorong lebih banyak wisatawan asing dari seluruh penjuru dunia untuk memakan
masakan khas Thailand. Contoh lain dari gastro
diplomacy adalah Korea dengan diplomasi kimchi dan Malaysia dengan proyek
Malaysian Kitchen.
Gastro
Diplomacy diadopsi dari kata gastronomi yang bermakna upaboga yang tidak serupa dengan istilah kuliner. Menurut Indra
Kataren (Presiden dari Indonesia
Gastronomy Association) bahwa kuliner merupakan Art of Cooking atau
penyajian masakan oleh seorang chef, sementara Gastronomi sebagai the art of
eating yakni perjamuan makanan yang dihubungkan dengan nilai-nilai
kebudayaan. sehingga penikmat kuliner bisa memahami bahwa kuliner memiliki
unsur sejarah, nilai serta kebudayaan.
Sebagai
mahluk hidup, Abraham maslow
menegaskan bahwa satu diantara 5 (lima) kebutuhan dasar yang utama (primer) adalah
fisiologis. Ini adalah kebutuhan biologis, berupa kebutuhan oksigen, makanan,
air, dan suhu tubuh relatif konstan. Secara sederhana, terkait kebutuhan makan
dan minum dapat dikategorikan dalam lingkup “Gastro”, artinya bahwa dengan
kecukupan pada pemenuhan kebutuhan “masalah perut” ini akan menadi energi
manusia untuk bertahan, berkembang dan berproduksi. Semua dinamika manusia
tidak akan terlepas dari urusan “Gastro” tersebut.
Jika
istilah “gastro” itu dapat disamakan atau diartikan dengan “urusan perut”, maka
sebenarnya apa yang dilakukan Satgas Binmas Noken di Papua dalam konteks
pemenuhan kesejahteraan ini dapat dikategorikan sebagai “Gastro Policing”. Istilah Policing
merujuk pada kegiatan interaksi atau dinamika pertautan kepolisian dengan
masyarakatnya. Sehingga terminology “Gastro
Policing” secara sederhana dimaknai sebagai wujud dinamika kepolisian dalam
mendukung masyarakat mencapai terpenuhinya kesejahteraan, khusunya “urusan perut”.
DERS-10/14/2018
No comments:
Post a Comment