Kapolda Papua; Memahami logika
berfikir orang Papua melalui MOP
Oleh; Eko SUDARTO[1]
Restaurant B-ONE, di Jayapura malam itu Kamis 18 Oktober 2018, menjadi tempat
pertemuan kami (Satgassus Papua) yang ke-2 (dua) kalinya dengan Kapolda Papua, Irjen
Pol. Martuani Sormin. Dalam kedua pertemuan tersebut hadir lebih dari 20 (dua
puluh) orang yang terdiri dari personil Polda Papua dan Satgassus Papua. Bagi saya,
pertemuan itu merupakan yang ketiga kalinya dengan beliau selama menjabat
sebagai Kapolda Papua sejak 13 Agustus 2018. Pertemuan sebelumnya, kami terlibat
“ngobrol“ dalam suasana santai dengan
lebih dari 10 (sepuluh) orang sahabatnya. Berbagi cerita ringan dengan
penyampaian santai namun “mendalam”
dan menuturkan kisah-kisah inspiratif yang enak disimak serta diselingi gelak tawa
lepas menjadi mekanisme yang acap kali mewarnai setiap pertemuan kami. Wow, seorang
“senguin” yang humoris.
Impresif dengan
ketiga pertemuan tersebut, dipastikan bahwa beliau seorang dengan pribadi terbuka
(open mind) yang peduli. Sebagaimana
diceritakan, bahwa dalam suatu kesempatan tugasnya ke Polres Puncak Jaya,
dilihatnya seorang anggota jaga melakukan penghormatan namun tidak sempurna. Dihampirinya anggota tersebut
sekaligus mendengarkan masalah yang menjadi penyebabnya. Ternyata penyebabnya
adalah luka permanen akibat tembakan. Tak sampai disitu, beliaupun mengganjar
anggota tersebut dengan penghargaan yang sepatutnya didapatkan. Jika tidak open
mind dan peduli, tentu beliau bisa saja mengabaikan dan meninggalkannya saja.
Kepeduliannya membaur dengan anggota (very
much down to earth) inilah yang
menarik dan diperlukan dari seorang Pimpinan di tanah Papua.
Dengan pengalaman lapangan dan kecerdasan empiriknya selama
bertugas di Papua, menurutnya hal yang harus dilakukan dalam menjaga
harmonisasi di Papua adalah dengan memahami logika berfikir orang-orang Papua.
Mekanisme “nyata” dilakukannya adalah melalui metode pendampingan secara terus
menerus, sabar, pendekatan dari hati, empati dan melalui cerita-cerita MOP
(Mulut orang Papua). MOP juga merupakan manifestasi pola piker dan logika-logika
sederhana yang dilontarkan orang-orang Papua secara umum.
Diceritakan, bahwa suatu ketika ada korban meninggal terjatuh
dari mobil dalam arak-arakan mobil. Mereka menuntut polisi harus bayar denda
sebesar 1 (satu) Milyar karena tidak bisa mengamankan jalannya pawai. Maka yang
dilakukannya adalah mendatangi jenazah yang disemayamkan di suatu tempat, siap
untuk diarak menuju kantor polisi. Arak-arakan membawa jenazah ke suatu tempat
atau tujuan, pada umumnya akan mengakibatkan kerusakan sepanjang jalan yang
dilewati. Maka sebelum itu terjadi, Kapolda mendatangi persemayaman Jenazah.
Dengan penuh khidmat, beliau berdoa secara khusuk dan berlama-lama di depan
jenazah. Masyarakat memperhatikan serta menyimak doa-doa Kapolda, akhirnya bisa
menerima dan selanjutnya diskusi dari hati ke hati dengan logika mereka, denda
adat-pun bisa dinegosiasikan.
Hal penting dalam memecahkan masalah sosial di Papua adalah
mengedepankan hati dan empati, terlepas dari rasa kesal karena orang Papua memiliki
perbedaan latar belakang sosial dan budaya yang unik dan beragam.
Sebagaimana data hasil Pendataan Potensi Desa (Podes)
2014, Ada sekitar 320 sub-etnis
dengan 300-an lebih suku dan bahasa di Papua. Satu kampung bisa terdiri dari
beberapa kelompok suku yang menuturkan bahasa yang berbeda dengan suku lain.
Tidak bermaksud melakukan dikotomi, namun terbangun istilah
orang pantai atau orang gunung. Sesama orang pantaipun bisa merasa berbeda. Orang
Sorang atau Jayapura tidak mau dianggap sebagai orang malas seperti ada istilah
“malas tahu”, bahkan nama malas tahu dipakai untuk menandai sebuah jalan di
Kabupaten Manokwari. Sementara sesama orang gunung juga saling membedakan
antara satu suku dengan lainnya. Mereka bahkan kadang bilang bahwa suku
tertentu cenderung lebih keras dibanding sukunya, atau sering diistilahkan
dengan sebutan “kepala batu”.
Tak jarang perang suku terjadi karena perbedaan
pandangan antar mereka yang masih hidup secara komunal. Realita perselisihan lain
yang sering dijumpai di wilayah-wilayah pegunungan, bahkan di kota-kota besar
seperti Timika maupun Wamena adalah istilah “palang jalan”. Selain menghambat
pembangunan juga menandakan bahwa logika sederhana masih berfungsi, masyarakat
masih ingin didengar aspirasi dan aturan adatnya. Hal ini terjadi karena orang-orang
tersebut memakai logika yang berbeda dengan logika orang Jawa maupun
orang-orang Indonesia di propinsi lainnya.
Menurut Kapolda, dalam menyikapi dan mengatasi
berbagai permasalahan di Papua, kehadiran hukum positif tidak bisa sepenuhnya dipaksakan
kepada masyarakat. Tak jarang Kapolda mengunakan logika berfikir orang
pegunungan untuk menghadapi complain dan
tuntutan denda terhadap anggota Polri. “Kita harus lulus dari Akademi West Point Wamena”, tuturnya menganalogikan.
Kehadiran hukum positif di tanah Papua adalah untuk menyertai tersedianya
pelayanan publik yang paling dasar, yaitu pendidikan, ekonomi, dan
infrastruktur. Untuk memastikan berjalannya produktifitas pembangunan bagi
kesejahteraan dan kemajuan Papua sebagai “surga
kecil yang jatuh ke bumi”.
Masyarakat Papua bukan hanya tertindas secara fisik
saja, namun psikis dan lebih dari itu ke-mandiri-an (Mampu Berdiri Diatas Kaki Sendiri).
Mereka mungkin bebas, tapi sulit mengakses pelayanan publik yang mendasar.
Fasilitas kesehatan belum menjangkau daerah terpencil. Jika pun tersedia, akses
belum tersambung atau bahkan sangat sulit. Hal ini berimbas pada berbagai aspek
lain, utamanya masalah perekonomian masyarakat Papua. Misalnya harga kebutuhan
pokok di wilayah pegunungan Papua yang sangat mahal. Semen Rp. 2 juta, air
mineral hingga Rp. 30 ribu, air mineral 300 mililiter Rp. 20 ribu, beras Rp. 50
ribu, dan lain sebagainya.
Walaupun Presiden telah mencontohkan secara kongkrit
perhatiannya kepada Papua, namun tidak semua pembantunya memahami dan mengikutinya.
Masyarakat miskin dipaksa membayar mahal untuk kebutuhan dasarnya, sangat
mungkin efek-efek kekecewaan akan terus meletup. Merdeka bukan cuma persoalan
ideologi, tapi juga terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Papua
memang harus MERDEKA. Merdeka dari kebodohan dan kemiskinan yang akut.
-----Turut Berduka
cita atas berpulangnya Kakanda tercinta, Bapak Purba Hasiholan Sormin. May he
rest in peace. Aamiin-----.
[1]
Doktor pada bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Kasatgas Binmas Noken Polri-Satgassus
Papua 2018. Puncak Jaya, 10/20/2018.
No comments:
Post a Comment