THE END
OF HISTORY AND THE LAST MAN:
KEMENANGAN KAPITALISME DAN DEMOKRASI
LIBERAL
Penulis:
Francis Fukuyama
(Edisi
Bahasa Indonesia, Penerbit Qalam, 2003)
The End of History and the Last Man
adalah sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1992). Buku ini
merupakan perluasan esai yang ditulisnya pada tahun 1989. “The End of History”,
diterbitkan oleh The National Interest. Francis Fukuyama ini, seorang warga
Negara Amerika keturunan Jepang yang berprofesi akademisi, komentator politik,
dan penasihat pemerintah Amerika Serikat, benar-benar telah menggemparkan dunia
politik internasional ketika awal tahun 1990-an mendeklarasikan telah
berakhirnya sejarah ideology bangsa-bangsa, dan dia menegaskan secara
optimistik bahwa saat ini dunia dalam era penghujung sejarah dan masa depan
tidak akan pernah lagi tersedia ruang bagi pertarungan antar ideology besar.
Pemenang pertarungan antar ideology ini dari masa ke masa adalah ideology
demokrasi liberal barat yang didukung oleh system ekonomi kapitalis. Fukuyama
berpendapat bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan ‘ titik balik” dari
evolusi ideologis umat manusia dan “bentuk final pemerintahan manusia”,
sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah” (The End of History).
Tesis
Fukuyama berisi beberapa elemen: Pertama, Argumen politik: yakni bahwa semua
perang melalui sejarah adalah bentrokan antara dua sistem politik yang
bersaing. Maka sebagai bangsa yang lebih mengadopsi bentuk pemerintahan
demokrasi liberal, perang antara mereka seharusnya tidak akan terjadi lagi.
Kedua, Argumen empiris: Sejak awal abad 19, telah ada langkah dari Amerika
untuk mengadopsi beberapa bentuk demokrasi liberal sebagai pemerintahannya,
yang didefinisikan sebagai sebuah pemerintahan di mana hak-hak individu,
seperti hak untuk kebebasan berbicara, lebih unggul daripada hak-hak negara.
Ketiga, Argumen filosofis: Fukuyama meneliti pengaruh thymos (atau semangat manusia). Argumennya adalah: Bahwa demokrasi
menghalangi perilaku berisiko. Pencerahan berpikir rasional menunjukkan bahwa
peran tuan dan budak ternyata tidak memuaskan dan merusak diri. Oleh karenanya
karenanya tidak diadopsi oleh roh-roh leluhur. Jenis argumen yang terakhir ini
awalnya diambil oleh Hegel dan John Locke.
Dengan
tegas dia menyatakan bahwa runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 dan ambruknya
tembok Berlin adalah dua diantara sekian banyak pertanda signifikan telah
terjadinya perubahan dramatis pasca Perang Dingin yang mempresentasikan secara
akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia. Runtuhnya
Uni Soviet menimbulkan beberapa akibat terhadap situasi dunia, yaitu: (1)
Berakhirnya perang Dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok
Timur(Uni Soviet), (2) Berkurangnya kecemasan dunia terhadap terjadinya Perang
Dunia III,(3) Banyak negara komunis yang berubah menjadi negara demokrasi, (4)
Amerika Serikat tampil sebagai negara Adi Daya, (5) Tumbangnya komunisme di
beberapa negara Eropa Timur.
Metodologi
yang dipakai oleh Fukuyama dalam analisanya adalah berlandaskan teori filsafat
sejarah G.W,F. Hegel dan analisa kritis terhadap pemikiran karl Marx dalam teori sosialisme. Sejak publikasi pertamanya, The End Of History And The Last Man,
telah mengundang begitu banyak perdebatan pro-kontra. Faktanya lebih banyak lontaran
gugatan dan kritikan dari hampir setiap sudut pandang. Buku ini disebut-sebut
sebagai sebuah karya yang sangat optimistik sekaligus deterministik; fenomenal
sekaligus kontroversial,; ilmiah sekaligus profokatif. Walaupun dalam jumlah
yang lebih sedikit, telah muncul sikap simpatik yang berusaha memahami sisi
positif dari tesisnya ini. Lebih jauh, muncul pelbagai upaya untuk
mengevaluasinya sebagai sebuah instrumen analisis dan perangkat resolusi untuk
mengatasi beragam problem kontemporer di dalam dunia politik dan teori
ideology-politik.
Buku
ini secara referensi sangat bagus terutama bagi para intelektual dan mahasiswa
serta pelaku perpolitikan karena merupakan hasil telaah atas perjalanan sejarah
bangsa-bangsa yang dimulai sejak awal abad 20, yang periode sebelumnya telah
ditulis dengan baik oleh Hegel. Telaah Fukuyama tersebut adalah
peristiwa-peristiwa ideologis dan implikasinya terhadap berbagai Negara seperti
misalnya perang dunia I, perang dunia II, Perang dingin, runtuhnya Uni Sovyet,
kudeta, dan perubahan system pemerintahan beberapa Negara menjadi Negara
demokrasi berdasarkan fakta dan teori-teori yang berbeda menjadi satu kesatuan
yang koheren
Namun,
apa yang disimpulkan oleh Fukuyama dengan yang disebut bentuk “final pemerintahan manusia“ tentu masih
diperdebatkan karena sangat ironis dengan Keberadaan China, Vietnam, Kuba,
Venezuela dan beberapa Negara di Timur tengah yang format pemerintahannya masih
belum dapat menerima ideogi liberal dan demokratis. karena tentu saja kebenaran
mutlak masih terus dicari umat manusia.
Kritikan
atas pemikiran ini tentu saja banyak bergulir dan terkadang bentrok dengan
pendapat para ahli lainnya, sebut saja Samuel
Huntington dalam bukunya Clash of
Civilization menyebutkan adanya kecenderungan kebangkitan Islam menentang
nilai-nilai dan peradaban barat. Sedangkan Jacques
Derrida dalam bukunya Specter Of Marx
meyebutkan bahwa ideology-ideologi lain tidak pernah benar-benar mati melainkan
hanya bersembunyi dan melatenkan diri.
Pemikiran ini
tentu saja dapat disebut sebagai sebuah sintesis pemikiran sebagaimana ketika Karl Mark membuat suatu sintesis
ideology ekonomi dalam bukunya Das Kapital sebagai antithesis dari ideologi
kapitalisme. Suatu hari mungkin terjadi perubahan yang signifikan diberbagai
Negara dan tentu saja pemikiran Fukuyama ini menjadi antithesis.
THE END OF
HISTORY
Setelah menang melawan Komunisme pada abad ke-20,
Barat menjadi penguasa tunggal. Di puncak piramida kekuasaan, Amerika Serikat sebagai negara super power memegang kunci-kunci
kekuasaan dunia. Dengan segala kehebatannya itu, ada yang kemudian berpikir
bahwa setelah era dominasi peradaban Barat, maka tidak ada lagi peradaban lain,
dengan sistem pemikiran dan kehidupan yang berbeda dengan peradaban Barat. Ketika
itulah manusia sudah bersepakat untuk menerapkan Demokrasi Liberal. Era ini
merupakan akhir sejarah (the end of history). Ungkapan the end of history itulah
yang sangat populer di pengujung abad ke-20, yang menempatkan Francis Fukuyama sebagai ilmuwan terpopuler
bersama Samuel P. Huntington, selama dekade 1990. Menurut Fukuyama, setelah
Barat menaklukkan rival idiologisnya: monarkhi
herediter, fasisme, dan komunisme,
maka dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa
terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi bahwa demokrasi liberal adalah semacam
titik akhir dari evolusi idiologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan.
Dan, ini sekaligus sebuah 'akhir sejarah' (the end of history).
Disadari atau tidak, berbicara mengenai akhir dari sejarah merupakan perihal yang begitu sensitif, hal ini mengingat cukup
banyaknya entitas masyarakat dunia yang memiliki pola pikir, norma dan terutama
“nilai” yang berbeda-beda. Apabila Hegel memahami akhir sejarah melalui alur
dialektia ide (ruh transendensi) sebagai penggeraknya, sedangkan Marx lebih
pada ekonomi deterministik, maka Fukuyama meyakini logika sains alam modern
sebagai roda penggerak menuju akhir sejarah. Di satu sisi, dalam (EH) Fukuyama
menempatkan Injil sebagai pelopor penulisan sejarah universal, dalam pengkajian
kita akan hal ini tidaklah bijak memfokuskan pembicaraan pada urutan terlebih
dahulu, tidaknya pewahyuan suatu kitab suci dibanding kitab suci lainnya, apa
yang semestinya kita lakukan adalah menempatkan keseluruhan kitab suci yang ada
sebagai penegas antara yang sakral dan profan. Hal tersebut bukannya tanpa
alasan sama sekali, tetapi lebih pada realitas eksisnya berbagai bentuk dan
versi sejarah universal maupun akhir sejarah yang tertuang dalam berbagai kitab
suci agama dunia.
Pada tataran nontransendensi, bagaimanapun juga kita menemui berbagai
bentuk kelemahan pada konsepsi akhir sejarah konstruksi manusia. Hal ini selain
sesuai dengan apa yang dikatakan Hume
dan Kierkegaard juga dikarenakan
tidak adanya “aksioma” dalam perspektif ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini, suatu
ilmu yang tak memiliki aksioma tidaklah memiliki legitimasi yang kuat
disebabkan oleh samarnya pandangan mengenai yang baik ataupun yang buruk,
itulah mengapa Giddens mengkritik ilmu-ilmu sosial sebagai sarana keserakahan
manusia. Secara konkret hal ini dimisalkan dengan perbedaan pandangan antara
Marx dan Weber dalam melihat fenomena kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme begitu irasional karena melakukan
ekploitasi sewenang-wenang pada buruh-buruh pabrik, sebaliknya dengan Marx,
Weber menganggap kapitalisme begitu rasional karena melakukan akumulasi modal
secara sistematis. Dalam tataran dunia akademis, kita kerap melihat bagaimana
perdebatan antar-Ideologi tak kunjung menemui titik temu. Seorang mahasiswa
yang dengan tekun mempelajari Manifesto Komunis berikut Das Kapital
menghadapi kesia-siaan setelah menemui Manifesto Kapitalis dan End of
History Fukuyama, begitu pula
dengan seorang mahasiswa yang dengan hebatnya mendalami kapitalisme dan
neoliberalisme mengalami kehancuran harapan setelah menemui Manifesto
Komunis dan Specter of Marx Derrida. Ilustrasi tersebut menunjukkan
pada kita pragmatisme yang berpotensi besar menghantarkan pada relativisme dan
skeptisisme radikal sehingga pada akhirnya sekedar memunculkan nihilisme
layaknya usungan Nietzsche,
Dostovesky, Camus atau Sartre.
Dengan demikian, seperti apa yang telah diuraikan di atas, satu pelajaran
penting yang dapat kita petik dalam (EH) adalah lemahnya argumen Fukuyama
terkait fenomena sebagian besar negara dunia yang menganut demokrasi liberal
sebagai indikasi akhir dar sejarah umat manusia dengan orientasi puncak
demokrasi liberal itu sendiri. Faktual, kita menemui di era 1950-an hingga
1960-an sebagian besar negara dunia mengklaim berdiri di atas
nilai-nilai marxisme dan mengalami kehancuran mengenaskan kurang-lebih dua atau
tiga dekade kemudian (akhir 1980-an), dan fenomena yang sama kiranya tetap tak
tertutup kemungkinan terjadi pula pada konsepsi demokrasi liberal yang saat ini
diamini sebagian besar negara-negara dunia.
Lemahnya argumen yang dilontarkan Fukuyama di atas terlebih terbukti
melalui tanda-tanda bangkitnya kembali peradaban lama yang mengancam kedudukan
Barat yakni confusiunisme dan Islam
seperti apa yang diungkapkan Samuel P.
Huntington dalam majalah Foreign Affairs, “Suatu hubungan
Islam-Konfusianisme telah bangkit menentang kekuatan, nilai-nilai dan
kepentingan Barat”, begitu pula dalam The Clash of Civilizations sebagai
penjelas dan penegas sekaligus kelanjutan majalah tersebut Huntington menegaskan, “Islam
adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam
keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya,
dua kali”. Di satu sisi, kajian kita mengenai bentuk-bentuk kebangkitan
kembali suatu peradaban faktual memperoleh dukungannya melalui pernyataan
Derrida dalam Specter of Marx bahwa baginya ideologi-ideologi lain tak
pernah benar-benar mati melainkan hanya bersembunyi dan melatenkan diri.
Kiranya satu hal penting yang patut kita insyafi dan menjadi catatan
tersendiri sekaligus penulis tempatkan sebagai penutup pembahasan kita mengenai
konsepsi “akhir sejarah” Fukuyama yakni mengarahkan kembali perhatian pada
pernyataan Huntington dalam bab akhir The Clash of Civilizations,
“Masyarakat-masyarakat yang menganggap bahwa sejarah mereka telah berakhir
biasanya adalah masyarakat yang sedang berada di ambang keruntuhan.”
Pada akhir sejarah, kata Fukuyama, tak ada lagi
tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada masa lalu manusia
menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa demokrasi liberal adalah
inferior terhadap berbagai idiologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme,
totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi
konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan demokrasi liberal
sebagai bentuk pemerintahan yang paling rasional.
Tentang hubungan agama dengan sekularisasi, Fukuyama
mencatat bahwa liberalisme tidak akan muncul jika Kristen tidak melakukan
sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh Protestanisme Bart, yang telah
membuat adanya kelas khusus pemuka agama dan menjauhkan diri dari intervensi
terhadap politik. Tulis Fukuyama,
"Kristen dalam arti tertentu harus membentuk dirinya melalui sekularisasi
tujuan-tujuannya sebelum liberalisme bisa lahir. Agen sekularisasi yang umumnya
segera bisa diterima di Barat adalah Protestanisme. Dengan menempatkan agama
sebagai masalah pribadi antara Kristen dan Tuhan, Protestanisme telah
menghilangkan kebutuhan akan kelas pendeta yang terpisah, lebih luas lagi tidak
ada juga kebutuhan akan intervensi agama ke dalam politik."
Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya
sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi ortodoks dan Islam fundamentalis.
Keduanya dia sebut sebagai "totalistic religion", yang
ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun
pribadi, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima
demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang
kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan jika
satu-satunya negara demokrasi liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara
tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal
abad ke-20.
Klaim-klaim Fukuyama sebenarnya sangatlah lemah.
Tidaklah benar saat ini tidak ada tantangan serius secara idiologis terhadap
demokrasi liberal. Faktanya, pasca-Perang Dingin, Islam masih dianggap sebagai
tantangan idiologis yang serius. Sehingga, negara-negara Barat sangat khawatir
terhadap munculnya negara yang menerapkan idiologi Islam. Sebab, menurut
Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat Barat tidak
merasa aman. Kasus dukungan Barat terhadap pembatalan pemilu di Aljazair yang
dimenangkan oleh FIS menunjukkan bahwa Barat menganggap ada tantangan serius
terhadap idiologi FIS. Menurut Christoper Ogden, dalam artikel View
from Washington,Times, 3 Februari 1992, tindakan AS yang mendukung
permainan kekuasaan anti-demokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru.
Sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair
"konstitusional" tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid
(ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim fundamentalis.
Sesudah peristiwa serangan terhadap menara kembar
World Trade Centre di New York dan gedung departemen pertahanan AS Pentagon di
Virginia, jenis paranoid Barat khususnya AS--terhadap Islam semakin beragam.
Dari yang bentuknya paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari sampai di
tingkat legalisasi pemerintahan. Hanya karena namanya berbau Islam, atau
wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat
diperlakukan tidak manusiawi.
Ketika pada 2004 Turki menggagas RUU yang menetapkan
perzinaan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal, di samping kemudian
menimbulkan kontroversi, yang menarik adalah bukan kalangan dalam Turki saja
yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa,
Guenter Verheugen, menyatakan bahwa sikap anti perzinaan dapat menciptakan
citra bahwa undang-undang di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri
Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan bahwa jika proposal itu disahkan
sebagai undang-undang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki.
Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana
masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri Muslim
ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat
berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang Barat itu
begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemennya, memutuskan bahwa
perzinaan adalah satu bentuk kejahatan? Ada apa di balik semua ini? Mengapa
mereka tidak membiarkan saja, sesuai dengan jargon demokrasi liberal mereka,
rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa
langsung saja mereka mengingatkan bahwa undang-undang itu akan mendekatkan
Turki kepada Islam?
Kasus Turki ini sekaligus menjadi bukti bahwa Barat
bersikap begitu paranoid terhadap penerapan "hukum Islam", dan
sekaligus mematahkan tesis Fukuyama tentang tidak adanya tantangan idiologis
yang serius terhadap demokrasi liberal pasca Perang Dingin. Karena itu, klaim
Fukuyama bahwa telah terjadi konsensus umat manusia untuk memeluk "demokrasi liberal" juga bisa
dianggap berlebihan. Klaim ini terlalu dini dan mendapatkan banyak kritik. Pada
saat ini sikap Barat juga paradoks. Di satu sisi mengkampanyekan 'pluralisme' sebagai salah satu elemen
dasar demokrasi liberal, tetapi pada sisi lain juga memaksakan 'uniformitas' tentang keharusan
menerapkan standar Barat dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti yang
terjadi di Turki. Dukungan Barat terhadap rezim otoriter yang anti-demokrasi di
dunia Islam hanya karena rezim-rezim menjamin kepentingan bisnis dan ekonomi
Barat--menambah pekatnya kadar paradoksi Barat.
Demokrasi liberal disamping menawarkan banyak
kemudahan dan nilai-nilai positif, tetapi juga menyimpan kelemahan-kelemahan
internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak
dihargai. Orang pintar disamakan dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu
politik memiliki hak suara yang sama dengan seorang pemabuk dan pezina. Seorang
yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang preman.
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah
diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 SM) menyebut empat
kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti
karena faktor-faktor nonesensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan
latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya "orang-orang paling
bijak" sebagai pemimpin ideal di suatu negara, "Orang-orang paling bijak dalam
negara akan menangani persoalan-persoalan manusia dengan akal dan kearifan yang
dihasilkan dari dunia gagasan yang kekal dan sempurna." Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan
kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa
yang berpikiran rendah. Menurut Iqbal, bagaimanpun, para semut tidak akan mampu melampaui kepintaran
seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran
manusia tidak akan keluar dari 200 'keledai'.
Sebenarnya, Barat pun sadar, demokrasi liberal tidak
dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan umat manusia, khsusnya di duina
internasional. Mereka tidak percaya bahwa umat manusia yang mayoritas dapat
menghasilkan keputusan yang baik untuk dunia internasional jika bertentangan
dengan kemauan mereka. Karena itu, sejak awal berdirinya PBB, 24 Oktober 1945,
Barat memaksakan sistem "aristokratik", yaitu kekuasaan PBB diberikan
kepada beberapa buah negara yang dikenal sebagai "The Big Five" (AS,
Rusia, Prancis, Inggris, Cina). Kelima negara inilah yang mendapatkan hak
istimewa berupa hak 'Veto' (dari bahasa lati, 'veto' artinya: saya melarang). Lima
negara ini merupakan anggota tetap dari 15 anggota Dewan Keamanan (DK) PBB.
Sisanya 10 negara, dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Pasal 24
Piagam PBB menyebutkan bahwa dewan ini mempunyai tugas yang sangat vital, yaitu
"bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional". Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota tetap DK
PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan.
Falsafah PBB yang meletakkan sistem aristokratis ini
menunjukkan bahwa demokrasi liberal adalah sebuah pilihan yang tidak selalu
didukung oleh Barat. Jika percaya pada falsafah demokrasi, bahwa "suara
rakyat adalah suara Tuhan", mengapa Barat selalu menolak melakukan
restrukturisasi PBB, yang sudah puluhan tahun dituntut oleh mayoritas negara di
dunia? Dunia sering disuguhi tontonan ironis di PBB, ketika mayoritas anggota
PBB di Majelis Umum menyetujui satu resolosi, tetapi hanya karena satu negara
anggota tetap DK tidak setuju, maka keputusa PBB itu menjadi tidak bergigi. DK
PBB juga tidak pernah berhasil mengeluarkan resolusi yang mengecam berbagai
tindakan AS. Dalam kasus penyerbuan AS ke Panama, misalnya, ada dua draft resolusi yang diveto oleh AS.
Pada satu sisi, Barat sendiri terbukti tidak konsisten
dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, yang konon memberikan ruang dan hak
yang sama kepada setiap manusia, sesuai prinsip "equality". Namun,
pada sisi yang lain, apa yang dilakukan Barat, juga merupakan realita demokrasi
liberal itu sendiri, yang pada praktiknya memiliki asumsi-asumsi ideologis
mirip dengan Marxisme-Leninisme, yang mengenal diskriminasi kelas sosial.
Adalah pakar komunikasi Walter Lipmann yang mengajukan teori A
Progressive Theory of Liberal Democratic Thought. Dalam teori 'demokrasi
progresif', disebutkan bahwa untuk menjalankan demokrasi secara lebih baik,
maka masyarakat dibagi dalam kelas-kelas.
Paradoks Demokrasi di Barat
Fenomena teori demokrasi liberal progresif versi
Lipmann itu tampak mencolok dalam pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5
Desember 2000 Mahkamah Agung AS memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat,
Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan berdebatan yang sengit di AS. Bugliosi
mengungkap sebuah realitas ironis tentang demokrasi: 'pengkhianatan Amerika'.
Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar
di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim di
sebuah lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat,
lebih banya berpihak kepada Al-Gore. Dengan fakta ini, presiden AS George W.
Bush didukung oleh minoritas. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu
digambarkan Bugliosi sebagai "like the day of Kennedy
assassination". (Vincent Bugliosi, The Betrayal of America:
How the Supreme Court Undermined the Constitution and Chose Our President [New
York: Nation Books, 2001]).
Setelah Bush memangku jabatan Presiden AS, kontroversi
demi kontroversi terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Apalagi, setelah Bush
memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Belum pernah dalam sejarah
dunia menyaksikan gelombang aksi unjuk rasa anti-AS yang begitu ramai di
berbagai penjuru dunia seperti pada tahun 2003. Sampai-sampai ribuan orang
warga AS sendiri harus ditahan, menyusul aksi mereka menentang serangan ke
Irak, di berbagai kota di AS. Amerika menyerang Irak tanpa persetujuan dan
mandat DK PBB--satu tata aturan yang telah ditetapkan sendiri oleh AS dan
sekutu-sekutu Perang Dunia II.
Maka, serangan AS terhadap Irak, tanpa mandat PBB,
secara jelas menunjukan akhir dari tata dunia yang diatur oleh AS. Hukum internasional
telah diabaikan. Kekuatan adalah kebenaran. Might is right.
Kontroversi merebak di seluruh dunia.
Dunia internasional sebenarnya secara mayoritas sering
berseberangan denan AS dan tata dunia yang dipimpinnya. Hanya karena faktor
kekuatan dan pengaruh AS yang masih begitu kuat, maka muncul pikiran pragmatis
untuk mengikuti saja apa kehendak dan perintah AS. Di dunia Islam, berbagai
kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan
Taliban. Jika pada masa Perang Dingin sampai tahun 1996 Pakistan adalah
pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan
Taliban sebagai musuhnya. Prof. Robert Hunter Wade, Guru Besar ekonomi politik
di London School of Economisc menyamakan posisi AS di dunia
saat ini seperti posisi Kekaisaran Romawi yang berlaku sewenang-wenang terhadap
dunia.
THE LAST MAN
Setelah “puas” berbicara panjang lebar mengenai
dialektika Hegel dan demokrasi liberal sebagai bentuk akhir sejarah, sampailah
Fukuyama pada bab akhir analisisnya mengenai the last man ‘manusia
akhir’. Dalam hal ini Fukuyama mengadopsi konsep “manusia akhir” Nietzsche yang
syarat dengan kenyamanan pribadi, kesenangan material, secara membabi-buta
menerima “moralitas gerombolan” serta dogma-dogma politik dan eksis sebelum ubermensch
‘manusia unggul’ hadir. Menurut Fukuyama kondisi kehidupan manusia yang demikian
merupakan konsekuensi diterapkannya demokrasi liberal, di mana setiap orang
pada akhirnya menjadi borjuis atau kelas menengah karena sokongan pemerintah
pada berbagai bentuk pertanggungjawaban sosial seperti Social Security and
Medical di Amerika Serikat hingga berbagai sistem kesejahteraan yang lebih
komprehensif di Jerman atau Swedia. Singkatnya-dengan kata lain-manusia modern
adalah manusia terakhir dengan kehidupan penuh keamanan fisik serta kelimpahan
material.
Namun demikian, kesalutan kita atas Fukuyama adalah
pengakuannya bahwa “manusia terakhir” yang demikian justru menemui kebosanan
dan kejenuhan hebat dalam diri dan hidupnya serta berpotensi mengulang kembali
jalannya sejarah sehingga sejarah tak lagi menjadi sebuah pertumbuhan liniear
melainkan siklus. Terkait hal tersebut Fukuyama mencontohkan dengan apa yang
terjadi pada munculnya pemerintahan Shogun Hideyoshi pada abad ke-15 di mana
kala itu Jepang memasuki era penuh kedamaian selama beberatus tahun lamanya
yang begitu mirip dengan postulat akhir sejarah Hegel, namun faktual “perang
besar” terjadi lagi kemudian. Peristiwa kontemporer yang terjadi di Prancis tak
luput pula dalam sorotan Fukuyama di mana kala itu Prancis di bawah pimpinan
Jendral De Gaulle menjadi negara paling bebas dan paling makmur di muka bumi
faktual mengalami pemberontakan hebat mahasiswa yang berupaya melengserkannya. Begitu juga dengan peristiwa 1914 setelah seratus
tahun perdamaian sejak konflik terbesar di saentaro benua Eropa telah
dihentikan oleh Konferensi Wina faktual petaka kembali terulang melalui Perang
Dunia I (1914-1918). Kesemuanya diakui Fukuyama sebagai dampak dari isothymia
yang tak lagi mencukupi dan berubah menjadi megalothmia, dan bila kita
menilik kembali pemikiran Fukuyama sebelumya, hal tersebut disebabkan oleh thymos
yang menjadi penekanannya sejak awal (hasrat akan pengakuan). Namun demikian,
pemikiran Fukuyama mengenai “manusia akhir” tidaklah ujug-ujug
memunculkan ubermensch ‘manusia unggul’ layaknya Nietzsche kemudian,
atau seperti Sartre dengan etre-en-soi-etre-pour-soi yang pada akhirnya
menyimpulkan manusia sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’
sehingga berakhir pada absurditas dan nihilisme semata. Fukuyama tampaknya
melihat secercah harapan dalam konsepsi “manusia akhir”-nya sendiri, yakni
dengan lebih melatih dan menyempurnakan thymos sehingga mampu melayani
kebaikan bersama karena seperti halnya Plato, ia menganggap bahwa thymos
tidaklah baik atau buruk (netral) namun lebih bagaimana cara kita melatihnya. “Thymos
harus dikendalikan oleh akal dan dijadikan sekutu hasrat, dengan keadaan
demikianlah jiwa memperoleh kepuasan dan dan dibawa menuju keseimbangan di
bawah bimbingan akal,” ungkapnya.
Melalui berbagai penjabaran “manusia akhir” Fukuyama
di atas setidaknya terdapat beberapa hal yang patut kita kritisi atau jadikan
peninjauan kembali lebih lanjut. Pertama, mekanisme wellfare-state
seperti apa yang dikemukakan Fukuyama sebelumnya apakah benar “semanis” dalam
realitas, dalam hal ini kita menemui analisis Giddens terkait moral hazard yang muncul melalui mekanisme
tersebut, dan memang, hal yang sama telah menjadi petaka ekonomi di era 1950-an
dan 1970-an yang kemudian menghantarkan konsepsi ekonomi Keynesian berikut neo-Keynesian ke “liang kubur” sebagai
konsekuensi atas pembengkakan belanja publik yang kembali melahirkan depresi
ekonomi. Di satu sisi, neoliberalisme yang diusung Reagan dan Thatcer,
terlebih peletak dasar pondasinya, Frederick
Von Hayek mengenai keyakinan kehidupan ekonomi yang baik harus dimulai
dengan ketimpangan-ketimpangan ekonomi menuai kejemuan masyarakat terkait
hingga kapan ketimpangan tersebut harus terus berlangsung, hal tersebut
diperparah dengan munculnya fenomena buble economic[1]
‘gelembung ekonomi’ yang beberapa waktu lalu sempat menjadi sebab-musabab petaka
krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990-an.
Di sisi lain, solusi dan optimisme yang ditawarkan
Fukuyama berupa “manajemen” tiga elemen dalam manusia dan masyarakat berupa akal, hasrat dan terutama thymos
lebih tampak pada tatanan masyarakat utopia Thomas
More. Faktual, tak pernah sebelumnya umat manusia melihat tatanan kehidupan
yang sedemikian apik dalam perjalanan sosio-historisnya sehingga
tak berlebihan kiranya bila pemikiran Fukuyama terkait hal tersebut kita
tempatkan sebagai utopis[2]
sebelum hal tersebut benar-benar pernah terwujud.
[1] Gelembung ekonomi (economic
bubble), gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah
"perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan
nilai intrinsiknya". (Dalam kata lain: memperdagangkan produk atau aset
dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.)
[2]
Orang yang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang hanya bagus
dalam gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan. atau biar lebih mudah. Utopis
itu berasal dari kata utopia. Utopia itu sesuatu yang di mimpikan, di
kehendaki tetapi tidak mungkin jadi kenyataan.
No comments:
Post a Comment