Teori
Sosial dari Klasik Sampai Postmodern
Karya; Bryan
S. Turner.
Diterbitkan
Pustaka Pelajar di Yogyakarta (2012)
Resensi
Oleh: Eko SUDARTO
BUKU;
Teori sosial dari Klasik sampai Post-modern karya Bryan S. Turner ini sesungguhnya hendak mengungkap apa yang
dimaksud dengan teori sosial sejak masa klasik hingga postmodern, tentunya dari
sudut pandangnya, dengan mengambil teori-teori yang dianggapnya masih cukup
relevan untuk diketahui oleh generasi hari ini. Sebenarnya antara teori yang
satu dengan teori yang lain masih memiliki keterkaitan, lahirnya sebuah teori
biasanya lebih disebabkan karena upaya berpikir keras yang dilakukan oleh para
ahli teori sosial untuk mengisi celah yang kosong dan tidak mampu dijawab oleh
penemu teori sebelumnya. Sangat banyak teori sosial yang telah dicetuskan para
cendekiawan tetapi tidak semuanya ditampilkan dalam buku ini. Buku ini
merupakan bunga rampai tulisan dari para pengusung teori masing-masing yang
dijelaskan dalam resensi yang lebih ringkas dari edisi buku aslinya yang
tentunya lebih tebal. Buku ini ditulis oleh Turner terbagi dalam 5 bagian dan
28 Bab.
A. Bagian
pertama
Buku
ini mengulas mengenai dasar-dasar, berisi tentang dasar-dasar teori sosial,
teori sosiologi kontemporer: perkembangan-perkembangan pasca parsons, dan
filsafat ilmu-ilmu sosial. Pada dasar-dasar teori sosial menjelaskan mengenai
dialektika filsafat pemikiran sosial antara Karl Marx, Emile Durkheim, Hegel,
Auguste Comte, Herbert Spencer, Sigmun Freud dan Max Weber. Pada
bagian teori sosiologi kontemporer: perkembangan-perkembangan pasca parsons
adalah mengetengahkan mengenai lompatan-lompatan pemikiran sosial setelah Talcott Parsons mengemukakan teori
sistem sosialnya yang menjadi peniup semakin berkibarnya api ilmu sosial dan
menyebar ke berbagai ilmuwan di sisi bumi yang berbeda dengan cara pandang
masing-masing. Bab ketiga mengenai filsafat ilmu-ilmu sosial, yang
mengetengahkan tentang model naturalis, model fondasionalis, falsifikasionisme, realisme kritis, makna, bahasa,
kritik yang dilihat dari tata
hermeneutika, filsafat Wittgensteinian, filsafat dan anti fondasionalisme,
serta teori jaringan aktor.
Beberapa
kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan
sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, diantaranya adalah revolusi politik, revolusi industri,
perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi,
perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori
sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi dibeberapa negara
terutama yang terjadi dikawasan Eropa Barat, diantaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan
berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak
yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial
baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan
kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus
sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial
tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di
kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (Revolusi Prancis sejak tahun 1789) menjadi cikal bakal
perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme
di Inggris telah memacu munculnya pemikiran - pemikiran baru dibidang sosial. Para pemikir di era tersebut
dapat dikategorikan sebagai penemu teori-teori klasik. Beberapa tokoh ternama penemu Teori Klasik, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Aguste Comte
Perjalanan
Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan Aguste Comte
adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu
kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat
ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan
telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu - ilmu lainnya. Dalam hal itu, Aguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi. Aguste Comte pada
dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus.
Perjalanannya
didalam menimba ilmu tersendat - sendat dan putus di tengah jalan. Berkat
perkenalannya dengan Saint - Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte
semakin terbuka, bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon.
Pada dasarnya Auguste Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup
sederhana tetapi kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta
memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya
pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah. Pemikiran Auguste
Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial Perkembangan masyarakat
pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai
oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus
untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Sosiologi adalah menyelidiki
hukum - hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian - bagian yang berbeda dalam
sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan
hubungan yang saling menguntungkan (mutual
relations) diantara unsur - unsur dalam suatu sistem sosial secara
keseluruhan.
2.
Emile Durkheim
Sosiolog
besar ini dilahirkan di Epinal diprovinsi lorraine di perancis timur pada 15
April 1885, sejumlah empat buku yang telah ditulis durkheim untuk mengukuhkan
dirinya sebagai seorang sosiolog yang terkenal, bukunya yang pertama adalah
yang berjudul ”one the-division of social
labor” yang diterbitkan tahun 1893. Dua tahun kemudian pada tahun 1895
terbit buku keduanya “the rules of
socuological method” dan buku ketiganya “suicide”
terbit pada tahun 1897 sedangkan buku yang keempat atau karyanya yang terakhir “the elemententary forms of religious life”
terbit pada tahun 1912.
Durkheim
sangat termashur dengan kerangka teorinya tentang adanya “jiwa kelompok” yang mempengaruhi jiwa individu. Dia mengatakan bahwa
ada dua macam kesadaran yaitu kolektip dan individual conciousness. Durkheim
menyatakan ada dua sifat yang dimiliki oleh kesadaran kolektif yaitu sifatnya yang exterior dan sifatnya
yang konstarint didalam exterior kesadaran kolektif berada diluar individu
manusia dan yang yang masuk ke dalam individu tersebut dalam perwujuadan
sebagai aturan - aturan
moral, agama, tentang baik
dan buruk dan lain sebagainya.
Sedangkan
dalam sifat nya yang konstraint kesadaran kolektif tersebut memiiki daya
memaksa terhadap individu - individu
manusia pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap kesadaran - kesadaran
kolektif ini akan mengakibatkan adanya sangsi - sangsi
hukuman terhadap anggota masyarakat yang bersangkutan. Dengan
demikian kesadarn kolektif itu adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur
hubungan sosial diantara masyarakat yang
bersangkutan. Kesadaran kolektif ini merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan
psikis / kejiwaan dan
merupakan suatu ‘kesadaran dari kesadaran yang berada di luar dan di atas individu - individu dan
dengan kesadaran yang demikian itu maka masyarakat adalah merupakan suatu yang
lebih baik dari pada individu.
3. Karl Marx
Nama filsuf KarlMarx mungkin berdengung diseluruh dunia dengan kehebatan yang luar biasa. Bahkan lebih
dari itu, Marx dikenal
pula sebagai seorang pemikir dalam banyak bidang ilmu. Mulai dari
lapangan ekonomi sampai kepada sosiologi. Filsuf yang di lahirkan pada
tanggal 5 mei 1818 di kota Trier di tepi sungai Rhine ini adalah keturunan seorang
borjuis, karya Marx
yang pertama kali yang dapat dicatat adalah di sertasinya sendiri di
Universitas jana, yang
berjudul On the differences between the
natural philoshopy of democritus and epicurus (1841) dimana sesungguhnya
dia sudah mulai menyerang konsep - konsep agama
dan karya - karya Marx tidaklah
terbilang banyak nya. Mulai dari “The Mesery of philophy, The Poverty of philosophy”, sampai
kepada Manifesto Komunis dan Das
Kapital. Buku yang di
sebut terakhir ini justru merupakan buku yang paling termashur.
Sejarah
kehidupan manusia kata Marx, tidak lebih dari pertentangan
antar kelas, atau antar
golongan, mulai dari
golongan atau kelas yang berdiri dari orang-orang yang bebas merdeka dari budak - budak, sampai
kepada pertentangan antara kelas penindas dengan yang ditindas. Disinilah
keistimewan Marx
sebenarnya, yang melihat
adanya suatu pertikaian abadi yang menandai sejarah perkembangan manusia.
4. Max
Weber
Marx
pada dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sedangkan karya Weber pada
dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker,1984; Kalberg,
1980,1990,1994). Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi
sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat
tampaknya mencegah perkembangan serupa di bumi lain. Meski konsep rasionalitas
digunakan dengan berbagai cara yang berlainan dalam karya Weber, yang menjadi
sasaran perhatian kita disini adalah salah satu dari empat jenis proses yang
diidentifikasi oleh Kalrberg (1980: lihat juga Brubaker, 1981) yakni
rasionalitas formal. Rasionalitas formal meliputi proses berpikir aktor dalam
membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan
merujuk pada kebiasaan, peraturan dan hukum vang diterapkan secara universal.
Ketiganya berasal dari berbagai struktur besar, terutama struktur birokrasi dan
ekonomi. Weber mengembangkan dalam konteks studi perbandingan sejarah
masyarakat Barat, Cina, India, dan beberapa masyarakat lain. Dalam studi ini ia
mencoba melukiskan faktor membantu mendorong atau merintangi perkembangan
rasionalisasi.
Weber
melihat birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik
rasionalisasi, tetapi mungkin contoh terbaik rasionalisasi dewasa ini adalah
restoran cepat saji (Ritzer, 2000a). Restoran cepat saji (fast-food) adalah sistem formal di mana seorang pekerja dan
pelanggan digiring untuk mencari paling rasional dalam mencapai tujuan.
Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara rasional karena dengan
cara demikian pelayan menyodorkan dan pelanggan memperoleh makanan secara cepat
dan kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji dan aturan
operasionalnya.
Weber
memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke dalam yang lebih luas
tentang lembaga politik. Ia membedakan antara tiga jenis sistem otoritas
tradisional, karismatik, dan rasional legal. Sistem otoritas legal hanya dapat
berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya dalam sistem otoritas
rasional legal itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Masyarakat lain
di dunia tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau karismatik yang
umumnya merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern.
Singkatnya, sistem otoritas tradisional berasal dari Sistem kepercayaan di
zaman kuno. Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis
keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok. Pemimpin karismatik
mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin
dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri
seperti itu. Meski kedua jenis otoritas itu mempunyai arti penting di masa
lalu, Weber yakin bahwa masyarakat Barat, dan akhirnya masyarakat lainnya,
cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas rasional-legal. Dalam sistem
otoritas semacam ini, otoritas berasal dari peraturan yang diberlakukan secara
hukum dan rasional. Jadi, Amerika memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari
peraturan hukum masyarakat. Evolusi otoritas hukum rasional yang diiringi
evolusi birokrasinya hanyalah merupakan sebagian dari argumen umum Weber
tentang rasionalisasi masyarakat Barat.
Weber
juga membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti
agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Kita dapat melukiskan cara berpikir Weber
dengan satu contoh lain rasionalisasi institusi ekonomi. Diskusi ini tertuang
dalam analisis Weber yang lebih luas tentang hubungan antara hukum dan
kapitalisme. Dalam studi sejarah bercakupan luas, Weber berupaya memahami
mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang di Barat dan mengapa
gagal berkembang di masyarakat lain di luar mayarakat Barat. Dalam studi ini
Weber mengakui peran sentral agama. Di satu tingkat, ia terlibat dialog dengan
Marxis dalam upaya untuk menunjukkan bahwa, bertentangan dengan keyakinan
kebanyakan Marxis di masa itu, agama bukanlah sebuah epifenomena semata. Agama
telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme Barat, tetapi
sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme di masyarakat lain. Weber menegaskan
bahwa sistem agama rasionallah (Calvinisme)
yang memainkan peran sentral dalam menumbuhkan kapitalisme di Barat.
Sebaliknya, di belahan dunia lain yang ia kaji, Weber menemukan sistem agama
yang lebih irrasional (misalnya, Konfusianisme,
Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional.
Tetapi, pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara,
karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat pada
akhirnya akan menjadi rasional.
Rasionalisasi
terletak di jantung teori Weberian. Kini persoalan utama dalam perkembangan
teori sosiologi adalah: Mengapa teori Weber terbukti lebih menarik bagi para
teoritisi sosiologi selanjutnya ketimbang teori Marxian?
5. Hegel
Menurut
Ball, “Sulit bagi kita memahami seberapa besar pengaruh Hegel terhadap
pemikiran Jerman di perempat kedua abad 19. Sebagian besar orang terpelajar
Jerman termasuk pemuda Marx mempelajari filsafat sejarah, politik, dan kultur
dalam kerangka pemikiran Hegel” (1991:25). Pendidikan Marx di Universitas
Berlin dibentuk oleh gagasan Hegel dan oleh perpecahan yang berkembang antara
pengikut Hegel setelah kematiannya. “Hegelian Tua” terus menganut gagasan
gurunya, sedangkan “Hegelian Muda”, meski masih berkarya menurut tradisi
Hegelian, mengkritik berbagai segi sistem filsafat Hegel.
Dua
konsep yang mencerminkan esensi filsafat Hegel adalah dialektika dan idealisme
(Hegel 1807/1967:821/1967). Dialektika adalah cara berpikir dan citra tentang
dunia. Sebagai cara berpikir, dialektika menekankan arti penting dari proses,
hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi cara berpikir yang lebih dinamis.
Di sisi lain, dialektika adalah pandangan bahwa dunia bukan tersusun dari
struktur yang statis, tetapi terdiri dari proses, hubungan, dinamika, konflik
dan kontradiksi. Meski gagasan dialektika dihubungkan dengan Hegel, namun ia
sudah ada dalam filsafat sejak dulu. Marx, yang terdidik dalam tradisi
Hegelian, mengakui arti penting dialektika. Namun, ia mengkritik beberapa aspek
dari cara yang dipakai Hegel. Misalnya, Hegel cenderung menerapkan dialektika
hanya pada dunia gagasan, sedangkan Marx merasa bahwa dialektika dapat
diterapkan pula pada aspek kehidupan yang lebih bersifat material seperti pada
aspek ekonomi.
Hegel
juga selalu dikaitkan dengan filsafat idealisme yang lebih menekankan
pentingnya pikiran dan produk mental ketimbang kehidupan material. Yang penting
bagi kehidupan fisik dan material adalah definisi sosial, bukan kehidupan iu
sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrem, idealisme menegaskan bahwa hanya konstruksi
pikiran dan psikologislah yang ada. Beberapa orang idealis yakin bahwa proses
mental mereka akan tetap seperti biasa meski kehidupan sosial dan fisik sudah
tidak ada lagi. Idealis tak hanya menekankan pada proses mental, juga pada
gagasan yang dihasilkan oleh proses mental itu. Hegel mencurahkan perhatian
yang sangat besar pada perkembangan gagasan seperti itu terutama pada apa yang
ia rujuk sebagai ruh (spirit) masyarakat.
Sebenarnya
Hegel menawarkan sejenis teori evolusi tentang kehidupan dalam artian
idealistik. Mula-mula manusia hanya dibekali kemampuan panca indera untuk
memahami dunia di sekitar mereka. Manusia mampu memahami hal-hal seperti
melihat, mencium, dan merasakan kehidupan fisik dan sosial. Kemudian manusia
mengembangkan kemampuan untuk menyadari dan memahami diri mereka sendiri.
Berbekal pengetahuan dan pemahaman tentang diri sendiri itulah manusia mulai
memahami bahwa mereka dapat menjadi lebih daripada keadaan semula. Menurut
pendekatan dialektika Hegel, kontradiksi berkembang antara keadaan manusia
sebagaimana adanya dan kadaan yang mereka rasakan seharusnya ada. Penyelesaian
kontradiksi ini terletak dalam perkembangan kesadaran individu mengenai
tempatnya dalam ruh masyarakat yang lebih luas. Individu mulai menyadari bahwa
penyelesaian kontradiksi terakhir terletak dalam perkembangan dan perluasan ruh
masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut pendekatan dialektika Hegel, individu
berkembang mulai dari memahami sesuatu ke memahami diri sendiri dan kemudian
memahami tempat mereka dalam konteks yang lebih luas.
Hegel
kemudian mengemukakan teori umum tentang evolusi kehidupan adalah sebuah teori
subjektif yang berpendirian bahwa perubahan terjadi pada tingkat kesadaran.
Perubahan sebagian besar terjadi di luar kontrol aktor. Aktor diturunkan
derajatnya ke tingkat seperti bejana yang dihanyutkan oleh kesadaran yang tak
terelakkan.
6. Herbert Spencer
Herbert Spencer (lahir di Derby,
27 April 1820 – meninggal di Brighton, 8 Desember 1903, adalah seorang filsuf
Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka. Menurutnya, fakta pertama yang penting dalam proses evolusi
sosial adalah peningkatan jumlah penduduk. Pertumbuhan ini tergantung pada
persediaan makanan dan kesempatan-kesempatan yang disajikan oleh alam.
Pertumbuhan itu bukan hanya merupakan akibat dari kelebihan kelahiran, tetapi
juga dapat timbul dari penggabungan satuan-satuan sosial yang disertai dengan
peningkatan diferensiasi struktural. Hal ini berarti mulai ada bagian-bagian
yang dapat dibedakan. Bagian-bagian ini juga mengisi fungsi yang berbeda-beda
dari keseluruhan sehingga tergantung satu dengan yang lainnya. Saling
ketergantungan ini dinyatakan sebagai peningkatan integrasi.
Spencer
membagi tiga aspek dalam proses evolusi, yaitu diferensiasi struktural,
spesialisasi fungsional, dan integrasi yang meningkat. Lalu, Spencer membagi
struktur, bagian, atau sistem yang timbul dalam evolusi masyarakat menjadi
tiga, yaitu:
a)
Sistem penopang, berfungsi untuk
mencukupi keperluan-keperluan bagi ketahanan hidup anggota masyarakat.
b)
Sistem pengatur, berfungsi untuk
memelihara hubungan-hubungan dengan masyarakat lainnya dan mengatur
hubungan-hubungan yang terjadi di antara anggotanya.
c)
Sistem pembagi (distributif), berfungsi untuk mengankut barang-barang dari suatu
sistem ke sistem lainnya.
Tahap-tahap dalam proses evolusi
sosial dengan tipe-tipe masyarakat, dibagi oleh Spencer menjadi tiga bagian,
yaitu:
a)
Tipe masyarakat primitif. Dalam masyarakat primitif boleh dikatakan belum ada
diferensiasi dan spesialisasi fungsional. Pembagian kerja masih sedikit.
Hubungan kekuasaan belum jelas terlihat. Masyarakat dengan tipe ini sangat
tergantung kepada lingkungan. Kerja sama terjadi dengan spontan dan didukung
oleh hubungan kekeluargaan.
b)
Tipe masyarakat militant. Pada tipe masyarkaat ini, heterogenitas sudah mulai
meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk atau karena penaklukan. Hal yang
penting ialah koordinasi tugas-tugas yang dikhususkan, dilakukan dengan
paksaan. Cara ini memerlukan sistem-sistem atau bagian-bagian yang dapat mengatur
dirinya sendiri. Kerja sama yang tidak sukarela ini dijamin keberlangsungannya
oleh seorang pemimpin, kemudian oleh Negara secara nasional. Pengendalian oleh
Negara tidak saja terbatas pada produksi dan distribusi, tetapi juga pada
bidang-bidang kehidupan pribadi.
c)
Tipe masyarakat industry. Masyarakat
industry bercirikan suatu tingkat kompleksitas yang sangat tinggi, yang tidak
lagi dikendalikan oleh kekuasaan Negara. Sebagai penggantinya, masyarakat
mengendalikan diri sendiri, seperti hak menentukan diri sendiri, kerja sama
sukarela, dan keseimbangan berbagai kepentingan. Kondisi ini mengakibatkan
individualisasi yang ditandai dengan berkurangnya campur tangan
pemerintah.
Kebebasan dan toleransi menjadi
nilai-nilai sentral masyarakat. Terjadilah consensus tentang nilai-nilai
sentral itu. Nilai-nilai ini terutama berdasarkan penerimaan aturan-aturan
ilmiah dan pendirian bahwa bidang kehidupan pribadi tidak dapat diganggu gugat.
Saling ketergantungan yang semakin meningkat ini memperbesar kemauan untuk
berkompromi dan kemauan ini menguntungkan bagi hubungan-hubungan yang damai.
7. Sigmund
Freud
Ia lahir di Freiberg, Moravia, Austria–Hungary, sekarang Republik Ceko, pada 6
Mei 1856, meninggal di London, Inggris, Britania Raya, 23 September 1939 pada
umur 83 tahun. Ia adalah seorang psikiater Austria dan pendiri aliran
psikoanalisis dalam psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga
tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious),
dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling
terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian
besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan pada awalnya bahwa
prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas pada awalnya (eros)
yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.
Pengalaman
seksual dari Ibu, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau
tersublimasi hingga memunculkan berbagai prilaku lain yang disesuaikan dengan
aturan norma masyarakat atau norma Ayah. Namun dalam perjalanannya setelah
kolega kerjanya Alferd Adler, mengungkapkan adanya insting mati didalam diri
manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak pernyataan Adler tersebut dengan
menyangkalnya habis-habisan, namun pada akhirnya Freudpun mensejajarkan atau
tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada didalam diri manusia, namun
disandingkan dengan insting mati (Thanatos).
Pada
tahun 1900, Freud menerbitkan sebuah buku yang menjadi tonggak lahirnya aliran
psikologi psikoanalisa. Buku tersebut berjudul Interpretation of Dreamsyang
masih dikenal sampai hari ini. Dalam buku ini Freud memperkenalkan konsep yang
disebut “unconscious mind” (alam ketidaksadaran). Selama periode
1901-1905 dia menerbitkan beberapa buku, tiga diantaranya adalah The Psychopathology
of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), danJokes and
Their relation to the Unconscious (1905).
Pada
tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di University of Viena dan saat ini
namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia mengejutkan dunia dengan teori
perkembangan psikoseksual (Theory of Psychosexual Development) yang
mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor pendorong terkuat untuk melakukan
sesuatu dan bahwa pada masa balita pun anak-anak mengalami ketertarikan dan
kebutuhan seksual. Beberapa komponen teori Freud yang sangat terkenal adalah:
a)
The Oedipal
Complex, dimana anak menjadi tertarik pada
ibunya dan mencoba mengidentifikasi diri seperti sang ayahnya demi mendapatkan
perhatian dari ibu
b)
Konsep Id, Ego,
dan Superego
c)
Mekanisme pertahanan diri (ego
defense mechanisms)
Istilah
psikoanalisa yang dikemukakan Freud sebenarnya memiliki beberapa makna yaitu:
(1) sebagai sebuah teori kepribadian dan psikopatologi, (2) sebuah metode
terapi untuk gangguan-gangguan kepribadian, dan (3) suatu teknik untuk
menginvestigasi pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan individu yang tidak
disadari oleh individu itu sendiri.
Sejak the
Psychoanalytic Society (Perhimpunan Masyarakat Psikoanalisa) didirikan pada
tahun 1906, maka muncul beberapa ahli psikologi yang dua diantaranya adalah
Alfred Adler dan Carl Jung. Pada tahun 1909 Freud mulai dikenal di seluruh
dunia ketika ia melakukan perjalanan ke USA untuk menyelenggarkan Konferensi
International pertama kalinya.
Freud
dikenal sebagai seorang perokok berat yang akhirnya menyebabkan dia terkena
kanker pada tahun 1923 dan memaksanya untuk melakukan lebih dari 30 kali
operasi selama kurang lebih 16 tahun. Pada tahun 1933, partai Nazy di Jerman
melakukan pembakaran terhadap buku-buku yang ditulis oleh Freud. Dan ketika
Jerman menginvasi Austria tahun 1938, Freud terpaksa melarikan diri ke Inggris
dan akhirnya meninggal di sana setahun kemudian.
B. Bagian kedua
Bagian
ini mengenai tindakan, aktor, dan sistem, yang berisi tentang teori-teori tindakan sosial, fungsionalisme
dan teori sistem-sistem sosial, strukturalisme dan postrukturalisme, teori
jaringan aktor dan semiotika material, etnometodologi dan teori sosial, serta
teori pilihan rasional. Pada teori-teori tindakan sosial dipandang dari
sudut beberapa tokoh sosiologi, antara lain Marx,
Weber, Garfinkel, Parsons, Giddens, Sayer, Bourdieu, Mische, Emisbayer, Merton dan Habermas,, yang diurai dalam skema
struktur sosial. Pada bab fungsionalisme dan teori sistem-sistem sosial adalah
menyajikan mengenai dasar-dasar analisis fungsional, fungsionalisme sebagai
ilmu sosial yang normal, program kuat sosiologi pada teori sistem-sistem
sosial, analisis sistem-sistem sosial, upaya meradikalkan fungsionalisme
melalui teori Niklas Luhmann tentang
sistem-sistem sosial. Pada Bab mengenai strukturalisme dan post-strukturalisme
adalah mengungkap strukturalisme dalam ilmu-ilmu sosial, budaya, dan humaniora,
macam-macam strukturalisme dan kritik-kritik lainnya terhadap strukturalisme, habitus Bourdieu dan teori strukturalisme Giddesns. Pada bab
mengenai teori jaringan aktor dan semiotika material adalah menjelaskan tentang
teori jaringan aktor yang dideskripsikan sebagai suatu abstraksi, pendekatan
jaringan aktor tidak dikatakan sebagai sebuah teori, suatu diaspora dalam jaringan
aktor adalah bertumpang tindih dengan tradisi-tradisi intelektual lainnya, dan
teks dan seluruh dunia adalah bersifat relasional. Pada Bab etnometodologi dan
teori sosial adalah menjelaskan tentang etnometodologi yang bersandar pada
karya-karya Parsons melalui alat bantu analisis ilmu filsafat. Pada bab Teori
Pilihan Rasional dijelaskan fenomena sosial yang menjadi akibat atau
konsekuensi atas seperangkat pernyataan yang harus bisa diterima sepenuhnya
dengan mudah, teori sosiologi yang baik adalah teori yang dapat menafsirkan
segala fenomena sosial sebagai hasil dari tindakan-tindakan individu, dan
tindakan-tindakan haruslah dianalisis sebagai tindakan yang rasional.
Tokoh-tokoh
pada teori-teori tindakan sosial,
fungsionalisme dan teori sistem-sistem sosial, strukturalisme dan
postrukturalisme, teori jaringan aktor dan semiotika material, etnometodologi
dan teori sosial, serta teori pilihan rasional salah satunya adalah Karl
Marx. Tokoh-tokoh lain adalah sebagai berikut;
1.
Parsons
Talcott
Parsons
(lahir di Colorado Springs, Colorado,
USA, 13 Desember
1902 – meninggal
di Munich,
Jerman,
8 Mei
1979 pada umur
76 tahun) adalah seorang sosiolog yang cukup terkenal dengan
pemikiran-pemikirannya.
Sebagai
seorang sosiolog kontemporer dari Amerika
yang menggunakan pendekatan fungsional
dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi
dan prosesnya.
Pendekatannya selain
diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga
dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile
Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber.
Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme
Talcott Parsons bersifat kompleks.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang
mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian
masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
ketergantungan.
Teori
Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran
dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan
struktur sosial dan
berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat
tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott
Parsons.
Sebagaimana
telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan
bahwa masyarakat
itu merupakan sistem
yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk
keseimbangan. Menurut Talcott Parsons
dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat
dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur
maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian
dengan lingkungan
yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu
diketahui ada fungsi-fungsi
tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem,
yaitu adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan
fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada.
Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi
tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh
tingkat organisme
tingkat perkembangan evolusioner.
Perlu
diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott
Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya
mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal
tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal
baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku
pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada
sibernetika
teori sistem yang umum.
Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat
proses perubahan struktural, yaitu
pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons
menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis
proses perubahan.
2.
Garfinkel
Harold Garfinkel (29 Oktober 1917 – April 21, 2011) adalah seorang
Profesor Emeritus di University of California, Los Angeles. Dia dikenal karena
membangun dan mengembangkan teori ini. Dalam bukunya Studies in
Ethnomethodology (1984), untuk pertama kali di tahun 1967, sebuah
pendekatan baru yang berbeda dari pendekatan sosiologi biasa.
Studies in
Ethnomethodology terbit pada priode revolusi ilmu-ilmu sosial yang ‘kacau’, dan
selama waktu-waktu itu, dominasi paradigma fungsional-struktural Parsons yang
menjadi standar sosiologi sebelumnya masih berdiri tegak.
Konsekuensi yang
tidak menyenangkan adalah ethnometodologi di pahami sebagai “metode tanpa
substansi”(Coser: 1975) Lewis Coser, sebagai Ketua Perhimpunan Sosiologi
Amerika sampai menuduh etnometodologi mirip sebagai sebuah sekte daripada ranah
ilmiah.. Namun Garfinkel, sudah mendeklarasikan sebelumnya kalau dari istilah `ethnometodologi` inilah akan tersusun
sebuah prinsip yang akan membentuk jalan hidupnya sendiri.
Perkembangan
etnometodologi sebenarnya relatif baru bila dibandingkan dengan pendekatan
struktural fungsional dan interaksionis-simbolis yang sudah mapan. Pendekatan
etnometodologi memiliki ragam yang berbeda, karena subject matternya adalah
berbagai jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul
kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu. Etnometodologi dengan
analisis percakapannya tidak dapat dipungkiri juga memberi pengaruh yang besar
dalam agenda penelitian komunikasi. Khususnya menyangkut konsep percakapan
sebagai suatu bentuk interaksi.
Orang sering mengira
etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga
dipertukarkan dengan etnografi. Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold
Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian
ilmu sosial. Dikatakan radikal karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara
yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.
Garfinkel sepanjang hayatnya memfokuskan mengenai
permasalahan-permasalahan konseptual yang menjadi topik utama sosiologi, isu
ini ialah mengenai tindakan sosial, hakekat intersubjektivitas dan pembentukkan
pengetahuan secara sosial. Grafinkel
mengeksplorasi bidang ini melalui sifat-sifat dasar dan penalaran praktis.
Studi ini di maksudkan untuk memisahkan antara teori tindakan dari kesibukan
tradisionalyang bergulat dengan masalah motivasi.
Garfinkel lalu
menyimpulkan bahwa jikalau tindakan—tindakan sosial sehari-hari dibangun di
atas premis rasionaliitas ilmiah, maka hasilnya bukan sebuah aktivitas melainkan
ketidak aktifan, disorganisasi dan anomi (inactivity,
disorganization and anomie). Dengan usulan yang terakhir ini Garfinkel
menetapkan sebuah wilayah baru bagi kajian sosial; studi tentang
sifat-sifat penalaran akal-sehat praktis dalam situasi tindakan sehari-hari.
Usulan ini mengandung penolakan penggunaan rasionalitas ilmiah sebagai titik
sentral perbandingan untuk menganalisis penalaran sehari-hari.
Studi ini mendorong
analis untuk memperkirakan semua komitmen apapun kepada versi tertentu struktus-struktur
sosial sebelumnya (termasuk versi yang di pegang analis dan pertisipan sendiri)
untuk mendukung penyelidikan tentang bagaimana petisipan menciptakan,
merangkai, memproduksi dan memproduksi struktur-struktur sosial yang didalamnya
mereka berorientasi. Ini disebut Ethnometodological indifference (Garfinkel
dan Sack: 1970). Jadi di lapisan dasarnya studi ini adalah studi tentang
penalaran praktis dan tindakan praktis, menahan diri untuk tidak melakukan
penilaian yang berefek mendukung atau menolak hal tersebut.
Sasaran
Ethnometodologi adalah deskripsi mendetail tentang praktek-praktek sosial yang
terorganisasikan secara alamiah, seperti observasi-observasi di dalam ilmu
alam, bias di reproduksi, diperiksa, dievaluasi dan membentuk dasar bagi studi
dan penyimpulan yang alamiah.
Etnometodologi
adalah karya-karya Talcot Parson dan Alfred Schutz. Sumber lain yang
mempengaruhi karyanya adalah Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron
Gurwitsch, Maurice Merleau-Ponty dan lain-lain. Talcot Parson Sendiri adalah promotor Garfinkel ketika melanjutkan pendidikan doktornya pada tahun 1946
sampai dengan 1952 di Universitas Harvard.
Walaupun Garfinkel
telah mengakui adanya pengaruh dari para pemikir lain, tetapi terbukti bahwa
Schutz dengan fenomenologinya merupakan sumber utama dari etnometodologi.
Wajarlah jika. George Ritzer (1975) melihat fenomenologi dan etnometodologi
sebagai dua komponen teoritis dari “paradigma definisi sosial”; Monica Morris
(1977) melihatnya sebagai dua variasi dari apa yang disebutnya “sosiologi
kreatif”; Jack Douglas (1980) dan Andrew Weigert (1981) memasukkan mereka
sebagai “sosiologi kehidupan sehari-hari; dan Richard Hilbert (1986) melihatnya
sebagai variasi “konstruksi sosial” (George Ritzer 1992).
Bagi Schutz, dunia
sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain
dengan siapa kita berinteraksi. Di sini terlihat teori Schutz, sangat mirip
dengan interaksionis simbolis dari George Herbert Mead, tetapi menurut Schutz
dunia intersubyektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, yang
mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan
perhatiannya kepada dunia sehari-hari yang merupakan common sense atau diambil
begitu saja. Realitas seperti inilah yang kita terima, dengan mengenyampingkan
setiap keraguan.
3.
Giddens
Anthony Giddens adalah seorang
sosiolog kontemporer, lahir 18 Januari 1938 di Britain. Menempuh pendidikan ekonomi di Universitas London. Keluarga Giddens adalah
keluarga kelas menengah ke bawah. Dia merupakan anggota keluarga yang pertama
kuliah di universitas. Dari Universitas Hull, ia mendapat gelar sarjana muda
(BA) pada 1959. Kemudian ia meneruskan studi untuk mendapatkan gelar master
dari London School of Economics, diteruskan gelar Ph.D dari King’ College pada
1974. Sambil menempuh pendidikan program doktoral, Giddens mengajar sosiologi
di Universitas Leicester, Universitas Simon Frases (Britis Columbia), dan di
Universitas California di Los Angeles. Tahun 1985 ia diangkat menjadi profesor
sosiologi di Universitas Cambridge.
Di 1980-an, karir Giddens mengalami
serangkaian perubahan yang menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada
ketertarikan pada kehidupan personal, terapi juga memberikan kepadanya
kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang
penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Giddens memulai petualangan
intelektual dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh besar dalam sosiologi, Karl
Marx, Emile Durkheim, serta Max Weber. Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, “Capitalism
and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max
Weber” (1971). Setelah itu ia mengarahkan refleksinya ke berbagai pemikiran
yang sudah menjadi mazhab dewasa ini, seperti Fungsionalisme Talcott Parson,
Interaksionisme Simbolis Erving Goffman,
Marxisme, Strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi Strauss,
Post-Strukturalisme Michel Foucault, pemikiran Jacques Derrida, dsb. Dan
pada akhirnya Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku
the constitution of society outline of the theory of society, yang merupakan
pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teori Giddens.
Petualangan intelektualnya kemudian
menemukan momentum dengan pemahaman Giddens mengenai struktur sosial. Giddens
menyebut bahwa struktur sosial dilatarbelakangi oleh human agency, atau
hubungan antara peraturan dan perilaku. Aturan (rules) mempengaruhi perilaku
dan tindakan yang dibuat oleh manusia. Aturan ini, ketika dilembagakan secara
sosial, membentuk struktur yang terus direproduksi menjadi sebuah sistem.
Proses reproduksi struktur hingga berinteraksi menjadi sistem tersebutlah yang
dinamakan oleh Giddens sebagai proses strukturasi.
Giddens mengatakan bahwa Obyek utama
dari ilmu sosial bukanlah peran sosial (social role) seperti dalam
Fungsionalisme Talcot Parsons, bukan kode tersembunyi (hidden code) seperti
dalam Strukturalisme Claude Levi Strauss, bukan juga dari keunikan situasional
seperti dalam Interaksionisme Simbolis Erving Goffman. Bukan keseluruhan, bukan
bagian, bukan struktur bukan pula pelaku perorangan, melainkan titik temu
antara keduanya. Oleh karena itulah teori strukturasi merupakan “jalan tengah”
untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku
tindakan (agen).
Teori strukturasi dipelopori oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog
Inggris yang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosiologi sehari-hari.
Sosiologi didasarkan pada pemahamanya atas strukturasi dalam sistem sosial.
Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan
mencoba mencari likage/pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara
struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas
dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya
terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan neturalistik mereduksi aktor
dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu
produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat
dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir
pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim
keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan perdebatan
antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia
disebabkan oleh dorongan ‘eksternal’ dengan mereka yang menganjurkan tentang
tujuan dari tindakan manusia. Menurut Giddens, struktur bukan bersifat
eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat
‘internal’. Struktur tidak bisa disamakan dengan kekangan (constraint) namun
selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak
mencegah sifat-sifat struktur sistem sosial untuk melebar masuk kedalam ruang
dan waktu diluar kendali aktor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap
kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan
kembali dalam aktivitas-ativitasnya yang bisa merealisasikan sistem-sistem itu.
Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan
kita, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki “unintended consequences”
(konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada
tindakan manusia selanjutnya.
Hal menarik lain yang patut kita
analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai
modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif:
sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi
sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani. Giddens melukiskan
kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorinya
mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional.
Dalam masyarakat yang bertipe
tradisional, aktivitas individu tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan
yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada
pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai. Di sisi lain, masyarakat
post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang
“pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih
memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan
terjadi ke depan. Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai
masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran
rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan
pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku
bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini
justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran
rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan
alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens juga melihat modernitas
sekarang sebagai “juggernaut” (panser
raksasa) yang lepas kontrol. Istilah “juggernaut”
(panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai
sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway
world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa
mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang
mengemudikannya. Modernitas dalam bentuk juggernaut sangatlah dinamis, dia
adalah dunia yang terus berputar dengan besarnya peningkatan percepatan,
cakupan, dan besarnya perubahan dari sistem-sistem yang mendahuluinya. Giddens
menambahkan bahwa juggernaut tidak mengikuti alur tunggal. Terlebih lagi dia
bukan hanya satu melainkan tersusun dari beberapa bagian yang saling berkonflik
dan kontradiktif. Jadi, giddens mengatakan kepada kita bahwa ia tidak
menawarkan satu teori besar yang telah usang atau paling tidak bukan satu
narasi besar yang sederhana dan satu arah. Gagasan tentang juggernaut sangat
cocok dengan teori strukturasi khususnya dengan titik tekan yang diarahkan pada
teori ruang dan waktu.
Giddens mendefinisikan modernitas
berdasarkan empat institusi dasar. Pertama adalah kapitalisme, yang biasanya
dicirikan oleh produksi komoditas kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang
tidak memilki hak milik dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri ini. Yang
kedua adalah industrialisme, yang terdiri dari penggunaan sumber kekuasaan tak
bernyawa dan mesin untuk memproduksi barang. Idustrialisme tidak tebatas pada
tempat kerja, dan ia mempengaruhi setting-setting lain, seperti transportasi,
komunikasi, dan kehidupan rumah tangga. Yang ketiga adalah kapasitas pengawasan
yang merujuk pada supervisi aktivitas penduduk diranah politik. Yang keempat
adalah dimensi institusional modernitas yaitu kekuatan militer atau kontrol
atas sarana kekerasan termasuk industrialisasi perang.
Keempat institusi dasar diatas
menurut Giddens saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini
pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan. Sebenarnya
Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” yang
paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil
terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia
untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk
berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan
perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para
kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para
teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak
dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu
juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Giddens langsung menunjuk tiga
akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh
dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi
dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon
(dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap
muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada
bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan
keputusan. Tradisi mendapatkan “status baru”. Jika orang menemukan bahwa
konsultasi dengan tradisi tidak memuaskan, ia dapat berpaling dan memakai
pertimbangan lain dari sumber lain. Yang terakhir ini terkait erat dengan
social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia
menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia
butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi memang membuatnya bingung,
namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi
semata-mata ia tidak suka atau karena tidak cocok.
Modernitas menurut Giddens erat juga kaitannya dengan ruang
dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari
tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak secara fisik makin lama
makin besar peluangnya. Menurut Giddens,
tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat terjadi peristiwa
sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari
tempat peristiwa itu.
Salah satu teoretisasinya yang
menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya “The
Third Way”, yang terbit tahun 1998. Buku ini terkenal dengan ungkapan
Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh
sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens
mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New
Right tak mungkin melanjutkan programnya. Maka, oleh sejumlah orang buku “The
Third Way” sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara
sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran
pasar). “The Third Way” memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan
pemikiran “kiri” maupun “kanan”.
Akan tetapi ada satu hal yang baru
dalam buku ini yaitu Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan
tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi
merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus
memainkan peranan dalam masyarakat. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep
klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner)
dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan
perannya yang saling menunjang dan saling mengisi.
Proyek ini jelas tidak memuaskan
kelompok Marxis. Bagi Giddens,
kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan
berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh
globalisasi dan detradisionalisasi. Jika seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih
mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada
lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama,
etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara
tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai masa depan kerena
mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world
atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya
yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan
kekerasan.
Giddens menyatakan bahwa
pemikirannya mengenai “jalan ketiga” memiliki enam dimensi: (1) Memperbaiki
kembali solidaritas yang retak; (2) mengakui sentralitas dari kehidupan
politik; (3) Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu
yang baik dari dunia politik; (4) mendorong demokrasi yang dialogis, dengan
adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin; (5)
memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state); serta (6)
melawan kekerasan.
4.
Bourdieu (1930-2002)
Pierre Bourdieu
adalah seorang pemikir Prancis yang hendak memahami struktur sosial masyarakat,
sekaligus perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya. Baginya,
analisis sosial selalu bertujuan untuk membongkar struktur-struktur dominasi
ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi
ketidakadilan di dalamnya. Untuk itu, ia mengembangkan beberapa konsep yang
diperolehnya dari analisis data sosiologis, sekaligus pemikiran-pemikiran
filsafat yang ia pelajari.
Pierre Bourdieu
lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23 Januari
2002 di Paris, Prancis. Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang
lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep
yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun
filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58),
University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des
Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982).
Di Prancis, ia
mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis
beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians,
1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The
Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996),
and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya
berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal,
globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu juga
menjadi editor untuk jurnal Actes de la
recherche en sciences sociales. Pada 1989, ia mendirikan Liber, sebuah
review atas karya-karya ilmiah di Eropa. Pada 2001 lalu, untuk menghormati
karya-karyanya, dipublikasikan sebuah film dokumenter tentangnya. Judul film
itu adalah Sociology is a Combat Sport. Film tersebut disambut dengan baik di
Prancis. Boudieu mengembangkan beberapa konsep penting, yaitu:
a.
Habitus
Bourdieu merumuskan konsep habitus
sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti
ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta
melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga
mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri
manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh
fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi
perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
b.
Kapital
Kapital adalah modal yang
memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada
banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi
(uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa
diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya.
c.
Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada di
dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis,
arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena,
maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat. Misalnya di dalam
arena pendidikan, jika ingin berhasil, orang perlu memiliki habitus pendidikan
(belajar, menulis, berdiskusi, membaca) dan kapital intelektual (pendidikan dan
penelitian) yang tepat. Jika ia tidak memiliki habitus dan kapital yang tepat
untuk dunia pendidikan, maka ia tidak akan berhasil di dalam arena pendidikan. Dengan
demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa
berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan
kapital yang tepat untuk arena itu. Jika ia tidak memiliki habitus dan kapital
yang tepat untuk satu arena, maka ia, kemungkinan besar, akan gagal dalam arena
yang telah ia pilih tersebut.
d.
Pendidikan
Bourdieu juga banyak
berbicara tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses
penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menutup
pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital sebagai
seorang pembelajar. Dan orang-orang yang ditolak ini adalah umumnya kelas
ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk belajar
secara akademik. Dengan demikian, pendidikan, pada hakekatnya, bersifat
diskriminatif. Secara tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang yang
memang sejak awal sudah “kalah”, baik secara ekonomi, maupun secara habitus
belajar. Secara mekanis, nyaris otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan
sosial antara si kaya dan si miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan
kapital intelektual), dan si “bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital
intelektual). Pendidikan, dengan demikian, menutupi sekaligus melestarikan ketidakadilan
serta kesenjangan sosial yang telah berlangsung lama di masyarakat. Argumen ini
diperoleh Bourdieu dari analisis terhadap data-data mahasiswa yang memasuki
fakultas-fakultas tenar di Prancis. Jika anda berasal dari keluarga yang cukup
kaya, dan memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi sejak kecil, maka
kemungkinan besar (tidak mutlak), anda akan belajar di fakultas-fakultas tenar
di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di negara anda.
Tentang pendidikan
moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang
ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang
tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku
sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang
terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Maka
itu, sarana pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama
yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam
karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi favoritnya.
Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang
menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan. Sementara, dalam
ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di
dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah paksaan, atau
dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah sebabnya,
mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan
pendidikan moral.
e.
Pembedaan
Bourdieu juga
merumuskan konsep pembedaan (distinction). Secara singkat, pembedaan berarti
tindakan membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan
kelasnya dalam masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas menengah
ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan dengan kelas
ekonomi yang lebih rendah. Contohnya beragam. Misalnya, orang yang berasal dari
kelas ekonomi menengah ke atas akan menggunakan pakaian ataupun mobil dengan merk
yang khusus, yang harganya jauh lebih tinggi dari apa yang bisa dicapai oleh
kelas ekonomi yang lebih rendah. Proses penempatan diri ini merupakan ciri khas
kelas ekonomi menengah ke atas yang ingin mendapatkan pengakuan dari kelas
ekonomi yang lebih rendah.
Dalam konteks
pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya melakukan pembedaan
terhadap lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka merasa “berbeda”, jika
mampu membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak
dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam negerti. Inilah
permainan distinction dalam konteks pendidikan. Kelas ekonomi menengah ke bawah
juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu, tindakan tersebut bukanlah
merupakan pembedaan, melainkan suatu bentuk perlawanan. Jadi, jika datang dari
atas, pengambilan posisi untuk mendapatkan pengakuan disebut sebagai
distinction. Dan jika datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah, misalnya
dengan menggunakan pakaian-pakaian anti kemapanan, atau justru tertarik membaca
buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan
(resistance).
f.
Status Bahasa
Bourdieu juga banyak
menulis soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat
netral, tanpa kepentingan. Pandangan semacam itu amat naif, jika tidak mau
dikatakan sebagai picik. Sebaliknya, bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol
kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur
kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Tata bahasa yang digunakan oleh
seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya di masyarakat. Dalam arti ini,
sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu “teks” yang perlu untuk terus
dipahami secara kritis.
Ilmu pengetahuan
modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai pada
kebenaran. Para ilmuwan modern yakin, bahwa bahasa ilmu pengetahuan adalah
bahasa obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan adalah jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada kebenaran.
Bagi Bourdieu, pandangan semacam ini amatlah picik. Dengan mengira bahwa bahasa
yang ia gunakan adalah netral, maka para ilmuwan secara sadar menyembunyikan
kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa
itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar
akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah
berlangsung di masyarakat. Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu
memilih menggunakan bahasa yang lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah
tingkat pendidikannya. Di masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal
dari kelas sosial yang lebih tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan
orang lainnya yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah.
g.
Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik
adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak
dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu
dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari
pihak yang ditindas itu sendiri. Misalnya, guru yang otoriter di kelas, namun
tidak mendapatkan perlawanan apapun dari muridnya, karena muridnya telah
menyetujui “penindasan” yang dilakukan oleh gurunya. Atau seorang istri yang
tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan oleh suaminya, karena ia,
secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh
suaminya.
Konsep dominasi
simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon. Sensor panopticon
adalah konsep yang menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh
orang-orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan
perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata. Misalnya, di dalam
penjara, ada menara penjaga yang berdiri di tengah berbagai unit-unit tempat
tinggal narapidana. Menara penjaga itu menjadi simbol kontrol yang bersifat
permanen terhadap narapidana, walaupun tidak ada penjaga yang sungguh menjaga
di dalam menara tersebut. Sensor dan kontrol tetap terasa, walaupun sang
penjaga dan penguasa tidak lagi secara nyata melakukan sensor dan kontrol.
Dalam konteks
Indonesia, mekanisme kekuasaan Orde Baru adalah contoh yang paling jelas.
Kekuasaan Suharto pada masa itu (Orde Baru: 1966-1998) terasa sampai ke
berbagai pelosok Indonesia, walaupun ia tidak secara fisik hadir untuk
memastikan kekuasaannya. Bahkan sampai sekarang, ada beberapa kelompok
masyarakat yang mengakui legitimasi kekuasaan Orde Baru, walaupun eranya telah
lama berlalu.
Mekanisme dominasi
simbolik nantinya memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara
singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh
masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan
penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana,
populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual,
pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan. Misalnya, banyak penguasa
otoriter di dunia ini beranggapan, bahwa pandangan mereka mewakili pandangan
rakyat, maka mereka harus dipatuhi. Biasanya, mereka menggunakan slogan-slogan
populis semacam ini, “Musuh Pemerintah=Musuk Rakyat!”, “Pemerintah hadir untuk
membawa kemakmuran untuk Rakyat!”, dan beragam slogan-slogan lainnya.
h. Doxa
Doxa menunjukkan,
bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya
dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai,
sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai
melihat dirinya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah
merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.
Doxa juga berlaku di
dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme kontemporer (realitas
dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung, seperti menghitung “uang
belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa yang dapat dilihat
oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas ilmiah) yang dianggap
sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai).
Banyak ilmuwan
modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya. Mereka menerima
begitu saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka kehilangan sikap
kritis. Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan penguasa, dan
kehilangan sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
i.
Perubahan Sosial dan Kebebasan
Bourdieu juga
berbicara soal perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial bisa dilakukan,
jika orang memiliki habitus, kapital, dan mampu menempatkan keduanya dalam
konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk semua arena, mulai
dari arena pendidikan, arena budaya, dan sebagainya. Misalnya, anda ingin
membuat perubahan sosial di dalam arena politik. Hal pertama yang anda lakukan
adalah mendapatkan habitus yang tepat sebagai seorang politikus (mampu
mendapatkan dukungan, mampu memperluas dan mempertahankan jaringan, mampu
bernegosiasi, tingkat pendidikan yang sesuai). Habitus tersebut akan
menghasilkan kapital yang tepat (kapital budaya, kapital intelektual, kapital
ekonomi) yang akan membuat anda memiliki posisi yang bagus untuk membuat
perubahan sosial di arena
politik.
Namun, itu semua
belum cukup. Anda harus bisa menempatkan diri anda (positioning) dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan
kepintaran akademik bisa menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik
anda, jika anda tidak bisa menempatkan diri secara tepat pada arena politik
yang ada. Kemampuan menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema
yang tepat, nada yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat.
Pada hemat saya, ini adalah bagian dari kapital intelektual yang amat
diperlukan untuk berhasil membuat perubahan sosial dalam satu arena tertentu.
Perubahan sosial
hanya mungkin, jika manusia bukan merupakan “budak” dari sistem sosial yang
mengitarinya. Dengan kata lain, perubahan sosial hanya mungkin, jika ada
kebebasan. Sejauh saya pahami, Bourdieu tidak berbicara spesifik tentang
kebebasan. Namun, kita bisa menafsirkan arti kebebasan yang tersembunyi di
balik tulisan-tulisannya.
Bagi Bourdieu,
kebebasan adalah suatu bentuk improvisasi yang menghasilkan variasi. Artinya,
kebebasan adalah perubahan, atau faktor X, yang membuat seluruh konsep habitus, kapital, arena, dan doxa menjadi
relatif; tidak mutlak. Dalam arti ini, manusia bukan hanya merupakan produk
dari sistem-sistem yang mengitarinya, melainkan mahluk yang mampu membuat
improvisasi, dan, dengan demikian, membuat perubahan sosial.
5.
Habermas
Jurgen Habermas
dilahirkan di Dussekdorf pada 1929 dan dibesarkan di Gummersbach, kota kecil
dekat Dusseldorf. Ketika menginjak usia remaja pada akhir Perang dunia II, ia
ikut menyadari bersama bangsanya kejahatan yang dilakukan rezim
nasional-sosialis Hitler. Keyakinan tentang pentingnya demokrasi dalam
pemikiran polotiknya di kemudian hari, mungkin berasal dari pengalaman yang
mengejutkan itu.
Di Universitas kota Gottingen ia
mempelajari kesusastraan, sejarah dan filsafat (antara lain pada N. Hartmann)
dan juga mengikuti kuliah di bidang psikologi dan ekonomi. Baru pada 1956
Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi
Asisten Adorno. Menurut kesaksiannya, ia belajar dari Adorno apa itu sosiologi.
Sewaktu bekeraja di Institut Soial ia brkenalan juga secara lebih mendalam
dengan pemikiran Marxisme.
Pada awal tahun 1960-an Habermas
sangat popular dalam kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa golongan
dianggap sebagai ideology mereka, khususnya beberapa kelompok SDS
(Sozialistische Deutsche Studentenbund). Tetapi ketika aksi-aksi mahasiswa
mulaimelewati batas dengan menggunakan kekerasan, Habermas tidak segan
mengemukakan kritiknya. Lama kelamaan dia tidak luput dari nasib yang sudah
menimpa Mazhab Frankfurt lainnya (Horkheimer dan Adorno) : ia mengalami konflik
dengan mahasiswa.
Jurgen Habermas adalah tokoh yang paling
banyak berkarya dan paling berpengaruh dalam generasi kedua Mazhab Frankurt.[1][2] Mazhab Frankfurt merupakan aliran filsafat social, dirintis
oleh Horkheimer (1895- ) dan Th. W. Adowno (1903-1969). Berusaha menggabungkan
ekonomi social Marx dengan psikoanalisa Freud dalam mengkrirtik teori
masyarakat kapitalis. Melawan positivism empiris dalam penelitian ilmu maupun
teori-teori metafisis tradisional yang hanya membenarkan system social yang ada. Teori dan praxis
merupakan suatu dwitunggal. Eksponen : Marcus dan Habermas yang mempengaruhi
revolusioner di tengah-tengah mahasiswa di Eropa dan AS tahun 60-an.
Mazhab
Frankfurt berkembang dari “teori krtitis tentang masyarakat” (sebagaimana
disajikan dalam karya-karya Horkheimer da Mercus pada paruh kedua tahun
1930-an) menuju suatu filsafat sejarah yang pesimistis. Kecondongan pokok
evolusi ini adalah “membuang” semua yang alami dan yang objektif
dalamhubungan-hubungan barang-uang (yang diperluas kepada seluruh sejarah
peradaban manusia). Pada akhirnya, evolusi ini menuju sesuatu penafsiran
sosiologis-vulgar terhadap hubungan-hubungan social.
Selama di Frankfurt Habermas terjun juga dalam
diskusi yang dikenal sebagai Positivismusstreit
(diskusi tentang positivism)I , suatau diskusi yang menarik banyakl perhaian
dalam kalangan akademis di Jerman sekitar
1960-an dan berkumandang sampai dunia Internasional.Yang dipersoalkan
adalah metode dalam ilmu-ilmu social. Inti persoalannya adalah hubungan antara
teori dan praksis.
Sebagimana dapat dimaklumi, dalam
hal ini Mahzab Frankfurt mempunyai keyakinan teguh bahwa teori tidak dapat
dilepaskan dari praksis dan bahwa tidak ada ilmu pengetahuan bebas nilai. Selam
10 tahun Habermas bekerja di Institut Max Planck, takni sampai 1981 ketika
pusat penelitian social ini terpaks abubar, setelah stafnya tidak berhasil
mencapai persepakatan tentang arah perkembangan selanjutnya. Setelah Institut
Max Plank ditutup, Habermas kembali ke Frank sebagai professor filsafat. Ia
mengajar di Universitas Frankfurt sampai masa pensiunnnya pada 1994. Pada waktu
itu Habermas sudah mempunyai reputasi Internasional yang besar dab banyak
diminta sebagai pembicara pada pertemuan ilmiah di luar negeri.
Selama beberapa tahun, Habermas
menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia. Nanum seseudah itu
karyanya diperluasnya sehingga meliputi
berbagai masukan teoritis yang berbeda. Dia optimis terhadap masa depan
kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia menulis tentang modernitas
sebagai proyek belum selesai itu. Sementara Marxs memusatkan perhatian pada
pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada masalah
komunikasi yang ia angap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan.
Jurgen
Habermas merupakan tokoh yang paling banyak berkarya dan paling berpengaruh
dalam generasi kedua Mazhab Frankurt. Mazhab Frankfurt merupakan aliran
filsafat social, dirintis oleh Horkheimer (1895- ) dan Th. W. Adowno
(1903-1969). Berusaha menggabungkan ekonomi social Marx dengan psikoanalisa
Freud dalam mengkrirtik teori masyarakat kapitalis. Melawan positivism empiris
dalam penelitian ilmu maupun teori-teori metafisis tradisional yang hanya
membenarkan system social yang ada.
Teori dan praxis merupakan suatu dwitunggal. Eksponen: Marcus dan Habermas yang
mempengaruhi revolusioner di tengah-tengah mahasiswa di Eropa dan AS tahun
60-an.
6.
Nietzsche
Friedrich Wilhelm
Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada tanggal 15 Oktober 1844. Dia
lahir dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang saleh. Ayahnya adalah
seorang pendeta Lutheran yang meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia
sendiri diproyeksikan mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi
pendeta.
Pada tahun 1854,
Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat tahun kmudian
ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran di kota Pforta. Di
sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia
juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno.
Dia meneruskan
studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya dari
Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Studinya tersebut kemudian
terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta untuk menunaikan wajib militer.
Lalu, karena jatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali lagi ke Leipzig dan
belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman
yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan
itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya.
Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai
kelahiran kembali seni Yunani Kuno.
Sekitar tahun 1869,
dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan
belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di masa itu
jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi
kemahsyuran Wagner.[2] Terlebih karena
Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah periode intelektual
Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan beberapa karya.
Yang disebut periode
ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam
berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia
mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung
dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku
sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez,
sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam
kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.
Nietzsche adalah
filsuf unik yang berpikir secara unik dan menyampaikannya secara unik pula.
Keunikannyalah yang membuat dia menjadi begitu istimewa bagi dunia filsafat.
Pemikirannya tak pernah dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupannya.
Bahkan, tanpa ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya di dalam
tulisannya. Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik
sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu
memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi Nietzsche
kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra. Artinya,
penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah tunggal.
Pemikiran Nietzsche
mengenai kematian Tuhan sendiri terdapat pada sebagian karya-karyanya. Salah
satu tulisannya yang terkenal mengenai hal itu terdapat pada bukunya, the
gay science (ilmu kebahagiaan). Di dalam ceritanya, seseorang yang
gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan.
Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan
lentera di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan
terus-menerus berteriak: “ Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” – Ketika
banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan berdiri di sekelilingnya kemudian,
dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang yang hilang? Tanya seseorang.
Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lainnya. Atau dia
sedang bersembunyi? Apakah dia takut pada kita? Apakah dia orang yang baru saja
mengadakan pelayaran? Seorang perantau? — Maka mereka saling bertanya sinis dan
tertawa.
Tuhan sudah
mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep
“mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan
tergantung pada sintetis. Tuhan menjadi argumen yang dapat
dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan waktu, menjadi, sejarah, dan
manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam
argumennya tentang Tuhan. Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan
konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan.
Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian
disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan
mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan
perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali
menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang
pertama.
Yang kedua,
kesadaran Yahudi menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya
Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih
memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian.
Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan
universal. Tuhan yang lama mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita
yang penuh kasih.
Arti ketiga dari
kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain
teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani
adalah pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera
adalah untuk membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya.
Tetapi kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan
diriNya melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena
cinta, kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian
tersebut dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. Demikianlah kemudian
Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan
kita.
Inilah moralitas
budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri
melainkan ketakutan akan tuannya. Tindakannya selalu didasarkan pada perintah
tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai
kesalahan. Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang
sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan
tetapi apa yang senyatanya dilakukan. Moralitas tuan menghargai dirinya
sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.
7.
Merton (1910-2003)
Robert King Merton
(biasa disingkat Robert K. Merton) lahir pada tanggal 4 Juli 1910 di pemukiman
kumuh di Philadelphia Selatan. Awal mengubah namanya adalah pada usia 14 tahun,
dari Meyer R. Schkolnick ke Robert Merlin kemudian menjadi Robert K.
Merton. Ayahnya bekerja sebagai tukang kayu dan sopir truk. Keluarganya
adalah imigran yahudi. Merton dibesarkan dengan semangat belajar yang sangat
tinggi. Sebagai seorang anak, Merton selalu ditemukan sedang membaca buku di
Carnegie Library.
Karena kepandaian Merton, ia
mendapatkan beasiswa di Universitas Temple. Dari universitas tersebut, ia
mendapatkan gelar B.A, dan menjadi tertarik dengan sosiologi. Dengan bantuan
beasiswa pulalah, ia mendapatkan gelar MA dan Ph.D dari Universitas Harvard.
Robert K Merton Memulai karir sosiologis di bawah bimbingan George E. Simpson
di Temple University di Philadelphia (1927-1931) ,mulai bekerja sebagai asisten
peneliti untuk Sorokin (1931-1936), Dia mengajar di Harvard sampai tahun 1938,
ketika ia menjadi profesor dan ketua Departemen Sosiologi di Tulane University
, Pada tahun 1941 ia bergabung dengan Columbia University dan di
penelitian-penelitian empiris, menjadi Giddings Profesor Sosiologi pada tahun
1963. Pada tahun 1974 menjadi Profesor Layanan Khusus, judul dilindungi oleh
Wali Amanat untuk fakultas emeritus yang “memberikan jasa khusus ke
Universitas,” setelah pensiun pada tahun 1979, Dia adalah direktur dari
Universitas Biro Penelitian Sosial Terapan 1942-1971, Dia menarik diri dari
pengajaran pada tahun 1984. Sebagai penghargaan atas kontribusi yang langgeng
untuk beasiswa dan University, Columbia didirikan Robert K. Merton Professor
dalam Ilmu Sosial pada tahun 1990. Merton sangat aktif dalam
penelitian-penelitian empiris sejak tahun 1941. Merton pernah menjadi pimpinan
Jurusan Sosiologi di Tulane, sebelum ulang tahunnya yang ke-31 dan datang ke
Columbia tahun 1941. Pada tahun 1957, Merton terpilih sebagai presiden American
Socology Society. Hal yang cukup membanggakan ketika Merton menjadi Sosiolog
Amerika pertama yang mendapatkan penghargaan berupa National Medal of Science
dari presiden Amerika pada tahun 1994. Lebih dari 20 universitas besar juga
memberikan kepadanya gelar kehormatan, termasuk Harvard, Yale, Columbia dan
Chicago, Universitas Leiden, Wales, Oslo dan Kraków, Universitas Ibrani
Yerusalem dan Oxford.In 1994, Merton dianugerahi US National Medal of Science
dan sosiolog pertama untuk menerima hadiah.
Merton sudah menikah dua kali,
pertama dengan Suzanne Carhart, dan yang ke dua dengan sesama sosiolog Harriet
Zuckerman. Dari pernikahnnya dengan Suzanne Carhart Robert C. Merton punya satu
putra dan dua putri dari perkawinan pertama, yaitu Robert C. Merton, pemenang
tahun 1997 Hadiah Nobel di bidang ekonomi dan putrinya, Vanessa Merton, dia
adalah Professor of Law at Pace University School of Law .Vanessa Merton, yang
kini telah menjadi Guru Besar Hukum di Pace University School of Law. Robert K.
Merton wafat pada tanggal 23 Februari 2003 dengan usia 93 tahun.
Fungsionalis
Struktural Robert K. Merton dapat diidentifikasikan dengan penelitiannya pada
masyarakat Amerika Serikat, kelahiran teori sosial Merton berkaitan dengan
situasi politik, ekonomi dan budaya dimana konteks teori sosial itu berada
ditengah masyarakat. Merton berargumen bahwa fokus dari fungsionalis struktural
harus diarahkan pada fungsi-fungsi sosial, yang menurut Merto, fungsi
didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang disadari dan yang
menciptakan adaptasi atau penesuaian sistem sosial” (1949/1968: 105). Akan
tetapi terdapat bias ideologi jika orang hanya memusatkan perhatiannya pada
adaptasi atau penyesuaian, karena adanya konsekuensi positif, dan perlu kita
ketahui bahwa fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta
sosial lain.
Untuk mensintesiskannya, maka Merton mengembangkan gagasannya mengenai disfungsi. Seperti halnya pada penelitian Merton mengenai Perbudakan di Amerika Serikat , yang berpendapat bahwa di Amerika Serikat belahan selatan perbudakan itu mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lainnya. Namun, bagi orang kulit putih di bagian Amerika Serikat belahan selatan justru mengandung konsekuensi positif karena tersedianya tenaga kerja murah, dukungan bagi ekonomi kapas dan status sosial. Ini mengandung disfungsi, misalnya membuat warga selatan terlalu tergantung pada ekonomi pertanian dan dengan demikian masyarakat tidak siap enghadapi industrialisasi.
Untuk mensintesiskannya, maka Merton mengembangkan gagasannya mengenai disfungsi. Seperti halnya pada penelitian Merton mengenai Perbudakan di Amerika Serikat , yang berpendapat bahwa di Amerika Serikat belahan selatan perbudakan itu mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lainnya. Namun, bagi orang kulit putih di bagian Amerika Serikat belahan selatan justru mengandung konsekuensi positif karena tersedianya tenaga kerja murah, dukungan bagi ekonomi kapas dan status sosial. Ini mengandung disfungsi, misalnya membuat warga selatan terlalu tergantung pada ekonomi pertanian dan dengan demikian masyarakat tidak siap enghadapi industrialisasi.
Setelah
Merton memaparkan tentang disfungsi, kini ia telah mengemukakan gagasannya
tentang nonfungsi, yang didefinisikan sebagai konsekuensi yang tidak relevan
bagi sistem tersebut. termasuk di dalamnya adalah bentuk-bentuk sosial yang
“masih bertahan” sejak masa awal sejarah, entah itu mengandung konsekuensi
positif maupun negatif masa lalu, tidak adanya efek yang signifikan bagi
masyarakat sekarang.
Merton mengembangkan konsep keseimbangan mapan, untuk menjawab pertanyaan lebih penting manakah fungsi-fungsi positif atau negatif. Ia juga menambahkan gagasan, pasti ada level analisis fungsional, bahwa analisis dapat juga dilakukan terhadap organisasi, institusi atau kelompok. Merton menjelaskan bahwa di dalam keseimbangan mapan, perbudakan itu sifatnya fungsional bagi unit-unit sosial tertentu, dan juga disfungsional bagi unit-unit sosial lain.
Merton mengembangkan konsep keseimbangan mapan, untuk menjawab pertanyaan lebih penting manakah fungsi-fungsi positif atau negatif. Ia juga menambahkan gagasan, pasti ada level analisis fungsional, bahwa analisis dapat juga dilakukan terhadap organisasi, institusi atau kelompok. Merton menjelaskan bahwa di dalam keseimbangan mapan, perbudakan itu sifatnya fungsional bagi unit-unit sosial tertentu, dan juga disfungsional bagi unit-unit sosial lain.
Konsep
fungsi manifes dan fungsi laten dan mengarah pada konsep lainnya yaitu
konsekuensi yang tidak terantisipasi. Menurut Merton, fungsi manifes pada
perbudakan di Amerika Serikat, misalnya meningkatkan produktivitas ekonomi
kawasan Selatan. Dan fungsi latennya yaitu adanya peningkatan status sosial
warga kulit putih di Selatan karena terlalu banyak penghasil kelas budak.
Merton menjelaskan bahwa konsekuensi yang tidak diantisipasi itu tidaklah sama dengan fungsi laten, karena fungsi laten merupakan suatu tipe konsekuensi yang tidak terantisipasi dan sesuatu yang fungsional bagi sistem yang dirancang. Ada dua jenis konsekuensi tidak terantisipasi, yakni “hal-hal yang disfungsional bagi sistem yang telah ada dan itu mencakup disfungsi laten” dan “hal-hal yang tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsioanl ataupun disfungsional…konsekuensi-konsekuensi nonfungsional” (Merton, 1949/1968: 105).
Merton menjelaskan bahwa konsekuensi yang tidak diantisipasi itu tidaklah sama dengan fungsi laten, karena fungsi laten merupakan suatu tipe konsekuensi yang tidak terantisipasi dan sesuatu yang fungsional bagi sistem yang dirancang. Ada dua jenis konsekuensi tidak terantisipasi, yakni “hal-hal yang disfungsional bagi sistem yang telah ada dan itu mencakup disfungsi laten” dan “hal-hal yang tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsioanl ataupun disfungsional…konsekuensi-konsekuensi nonfungsional” (Merton, 1949/1968: 105).
Sementara
itu, adanya diskriminasi terhadap kulit hitam, perempuan, dan kelompok
minoritas lain merupakan disfungsi bagi masyarakat Amerika Serikat. Akan
tetapi, hal ini juga mempengaruhi pihak-pihak yang melakukan diskriminasi
dengan memberikan terlalu banyak orang yang berada dibawah perlindungan ketat
dan meningkatnya konflik sosial. Dari kondisi ini, klasifikasi teori fungsional
dapat mengarah pada suatu struktur yang disfungsional bagi sistem secara
keseluruhan dan mungkin terus berlangsung. Namun, tidak semuanya struktur
sosial itu tidak dapat diubah oleh sistem sosial, serta fungsionalisme itu
membuka jalan bagi perubahan sosial penuh makna.
Analisis
Merton mengenai hubungan antara
kebudayaan, struktur dan anomi yakni ketidakmampuan bertindak menurut
nilai-nilai normatif karena posisinya berada dalam struktur sosial masyarakat,
serta kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh
struktur sosial. Dalam hal ini, Merton lebih terfokuskan pada disfungsi, yaitu
anomi. Ia menghubungkan anomi dengan penyimpangan, dan berpendapat bahwa
disjungsi antara kebudayaan dengan struktur akan melahirkan konsekuensi
disfungsional yaitu munculnya penyimpangan dalam masyarakat.
Robert K. Merton merupakan tokoh
sosial aliran positivistik (empiris). Aliran tersebut muncul dari pengaruh
dorongan pemikiran P. A. Sorokin yang
mengarahkan pada pemikiran sosial Eropa, meskipun ia pernah putus hubungan dan
Merton tidak dapat mengikutinya dalam hal penelitian yang dilakukannya sejak
akhir 1930-an. Lalu, Talcott Parsons yang lebih muda, yang pemikirannya
berpuncak pada karya besarnya, Structure of Social Action; ahli biokimia dan
juga sosiolog, L.J. Henderson yang mengajari tentang disiplin investigasi
ide-ide yang menarik; sejarawan ekonom E.F. Gay, yang mengajari tentang
pembangunan ekonomi sebagai sesuatu yang dapat direkonstruksi dari arsip, dan
dekan ilmu sejarah sains, George Sarton,
yang mengizinkan saya bekerja di bawah bimbingannya selama beberapa tahun di
bengkel kerjanya yang terkenal di Widener
Library of Harvard. Selain guru-guru langsung tersebut saya juga banyak
belajar dari dua sosiolog terkemuka: Emile
Durkheim dan Georg Simmel, yang
hanya bisa mengajari saya melalui karya-karya peninggalan mereka, dan dari
humanis yang sensitif secara sosiologis, Gilbert
Murray.
Selama periode terakhir hidup Robert K Merton belajar banyak dari rekannya, Paul F. Lazarsfeld, yang mungkin tak tahu betapa banyak yang telah diajarkannya kepada saya selama perbincangan dan kerjasama selama lebih dari sepertiga abad. (Ritzer, 2012: 430).
Selama periode terakhir hidup Robert K Merton belajar banyak dari rekannya, Paul F. Lazarsfeld, yang mungkin tak tahu betapa banyak yang telah diajarkannya kepada saya selama perbincangan dan kerjasama selama lebih dari sepertiga abad. (Ritzer, 2012: 430).
C. Bagian ketiga
Buku
ini membahas mengenai perspektif-perspektif dalam analisis sosial dan budaya,
berisi pragmatism dan interaksionisme
simbolik, fenomenologi, teori feminis, teori sosial postmodern, konstruksi
sosial, analisis percakapan sebagai teori sosial, serta teori globalisasi.
Bab mengenai pragmatism dan interaksionisme simbolik adalah mengemukakan
tentang bagaimana konsekuensi atas tindakan praktis yang dapat dianalisis dari
sisi interaksionisme simbolik, dan teori pilihan rasional. Bab yang membahas
tentang fenomenologi adalah mencoba
mengurai ranah yang cenderung dipandang ambigu dan hendak menyapa bagaimana
sebuah fenomena sosial terjadi serta apakah akan berulang pada masa yang akan
datang. Bab mengenai teori feminis adalah menjelaskan tentang bagaimana
pembahasan atas feminisme yang baru muncul dalam kurun waktu setengah abad
terakhir dan terjadi dalam beberapa tahapan hingga saat ini. Pada bab mengenai
teori sosial postmodernisme adalah mengetengahkan mengenai radikalisme
epistemologi yang secara kritis mempertanyakan warisan pemikiran masa
pencerahan di Eropa. Bab selanjutnya adalah konstruksionisme sosial yang
membahas tentang berbagai hal dalam upaya mengkonstruksi masyarakat mulai dari
kerangka pemikiran Durkheim, Weber, hingga Marx. Bab lanjutan adalah analisis
percakapan sebagai teori sosial yang hendak menjelaskan tentang hal ikhwan
percakapan yang dianalisis lalu melahirkan teori sosial dalam kurun waktu
beberapa dekade pada abad ke-20, yang dapat dilihat secara struktural, dengan
berbagai tahapan-tahapannya. Bab selanjutnya adalah teori globalisasi yang
dapat dilihat dari berbagai perspektif mulai dari sisi kebudayaan, sistem
dunia, dan teori politik dunia.
Jika
dilihat dari periodesasi perkembangan sejarah filsafat Ada tiga babakan dalam
filsafat yang umum, yaitu filsafat pada masa Yunani kuno yang didominasi oleh
rasionalisme, abad tengah didominasi agama Kristen dan filsafat abad modern
didominasi oleh rasionalisme. Ketika itu sudah ada muncul jenis filsafat baru
yaitu disebut sebagai filsafat kontemporer (contemporary philosophy).
Periode keempat ini disebut filsafat pasca modern (postmodern philosophy),
juga dikenal dengan sebutan filsafat postmo.
Problematika
dunia filsafat kontemporer sering dikatakan masuk dalam era postmodern meliputi beberapa persoalan
besar seperti klaim bahwa bahwa filasafat telah berakhir, rasionalitas tunggal
universal tunggal tidak mungkin lagi dan epistimologi tidak perlu lagi. Istilah postmodern memang tidak
memiliki definisi yang pasti, yang mampu merangkul seluruh hasil pemikiran para
teori tikus yang menamakan diri mereka sebagai kelompok postmodernisme. Secara
sekilas, konsep postmodern dirangkai dari konsep “Post” dan “Modern” ; “Post”
dapat dimaknai sebagai era “Sesudah”, sehingga postmodern mengandung makna
setelah modernitas.
Ada beberapa istilah yang masih berkaitan dengan istilah
postmodern, yaitu postmodernitas, postmodernisme. Menurut Umar (Ritzer, 2003),
istilah postmodernitas menunjukkan pada suatu epos – jangka waktu, zaman, masa
– sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu
pemahaman sejarah. Jadi, definisi postmodern meliputi suatu epos sejarah baru,
produk budaya yang baru, serta tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial.
Teori postmodern banyak
memberikan kritik atas realitas “manusia modern” yang terlalu dalam persepsi
mereka. Rosenau (Ritzer, 2003) mnjelaskan mengenai beberapa posisi dari teori
postmodern mengenai modernitas. Pertama, postmodern mengkritik masyarakt modern
yang dinilai gagal dalam memenuhi janji – janjinya. Postmodern mempertanyakan
bagaimana setiap orang dapat mempercayai bahwa modernitas telah membawa
kemajuan dan harapan masyarakat depan yang lebih cemerlang. Kedua, teori
postmodern cendrung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi totalitas dan
sebagainya. Ketiga, teori postmodern cenderung menerakkan fenomena besar
postmodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, dan sebagainya. Keempat,
teori postmodern menolak kecendrungan
dunia modern yang meletakkan batas – batas antara hal – hal tertentu seperti
disipin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, dan teori, citra, dan realitas.
Dalam
hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak
dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan
kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara
dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan
filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas
sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian
halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami
pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata
telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya
untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu.
Pada
era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang
lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya
pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang
orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara
periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun yang
paling menonjol diantaranya ada tiga
aliran: Pertama, tipologi
strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai
sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan
sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis
tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai
ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional.
Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; Akan
tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka
intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris
masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa
lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di
era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa
sekarang.
Tipologi
ini diwakili oleh Gaston Bachelard,
seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang
imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan
post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah
filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan
yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah
hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural
terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis. Selanjutnya, bapak psikoanalis,
Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan
hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat
frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia
berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis
terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap
sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau). Selain para
pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser
(1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan
masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.
Tipologi kedua, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih
lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.
Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang
sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme
modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan
sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka
menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan
“Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak
selarasnya antar sistem dan kehidupan. Post-marxisme menerima dengan sadar
keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa
ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini,
menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara
konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan
merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya.
Tipologi ketiga, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai
dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan
sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya
merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan
tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara
dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini. Tokoh-tokoh pemikiran kriminologi aliran post-modernisme:
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini. Tokoh-tokoh pemikiran kriminologi aliran post-modernisme:
1. Jacques
Lacan
Jacques Lacan (1900-1981), merupakan tokoh kunci
dari perkembangan analisis postmodern perancis. Kontribusi Lacan adalah bahwa suatu
simbol (subjek) erat hubungannya dengan wacana dia yang berkontribusi pada
pewacanaan. Pemikiran Lacan ini merusak konsep “individu” dalam pendekatan
yuridis yaitu orang yang rasional. Bagi Lacan realitas manusia didasari oleh 3
tingkatan yang berpotongan yaitu the simbolik (bidang alam bawah sadar, wacana,
hukum tertua), the imajiner (bidang konstruksi imajiner termasuk konsepsi diri
dan orang lain), orde nyata (pengalaman hidup diluar dari simbolisasi akurat).
Kontribusi yang besar Lacan ke budaya kontemporer adalah
ajarannya tentang retorika "kinerja" dan "kognisi,"
melakukan dan mengetahui. "Revolusioner" dimensi pedagogi Lacan untuk
Felman (1987) adalah dialogism dari performatif dan konstatif, bagaimana
inpractice mereka merusak, mendekonstruksi, namun menginformasikan satu sama
lain. Interaksi lakukan dan kehancuran membentuk dasar dinamis, Felman kata,
psikoanalisis yang "kebaruan dapat dihilangkan", dan tak
henti-hentinya me"revolusioner"
alam. Membangun wawasan ini, Lacan telah menunjukkan harus adanya struktur
seperti bahasa, karena perilaku manusia memanifestasikan interaksi dialektis
pengalaman sadar dan bawah sadar, penulisan ganda yang yang berlaku di luar apa
yang dapat pernah diketahui di saat itu.
2. Michel
Foucault
Foucault sangat
dikenal karena karya-karya kritisnya mengenai institusi social peripheral
(pinggiran), penjara, rumah sakit jiwa, kegilaan, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan
sejarah seksualitas. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan, hubungan kuasa,
pengetahuan dan diskursus serta arkeologi pengetahuan banyak di perbincangkan
dalam kajian post-strukturalisme.
Dalam bukunya the order of
things;an archaeology of Human sciences (1966),Foucault membahas konsepsi
sejarah dan memperkenalkan istilah genealogi sejarah, sebuah istilah yang di
pengaruhi oleh gagasan genealogi Nietzsche. Menurut Foucault, genealogi sejarah
adalah konsepsi sejarah yang secara sadar mendelegitimasi masa kini dan
memisahkannya dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk menghapuskan delegitimasi
masa kini sehingga dapat menemukan perbedaan khas masa lalu dan masa kini.
Ketika teknologi kekuasaan masa lalu di uraikam secara rinci , maka asumsi-
asumsi masa kini yang memandang masa lalu sebagai “ irasional” akan runtuh.
Dalam bukunya yang lain madness
and insanity; History of madness in the classical age (1961) Foucault
meneliti sejarah kegilaan dan peradaban masyarakat barat. Menurut Foucault
kegilaan sebenarnya memiliki sumbangan tersendiri terhadap peradaban barat.
Berdasarkan pnelitian yang dilakukannya, menurut Foucault, genealogi kegilaan
sejak abad ke -17 M memperlihatkan telah terjadinya praktik pemenjaraan moral
yang dilakukan melalui mekanissme disiplin dan penghukuman orang-orang gila.
Penghukuman orang-orang gila, sejatinya bukan sekedar pemenjaraan fisik semata
, namun lebih dari itu adalah sebuah praktik pemenjaraan moral.
Melalui bukunya Discipline and punish: The birth of
the prison (1975) menurut Foucault telah terjadi monarkis ke kuasaan mode
kekuaan mode pelaksanaan kekuasaan disipliner. Dalam masyarakat feudal,
kekuasaaan pengadilan tidak banyak menahan pelaku kejahatan, namun hukuman di
berikan secara spektakuler sehingga orang lain takut untuk melakukan kejahatan
yang sama. Inilah mode kekuasaan monarkis. Foucault percaya bahwa pengalaman yang menyenangkan tersedia
aktor dengan meningkatnya peluang untuk mencerminkan , percobaan , dan
merumuskan ( Rabinow 1997 , 37 ). Foucault menunjukkan minat yang tinggi dalam
‘Power’ yang dimiliki oleh individu melalui institusi spesifik dibandingkan
oleh negara. Hal ini menyatkan bahwa Foucault telah meninggalkan pandangan
Marxist yang saat itu ada. Studinya terhadap ‘Power’ merupakan hasil dari
pengalamannya berada di RS Jiwa dan penjara, merupakan dua area yang memiliki
hal penting dalam bidang Kriminologi. Dalam analisis ini Foucault
mendemonstrasikan bahwa tidak akan ada Power tanpa pengetahuan.
3. Lyotard
Jean Francois Lyotard adalah pemikir
filsafat dan social Perancis yang mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis
dalam diskursus postmodernisme. Melalui bukunya yang telah menjadi klasik, the
condition of postmodern: A Report on knowledge (1984). Lyotard mencatat
beberapa cirri utama kebudayaaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern
di tandai oleh beberapa prinsip yakni; lahirnya masyarakat komputerisasi,
runtuhnya narasi-narasi besar modernism, lahirnya prinsip delegitimasi,
disensus, serta paralogi.
Menggarisbawahi sifat transformative
masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan demokratis,
Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran yang di bawa oleh narasi-narasi
besar (Grand Narratives) modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan
legitimasinya. Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan
dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi
homolog (Homo: satu dan logi: tertib, nalar) melainkan paralog (para: Beragam,
dan logi: tertib nalar) (awuy, 1995). Pengetahuan dan kebenaran kini menyebar
dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus di bongkar
dengan prinsip delegitimasi. Dengan legitimasi, berarti diakui adanya berbagai
unsure realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan legitimasi, menurut
Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa diterima ketimbang
prinsip consensus seperti ditawarkan Juergen Habermas. Lyotard mengakui adanya
persinggungan postmodern di modern. Hal ini dipengaruhi oleh eksposisi Kantian
yang luhur , dan Nietzschian yang menekankan pada " kehendak untuk
berkuasa" Lyotard melihat versi modernis etika dan epistemologi (berdasarkan
alasan) sebagai dasar bagi keadilan dan kebenaran sebagai totaliter logika
(Drolet 1994). Untuk mempromosikan keadilan, lawan bicara harus tetap terbuka
untuk "terus-menerus melakukan pembaharuan "(Britt 1998).
4. Jean
Baudrillard
Menurut Baudrilland, perkembangan
kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan dramatis
karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat consumer. Dalam era ini, segala
upaya pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui permassalan
produk, differensiasi produk dan manajemen pemasaran. Dalam masyarakat
konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki
manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti dijelaskan Marx. Namun
lebih dari itu ia kini menjadi symbol gaya hidup, prestise, kemewahan, dan
status social pemiliknya. Postmodernisme
tidak hanya merujuk pada sebuah perkembangan intelektual, tetapi juga
menunjukkan sebuah ekspresi kebudayaan. Karenanya, ekspresi budaya masyarakat
kontemporer lalu disebut sebagai budaya postmodern. Jean Baudrillard menyebut
era kontemporer sebagai sebuah era yang dikuasai oleh tanda, sehingga tanda
menjadi lebih penting daripada makna. Masyarakat yang berada dalam era ini oleh
Baurillard disebut sebagai masyarakat Massa. Pekerjaan awal Baudrillard
(1968) meneliti konsumsi Massa dalam kapitalisme monopoli maju di mana objek
atau komoditas "Melahap" konsumen dalam "persepsi, pikiran, dan
perilaku" (Best dan Kellner 1991, 113). Tema ini baru dalam pemikiran Baudrillard
(1970) selanjutnya bekerja di mana ia lebih dekat mempelajari cara dimana
barang yang mencolok sebagai objek tanda, membentuk dasar dari realitas kita
sehari-hari, mengorganisir dan merupakan eksistensi kita menjadi budaya
konsumen massal yang dimediasi.
5. Helene
Cixous
Seiring
dengan feminis Perancis seperti Luce Irigaray dan Julia Kristeva, karya Cixous
'mengacu pada tulisan-tulisan Jacques Lacan. Model Lacanian keluar dari
pekerjaan psikoanalis Sigmund Freud dan ahli bahasa struktural Perancis
Ferdinand de Saussure. Pentingnya rasi ini dari teori adalah minat dalam
menghubungkan bahasa, jiwa dan seksualitas. Feminis Perancis menemukan tulisan
Lacan untuk menjadi tanah untuk analisis dan sebuah situs untuk kritik. Teori
Lacan mengembangkan gagasan pengembangan (laki-laki) ego dari praoedipal
(non-linguistik) Imaginary ke simbolik melalui kompleks kastrasi yang baik
model seksual dan linguistik. Imajiner adalah kuno sebagai ruang feminin
(terhubung ke tubuh, ibu, payudara). The Symbolic dikaitkan dengan Hukum Bapa
dan merupakan kondisi yang memiliki bahasa yang diperoleh dan perbedaan
seksual.
Kristeva, Irigaray dan Cixous telah menemukan model
ini baik. Cixous mungkin yang paling optimis tentang kemungkinan untuk
Pra-oedipal atau fase Imajiner, yang mana ia menempatkan penulisan feminin,
écriture feminin. Sehingga dia menolak gagasan dari feminin Imajiner yang
non-menandakan atau di luar bahasa. Dia menyarankan sebaliknya bahwa feminin
adalah cara penandaan yang menimbulkan pertanyaan atau mengganggu Hukum Bapa.
Pre-oedipal adalah waktu sebelum penciptaan binari oposisi, oleh karena itu
sebelum pengenaan kategori pria dan wanita. Pada saat yang sama, ini adalah
periode yang berhubungan dengan tubuh ibu. Dengan cara ini, Cixous 'gagasan penulisan feminin dapat
menjadi feminin dan non-esensialis (meskipun pernyataan terakhir ini adalah
masalah perdebatan di antara Cixous'
kritikus).
6. Deleuze
dan Guattari
Deleuze dan Guattari mengidentifikasi bawa negara sebagai
subjek utama penindasan manusia sebagai produk kapitalisme. Tujuan utama mereka
adalah untuk membebaskan realisasi keinginan manusia dari kendala buatan yang
digunakan untuk menundukkan kaum atasnya dengan hubungan sosial kapitalis dan
teknik normalisasi dominasi. Deleuze dan Guattari berbeda denga tokoh lain yang
berkomentar (misalnya, Hegel, Freud, dan
Lacan) yang melihat subjek sebagai "kurang" keutuhan atau
kelengkapan. Mereka berpendapat bahwa subjek tersebut sebagai
"teknologi" yang merupakan kekuatan produktif (Terbaik dan Kellner
1991, 86-87). Ini adalah aspek yang tak terduga, penyandang, kacau, dan tidak
stabil yaitu suatu keinginan yang merangsang perubahan budaya dan kreativitas.
7. Roland
Barthes
Barthes adalah salah satu teori terkemuka semiotika, studi
tentang tanda-tanda. Dia sering dianggap strukturalis, mengikuti pendekatan
Saussure, tapi kadang-kadang sebagai pascastrukturalis a. Sebuah tanda, dalam
konteks ini, merujuk pada sesuatu yang menyampaikan arti - misalnya, kata
tertulis atau lisan, simbol atau mitos. Seperti banyak semioticists, salah satu
tema utama Barthes adalah pentingnya menghindari kebingungan budaya dengan
alam, atau naturalisasi fenomena sosial. Tema lain yang penting adalah penting
dalam berhati-hati bagaimana kita menggunakan kata-kata dan tanda-tanda
lainnya.
Salah satu ciri gaya Barthes adalah bahwa ia sering
menggunakan banyak kata-kata untuk menjelaskan beberapa. Dia memberikan
analisis rinci dari teks pendek, kata-kata dan gambar tunggal sehingga untuk
mengeksplorasi bagaimana mereka bekerja. Sifat lain dari karyanya adalah
sistematisasi konstan. Dia menyusun skema untuk mengkategorikan tanda-tanda dan
kode yang ia bekerja, yang dapat diterapkan untuk membagi teks, narasi atau
mitos menjadi bagian-bagian yang berbeda dengan fungsi yang berbeda. Dia
menarik sesuatu seperti cetak biru dari bidang wacana ia mempelajari,
menunjukkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda terus bersama-sama. Dalam
analisis Saussurean, yang sebagian besar menggunakan Barthes, perbedaan antara
penanda dan petanda sangat penting. Penanda adalah gambar yang digunakan untuk
berdiri untuk sesuatu yang lain, sedangkan signified adalah apa singkatan (hal
nyata atau, dalam pembacaan ketat, rasa-kesan).
8. Jacques
Derrida
Derrida terutama dikenal sebagai
pendukung utama dekonstruksi, sebuah istilah yang merujuk pada strategi kritis
yang menggugat konsep pembedaan atau oposisi biner, yang melekat dalam sejarah
pemikiran barat. Melalui dekonstruksi, Derrida mencoba meletakkan kembali
kedudukan struktur dalam keadaan aslinya, yakni keadaan dimana relasi antara
pusat pinggiran belum lagi mengeras. Denganya diinginkan pluralitas dan
heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa
modernismekembali terhampar.dengan dekonstruksi,wacana-wacana yang sebelumnya tertindas:
kelompok etnis,kaum feminis,dunia ketiga,ras kulit hitam, kelompok guys,
hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan dengan
konstruksi, sejarah modernisme hendak di tampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Pada tahun 1960-an, karya Derrida
mulai diterima di Perancis dan di luar Perancis sebagai gerakan interdisipliner
yang dikenal dengan nama strukturalisme`. Strukturalisme menganalisis berbagai
fenomena kebudayaan seperti mitos, ritual agama, cerita sastra, fashion dan
lain-lain. Beberapa karya derrida juga dianggap sebagai kritik terhadap
pemikiran tokoh-tokoh strukturalisme seperti Saussure, Calude Levi-Strauss, dan
Michel Foucault sehingga beberapa kalangan menyebutnya sebagai penyokong
“poststrukturalisme”, lebih dari semua itu, terutama karena keberhasilannya
membongkar sifat paradox cerita-cerita besar modernitas melalui dekonstruksi,
derrida banyak di golongkan sebagai salah satu pemikir utama teori postmodern.
D. Bagian
keempat
Mengurai
mengenai sosiologi dan ilmu-ilmu sosial yang berisi tentang genetika dan teori sosial, sosiologi
ekonomi, sosiologi kebudayaan, sosiologi historis, sosiologi agama, demografi,
studi teknologi dan sains: dari kontraversi ke teori sosial posthumanis.
Bab genetika dan teori sosial adalah
perspektif baru dalam memandang ilmu sosial yang mencampur antara biologi
dengan sosiologi. Bab selanjutnya adalah sosiologi ekonomi yang membahas
mengenai bagaimana kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Bab selanjutnya adalah sosiologi
kebudayaan yang berisi tentang “makna” yang bersifat relasional, bahwa makna dari simbol-simbol, kata-kata,
majas-majas, metafora-metafora, ideologi-ideologi, dan sebagaianya muncul
dan berkembang seirama dengan atau berbeda dari makna-makna lain yang memiliki
arti penting sosial lainnya, namun terkait khusus dengan istilah-istilah
sosiologi seperti struktur, tindakan, serta konflik. Bab selanjutnya adalah
sosiologi historis, yang membahas tentang bagaimana masyarakat membuat sejarah
dalam berbagai bidang kehidupannya, sehingga terkadang diapresiasi bahwa semua
jenis sosiologi adalah sosiologi sejarah. Bab selanjutnya yakni membahas
sosiologi agama yang berisi tentang hubungan antara agama dengan masyarakat, sebagaimana yang terkenal dalam sosiologi pada
aras Marx yang mengaitkan agama dengan image pelemahan kaum pekerja terhadap
kelas borjuis dan agama dengan spirit kapitalisme sebagaimana yang disampaikan
oleh Weber. Bab selanjutnya adalah demografi yang membahas tentang hal-hal
seputar bertambah atau berkurangnya jumlah anggota masyarakat yang disebabkan
oleh adanya kelahiran, kematian, dan berpindahnya dari satu tempat ke tempat
lainnya, yang mana itu semua dipengaruhi oleh banyak faktor. Bab tentang
demografi pula mengetengahkan prediksi kondisi masyarakat dalam kurun waktu ke
depan sesuai dengan potensi penduduk yang telah ada. Bab selanjutnya adalah
studi teknologi dan sains: dari kontroversi ke teori sosial posthumanis, yang
membahas tentang studi teknologi dan sains yang juga memiliki titik pertemuan
dengan ilmu sosial yaitu pada hal-hal yang kemudian menjadi fenomena sosial.
Jasa
terbesar agama adalah mengarahkan perhatian umat manusia kepada masalah maha
penting yang selalu menggoda yaitu masalah “arti dan makna” (the problem of
meaning). Manusia bukan hanya membutuhkan kontrol emosional melainkan juga
kepastian kognitif tentang masalah yang tidak dapat dihilangkan dari pikirannya
seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Kontribusi
agama dalam menunjukan jalan keluar dan arah kemana manusia akan mencari
jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi. Jawaban tersebut hanya dapat
diperoleh dengan memuaskan kalau manusia perorangan beserta masyarakatnya mau
menerima suatu tempat yang ditunjuk sebagai sumber dan terminal terakhir dari
segala kejadian di dunia ini. Terminal terakhir itu berada dalam dunia
supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga inderawi maupun otak manusia
sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional melainkan harus diterima
sebagai kebenaran yang tidak dapat disingkirkan tanpa menyingkirkan arti dan
makna eksistensinya sendiri dan dunia seluruhnya. Agama telah meningkatkan
kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa
ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup yang mahaberat
itu agama menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan kalau manusia mau
menerima nilai-nilai terakhir dan tertinggi (ultimate).
Dalam
abad sekular ini banyak pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar
pernyataan-pernyataan seperti “matinya Tuhan Allah”, dan “agama akan punah”,
atau “agama akan masuk museum”. Lalu akan lahir suatu masyarakat sekular yang
bersih dari segala unsure keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh Comte,
Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama dengan sudut pandang yang baru
yakni Positivisme, sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai
perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk
memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu.
Tetapi
hukum pemikiran itu sendiri yang berjalan dalam tiga tahap (teologis,
metafisik, dan positif) akan membawa agama ke dalam suatu zaman di mana manusia
secara radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu agama akan
lenyap dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasikan
gagasannya itu dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada
masyarakat.
Jika
dilihat dari sudut pandang sosiologis bahwa agama akan tetap lestari, maka
pernyataan tersebut bukanlah semacam ramalan yang disimpulkan dari silogisme
deduktif. Bukan, melainkan dari data-data pengalaman baik yang ditulis maupun
yang tidak ditulis atau dari pendengaran dan penglihatan banyak orang yang
bukan ahli sosiologi.
Pertama,
sebagai bukti ialah kenyataan dewasa ini (di mana abad ke-20 telah mendekati
penghujung titik terakhir) bahwa agama belum lenyap bahkan belum ada
tanda-tanda yang meyakinkan akan kelenyapannya. Malahan di negara-negara di
mana agama secara sistematis akan ditumpas karena tidak cocok dengan ideologi negara,
di situ agama masih hidup dan para penganut yang telah berhasil dibebaskan
mencari pengganti agamanya dalam bentuk lain.
Argumentasi
dari ramalan positivism yang ditegakkan Comte mengandung kelemahan
berat.Karena data-data yang digunakan sebagai premis hanya terbatas pada umat
beragama di Eropa yang saat itu tengah meunjukkan gejala kemunduran dari segi
tertentu. Kemunduran itu hanya diukur dengan ukuran yang sempit: berkurangnya
umat dalam partisipasi ritual, atau peribadatan lainnya. Ternyata masa-masa
berikutnya situasi keagamaan itu tidak memburuk, bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya.Comte tidak dapat mengetahui sebelumnya bahwa pada abad ke-20
ini diadakan Konsili Vatikan II yang membawakan penyegaran dan pembaharuan.
Ramalan
Marx hingga kini belum terbukti dan tidak pernah akan terbukti, karena
dasar argumentasinya sangat berat sebelah. Ia hanya bisa melihat masalah
kebutuhan manusia akan agama hanya dari satu sudut pandang saja, ialah dari
segi ekonomi sebagai faktor satu-satunya; dan ia menutup mata terhadap
faktor-faktor lain yang bukan ekonomi, misalnya naluri-naluri manusia yang
tidak dipenuhi dengan nilai ekonomi saja. Lagi pula apa yang ia harapkan bahwa
kaum buruh yang kondisi sosio-ekonominya sudah diperbaiki lantas akan
meninggalkan kehidupan keagamaan, itu tidak terwujud dalam kenyataan. Kaum
buruh di Polandia yang tergabung dalam serikat buruh “Solidaritas” merupakan
bukti lawan yang jelas terhadap pendirian Marx.Karena merek tetap
tinggal setia kepada agama mereka.
Apakah
kemajuan ilmu pengetahuan (science) tidak akan memberikan tusukan maut bagi
agama? Soal tersebut sudah sering dilontarkan para pemikir yang berpendapat
bahwa agama adalah “suatu kesalahan dalam berpikkir” (Puspito, 1983:75),
yang dalam bahasa asing adalah “an error in reasoning”. Pada suatu
ketika kesalahan itu akan dibuka, lalu agama akan lenyap. Terhadap persoalan
tersebutDavis (Puspito, 1983:75) mengatakan bahwa ‘sudut pandang
rasionalistis itu sendiri jatuh dalam kesalahan’.Sehubungan dengan
persoalan tersebut David (Puspito, 1983:76) menegaskan bahwa ‘ilmu
pengetahuan itu sendiri mengandung dimensi religius’.Karena untuk dapat
memahami dan dapat menerima dasar rasional argumentasinya manusia membutuhkan
suatu transendensi diri yang kognitif.
E. Bagian kelima
Membahas
mengenai berbagai perkembangan terbaru yang berisi tentang mobilitas dan teori sosial, teori sosiologi dan hak azasi manusia: dua
logika satu dunia, sosiologi tubuh, kosmopolitanisme dan teori sosial, serta
masa depan teori sosial. Bab mobilitas dan teori sosial sebagai salah satu
dari tiga pembahasan dalam demografi, mengerucut pada sisi bagaimana memahami
mengapa manusia bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui studi
sosiologi (menggunakan teori sosiologi). Bab Teori sosiologi dan hak asasi
manusia: dua logika, satu dunia adalah mengetengahkan tentang pertentangan dua
logika masyarakat dunia yang realitasnya ada dan dijalankan tetapi berada di
satu tempat yakni dunia, seharusnya dua logika yang saling bertentangan itu
tidak sampai terjadi tetapi dengan historikal rasionalitasnya masing-masing
nyatanya ada dan berjalan. Bab selanjutnya adalah sosiologi tubuh yang
menjelaskan tentang pemahaman kealamian tubuh yang dikonstruksi secara sosial
sebagai sebuah fakta sosial. Bab selanjutnya adalah kosmopolitanisme dan teori
sosial yang menjelaskan tentang hubungan antara kosmopolitanisme dengan teori
sosiologi pada masa klasik yang mana memandang modernitas sebagai fenomena
dunia, teori sosiologi modern yang memandang sistem sosial dan masyarakat
industrial, teori sosiologi kontemporer yang mengarahkan menuju pendekatan
eksplisit yang kosmopolitan. Bab terakhir mengetengahkan tentang masa depan
teori sosial yang mana diperkirakan masih akan terus berubah seiring dengan
perkembangan dinamika kehidupan manusia dan alam yang ditempatinya.
1. Mobilitas
dan teori sosial,
Secara Umum, Pengertian Mobilitas Sosial adalah suatu proses perpindahan,
atau pergerakan lapisan (strata sosial) seseorang atau kelompok. Istilah
moblitas berasal dari bahasa Latin, yaitu Mobilis yang berarti mudah
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan sosial melibatkan
seseorang atau kelompok warga. Secara harfiah, pengertian mobilitas sosial
adalah sebagai suatu gerakan yang terjadi akibat berpindah atau berubah posisi
seseorang atau sekelempok orang disaat yang berbeda-beda. Bentuk-Bentuk Mobilitas Sosial - Mobilitas sosial dikelompokkan dalam beberapa jenis.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial adalah sebagai berikut:
a. Bentuk-Bentuk Mobilitas Sosial Berdasarkan Tipenya:
a. Bentuk-Bentuk Mobilitas Sosial Berdasarkan Tipenya:
1)
Mobilitas sosial vertikal, adalah
perpindahan status yang dialami seseorang atau sekelompok pada lapisan sosial
yang berbeda
2)
Mobilitas sosial horizontal, adalah
perpindahan status sosial seseorang atau kelompok dalam lapisan sosial yang
sederajat. Dalam mobilitas sosial horizontal tidak terjadi perubahan derajat
kedudukan seseorang atau sekelompok orang.
3)
Mobilitas sosial lateral, adalah
perpindahan orang-orang dari unit wilayah satu ke unit wilayah yang lainnya.
Dalam mobilitas sosial lateral disebut dengan mobilitas geografis.
b. Bentuk-Bentuk Mobilitas Sosial
Berdasarkan Ruang Lingkupnya
1)
Mobilitas sosial intragenerasi,
adalah mobilitas sosial yang dialami oleh seseorang selama masa hidupnya atau
perubahan status sosial mulai dari lahir sampai dengan masa tuanya.
2)
Mobilitas sosial antargenerasi,
adalah mobilitas sosial yang terjadi dari dua generasi atau lebih.
2. Teori
sosiologi dan hak azasi manusia:
Konsep Hak Azasi Manusia (HAM)
merupakan dialektika dari kontestasi politik di masyarakat. Peubahan dari
nature, man, dan human diinternalisasi berbagai niali-nilai tertentu. Dalam era
kini, konsep HAM dikaji secara luas, mulai dari aspek historis sampai
sosiologis. Sosiologi dalam mengkaji HAM berkerangka kepada pola dari sosiologi
itu sendiri. Turner menyebutkan bahwa sosiologi memiliki ciri khas skeptis,
penekanan pada historical dan komparatif berkenaan mengenai kehidupan sosial
dari tanggung jawab dan hak universal. Semuanya merupakan penekanan bagaimana
nantinya sosiologi mampu mengkaji HAM. Dalam sosiologi penekanan pada
pembahasan bagaimana nilai-nilai HAM haruslah disesuaikan dengan konteks
wilayah maupun sosial masing-masing. Aspek positivism hukum haruslah seimbang
dengan aspek hukum yang berbentuk nilai dan norma. Untuk itulah perlu adanya
pemaknaan dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai HAM. Sosiologi
memiliki peran penting dalam mengkaji bagaimana pentingnya institusi sosial
serta berbagai teori dalam sosiologi seperti teori moral simpati maupun
verstehen guna memahami konteks individu dalam memahami dan mengafirmasi HAM.
Dalam
dinamikanya HAM mendapat suatu kritik, salah satu karakteristik penting hak
asasi manusia adalah bahwa HAM selalu dianggap memiliki validitas universal,
yakni berlaku di semua negara dan bagi semua orang. Konsep ini mirip seperti
wacana pembangunan seperti yang telah dijelaskan di atas. Nilai universalisme
dalam HAM dinilai hanya produk politik Barat. Untuk itulah penerapan HAM hanya
dapat membahayakan nilai-nilai kelokalan pada individu. Untuk itulah perlu
adanya penekanan pada konsep lokal-nasional yang particular dalam pelaksanaan
HAM. Bukan semata-mata nilai universal. Selain itu penting juga dalam pemahaman
akan relativisme kultur dalam HAM, karena hal ini mampu mewujudkan sikap
toleransi dan pemaknaan tepat HAM sesuai dengan konteks sosial masyarakat
setempat.
Selain
itu HAM dikritik juga hanya sebagai instrumen bagi para kaum Barat
(institusi-institusi). Hal ini dapat kita lihat bahwa negara Barat hanya
sekedar memanfaatkan HAM untuk melancarkan ekspansi ekonominya. Bantuan hanya
diberikan jika telah tegak HAM, dan lain sebagainya. Hal ini semakin
menjelaskan bahwa nilai-nilai HAM telah terbawa dalam diskursus ekonomi kaum
kapital. Untuk itulah perlunya dekonstruksi HAM agar dapat sesuai dengan konteks
sosial dan relativisme kultur masyarakat. Serta adanya pencerdasan terhadap
berbagai nilai-nilai universal yang dibawa oleh Barat.
3. Dua
logika satu dunia,
Logika berasal dari kata Yunani
kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran
yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah
satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan
logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur.Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke
dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan
dengan masuk akal.
Pikiran manusia pada hakikatnya
selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran
merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran
bentuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandaikan
adanya jalan, cara, teknik, serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini
diselidiki serta dirumuskan dalam logika.
Secara singkat logika dapat dikataka
sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuian untuk berpikir lurus. Ilmu pengetahuan
sendiri adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok tertentu. Kumpulan ini
merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini terjadi dengan menunjukkan sebab
musababnya.
Logika juga termasuk dalam ilmu
pengetahuan yang dijelaskan diatas. Kajian ilmu logika adalah azas-azas yang
menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir seperti
itu, logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum-hukum yang harus
ditepati. Hal ini menunjukkan bahwa logika bukanlah sebatas teori, tapi juga
merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam
praktek. Ini sebabnya logika disebut filsafat yang praktis.
Objek material logika adalah
berfikir. Yang dimaksud berfikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi
manusia. Dengan berfkir, manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang
telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ia dapat memperoleh
kebenaran. Pengolahan dan pegearjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan,
menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian satu dengan
pengertian lainnya.
Tetapi bukan sembarangan berfikir
yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berfikir dipandang dari sudut
kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat merupakan objek
formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus dan tepat, apabila pemikirn itu
sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam
logika. Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan
aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman
untuk pemikiran.
Tabel di bawah ini menunjukkan
beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif
|
Induktif
|
Jika semua
premis benar maka kesimpulan pasti benar
|
Jika
premis benar, kesimpulan mungkin benar, tapi tak pasti benar.
|
Semua
informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit,
dalam premis.
|
Kesimpulan
memuat informasi yang tak ada, bahkan secara implisit, dalam premis.
|
Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM), filsuf Yunani pertama
yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan
berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau
asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika
induktif.
Aristoteles kemudian
mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebutlogica scientica.
Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam
semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.
Dalam logika
Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan
dari:
·
Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air
tumbuhan mati)
·
Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
·
Air jugalah uap
·
Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam
semesta.
Sejak saat Thales
sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum
Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah
merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica,
yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang
berangkat dari proposisi yang
benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti
argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya.
Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
4. Sosiologi
tubuh,
Juga bisa dikatakan aku mempunyai badan I
have my body (dalam Adelbert Snijders, 2004:23-34) Para filsuf cenderung
mencela tubuh dalam pemikiran mereka yang cemerlang, sementara banyak teolog
yang menggambarkan tubuh sebagai musuh bagi jiwa. Tubuh adalah penjara/makam
jiwa (Plato); tubuh manusia dapat dianggap sebuah mesin (Descrates); tubuh
adalah saya. saya adalah tubuh (Sartre). Tubuh dilihat sebagai penjara, mesin,
dan diri, serta banyak lagi yang lain; ia juga diperlakukan berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut. Tubuh dapat dibelai atau dibunuh, namun juga dapat
dicintai atau dibenci; dapat dianggap indah atau jelek, suci atau profan. Ide
tentang apa tubuh sesungguhnya, apa makna yang ditunjukkannya, apa nilai moral
dan nilainilai dari bagian-bagiannya, apa batasan tubuh, apa manfaat sosial
serta apa nilai simboliknya dan, sebagai tambahan, bagaimana tubuh
didefinisikan secara fisik maupun sosial, sangat berbeda dari orang ke orang
serta berubah secara dramatis dari waktu ke waktu. Satu kata ini, tubuh, dapat
menandai realitas yang sangat berbeda beserta persepsinya mengenai realitas
yang ada. Karena itu tugas kita adalah mengeksplorasi maknamakna itu serta
menunjukkan bagaimana dan mengapa makna tersebut berubah (Anthony Sinnott, 2007:11). Lebih lanjut Anthony Synnott menguraikan
pemikiran eksistensialisme tentang tubuh. Filsafat tubuh yang dikembangkan oleh
Nietzche dan Sartre merupakan
rekonstruksi-rekonstruksi utama dari pandangan baru mengenai tubuh: dari diri
sebagai jiwa menjadi diri sebagai tubuh; dari tubuh sebagai musuh atau
dipandang rendah menjadi tubuh sebagai diri; dari pikiran sebagai spiritual
menjadi pikiran sebagai material. Skala nilai masyarakat tentang pikiran dan
tubuh terus berubah dari masa ke masa. Dikatakan bahwa konstruksi politis dan
filosofis mengenai tubuh tumbuh bersamaan dengan munculnya berbagai konstruksi
ilmiah. Perkembangan mutakhir dalam ilmu kedokteran mendorong konstruksi atas
tubuh menjadi mekanistik dan materialistik. Bedah plastik dan pencangkokan
merupakan salah satu perkembangan paling cepat dalam kedokteran di Amerika
Serikat, lebih dari dua juta operasi dilakukan setiap tahunnya dengan kata
lain, tubuh bukan lagi pemberian (secara tradisional hadiah dari Tuhan); ia
bersifat plastis, dapat dibentuk dan dipilih berdasarkan kebutuhan atau tingkah
lakunya.
5. Kosmopolitanisme
dan teori sosial,
Kebaikan
bersama (common good), kemakmuran (prosperity), dan keadilan
sosial (social justice) merupakan tiga agenda yang harus dicapai
kosmopolitanisme. Agenda tersebut dapat tercapai dengan menghapus ketidak
setaraan global (global inequality) yang oleh kaum kosmopolitan
diklaim sebagai ironi yang sedang terjadi dalam dunia internasional. Klaim kaum
kosmopolitan tersebut semakin populer dikalangan masyarakat internasional
setelah globalisasi menyebarkannya dengan cepat. Namun demikian, meskipun isu global
inequality telah menyebar, akankah masyarakat internasional mampu
mengesampingkan rasionalitasnya dan tergerak untuk mewujudkan tiga agenda
kosmopolitanisme yang seringkali dianggap utopis?
Kosmopolitanisme yang pondasi
utamanya kemanusiaan dan moralitas global, berasumsi bahwa masyarakat
internasional perlu sedikit merubah pola pikir mereka untuk dapat menerima
kosmopolitanisme dan menghapus ketidak setaraan global. Bahwa sesuatu yang
normatif dan sulit diwujudkan bukan berarti tidak bisa diwujudkan sama sekali.
Artinya, ketiga agenda kosmopolitan bisa diwujudkan dengan meruncingkan pada
satu goal tersebut, yaitu mengeliminasi ketidak
setaraan global adalah sebenarnya rasional untuk diwujudkan jika masyarakat mau
melihat urgensi dari masalah tersebut melalui contoh nyata dilapangan. Bahwa
sebenarnya fenomena ketidak setaraan tersebut nyata. Sebagai contoh: ketidak
setaraan akses sumber daya berupa air di negara maju dan negara miskin, ketidak
setaraan akses pelayanan kesehatan di negara maju dan negara miskin, dll.
Ketika masyarakat internasional sudah melihat ketidak setaraan tersebut secara
nyata, maka akan timbul pemikiran dari masyarakat internasional untuk melakukan
sesuatu untuk menghilangkan fenomena ini. Dari sini konsep Kebaikan bersama,
kemakmuran, dan keadilan sosial menjadi mungkin untuk diwujudkan (Held, 1999).
Namun,
perlu diketahui bahwa kosmopolitanisme mengajak masyarakat internasional untuk
beraksi menumpas ketidak setaraan global selalu dengan identitasnya sebagai
individu yang bebas, bukan sebagai warga negara yang terikat regulasi tertentu.
Globalisasi (sekali lagi) dalam hal ini telah banyak membantu, karena setiap
individu kini dapat mengekspresikan aspirasinya. Sebaliknya, keberadaan
regulasi negara yang mayoritas didominansi kepentingan seringkali memanipulasi
keberagaman aspirasi yang ada. Artinya, apabila aspirasi tersebut bertabrakan
dengan aturan negara, meskipun secara normatif dapat mengurangi ketidak
setaraan global, tetap tidak akan diloloskan oleh negara. Identitas sebagai
individu yang bebas, menurut David Held (1999), dapat terwujud dengan
menerapkan demokrasi kosmopolitan atau demokrasi deliberatif ala Habermas.
Demokrasi
kosmopolitan secara ekstrim mengatakan bahwa dunia tidak lagi memerlukan
keberadaan negara bangsa dalam sistem internasional. Semua kebijakan dan
regulasi dibentuk berdasarkan musyawarah, konsultasi, dan diskursus publik yang
mengedepankan toleransi dan transparansi. Dengan sistem yang demikian, semua
aspirasi individu secara praktis akan tersampaikan. Konsep ini kemudian menjadi
wacana bagi tatanan dunia baru yang didambakan kaum kosmopolitan. Karena dengan
konsep ini, ketidak setaraan global akan bisa ditiadakan sehingga terwujudlah
kebaikan bersama, kemakmuran, dan keadilan sosial. Namun, sejalan dengan
eksistensinya dalam menawarkan konsep yang ekstrim, demokrasi kosmopolitan
menuai banyak kritik. Salah satunya, menurut Hadirman (2009), jika suatu saat konsep ini akan diterapkan sebagai
pemerintahan global, pastinya akan menerapkan suatu regulasi/ aturan tertentu
yang mengikat individu didalamnya. Lalu dimanakah letak kebebasan yang menjadi
pondasi kosmopolitanisme jika masih ada aturan yang mengikat?
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tiga ide kosmopolitanisme tentang
kebaikan bersama, kemakmuran, dan keadilan sosial, dapat terwujud jika ketidaksetaraan
global yang sedang nyata terjadi ditiadakan. Kaum kosmopolitan menawarkan
solusi demokrasi deliberatif atau demokrasi kosmopolitan untuk mengatasi
ketidak setaraan global. Di satu sisi, konsep demokrasi kosmopolitan ini
menjadi wacana prospektif dalam menerapkan kosmopolitanisme secara global.
Namun, di sisi lain, konsep demokrasi yang menentang eksistensi negara-bangsa
ini menurut saya, selain radikal juga terlalu utopis untuk dilaksanakan. Selain
menuai banyak kritik, demokrasi kosmopolitan juga menyisakan banyak pertanyaan
karena ia tidak memberikan penjelasan mendetail mengenai teknis dan prosedur
bilamana diterapkan kedalam suatu pemerintahan global yang berasaskan
kemanusiaan dan moralitas.
6. Masa
depan teori sosial.
Di
abad ke-20 telah terjadi perkembangan baru dalam teteori sosial dan sejarah.
Perkembangan itu ditandai oleh mencairnya hubungan antara sejarawan dan
sosiologiwan, melalui bangkitnya kesadaran akan hubungan interdependensi antara
satu disiplin dengan disiplin lainnya. Minat pada ilmu-ilmu sosial membuat
studi sejarah semakin menarik perhatian. Terutama ketika mulai bangkit
kesadaran pada pentingnya sejarah naratif, yang juga di dalamnya menyangkut
bagaimana memanfaatkan tradisi oral, meliputi mitos masyarakat sebagai
sumber-sumber sejarah [lokal]. Sebuah proses transgresi di dalam studi sejarah,
ketika pendekatan diakronik telah melengkapi pendekatan kronik. Bahwa pada saat
itulah, sejarah sebagai sebuah proses telah menyertakan di dalamnya
perubahan-perubahan sosial masyarakat.
Akibatnya,
apa yang disebut peristiwa [event] dalam studi sejarah sudah tidak
memadai lagi jika hanya direkam sebagaimana adanya. Ada batasan-batasan
tertentu dalam pendekatan sejarah murni, ketika kemudian tiba pada
pertanyaan-pertanyaan analitik mengenai penyebab-penyebab terjadinya sebuah
event. Kalangan sejarawan mulai menyadari bahwa di sinilah perlu ada disiplin
yang lain, yang lebih konkruen untuk menjelaskan fenomena di seputar event itu.
Pada saat itulah pendekatan ilmu sosial signifikan sebagai solusi yang
memecahkan “kekaburan analisis sejarah”.
a. Masyarakat Dinamis
a. Masyarakat Dinamis
Argumentasi
yang cukup sederhana untuk mengatakan bahwa masa depan teteori sosial dan
sejarah tetap signifikan adalah bahwa masyarakat adalah sebuah fakta yang
dinamis. Dinamika masyarakat pada setiap masa telah melahirkan atau dijelaskan
melalui teteori substantif/formal yang terus berubah atau teruji di dalam
proses yang panjang. Di samping itu, dinamika masyarakat telah menjadi sumber
informasi sejarah yang digarap secara akademis maupun yang hidup di dalam
memori-memori masyarakat itu sendiri.
Perkembangan di dalam masyarakat telah
melahirkan teteori sosial dan merevisi pendekatan sejarah terhadap masyarakat
itu sendiri. Sejarah dan teteori sosial dihasilkan melalui perjumpaan dengan
fakta sosial di dalam masyarakat. Ia bertugas menjelaskan dan menganalisis
fenomena-fenomena yang tampak sebagai materialisasi suatu fakta sosial [social fact – Durkheim]. Di dalam
perjumpaan tadi, teoritisi [aktor pelaku] berhadapan dengan pra-konstruksi,
sebagai sudut pandang masyarakat [aktor pelaku]. Pra-konstruksi tadi kemudian
dihimpun dan direfleksikan. Melalui refleksi, terjadi reduksi yang menyertakan
kritik dan penataan secara sistematis dan panggah, menuju pada rekonstruksi
baru.
Hasil
rekonstruksi dalam sebuah teteori adalah sebuah fakta sosial yang telah lepas
dari kemengadaan mula-mula. Keterlepasan itu adalah sebuah gejala metateori.
Artinya, fenomena-fenomena yang tampak secara material dalam perilaku aktor
pelaku [masyarakat] telah diolah dengan penerapan metodologi yang adequat untuk
mengungkapkan mentifact-mentifact dari masyarakat. Teoritisi dalam hal
itu bertugas mendefenisikan situasi untuk menggambarkan struktur nomenos, walau
sebenarnya nomenos [das ding an sich – Kant] itu tidak dapat ditemukan,
melainkan hanya fenomenanya saja.
Dapat
dicatat beberapa karya sejarah sebagai sebuah tindakan refleksif atas
perkembangan dan perubahan masyarakat. Atau sebaliknya karya-karya sosial yang
juga menggunakan pendekatan heurestik atau historiografi sebagai perspektif
dalam membangun analisis terhadap dinamika dalam masyarakat itu.
Ritzer mencontohkan munculnya sosialisme, adalah bagian dari
perkembangan sosiologi pada masa awal, di kala Marx, tetapi juga Weber dan Durkheim melakukan pengetatan-pengetatan terhadap dinamika
masyarakat yang mereka hadapi di tempat dan dalam zamannya. Demikian pula
munculnya feminisme adalah reaksi atas pensubordinasi perempuan di berbagai
tempat. Kalangan feminis melancarkan sikap protes dan melakukan berbagai
diskursus akademis tentang fenomena diferensiasi, diskriminasi, dan subordinasi
itu sendiri. Feminisme kemudian menjadi sebuah aliran di dalam sosiologi yang
semakin hari semakin berkembang.
Demikian
pula pertumbuhan poststrukturalisme,
postmodernisme, merupakan reaksi akademis dan empiris terhadap perubahan
fakta sosial itu sendiri. Bahwa dalam perkembangan kontemporer, teori lama
sudah tidak bisa bertahan begitu saja dalam menjelaskan fenomena mutakhir. Oleh
sebab itu, gerakan postmo adalah suatu tindakan melampaui limitasi-limitasi
teori dan fakta sosial tadi.
Fenomena
itu dapat pula dilihat di Indonesia. Keberadaan kelompok minoritas, dari segi
agama, merupakan bias fakta sosial dalam sebuah negara demokratis. Artinya
demokrasi sudah tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan bersuara kaum minoritas,
karena kelompok mayoritas terus memperkuat posisi untuk menjadi semakin
dominan, termasuk dalam menentukan berbagai kebijakan publik. Bahwa tanpa
disadari pula, karena selama ini kita dikooptasi oleh “politik uniformitas”, di
mana kekuasan telah memaksa berlakunya suatu sistem tunggal mayoritas. Sebagai
bagian dari propagandanya, diterapkan sistem tafsir tunggal atas sejarah,
terutama selama 32 tahun kekuasaan Regim Orde Baru.
Itu
berarti, teoritisi dan sejarawan akan selalu tertantang untuk terus menjelaskan
kemenjadian fakta sosial itu sendiri. Dinamika dalam masyarakat mampu
memaparkan secara transparan bahwa teteori sosial dan sejarah dituntut untuk
melakukan refleksi cepat. Sebuah kegiatan refleksi yang juga harus melahirkan
kritik terhadap sistem dan pola-pola bermasyarakat. Kemenjadian masyarakat
harus pula dikontrol oleh teteori sosial dan sejarah, dan sebaliknya kedua
disiplin ini pun harus pula terbuka untuk membaca fenomena perubahan yang
terjadi. Interdependensi fakta sosial dan ilmu menjadi tema utama dalam
mempelajari dan terus mengembangkan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan sejarah di
dalam masyarakat.
b. Sosiologi Sejarah
b. Sosiologi Sejarah
Referensi
bersama kita untuk memecahkan silang sikap teoritisi sosial dan sejarawan
sebetulnya adalah diskrepansi [mengandung aspek kebijaksanan, konsep, keilmuan]
muilmu itu sendiri. Itu berarti kita memerlukan suatu sosiologi sejarah sebagai
sebuah posibilitas yang dapat memecahkan masalah silang sikap tadi. Gerald J.Schnepp, dalam Mihanovich, mengingatkan
kita pada kelemahan dari sosiologi sejarah itu sendiri ketika hanya memusatkan
perhatian pada sifat unsur dasarnya saja. Bahwa seorang sosiolog sejarah
dituntut kemahiran bukan hanya untuk menata, mendata dan membandingkan sebuah
segmen empirik dari sejarah, tetapi bersamaan dengan itu mampu melakukan kritik
terhadap asumsi-asumsi teoritik dan verifikasi yang ketat.
Di
Indonesia usaha ke arah itu dipelopori oleh Sartono Kartodirjo, dan juga
Kuntowijoyo, mengenai pentingnya pendekatan ilmu sosial dalam metodologi
sejarah. Ada suatu kesadaran baru akan pentingnya suatu sejarah
interdisipliner, yang oleh Kuntowijoyo sebagai suatu diskripsi dan analisis
sejarah yang terbuka bagi sumbangan muilmu lain seperti geografi, linguistik,
antropologi, dll. Usaha memelopori
kebangkitan studi sejarah sosial sebagai suatu sejarah modern di Indonesia
dimulai pada 1957, melalui Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di
Yogyakarta. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 1970, problematika
sejarah Indonesia agaknya terletak pada sudut pandang yang selama ini
mendominasi cara berpikir dan bekerjanya para sejarawan akademis. Sudut pandang
yang Neerlandocentrisme. Sudut pandang ini melihat sejarah masyarakat di
Indonesia sebagai bentukan dan hasil pertemuan atau pengaruh “orang-orang
luar”. Itu berarti sejarah dimaksud lebih banyak didominasi oleh sejarah
politik, terutama invasi dan kolonisasi. Kesadaran lokal atau “pribumisasi”
muncul dengan introduksi pendekatan Indonesiacentrisme, yang melihat pada pentingnya
partisipasi orang-orang Indonesia sendiri di dalam sejarahnya. Suatu pendekatan
yang mampu menyuarakan kebungkaman-kebungkaman akibat pemasungan politik
kolonial. Suatu pendekatan yang akhirnya melahirkan sebuah sejarah kritis.
Yang
penting dari sudut pandang itu adalah sebuah kesadaran metodologis, bukan hanya
untuk melihat dinamika masyarakat Indonesia sebagai aktor pelaku di dalam
sejarahnya, tetapi juga membangkitkan cakrawala karya sejarah sosial meliputi
seluruh daerah di Indonesia [tidak hanya Jawacentrisme]. Pada sisi yang lain,
sosiologi sejarah harus mampu membuka “gudang-gudang” sumber data yang selama
ini tertutup rapat. Salah satunya adalah mitos, atau tradisi oral sebagai
bagian dari pencitraan lokal masyarakat. Semua sumber sejarah sosial harus
diperlakukan sebagai item-item yang mendukung penggambaran detail masyarakat,
termasuk dimensi mentifact, atau ideologi, simbol, cara berpikiri, perilaku,
pandangan dunia [worldview/weltanschaung], bahasa, agama, politik,
ekonomi, dll.
No comments:
Post a Comment