Persoalan
1.
Analisa perbandingan budaya hukum antara
Polri dengan Kejaksaan.
2.
Aanalisa perbandingan budaya hukum antara
Reskrim dengan Lantas.
3.
Analisa dengan teori budaya hukum antara
Sabhara dengan Brimob.
Analisa
ketiga budaya hukum tersebut diatas menurut pandangan Edward T. Hall,
pandangan
Geerzt Hofstede dan pandangan Friedmann serta menurut perspektif perangkap
penyimpangan dan kejahatan sebagaimana pandangan Ronny Nitibaskara.
1. Pandangn
Edward T. Hall
Edward T. Hall
mengemukakan sebuah teori Low Context Culture & High Context Culture
yang didasari pada teori individual dan collectivism. Low context culture
terdapat pada masyarakat yang menganut budaya individual, sedangkan High
context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya kolektif.
Edward T. Hall (1973) menjelaskan perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks
budaya rendah. Pentingnya memahami latar belakang (kebiasaan) seseorang dari
sudut pandang profesinya, hal ini disamping akan mempermudah dalam memahami berinteraksi
dan menemukan kesesuaian dalam berkomunikasi secara efektif, juga menuntun kita
kepada pemahaman akan kebiasaan yang membentuk suatu budaya.
Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya
simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin
banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High Context
Culture. Jelasnya ditegaskan bahwa,”A
low context (LC) communication is just the opposite of high context (HC), the
mass of the information is vested in the explicit code”.
Namun dalam kenyataannya, sebuah kebiasaan tidak
secara utuh dikategorikan High Context Culture karena sebagiannya
memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Demikian pula
sebaliknya dalam sebuah kebiasaan yang didominasi Low Context Culture
didalamnya terdapat bagian High Context Culture. High
Context adalah perkataan
atau pernyataan yang sekedar basa basi atau kata yang sekedar candaan yang
tidak memberi arti yang serius, maksudnya adalah type high contect ini merupakan type yang suka berputar-putar dalam
memberikan pernyataan sebelum menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya.
Sedangkan Low Context adalah
perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung candaan dan langsung
menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. Low
context memang kebalikan dari High
Context.
Pada asumsi
kasus diatas dapat premis bahwa ketika sebuah tugas operasi itu tidak ditujukan
dengan jelas untuk siapa dan apa yang diharapkan darinya, bisa dikatakan bahwa
si pemberi perintah sedang melakukan High
Context Communication. Apabila mengharapkan perubahan pada mekanisme
operasional, maka seharusnya yang digunakan adalah Low Context Communication, dimana tipe tersebut merupakan type yang to the point pada permasalahan
dan spesifik dari sisi target khalayak maupun perilaku yang diharapkan.
Sebagai detail perbedaan komunikasi Low Context Culture
& High Context Culture pada
kedua fungsi/bidang/institusi tersebut menurut beberapa factor, diantaranya
pola komunikasi, sikap diri apabila terjadi kesalahan, penggunaan komunikasi
non-verbal, ekspresi, orientasi kepada kelompok, ikatan kelompok, komitmen
terhadap hubungan dengan sesama dan fleksibilitas terhadap waktu.
Analisa perbandingan pertama adalah antar
Kejaksaan dan Kepolisian yang merupakan dua institusi hukum. Tentu secara
singkat dapat dipastikan bahwa kedua institusi tersebut memiliki sub Kultur
budayanya masing-masing. Walaupun keduanya sama-sama sebagai aparat penegak
hukum, namun memiliki lingkup tugas yang berbeda. Kepolisian lebih sering
disebut sebagai “penyidik jalanan”, sementara kejaksaan lebih dikenal dengan
ungkapan “penyidik gedongan”.
Analisa perbandingan
pertama adalah antar Fungsi Reserse dan Fungsi Lalu Lintas merupakan dua fungsi
pada satuan Kepolisian. Tentu secara singkat dapat dipastikan bahwa kedua
fungsi tersebut memiliki kebiasaan dan budaya hukum yang juga berbeda. Walaupun
keduanya sama-sama bagian dari institusi kepolisian, namun memiliki lingkup
tugas yang berbeda. Satuan Reserse lebih banyak berurusan dengan intensitas
tinggi dalam penindakan kejahatan (supresive), sementara Fungsi Lalu Lintas
dihadapkan pada masyarakat pengguna lalu lintas jalan maupun pendidikan lalu
lintas. Kedua fungsi tersebut berhadapan dengan masyarakat, namun dalam konteks
yang berbeda, sehingga implikasi budaya hukum kedua fungsi tersebut dapat
dikatakan tinggi dalam konteks penyidikan atau investigasi, namun memiliki
konteks rendah dalam komunikasi verbal.
Analisa perbandingan
pertama adalah antar Brimob dan Fungsi Sabhara merupakan dua fungsi pada satuan
Kepolisian. Dalam tataran komunikasi, Brimob Polri lebih banyak memiliki
tingkat rendah karena lingkup tugasnya yang jarang bersentuhan dengan
masyarakat, dengan demikian Fungsi Sabhara lebih tinggi dalam budaya hukumnya.
Pada konteks sikap diri apabila terjadi kesalahan, personil Brimob lebih
terbuka karena latar belakang tugasnya menuntut keterusterangan, bukan berarti
Anggota pada fungsi Sabhara tidak memiliki kapasitas tersebut. Anggota Sabhara
lebih sering melakukan komunikasi non-verbal.
Pada tataran ekspresi dan
orientasi kepada kelompok, ikatan kelompok maupun komitmen terhadap hubungan
dengan sesama dan fleksibilitas terhadap waktu, personil Brimob lebih menonjol
didasarkan pada jiwa korsa yang mereka bangun sebagai satu kesatuan unit.
Mereka selalu merasa ikatan kelompok menjadi semangat kebersamaan yang hal ini
melebihi fungsi Sabhara.
2. Pandangan
Geerzt Hofstede
(2012)
Selanjutnya
Hofstede (2012) mengelompokkan budaya
suatu organisasi kedalam 6 (enam) dimensi sebagai berikut:
a. Process Oriented versus Result
Oriented
Process Oriented versus Result Oriented menekankan pada
organisasi yang berorientasi proses dengan organisasi yang berorientasi pada
hasil. Budaya organisasi yang berorientasi pada proses, tampak dari perilaku
para anggota organisasi yang mematuhi ketentuan-ketentuan, prosedur, dan
kebijakan yang telah ditentukan oleh organisasi. Pada sisi lain, organisasi
dengan budaya orientasi hasil, perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil
ketimbang proses, dan sehingga seringkali organisasi tidak mempedulikan
bagaimana proses dilakukan tetapi yang penting hasilnya cepat didapat.
Organisasi dengan budaya berorientasi hasil lebih dinamis dibandingkan dengan
organisasi dengan budaya berorientasi proses.
b. Berorientasi
Karyawan vs berorientasi pekerjaan (Employee Oriented versus Job Oriented)
Dimensi budaya organisasi yang Employee Oriented versus Job
Oriented menekankan pada organisasi yang berorientasi pegawai dengan organisasi
yang berorientasi pekerjaan. Budaya organisasi yang berorientasi pegawai artinya
organisasi tersebut mendahulukan kepentingan dan kebutuhan pegawai dibandingkan
pekerjaaan. Sedangkan budaya organisasi berorientasi pekerjaan beranggapan
bahwa pekerjaan adalah yang terpenting. Pekerjaan harus selalu didahulukan
c. Paroki vs
Profesional (Parochial versus Proffesional)
Dimensi ketiga budaya organisasi adalah Parochial versus
Proffesional. Pada budaya organisasi Parochial, tingkat ketergantungan karyawan
pada atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi. Sebaliknya, pada
budaya Profesional tingkat ketergantungan karyawan pada organisasi cenderung
rendah karena alasan organisasi merekrut mereka adalah semata-mata karena
kompetensi yang mereka miliki.
d. Sistem terbuka
vs system tertutup (Open System versus Close System)
Dimensi keempat budaya organisasi adalah Open System versus
Close System yang menjelaskan penerapan budaya terbuka dan tertutup pada
lingkungannya. Dengan budaya sistem terbuka, maka organisasi menjadi lebih
terbuka dan responsif atas perubahan dan mendorong terjadinya learning
organization. Sedangkan pada budaya sistem tertutup dijelaskan bahwa organisasi
seakan-akan sebuah mesin yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa
banyak melakukan perubahan.
e. Loose Control versus Tight Control
Dimensi kelima budaya organisasi adalah Loose Control versus
Tight Control. Budaya organisasi yang serba longgar berdampak pada
ketidakdisiplinan karyawan dan organisasi. Sebaliknya pada organisasidengan
budaya yang ketat menjelaskan bahwa organisasi menerapkan aturan-aturan
organisasi secara ketat dan kaku. Penyimpangan terhadap aturan sangat tidak
ditolerir
f. Normative versus Pragmatic Process
Dimensi keenam budaya organisasi adalah Normative versus
Pragmaticyang menjelaskan orientasi organisasi terhadap konsumen. Pada budaya
pragmatis, konsumen adalah segalanya. Aturan dan prosedur dapat saja dilanggar
jika hal tersebut menghambat pencapaian hasil dan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Sedangkan organisasi dengan budaya normatif menjelaskan bahwa organisasi mempunyai
tanggung jawab moral untuk menjaga aturan-aturan tersebut.
3. Pandangan
Friedmann
Menurut Lawrence Meir Friedman (2001), seorang
ahli sosiologi hukum dari Stanford, berhasil atau tidaknya Penegakan hukum
bergantung pada: Substansi Hukum (Legal Substance),
Struktur Hukum/Pranata Hukum (Legal
Structure) dan Budaya Hukum (Legal
Culture). Teori Friedman ini didasarkan atas perspektifnya yang bersifat
sosiologis (sociological jurisprudence)
yang berbasis semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum.
a. Substansi Hukum
Substansi hukum pada hakikatnya mencakup semua peraturan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti keputusan pengadilan yang
dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum baru, hukum materiil (hukum
substantif), hukum formiL, dan hukum adat.
Sistem Substansial menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan artinya bahwa produk yang dihasilkan oleh orang pada sistem hukum mencakup
keputusan yang dikeluarkan dan aturan baru yang disusun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law
System atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan
perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon)
dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum.
Pengaruhnya di Indonesia diwujudkan dengan adanya asas Legalitas dalam KUHP, pada Pasal 1 KUHP ditentukan tidak ada suatu perbuatan
pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya. Dengan
demikian bisa atau tidaknya suatu
perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah ditetapkan
dalam peraturan. Sistem hukum secara substansi diarahkan pada pengertian
mengenai ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan,
norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem.
b. Struktur Hukum/Pranata Hukum:
Sistem hukum
bila ditinjau dari strukturnya, lebih mengarah pada lembaga-lembaga (pranata-pranata), seperti legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, tentang bagaimana lembaga tersebut menjalankan
fungsinya. Struktur berarti juga bermuatan aturan tentang berapa anggota yang
duduk sebagai anggota legislatif, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang
Presiden (Eksekutif), maupun bagaimana aparat penegak hukum menjalankan
tugasnya dan lainnya. Dengan kata lain sistem struktural yang menentukan bisa
atau tidaknya hukum dilaksanakan dengan baik.
Friedman
(2001) menjelaskan bahwa struktur hukum menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan dengan baik. Misalkan struktur hukum dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas) yang berdasarkan pada Undang-undang
No. 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana. Artinya bahwa lembaga penegak hukum
dijamin oleh undang-undang dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Hukum tidak
dapat berjalan dengan tegak apabila tidak ada aparat penegak hukum yang
kredibilitas, kompeten dan independen. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya dan
sebaliknya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang
tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa
faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.
c. Budaya Hukum
Friedman (2001) menjelaskan bahwabudaya hukum
adalah bagaimana sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum mengarah pada sikap
masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide
atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini budaya
hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta
keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh
tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka
budaya masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan
tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat selama
ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan
salah satu indikator berfungsinya hukum. Kultur hukum adalah suasana pemikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran
hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum, maka akan
tercipta pola pikir dan budaya hukum yang baik. Indicator berfungsinya hukum di
masyarakat adalah tingginya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Baik
substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan antara
satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara
ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola
hidup aman, tertib, tentram dan damai.
4. Padangan
Ronny Nitibaskara
Nitibaskara (2009) dalam bukunya berjudul “Perangkap
Penyimpangan dan Kejahatan, Teori Baru Dalam Kriminologi”, memberikan pandangan
pemahaman terhadap realitas masyarakat yang terus bertambah galau karena
semakin kuatnya fenomena perangkap penyimpangan dan kejahatan di dalam
kehiduapan yang begitu membudaya.
Dalam pemahamannya
dicontohkan bahwa interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik,
merupakan ciri lain sebuah revolusi teknoloi informasi. Dengan interaksi semacam
ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan akan menyesuaikan
bentuknya dengan karakter baru tersebut, seperti maraknya cyber crime, (Kejahatan dunia maya). Teori
ini bermakna memahami dan menganalisa serta memberikan solusi terhadap belitan
persoalan-persoalan kejahatan dengan merumuskan tiga pendekatan yaitu (a)
Budaya dalan Transisi, (b) Kejahatan Berdaulat dan (c) Perangkap Penyimpangan
dan Kejahatan.
Analogi
lain adalah dilakukannya observasi untuk menjadi suatu “general statement”
yang dapat dipergunakan dalam kegiatan (action) penelitian ataupun
pencegahan kejahatan. Hal-hal baik seperti modernisasi, globalisasi, kemajuan
teknologi informasi, akan menghasilkan budaya yang buruk seperti budaya asing
yang bertentangan dengan budaya kita. Begitu pula hal yang buruk seperti krisis
ekonomi, akan menghasilkan sesuatu yang baik misalnya nasionalisme.
Contoh
kongkrit lainnya untuk menunjukan makna perangkap kejahatan adalah pada kasus Korupsi
yang dikategorikan sebagai kejahatan luarbiasa. Korupsi dapat memengaruhi citra
negara, sekaligus mengguncang kestabilan sosial politik sebuah pemerintahan.
Kendati tuntutan terhadap upaya pemberantasan korupsi di dalam negeri sangat
tinggi, namun pada kenyataannya para penegak hukum di Indonesia belum mampu
menghapuskan korupsi. Bagi beberapa aktor korupsi, motif di balik perilaku
korupnya bersumber pada wewenang yang dimiliki, situasi dimana pejabat publik
tersangka korupsi dituduh melakukan kejahatan karena kuasa diskresinya. Ini
berarti, korupsi yang dituduhkan padanya merupakan konsekuensi dari wewenang
pengambilan keputusan. Terperangkap oleh kuasa diskresinya, kategori tertuduh
semacam ini tetap dikenai dakwaan korupsi, walaupun secara pribadi, uang atau
fasilitas yang diperolehnya tidak dinikmatinya.
Korupsi
bukanlah kejahatan pasif, tidak berakhir ketika pelaku menyelesaikan aksinya
dan korban selesai dilukai. Pemikiran teori kriminologi baru ini memperlihatkan
bahwa sekali tindakan korupsi dilakukan, maka kejahatan itu akan berkembang
mengubah sistem di dalam masyarakat agar memungkinkan terjadinya korupsi lagi
dan lagi. Mengacu pada penjelasan diatas
bahwa kejahatan adalah entitas, sang pelaku kejahatan pun tidak memiliki
kemampuan untuk mengontrol entitas yang sudah dikeluarkannya itu. Seperti yang
dituliskan oleh Nitibaskara, bahwa “Kejahatan yang telah terjadi merupakan
entitas tersendiri, melekat bersama sejarah manusia, ia tidak dapat dihapus oleh
siapa pun kecuali oleh Tuhan”.
Karena
budaya yang menjadi korban dari kejahatan yang berdaulat, maka untuk
selanjutnya kejahatan itu menjadi relatif kebal terhadap upaya penindakan.
Budaya dalam transisi mengubah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
kepercayaan dan ilmu gaib, dan kesenian, menjadi sebuah perangkap. Perangkap
inilah yang akhirnya melestarikan kejahatan sehingga masyarakat tidak bisa
menuju kerangka masyarakat madani tanpa kejahatan. Begitu banyaknya perangkap
yang dipasang dari setiap segi kehidupan membuat kejahatan dianggap wajar.
Entitas kejahatan tidak akan lagi disebut sebagai kejahatan, tetapi dianggap
sebagai solusi, pilihan, kekuatan, komoditas, ekonomi, pekerjaan. Setelah itu
akan timbul apa yang Nitibaskara katakan sebagi collapse society atau society
of crime.
No comments:
Post a Comment