BENTURAN ANTAR PERADABAN DAN MASA DEPAN POLITIK DUNIA
(The
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order)
Pengarang:
Samuel P. Huntington
Penterjemah:
M. Sadat Ismail
(Penerbit : Qalam, Tebal : 619 Hlm)
(Penerbit : Qalam, Tebal : 619 Hlm)
PENDAHULUAN
Samuel P. Huntington menulis buku “The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order” yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ditulis pada tahun 1996. Isinya
memperkirakan terjadinya perbenturan antar budaya Barat dan Timur, sesuai
kerangka pikir yang dituliskan Huntington. Buku ini merupakan karya Best Seller
(monumental) yang menjadi kontroversi dan memicu polemik di berbagai belahan
dunia selama lebih dari tiga tahun.
Dalam tulisannya tentang The
Clash Of Civilizations (benturan antar peradaban), Huntington mengajukan
tesis dalam kalimat sangat tegas:”Menurut Hipotesis saya,“sumber utama konflik
dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya”. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi
sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat
dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil
akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan
peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Buku ini memiliki 5 tema utama yang berhubungan dengan
identitas-identitas kebudayaan yang membetuk suatu pola-pola yang saling
berkesinambungan dan penggabungan konflik-konflik yang terjadi pasca perang
dingin, yakni;
1). Untuk pertama kalinya dalam sejarah
politik global memiliki sifat yang mengandung banyak sisi didalamnya serta
terdapat beberapa peradaban didalamnya yang mengakibatlan lahirnya sebuah
peradaban baru yang bukan merupakan pembaratan dari masyarakatnya.
2). Pergeseran sebuah kekuatan diantara
berbagai macam peradaban-peradaban.
3). Lahirnya sebuah dunia baru yang
menggunakan sebuah peradaban sebagai landasannya; dan masyarakatnya yang
memiliki persamaan kebudayaan dan saling mendukung satu samalain lewat kerja
sama yang harmonis antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
4). Kepura-puraan masyarakat barat yang
secara menyeluruh mengakibatkan terjadinya konflik-konflik baru dengan
peradaban lain, seperti kaum Muslim dengan non-muslim.
5) Kelangsungan hidup peradaban barat
tergantung pada masyarakat barat sendiri, tentang bagaimana sikap mereka
terhadap kebudayaan barat, serta rasa memiliki masyarakat barat kepada
kebudayaan mereka.
Buku ini dianggap merupakan referensi kunci untuk memahami
dimana posisi kita dalam percaturan geopolitik internasional memasuki
millennium ketiga pasca runtuhnya system komunisme dan berakhirnya perang
dingin.
ISTILAH DAN KAWASAN PERADABAN
Istilah “benturan antar peradaban” sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington merupakan identitas budaya
dan agama yang menjadi sumber utama konflik dalam dunia pasca Perang
Dingin. Merupakan
hubungan bermusuhan tanpa kekerasan antara negara-negara Komunis pimpinan Uni
Soviet dan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat yang berlangsung antara sekitar tahun
1946 dan 1989.
Apa yang maksud dengan “peradaban”? Huntington,
walapun agak rancu namun mendefinisikan dalam bukunya, bahwa “Peradaban” yang
dia jelaskan bisa terdiri dari negara dan kelompok sosial, seperti kelompok
etnik dan minoritas religius. Tapi peradaban bisa juga mengacu pada kedekatan
geografik dan persamaan bahasa. Yang tampaknya menjadi suatu kriterium utama
dalam definisinya tentang peradaban adalah agama yang paling dominan. Berdasarkan definisinya yang agak rancu tadi,
dia mengidentifikasi beberapa peradaban utama dunia. Di antaranya, peradaban
Barat, dunia bagian Timur, dan peradaban Muslim.
Peradaban Barat mencakup beberapa kawasan geografik. Ada
Australasia, kawasan yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Papua Nugini,
dan pulau-pulau yang berdekatan di Samudera Pasifik Selatan; Amerika Utara
(Amerika Serikat dan Kanada); dan Eropa (seperti Inggris, Jerman, Perancis,
Belgia, dan Belanda), termasuk Eropa Tengah dan Eropa Timur-Tengah yang dominan
Katolik. Ia mencakup juga Oseania, kawasan geografik yang terdiri dari
kebanyakan pulau yang lebih kecil di bagian barat dan tengah Samudera Pasifik,
yang mencakup juga Australia dan Selandia Baru.
Peradaban dunia bagian Timur adalah suatu campuran peradaban
penganut Buddhisme dan Hinduisme serta peradaban Sino dan Jepang. Secara
khusus, peradaban Sino terdiri dari penduduk Cina, Korea, Singapura, Taiwan,
dan Vietnam. Orang-orang Cina perantauan, terutama di Asia Tenggara, tergolong
pada peradaban Sino.
Peradaban Muslim mencakup penduduk Timur Tengah, kecuali
Armenia, Siprus, Etiopia, Georgia, Yunani, Israel, Kazakhstan, dan Sudan. Ia
mencakup juga Afrika Barat bagian utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Kepulauan
Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Kepulauan Maldives.
BENTURAN ANTAR PERADABAN
Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung
sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990
dan berakhirnya bipolaritas Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan
lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan,
Turkmenistan, dan Uzbekistan. Peristiwa perang dingin merupakan sebuah
peristiwa besar dunia yang menjadi saksi terjadinya perubahan-perubahan pola pikir
beserta identitas dunia. Pada masa-masa pasca terjadinya perang dingin di Unisoviet,
banyak sekali bendera yang dikibarkan secara silih berganti. Satu bendera
dinaikkan, kemudian diturunkan lagi dan diganti dengan bendera-bendera lainnya.
Naik turunnya bendera ini menjelaskan bahwa betapa pentingnya identitas suatu
bangsa pada masa itu. Betapa pentingnya sebuah identitas baru untuk menjelaskan
siapa dan bagaimana suatu bangsa tersebut. Perang dingin sendiri merupakan
sebuah peristiwa besar dunia yang menyebabkan runtuhnnya negara unisoviet dan
berubah menjadi beberapa negara.
Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang,
menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah (The
End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme
berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal
dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya.
Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order
(Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain
sebagai buffer-nya.
Dalam bukunya yang berjudul Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Samuel P
Huntington menyebutkan pemikirannya sekurang-kurangnya ada enam alasan yang
dijadikan sebagai dasar yang pakai untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke
depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama,
perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama
berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras
dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi
antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses
modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan
carut-marutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah
berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi
oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat,
dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima,
perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan
ekonomi. Keenam, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama
terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi.
Ekspansi Barat mampu menawarkan modernisasi dan westernisasi
bagi masyarakat-masyarakat non-barat. Tokoh-tokoh politik dan intelektual dari
masyarakat tersebut memberikan reaksi terhadap pengaruh barat. Reaksi masyarakat rehadap adanya modernisasi dan
westernisasi bermacam-macam, diantaranya menolak modernisasi dan westernisasi,
menerima modernisasi dan westernisasi.
Jepang merupakan Negara yang hanya menerima bentuk-bentuk
modernisasi tertentu, seperti penggunaan senjata api sedangkan agama Kristen,
sangat dibatasi. Di Cina juga melakukan penolakan atas modernisasi dan
westernisasi. Kemalisme, merupakan
bentuk reaksi masyarakat non barat terhadap modernisasi dan westernisasi yang
dilakukan oleh barat. Bentuk ini mengatakan bahwa modernisasi dan westernisasi
dibutuhkan dan perlu, bahwa kebudayaan pribumi tidak dapat disepadankan dengan
modernisasi dan harus ditinggalkan atau dibuang, dan bahwa masyarakat harus
sepenuhnya terbaratkan supaya dapat mengikuti arus modernisasi.
Modernisasi dan westernisasi masing-masing saling menopang
dan harus berjalan secara beriringan. Reformisme. Penolakan terhadap
modernisasi dan westernisasi menjadikan masyarakat yang terbelakang tenggelam
di tengah-tengah kancah dunia modern. Di jepang terdapat Wakon, Yosei:
“semangat Jepang, teknik barat”. Di Mesir, Muhammad Ali “berusaha melakukan
modernisasi tanpa budaya eksesif westernisasi”.
Pada fase-fase awal perubahan, westernisasi menawarkan
modernisasi. Pada fase-fase akhir, modernisasi menawarkan de-westernisasi dan
kebangkitan kebudayaan pribumi melalui dua cara. Pada tataran sosial,
modernisasi mendorong kearah kemajuan dalam bidang ekonomi, militer dan politik
dari suatu masyarakat secara keseluruhan dan membangkitkan keyakinan diri
penduduk setempat terhadap kebudayaan mereka sendiri, sehingga secara kultural
mereka percaya diri. Pada tingkatan individual, modernisasi menggerakkan
perasaan terasing dan anomalie, yang dapat melepaskan ikatan-ikatan tradisional
dan hubungan-hubungan sosial serta mengantarkan pada krisis identitas yang
jawabannya hanya dapat ditemukan dalam agama.
Benturan antarperadaban dinilai lemah karena menunjukkan
suatu geografi yang dibayangkan “terkurung pada dirinya” dan setiap ras memiliki
takdir dan psikologi yang khusus. Hal ini menunjukkan suatu taksonomi
(asas-asas pengelompokan) yang sederhana dan acak karena mengabaikan dinamika
internal dan ketegangan pendukung di dalam suatu peradaban, mengabaikan fakta
bahwa ada peradaban yang terpecah-pecah dan menunjukkan sedikit kesatuan
internal. Contoh: dunia Muslim yang sangat terpecah-pecah sesuai garis-garis
etnik dari orang Arab, Persia, Turki, Pakistan, Kurdi, Berber, Albania, Bosnia,
Afrika, dan Indonesia – masing-masing memiliki pandangan dunia yang
berbeda-beda. Selain itu juga mengabaikan fakta bahwa dalam masyarakat Islam
secara khusus, konflik timbul antara nilai-nilai agama tradisional dan
“modernitas”: nilai-nilai konsumerisme dan dunia hiburan.
Dalam dunia baru ini, konflik-konflik yang paling mudah
menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antar
kelas sosial, antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara
kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik anatara
orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Selama
beberapa tahun mendatang, dunia Barat (western)
dipandang akan tetap sebagai peradaban yang paling berpengaruh. Namun, manakala
dihadapkan pada keberadaan peradaban-peradaban lain, dapat saja mengalami
kemunduran. Hal ini akan menyebabkan pergeseran dari Barat menuju
peradaban-peradaban non-Barat. Dan politik global pun menjadi bersifat
multipolar dan multisivilisasional.
Sebagian orang menyatakan bahwa abad ini menjadi saksi
lahirnya peradaban universal yang mengimplikasikan adanya pandangan umum bahwa
kehadiran suatu budaya senantiasa tidak dapat lepas dari kemanusiaan dan adanya
penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
orientasi-orientasi, perilaku-perilaku dan institusi-institusi oleh umat
manusia diseluruh dunia. Konsep peradaban universal sesungguhnya merupakan
produk Barat (Western) yang merupakan hasil proses panjang modernisasi sejak
abad ke XVIII. Masyarakat modern sangat jauh berbeda dengan apa yang terdapat
dalam masyarakat tradisional baik dalam sikap-sikap, nilai-nilai, pengetahuan
maupun kebudayaannya. Lahirnya sebuah peradaban universal dengan berbagai makna
pentingnya bukan merupakan hasil dari westernisasi masyarakat-masyarakat
non-Barat. Namun sebaliknya, eksplansi Barat mampu menawarkan modernisasi
maupun westernisasi bagi masyarakat-masyarakat non-Barat.
Selama berabad-abad, masyarakat-masyarakat non-Barat merasa iri terhadap
kemajuan-kemajuan yang dicapai Barat dalam bidang ekonomi, teknologi, militer,
dan politik. Mereka berusaha menemukan rahasia keberhasilan tersebut melalui
berbagai institusi dan nilai-nilai Barat. Manakala mereka merasa telah
menemukannya, merekapun mencoba menerapkannya di dalam masyarakat mereka
sendiri. Untuk menjadi kaya dan penuh kekuatan, mereka harus seperti Barat. Hal
ini menyebabkan pergeseran kekuatan di antara berbagai peradaban di mana
peradaban-peradaban Asia memperluas kekuatan kekuatan ekonomi, militer dan
politik mereka. Disaat kebangkitan Asia khususnya Asia Timur menjadi sebab
meningkatnya ekonomi rata-rata yang spektakuler, namun disisi lain kebangkitan
Islam tengah dikobarkan oleh pertumbuhan rata-rata penduduk yang sama-sama
spektakulernya. Dengan demikian, peradaban-peradaban non-Barat secara umum
menegaskan kembali nilai-nilai budaya mereka sendiri.
Seiring dengan bergulirnya arus modernisasi, politik global mengalami
rekonfigurasi di sepanjang lintas batas cultural. Berbagai masyarakat dan
Negara yang memiliki kemiripan kebudayaan saling bergandengan, dan mereka yang
berada di wilayah kebudayaan yang berbeda saling terpisahkan. Dalam dunia baru,
identitas cultural merupakan faktor utama yang membentuk asosiasi-asosiasi dan
antagonisme-antagonisme antar Negara. Ini melahirkan sebuah dunia yang
didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban. Namun, upaya untuk
menggantikan peradaban lain senantiasa tidak berhasil.
Pada saat muncul fenomena politik global, Negara-negara inti dari
peradaban-peradaban besar menjadikan dua (Negara) superpower sebagai
tiang-tiang panjang utama. Perubahan perubahan yang terjadi lebih banyak
berkaitan erat dengan peradaban-peradaban Barat, Ortodoks, dan Tionghoa
(sinic). Dalam hal ini, berbagai pengelompokan sivilisasional yang ada
melibatkan Negara-negara inti sekaligus Negara-negara anggota. Secara cultural,
masing-masing Negara tersebut saling berdampingan, memiliki kemiripan dari segi
populasi minoritas, dan yang kontoversial, terdiri dari berbagai kelompok
masyarakat yang berasal dari kebudayaan-kebudayaan Negara-negara tetangga.
Masing-masing Negara yang berada pada blok-blok sivilisasional ini sering kali
cenderung mengalami perputaran konsertris di sekitar satu atau lebih Negara
inti, yang merefleksikan derajat identifikasi dan pengintegrasian mereka ke
dalam blok-blok tersebut. kurang diakuinya sebuah Negara inti menjadikan
kehadiran islam semakin memiliki arti penting dalam kesadaran umum, sekalipun
hanya berkembang sebagai sebuah permulaan dari suatu tatanan politik. Hal ini
menjadikan Negara-negara saling bertumpu pada peradaban-peradaban mereka
sendiri.
Dalam dunia baru, hubungan-hubungan antara Negara dengan peradaban menjadi
semakin sulit dan tidak jarang menunjukan kecenderungan yang antagonistic. Dan
beberapa hubungan interperadaban lebih mengarah pada konflik dari pada bentuk
hububungan-hubungan lainnya. Pada tingkatan mikro, terdapat garis persinggungan
yang sangat tajam antara umat Islam dengan kaum Ortodoks dan umat Hindu, antara
masyarakat Afrika dengan umat Kristen Barat, tetangga mereka. Pada tingkatan
makro, terdapat pembedaan yang sangat nyata antara Barat dan non-barat. Hal ini
ditandai adanya konflik yang semakin meningkat antara umat Islam dan
masyarakat-masyarakat Asia, di satu pihak dengan Barat di pihak lain. Dimasa
yang akan datang, benturan-benturan yang terjadi tampaknya lebih disebabkan
oleh arogansi Barat, intoleransi umat Islam, dan arogansi Tionghoa.
Peradaban Barat merupakan perdaban besar yang sering kali memicu terjadinya
benturan keras antar peradaban. Hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan Barat
dengan kekuasaan dan kebudayaan dari peradaban lain menjadi karakteristik umum
dari dunia peradaban. Kalangan non-Barat tidak ragu-ragu menunjukan adanya
jurang pemisah antara prinsip Barat dengan kebijakan Barat.
Masyarakat-masyarakat non-barat berusaha membebaskan diri dari dominasi
cultural, militer, dan ekonomi Barat. Dalam hal ini Negara sangat berperan
penting dalam mencegah konflik-konflik yang terjadi.
Peradaban Barat jelas berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang pernah ada,
karena peradaban barat mampu mempengaruhi peradaban-peradaban lain yang pernah
ada sejak 1500 Masehi. Barat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi
yang kemudian menyebar keseluruh dunia dan sebagai hasilnya masyarakat dari
perdaban-peradaban lain berusaha mengikuti jejak barat dalam hal mencapai
kesejahteraan dan modernitas. Namun disisi lain kebudayaan Barat dihadapkan
pada tantangan dari kelompok-kelompok kebudayaan lain yang hidup di
tengah-tengah masyarakat barat itu sendiri. Tantangan yang lebih nyata dan
berbahaya adalah apa yang terjadi pada Amerika Serikat. Secara historis,
identitas nasional Amerika Serikat secara cultural merupakan warisan peradaban
Barat dan secara politis berasal dari prinsip-prinsip Kredo Amerika yang diterima
sepenuhnya oleh masyarakat Amerika yang berupa kebebasan, demokrasi,
individualisme, persamaan dihadapan hukum, konstitualisme dan hak-hak pribadi.
Hal ini menjadikan kelangsungan hidup (peradaban) Barat tergantung pada
penegasan kembali Amerika atas identitas ke-barat-an mereka dan keyakinan
Negara-negara Barat tentang ‘keunikan’ peradaban mereka, bukan peradaban
universal dan persatuan mereka untuk dihadapkan pada tantangan-tantangan yang
datang dari masyarakat-masyarakat non-Barat mempertahankan serta
memperbaruinya.
Sebuah perang yang melibatkan Negara-negara inti dari peradaban-peradaban besar
dunia sebagai suatu hal yang bisa saja terjadi. Perang seperti itu, sebagaimana
telah kita ketahui, berasal dari sebuah garis persinggungan perang di antara
berbagai kelompok yang berasal dari peradaban-peradaban yang berbeda, dan yang
paling sering melibatkan kaum Muslim dengan non-Muslim serta yang lainnya.
Terhindarnya perang global antar peradaban tergantung pada kebijakan dan kerja
sama para pemimpin dunia dalam mempertahankan karakter multisivisasional dari
politik global.
PERGESERAN PERADABAN MENUJU ERA BARU
Huntington menolak kepercayaan luas masyarakat Barat bahwa
nilai-nilai dan sistem politik Barat bisa diterima dan dipraktekkan di manapun
di dunia. Ini kepercayaan yang naïf. Karena itu, upaya pihak barat tak
henti-hentinya mendorong demokratisasi dan terlaksananya norma-norma
“universal” dari mereka yang akan menimbulkan sikap bermusuhan diantara peradaban-peradaban. Bukankah merekalah yang
membentuk sistem internasional, menulis undang-undangnya, dan memberi isinya
dalam bentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Huntington lalu mengidentifikasi suatu pergeseran utama dari
kekuasaan ekonomi, militer, dan politik dari Barat ke peradaban-peradaban dunia
yang lain. Pergeseran utama itu terjadi melalui munculnya dua “peradaban
penantang”: peradaban Sino dan Muslim.
Peradaban Sino di Asia Timur tengah menegaskan diri dan nilai-nilainya
dalam kaitan dengan peradaban Barat. Apa penyebab penegasan diri peradaban
Sino? Pertumbuhan ekonominya yang cepat. Dia percaya tujuan khusus Cina dengan
bertindak demikian adalah untuk menegaskan kembali dirinya sebagai penguasa
regional; negara-negara lain di kawasan itu akan “membutuhkan” Cina. Mengapa?
Sejarah Cina dan negara-negara itu adalah sejarah tentang struktur komando
hierarkis, struktur yang menyiratkan pengaruh ajaran Konfusius (yang menekankan
penguasaan diri, kepatuhan pada hierarki sosial, dan ketertiban sosial dan
politik) di balik peradaban Sino. Struktur ini bertolak belakang dengan
individualisme (kepercayaan akan pentingnya kedudukan seseorang dalam suatu
masyarakat) dan pluralisme yang dinilai tinggi di Barat.
Heterogenitas kultural (culture dominan) berasumsi bahwa
globalisasi kapitalisme konsumer akan mendorong hilangnya keragaman budaya.
Intinya meningkatnya kesamaan budaya akan menghapuskan otonomi budaya akibat
imprealisme cultural. Pesatnya perkembangan sistem kapitalisme di berbagai
belahan dunia telah mengkonstruksi sebuah situasi dimana para pelaku usaha bisa
dengan sangat bebas melakukan inovasi dan pengembangan terhadap usahanya.
Beberapa perusahaan bahkan bisa berkembang hingga menjadi perusahaan yang
sangat besar dan mampu menguasai pangsa pasar usaha mereka di negara tersebut.
Ketika perusahaan-perusahaan tersebut semakin berkembang besar, dan atau muncul
perusahaan kompetitor baru yang juga pesat perkembangannya, perusahaan tersebut
akan “merasa” bahwa tempat mereka berusaha sudah menjadi terlalu “sempit” bagi
perkembangan usaha. Mereka pun akan mencoba mencari pangsa pasar baru dengan
melakukan ekspansi ke negara lain. Jika dalam usaha ekspansi ini banyak pihak
antarnegara yang dilibatkan sehingga menciptakan perdagangan antarnegara, maka
terjadilah perdagangan global.
Pada pihak yang lain,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang sangat
signifikan terhadap cara hidup dan peradaban manusia. Banyak hal telah
ditemukan dan banyak penemuan telah disempurnakan sebagai upaya untuk
mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan yang paling pesat dan paling terasa
dampaknya adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan bidang
ini telah membawa manusia pada sebuah era peradaban baru, dimana segala
persoalan komunikasi dan sharing informasi telah menjadi hal yang tidak terlalu
dirisaukan lagi karena adanya evolusi cara dalam berkomunikasi. Saat ini setiap
orang di dunia dengan mudah berhubungan dengan orang lain walaupun jarak yang
memisahkan mereka sangat jauh. Setiap orang di dunia juga bisa saling terhubung
24 jam dan bisa bertukar ribuan byte informasi dengan hanya memencet
tombol-tombol ataupun berbicara melalui mokrofon. Sebuah informasi yang sama
juga bisa diakses dan diketahui oleh jutaan manusia pada waktu bersamaan tanpa
adanya kesulitan sehingga seakan-akan sudah tidak ada lagi sekat-sekat yang
memisahkan manusia dengan manusia yang lain maka terjadilah globalisasi
informasi.
Secara umum, globalisasi bukanlah sebuah ide yang buruk.
Banyak kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan oleh manusia melalui
globalisasi, mulai dari kemudahan akses informasi dan komunikasi, layanan
perbankan, akses hiburan, dan sebagainya. Selain itu, komunikasi dan
persahabatan antarmanusia antarnegara akan semakin terbentuk dan bisa semakin
memperkuat ikatan yang mengesampingkan perbedaan tersebut. Akan tetapi,
globalisasi ternyata memiliki kecenderungan untuk menciptakan sebuah situasi
dimana suatu budaya yang mengglobal akan mendominasi budaya lokal.
Globalisasi membuka kesempatan bagi penyeragaman
(homogenisasi) budaya yang mengakibatkan produk budaya global mengalahkan
produk budaya lokal. Globalisasi terjadi atas dukungan kemajuan teknologi.
Teknologi sendiri dalam hal ini sebenarnya merupakan sebuah simbol modernitas.
Sampai pada titik ini sebenarnya bisa dipahami mengapa banyak orang lebih suka
menkonsumsi produk globalisasi daripada produk lokal. Sepertinya ada sebuah
identitas yang coba diraih oleh para konsumen tersebut: jika ingin modern, maka
gunakanlah produk-produk hasil dari modernitas. Di sisi lain, karena
globalisasi juga menyebarkan trend-trend populer yang dianggap “gaul” atau
kekinian, perkembangan budaya populer tampaknya juga mempengaruhi perilaku
tersebut.
Jika kita melupakan adanya kecenderungan homogenisasi yang
terjadi pada setiap proses globalisasi, maka bisa saja kita kehilangan apa yang
kita miliki sebagai identitas budaya. Sekilas homogenisasi membuat setiap orang
melupakan segala perbedaannya karena memang ketidakseragaman yang terjadi pada
akhirnya melebur, sehingga menyebabkan seakan semuanya bersatu untuk menjadi
satu indentitas. Namun, jika hal ini kita dukung sepenuhnya, maka kita akan
benar-benar kehilangan identitas sejati kita.
Dalam konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat
akan terpinggirkannya atau hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi
dari produk budaya global. Semua pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari
homogenisasi budaya. Tanpa kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran
budaya global yang mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah
ternyata masih banyak anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan
kalangan anak muda kita justru menjadi pendukung secara langsung maupun tidak
terhadap produk-produk budaya global.
Adanya budaya baru dari barat tidak sepenuhnya akan
menghilangkan budaya lokal. Mengutip ucapan Michel Wivieorka, bahwa ketika “globalisasi
semakin memperdalam cengkeramannya, maka masyarakat berusaha melakukan apa yang
dia sebut sebagai glokalisasi”. Demikian pula yang dikatakan oleh Huntington
dalam bukunya Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia (2002: 12,
8-9): “sebagian masyarakat-masyarakat non barat, berusaha menandingi barat dan
berjuang mengejar ketertinggalan mereka dari barat. Masyarakat-masyarakat non
barat, terutama masyarakat Asia Timur, mengembangkan kekayaan ekonomi mereka
serta menciptakan basis kekuatan militer dan politik. Seiring dengan semakin
meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri, mereka semakin memantapkan
nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak segala “pemaksaan” yang dilakukan
oleh barat terhadap mereka”.
Dalam Bab III juga Huntington, mengatakan bahwa “Lahirnya
sebuah dunia yang didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban,
masyarakat-masyarakat yang memiliki afinitas-afinitas cultural saling bekerja
sama antar satu dengan yang lain, upaya untuk menggantikan peradaban suatu
masyrakat dengan peradaban lain senantiasa tidak berhasil, dan masing-masing
Negara saling bertumpu pada peradaban mereka sendiri”. (Huntington, 2002: 6)
Oleh karena itu, sekalipun ada upaya homogenisasi budaya,
maka akan selalu ada upaya dari masyarakat “lain” sebagai tujuan dari upaya
homogenisasi tersebut untuk melakukan upaya-upaya penolakan. Seperti yang
dilakukan oleh Muhammad Ali Jinnah, Harry Lee dan Solomon Bandaranaike. Mereka
melakukan “pribumisasi-diri” di tengah-tengah masyarakat mereka. Bahkan gerakan
pribumisasi seolah-olah telah menjadi mode di seluruh dunia non barat. Dalam
masyarakat Islam terkenadal dengan gerakan “Re-islamisasi”, di India terdapat
kecenderungan melakukan penolakan terhadap bentuk-bentuk serta nilai-nilai
barat dan telah terjadi “Hinduisasi” dalam kehidupan social politik. Di Asia
timur, kalangan pemerintah menawarkan konfusianisme, para tokoh poltik dan kaum
intelektual berbicara tentang “Asianisasi”.
Berbagai macam upaya penolakan yang dilakukan oleh masyarakat
non-barat terhadap globalisasi, westernisasi maupun modernisasi telah mencapai
bentuk yang sangat beragam. Westoksikasi atau penolakan masyarakat non-barat
adalah sebuah deklarasi independensi cultural dari pengaruh barat, suatu
pernyataan bahwa “kami akan menjadi modern, tetapi akami tidak akan seperti
anda”.(Huntington, 2002:166)
Jadi, homogenisasi budaya atau imprealisme budaya bisa
mempengaruhi masyarakat baik pada pola hidup, pola perilaku, cara makan, selera
makan, cara berpakaian, dan bahkan pemikiran masyarakat, namun upaya-upaya
“westoksikasi” akan terus selalu ada sehingga pluralism budaya tidak akan
hilang begitu saja.
HAKIKAT BENTURAN PERADABAN
Peradaban (hadhârah) secara
bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab
seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah
pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman. Di kalangan Barat, peradaban
diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis,
yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam
bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses
progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan,
keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman.
Di balik pemunculan pemahaman ini
terletak spirit pencerahan Eropa—yang kemudian dikenal dengan renaissance dan
rasa percaya diri terhadap karakter progresif era modern. Istilah ini
kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan,
yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan
kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya.
Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah
tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah
adalah sekumpulan persepsi yang dimanifestsikan dalam perilaku tentang
kehidupan.
Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk
fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek
kehidupan. Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke
dalam dua kategori, yaitu:
1. Yang
berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang
tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang
Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya,
sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
2. Yang tidak
berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan
industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat
universal.
Peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup
(world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’
(ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses
berpikir yang di atasnya dibangun sistem. Ditinjau dari definisi ini, mabda’
menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah
benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda
atau bertolak belakang. Dalam konteks
peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun
Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain
sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh
para pendusta dan pembohong.
BEBERAPA FAKTOR PEMICU BENTURAN PERADABAN ISLAM DAN BARAT
Banyak analisis yang menjelaskan sebab
dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat
ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1.
Faktor agama.
Sejarah
telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian
lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1
abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099
M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M. Pembantaian
kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk
serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang
dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah
juga berlatar belakang agama.
Hingga kini,
‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang
kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran
Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering
Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat
generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan
sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu
ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata "christendom” dan “holy war”
mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah
ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan
dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2.
Faktor ekonomi.
Lenyapnya
institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk
menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan
militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi
‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam. Sebaliknya, jika
Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam
sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak
seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan
uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the
Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara
geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang
strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus
yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan
Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan
dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi
dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari
populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran
Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’,
atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat
ini. Benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak
miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3.
Faktor ideologi.
Desember
2004 lalu, National Intelelligence
Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the
Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun
2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah
Islam—sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap
norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud
dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam
menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus
diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena
potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah
Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas
ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam
seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu
melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang
berbeda. Kelak, Khilafahlah
yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke
seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi
Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai
upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya
Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah
Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali
ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya
penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang
dilakukan di Timur Tengah saat ini.
HUBUNGAN PERADABAN DENGAN NEGARA
Peradaban sangat erat hubungannya
dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan
negara adalah “wadah”-nya. Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan
tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti. Hubungan erat peradaban dengan
eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat
manusia. Tidak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia
ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat
sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada
negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain.
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun
1924 telah melenyapkan "wadah" bagi peradaban Islam Dengan hancurnya
Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat
dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena
Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekulerlah
yang kemudian mendominasi saat ini.
Demikian pula peradaban Islam pada masa
lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang
eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622
M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniah di Turki (1924 M).
Polarisasi budaya dan peradaban dunia telah menimbulkan
pelbagai prasangka dan stereotip yang sering kali menimbulkan konflik.
Pembagian dunia menjadi Timur dan Barat juga menambah rumitnya persoalan tentang
dimana sebenarnya kita berpijak, karena kategori Timur dan Barat ternyata tidak
hanya ditentukan oleh tempat dan letak geografis, tetapi juga oleh pandangan
dunia, aliran politik, peradaban dan kebudayaan yang kita miliki.
MASA DEPAN PERADABAN
Ketika sebuah peradaban baru muncul, maka hal tersebut
artinya merupkan berakhirnya dari sebuah peradaban lama. Akhir dari sebuah
sejarah diartikan pula sebagai akhir dari sebuah peradaban dunia. Peradaban
barat mislanya, peradaban ini merupakan peradaban terbesar pada masanya,
peradaban ini mampu mempengaruhi peradaban lain dalam berbagai hal. Tidak mudah
bagi Barat untuk mencapai puncak kejayaan. Barat harus mengalami masa-masa
sulit dan pasang surut dalam berbagai bidang. Barat mampu menghadapi konflik-konflik
yang melibatkannya, bahkan peradaban barat pernah mengalami masa dimana barat
berada pada ambang kehancuran, namun barat tetap menyelesaikannya dan
melewatinya dengan baik dan tegas, itulah yang membuat barat sebagai peradaban
yang kuat seiring berjalannya waktu. Barat pernah mengalami konflik, dimana
mereka saling berdebat mengenai hakikat dan masa depan barat sendiri yang mendorong barat menjadi
peradaban yang lebih dan lebih kuat lagi dari sebelumknya.
Perang antar peradaban merupakan perang yang meibatkan
negara-negara yang memiliki konflik dimasa lalu dan berkelanjutan sampai saat
ini. Perang antarperadaban sangat berpengaruh terhadap hidup matinya sebuah
peradaban. Perang ini menimbulkan simpati dari suatu negara terhadap negara
lain yang dianggap memiliki persamaan dan kesamaan pedoman hidup serta tujuan
hidup. Misalnya, negara barat yang mebantu bagian dari barat, negara islam yang
membantu negara islam lainnya saat mengalami peperangan, negara Kristen yang
membantu atau mendukung dari belakang negara yang bagian Kristen, daln
sejenisnya. Konflik-konflik yang
terjadi tersebut pada akhirnya membentuk era baru yakni yang disebut dengan
modernisasi. Modernisasi sendiri dianggap sebagai era dimana era ini akan
mensejahterakan peradaban-peradaban di dunia. Era dimana tidak ada
konflik-konflik yang akan menimbulkan perpecahan dalam peradaban, namun
persatuan demi kesejahteraan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Samuel P. Huntington (1996), Benturan Antar Peradaban
dan Masa Depan Politik Dunia, CV. Qalam. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment