Pendahuluan
AGUS
WIDJOYO merupakan salah seorang Purnawirawan Perwira Tinggi dengan pangkat Letnan
Jenderal dan pemikir TNI yang cemerlang. Mantan Kepala Staf Teritorial TNI dan
mantan Wakil Ketua MPR itu terlahir dari keluarga tentara, yang membuatnya paham
betul bagaimana gesture TNI,
khususnya Angkatan Darat. Dalam pandangannya, TNI tumbuh dan berkembang menjadi
kekuatan utama pertahanan sekaligus kekuatan sosial politik yang hingga hari
ini masih diperhitungkan dan sebagian masih merindukan sosok TNI AD menjadi memimpin
di republik ini.
Buku
dengan tebal 738 halaman ini berjudul Transformasi TNI, Dari Pejuang
Kemerdekaan Menuju Tentara Profesional dalam Demokrasi: Pergulatan TNI
Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri. Beberapa tokoh yang terlibat langsung dalam proses reformasi TNI
hadir dalam bedah buku ini di CSIS (Centre for Strategic and International
Studies) pada 28 September 2015,
seperti Presiden RI ke-6, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan
Panglima ABRI (sekarang Panglima TNI) Jenderal (Purn) Wiranto.
Proses Transformasi TNI
Agus
Widjoyo dalam berpendapat bahwa di akhir
abad ke-20, Indonesia memasuki proses demokratisasi yang dinamakannya sebagai
reformasi internal. Proses demokratisasi di Indonesia yang berasal dari sistem
politik otoritarian dengan dukungan peran politik militernya mengandung
implikasi perlunya reformasi militer untuk mereposisi militer dari peran
politiknya. Ada 4 (empat) contoh kasus tentang bagaimana kekuatan militer ikut
campur tangan dalam politik kekuasaan.
Kasus pertama adalah kasus kelompok militer di Turki
(biasa disebut sebagai “Kemalis”)
yang secara rutin mengkudeta pemerintahan sipil hingga berakhir di tahun 1990-an
karena tekanan masyarakat Uni Eropa yang menyaratkan pemerintahan yang demokratis.
Tetapi keinginan militer dan gejolak di
tubuh tentara Turki terus terjadi untuk berkuasa tetap mengendap di benak sebagian
besar tentara Turki hingga tahun 2011. Dan akhirnya hingga hari ini Turki belum
bisa menjadi anggota Uni Eropa. Walaupun alasan tentara yang ingin kembali
berkuasa bukan satu-satunya sebab.
Kasus kedua, adalah Myanmar, jika tidak ada
hambatan berakhir, Myanmar akan mulai lepas dari dominasi tentara dan
digantikan oleh pemerintahan sipil hasil pemilu 2015 yang telah dimenangkan
oleh partainya Aung San Suu Kyi. Hampir
selama lima dekade pemerintahan militer, angkatan bersenjata tetap menjadi lembaga
politik tertinggi. militer masih menguasai tiga kementerian yang krusial yakni
polisi, militer, hubungan perbatasan, dan birokrasi di seluruh negeri. Militer
Myanmar juga memiliki kekuatan untuk melakukan kudeta. Mereka juga memiliki hak
kekuatan darurat khusus yang digunakan untuk menguasai negara dengan alasan
”keamanan nasional” dan ”persatuan nasional”.
Kemudian
kasus ketiga adalah Thailand, negara
dimana kudeta merupakan suatu hal yang biasa, terakhir kudeta yang dilakukan
oleh militer terjadi pada tahun 2014 yang melucuti kekuasaan Perdana Menteri Yingluck Sinawatra, yang merupakan proxy
dari kakaknya, Thaksin Sinawatra yang sebelumnya juga dikudeta oleh militer. Kudeta
yang dilakukan Panglima Militer Thailand, Prayuth Chan-ocha disebut sebagai
tindakan untuk mereformasi struktur politik, ekonomi, dan sosial.
Dan
kasus keempat adalah kaum militer Mesir
yang mengambil alih kekuasaan pasca pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak awal 2011. Militer Mesir menjanjikan sebuah
pemilu yang demokratis, dengan membubarkan parlemen, membekukan konstitusi dan
menyusun konstitusi baru. Selanjutnya, pemilu dilaksanakan dengan Mohammad
Morsi dari Ikhwanul Muslimin terpilih menjadi presiden. Hasil pemilu Mesir tersebut
ternyata menimbulkan instabilitas dalam negeri dan juga kekhawatiran
negara-negara tetangganya, seperti negara-negara Arab yang dalam keadaan status quo dan dalam menghadapi musuh
bersamanya yaitu Israel. Sikap pemerintahan baru Mesir dibawah pimpinan Morsi cenderung
lebih tegas terhadap Israel terkait Palestina dan tentu membahayakan stabilitas
kawasan. Selanjutnya militer Mesir dengan dukungan negara tetangga, khususnya
Arab Saudi, melakukan kudeta yang dibungkus melalui pemilu pada tahun 2014
dengan menjadikan seorang Jenderalnya menjadi Presiden.
Dari 4 (empat) kasus sampel yang
diambil Agus Widjojo di atas terkait peran militer dalam usaha untuk menunjukan
bahwa tidak mudah melaksanakan reformasi militer untuk melepaskan peran politiknya.
Dari analisa empat kasus militer di berbagai negara tersebut diatas, maka
reformasi militer belum bisa dianggap selesai. Reformasi militer belum
memberikan solusi terhadap akar permasalahan yanag dihadapi sebagai akibat
peran politik militer, atau campur tangan politik dalam masalah militer.
Reformasi internal di Indonesia
sebagaimana disebut Agus Widjojo terjadi sejak pengunduran diri presiden
Soeharto pada tahun 1998. Tonggak penting dari reformasi internal TNI adalah
dihapuskannya doktrin Dwifungsi TNI. Implementasi melepaskan peran sosial
politik TNI yaitu melepaskan diri dalam politik partisan kekuasaan (partisan Golkar),
melikuidasi Fraksi TNI-Polri di MPR/DPR (Pusat maupun daerah) serta
menanggalkan doktrin kekaryaan dengan tidak lagi menempatkan prajurit aktif TNI
dalam jabatan sipil.
Reformasi TNI sebagai usaha menjaga
proses demokratisasi bukanlah pada tujuan pada reformasi itu sendiri, tetapi
TNI konsisten menjadi stabilisator dan dinamisator bangsa dan juga mengantar proses
demokrasi sehingga dapat digelar di Indonesia tanpa campur tangan militer.
Kedua ciri ini merupakan sumbangan Indonesia dalam subjek reformasi militer
dalam negara-negara yang mengalami transisi demokrasi (hal. xvi). Bentuk nyata
dari dukungan TNI adalah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil
untuk mengurusi persoalan sosial politik dalam kehidupan kemasyarakatan dan
kenegaraan,
Tahapan Reformasi TNI
Reformasi TNI sebenarnya bukan
merupakan perubahan, namun merupakan pemurnian kembali peran dan kewenangan TNI
sesuai UUD 1945, setelah mengalami penyimpangan oleh adanya UU No. 20/1982
tentang Pokok-pokok Sistem Keamanan Negara. Oleh karena itu, judul buku
‘Transformasi TNI’ diambil untuk mewakili proses dari pembentukan TNI, yang
diawali perannya sebagai pejuang kemerdekaan, selanjutnya berkembang menjadi
tentara yang berpolitik hingga pemurnian kembali kepada khitahnya sesuai dengan
amanat UUD 1945 sebagai tentara professional dalam demokrasi. Hal tersebut
dapat dijelaskan ke dalam beberapa tahapan.
Tahapan
pertama adalah era Presiden Soekarno
berkuasa, TNI yang baru dibentuk terdiri dari eks PETA, eks KNIL dan eks laskar
pejuang yang digabung menjadi entitas TNI. Karena proses tersebut, TNI merasa
sebagai bagian komponen bangsa yang ikut mendirikan negara cenderung sarat
dengan keinginan berpolitik. Dan dikemudian hari, khususnya TNI-AD menempatkan
dirinya sebagai kekuatan politik. Hal tersebut dibuktikan dengan sering berbeda
pandangan terkait dalam beberapa hal dengan Presiden Soekarno. Presiden
Soekarno adalah tokoh sipil pertama yang mengajak masuk militer dalam kehidupan
politik, dengan konsep negara kekeluargaan, di mana militer sebagai salah satu
elemen negara berhak dimasukkan sebagai kelompok kekaryaan, Semakin sedikit TNI
terlibat dalam pengambilan keputusan politik di luar fungsi pertahanan dan
keamanan nasional, dalam masa transisi demokrasi, maka semakin besar
konstribusi TNI bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Tahapan
kedua, pada era Presiden Soeharto, TNI diberi keleluasaan untuk melanjutkan
peran politiknya dalam mengimplementasikan doktrin “dwifungsi”. Berbeda dengan
dengan posisi TNI era Presiden Soekarno, yang mencirikan TNI mempunyai
kebebasan pandangan politik. Pada era Presiden Soeharto telah melakukan kendali
sipil subyektif atas TNI, yaitu menggunakan peran serta TNI sebagai alat untuk
memberikan dukungan politik bagi kekuasaannya. Semakin berkembangnya negara
Orde Baru dicirikan dengan intensifikasi doktrin Dwifungsi dan dikukuhkan
secara konstitusional melalui beleid UU
No. 20/1982 tentang Pokok-Pokok Sistem Pertahanan Keamanan Negara.
Tahapan
ketiga, pada tahun 1998, era dimana Presiden Soeharto berakhir, peran TNI
dikembalikan menjadi pertahanan yang tidak lagi mempunyai peran sosial politik
dan mengakhiri doktrin Dwifungsi yang telah menggaransi kekuasaan Presiden
Soeharto selama “3 (tiga) decade”.
Sebagai bukti nyata dari tekad dan keinginan yang kuat, TNI kembali dalam
perannya sesuai dengan UUD 1945, yaitu pertahanan nasional.
Menurut pandangan idealnya,
pembangunan politik, ekonomi dan sosial harus dibarengi dengan modernisasi
pertahanan termasuk industri pertahanan negara, militer Indonesia tidak pernah
melakukan kudeta, namun masuknya militer dalam wilayah politik kenegaraan
disebabkan oleh ketidakmampuan kalangan sipil dalam mengelola negara.
Terkait
problematika hubungan TNI dan Polri dalam menjalankan peran pertahanan dan
keamanan negara selama ini, dijelaskannya bahwa Tentara tidak bisa jadi aparat penegak hukum.
Ancaman dalam negeri itu ancaman hukum. Kalau dari luar itu ancaman kedaulatan.
sejak hari pertama direkrut, prajurit
TNI tidak didesain untuk menjadi penegak hukum. Mereka segera dilatih fisik dan
menembak untuk membunuh musuh. Hal ini terkait tugas utamanya, yaitu
mempertahankan kedaulatan bangsa dari serangan militer yang hendak mengancam
RI.
Penutup
Buku ini bukan sebuah buku memoir maupun biografi, namun gagasan
pemikiran yang ditulis oleh prajurit TNI berdasarkan pengalaman panjangnya
dalam berkarir militer di TNI. Buku ini menguraikan perkembangan pemikiran
gagasan tentang reformasi TNI dan disajikan untuk memberi pemahaman konseptual
tentang reformasi TNI. Misalnya hubungan sipil-militer yang dimunculkan dalam
tahap awal reformasi diletakkan dalam paradigma keseimbangan hubungan sipil-militer
yang proporsional dan fungsional berdasarkan kesepakatan bangsa yang belum
tajam mencerminkan konsisten dengan konsep supremasi sipil. Hal tersebut dicirikan
bahwa sebagai tentara pejuang kemerdekaan menjadi tentara profesional dalam
lingkungan sistem politik demokratis.
Reformasi TNI merupakan keniscayaan yang harus dilalui oleh
bangsa ini yang telah bergerak maju menuju Negara yang demokratik. Dan bagi TNI
tak ada pilihan mundur karena itu melawan arus dan tentu melawan takdirnya
sendiri. Pandangan Agus Widjoyo ini
dianggap memang mewakili perspektif TNI yang berbeda jauh dengan pertumbuhan
negara-negara otoritarian menuju negara yang demokratik. Tentu tidak salah jika
Polri bisa memetik pelajaran dari transformasi TNI, agar Polri juga bisa
dipandang sebagai bagian komponen penting bangsa dalam usaha menjaga proses pembangunan
negara demokratik, Republik Indonesia.
Book Review;
TRANSFORMASI TNI; Dari Pejuang Kemederkaan Menuju Tentara
Profesional dalam Demokrasi: Pergulatan TNI Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri, oleh Letjen. TNI (P) Agus Widjojo, MPA -
Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2015, xxxviii, 738 hlm; 15,5 x 23 cm, ISBN: 978 979-1056-64-9.
No comments:
Post a Comment