PEMOLISIAN PADA ERA DIGITAL
Oleh;
Eko SUDARTO[1]
Masyarakat online
“Do
we want to police in the future the way we are policing today? I don’t think
so. How did we get to where we are today? We looked; we listened; we learned;
we changed; we grew with the times. That’s our job as leaders today.” (Jim
Fox, Chief Newport News, Virginia, Police Department)
Pernyataan Jim Fox
mengindikasikan bahwa kepolisian tidak bisa bekerja statis (monoton), namun selalu
berkembang menyesuaikan waktu dan tuntutan perubahan yang terjadi pada masyarakatnya
(equilibrium dynamic).
Masyarakat di seluruh muka bumi
dewasa ini mengalami adanya peningkatan “migrasi” dari “second place”
menuju wilayah baru yang dinamakan “third space” (ruang ketiga).
Manifestasinya adalah akibat terjadinya perkembangan teknologi informasi, maka
terciptalah apa yang disebut sebagai ruang online, dari masyarakat fisik
(nyata/real) menjadi masyarakat virtual (cyber/maya). Populasi migrasi
ini membentuk komunitas yang dinamakan virtual villages (desa-desa maya),
cities virtual (kota-kota maya) dan kelompok-kelompok dunia maya lainnya.
Secara online ruang non-game
seperti e-buy (pembelian elektronik), activity world (Dunia
aktivitas) dan second life (kehidupan Kedua), misalnya, sengaja
memanfaatkan wacana masyarakat dalam upaya untuk menciptakan ruang komunal dan
tanggung jawab bersama di antara mereka, pengguna internet (netizenship).
Sementara mayoritas warga internet lain mencari alternatif untuk berpartisipasi
secara online. Kegemaran ini mengakibatkan masalah serius berupa penyimpangan
/ kejahatan cyber. Sehingga komunitas online berupaya mengembangkan kontrol dan
regulasi pada komunitas mereka sendiri, hal ini perlu campur tangan pemerintah.
Tulisan ini membahas bagaimana
peran pemerintah, terutama kepolisian dalam mengontrol dunia virtual pada ruang
sosial online (hubungan) guna mempertahankan “virtual community”
(masyarakat dunia maya) tetap teratur dan tertib pada kaidah hukum yang real
(nyata).
Teknologi, cybercrime dan
ketidakteraturan jaringan
Menurut Poerbahawadja Harahap, pengertian teknologi adalah: 1) Ilmu yang
menyelidiki cara- cara kerja di dalam tehnik; 2). Ilmu pengetahuan yang
digunakan dalam pabrik-pabrik dan industri-industri. Sehingga teknologi
merupakan sesuatu cipta karya manusia yang disesuaikan dengan lingkungan.
Demikian halnya dengan teknologi vitural sebagaimana pandangan Lawrence Lessig (1999) bahwa teknologi
internet bisa dikontrol atau diatur, sebaliknya pandangan tentang “realisme digital” mengakui kapasitas yang
mengganggu teknologi dalam dunia maya. Ruang Maya memiliki pengertian yang
lebih luas daripada internet. Meskipun demikian Lessig mengakui bahwa tidak ada garis tegas yang membedakan ruang
maya dengan internet.
Lessig
(1999) menemukan benang merah yang menghubungkan semua karakteristik internet dengan
kode atau arsitektur yang digunakan untuk mengontrol efektifitas teknologi
sebagai regulator. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan dalam beberapa cara,
yaitu pertama, teknologi dapat
mengganggu tindakan manusia, memaksa individu untuk menegosiasikan kembali
jalur dan tujuan; kedua, teknologi,
kode atau arsitektur ditempa; itu mudah dibentuk oleh aktor yang memiliki akses
ke kontrol; ketiga, cara di mana teknologi
memaksakan kendala pada bagaimana orang bisa berperilaku lebih meresap dan
langsung dari modus ke lain regulasi; keempat,
teknologi lebih mudah dan cepat adaptif dari hukum, norma-norma atau pasar terhadap
ancaman cyber kriminal, yang
memungkinkan untuk mengontrol perilaku baik pidana dan sub-kriminal; kelima, perubahan sistem arsitektur hukum
menggabungkan pendekatan pencegahan, hal ini jauh lebih efektif untuk mencegah
pelanggaran secara online sebagai lawan reaktif mengidentifikasi dan menangkap
pelaku.
Meningkatkan perhatian media telah mengangkat cyber crime dalam kesadaran public.
Kejahatan pedofilia secara online, cyber terorism, pencurian
identitas, penipuan online, infeksi
malware, spam, serangan penolakan layanan, hacktivism dan kejahatan rasial secara online telah mengubah
Internet menjadi 'tempat yang berbahaya' yang sering disalahartikan sebagai sesuatu
yang penuh dengan risiko.
Hukum
dan Pemolisian
Penggunaan hukum melalui penerbitan undang undang ITE[2] adalah sebagai upaya
pemerintahan dalam melakukan kontrol maupun pengawasan terhadap komunitas
online. Sementara hukum pada umumnya lambat untuk menuntut pelaku cyber yang telah melakukan kejahatan.
Masalah hukum yang timbul cenderung lebih berhubungan dengan penerapan prosedur
hukum dari hukum sub-stantif itu sendiri.
Namun hukum hanya melayani suatu tujuan sampai titik
tertentu. Sebuah karakteristik umum dari banyak kejahatan di dunia maya adalah
bahwa; 1) kejahatan ini menyebabkan dampak kerugian yang rendah; 2). Korban
kejahatan bersifat massal, sehingga jika diakumulasikan maka kerugian besar;
3). Kejahatan ini tersebar secara global; 4). Kejahatan initidak mengenal batas
yuridiksi hukum. Akibatnya, mereka yang berada diluar paradigma tradisional menjadi
terkena dampak (populasi risiko).
Kepolisian lokal dalam penanganan terhadap kasus ini
mengalami kendala sumber daya yang terbatas, hal ini sering sulit untuk
membenarkan kriteria 'kepentingan umum' yang akan melepaskan sumber daya polisi
untuk penyelidikan individu korban kejahatan cyber crime.
Tantangan selanjutnya adalah masalah kesenjangan hukum
dalam kasus-kasus antar yurisdiksi. Protokol, termasuk Cybercrime Convention dan pembentukan kemitraan multi lembaga dan forum,
membantu dalam memfasilitasi kerjasama internasional, tetapi mereka bergantung
pada pelanggaran atau kejahatan tersebut diberikan prioritas yang sama di
setiap yurisdiksi. Jika, misalnya, kasus ini jelas tindak pidana yang
investigasi membawa mandat yang kuat dari masyarakat, seperti penyelidikan
pornografi online anak, maka sumber
daya penyelidikan biasanya cukup bermasalah dari sudut polisi pandang. Namun, apabila
tidak ada mandat tersirat, seperti dengan pelanggaran selain pornografi anak,
kemudian sumber daya menjadi lebih bermasalah, terutama jika perilaku
menyimpang tersebut merupakan pelanggaran dalam suatu yurisdiksi tetapi tidak sama.
Peran
Polisi
Meskipun kepolisian dan posisi konstitusionalnya telah
berubah sejak dilakukan pembentukan, namun prinsip-prinsip dasar kepolisian
tetap dipertahankan sebagai ritual untuk penyesuaian dengan modernitas. Kepolisian
lokal (setempat) merupakan birokratis responsif yang diselenggarakan untuk mempertahankan
ketertiban dan menegakkan hukum, bertugas melakukan indentifikasi di tengan
masyarakat, profesional dalam melakukan tugas pokoknya, bertanggung jawab
kepada hukum dan masyarakat atas tindakan mereka. Namun, meningkatnya
penggunaan internet dan dunia maya, telah menciptakan dampak transformatif
global yang turut menciptakan berbagai tantangan yang sama sekali baru untuk kepolisian
lokal. Batas-batas yuridiksi atas domain keamanan menjadi pertanyaan dan bisa
sebenarnya meminggirkan peran kepolisian lokal.
Tidak hanya konsep cybercrime
mengakibatkan masalah bagi polisi lokal karena menyinggung terkait internet berlangsung dalam konteks
global sedangkan kejahatan nasional cenderung didefinisikan dengan tindakan
investigasi oleh kepolisian lokal, namun kepolisian (cyber police) juga memiliki urusan kompleks dengan sifat dari
kepolisian dan keamanan. Peran polisi harus dipahami dalam arsitektur yang
lebih luas dan sebagian besar informal cyber
police tidak hanya memberlakukan norma dan hukum tetapi juga mempertahankan
agar cara yang sangat berbeda.
Memahami posisi ini memungkinkan harapan yang lebih
realistis dan pemahaman tentang peran kepolisian. Hal ini juga membantu untuk
mengidentifikasi lebih luas isu-isu lintas yurisdiksi dan lintas sektoral bahwa
polisi harus hadir untuk untuk berpartisipasi penuh dalam cyber police, dengan merangkul kedua konsep jaringan dan teknologi.
Jaringan tumbuh dari sumber keamanan (yang mencakup polisi sebagai node) selama
beberapa dekade terakhir telah muncul sebagai salah satu bagian dari pergeseran
ke arah masyarakat jaringan. Transformasi baru perlu dilakukan dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan legitimasi struktur kepolisian (cyber police), definisi hukum melintasi
batas-batas, diterima secara luas kerangka akuntabilitas kepada publik,
nilai-nilai bersama, multi lembaga dan dialog lintas sektoral, dan banyak lagi.
Peran yang terbatas saat ini bagi polisi terutama dalam
kaitannya dengan rendahnya tingkat jaminan keamanan secara online kepada masyarakat,
berarti diperlukan regulasi bagi pemeliharaan keamanan untuk penegakan hukum.
Partisipasi
semua pihak
Perilaku sosial online
pada masyarakat dunia dewasa ini telah menjadi suatu kebutuhan yang semakin
kompleks. Ketika kita memasuki era informasi yang cepat dan tepat, secara online masyarakat tidak lagi hanya
melarikan diri dari tanggung jawab kehidupan pertama (pribadi), namun eksistensi
mereka menjadi lebih berarti di rentang yang lebih luas pada dimensi ruang dan
waktu. Mereka telah menjadi komunitas “third
space” (ruang ketiga-virtual)
untuk “kehidupan kedua” (sosial geografi), tapi ruang tersebut sangat terhubung
dengan kehidupan fisik mereka.
Bukti nyata transformasi ini ada pada diri kita dan sekitarnya,
jutaan manusia berpartisipasi dalam komunitas online yang menarik, online membentuk tingkah laku konsumen,
hubungan emosional semakin sering ditempa secara online sebelum benar-benar bertemu di dunia nyata, bekerja di rumah
menjadi lebih sering dilakukan, hubungan online
dengan pemerintah berkaitan dengan berbagai masalah, seperti pajak; nasihat;
berbagai bentuk pendaftaran dan berbagi informasi menjadi hal yang biasa
dilakukan secara online. Namun,
perilaku online yang menimbulkan kejahatan perlu menjadi perhatian pemerintah,
khususnya mekanisme kontrol dan pengawasan.
Dengan pemisahan tugas cyber
police antara fungsi pemeliharaan ketertiban dan penegakan hukum, maka bisa
dibuat sebagai masalah hukum yang kurangnya sumber daya teknologi, baik fungsi kontrol
maupun pengawasan. Karenanya diperlukan adanya partisipasi semua pihak,
terutama komunitas online untuk aktif
membangun bentuk perpolisian masyarakat online (e-policing) melalui
pemeliharaan norma teknologi jaringan untuk memfasilitasi fungsi kontrol sosial
dan pengawasan. Sementara pemerintah harus terus berupaya mediasi setiap permasalahan
hukum cyber yang timbul dari nasional atau perbedaan hukum yurisdiksi dalam
definisi.
References
AP Edy
Atmojo (2013); Kedaulatan Negara di ruang maya; kritik UU ITE dalam pemikiran
Satjipto Rahardjo.
Brenner,
S. (2001) ‘Is There Such a Thing as “Virtual Crime”? California Criminal Law
Review 4(1): http://www.boalt.org/CCLR/v4/v4brenner.htm
DAVID S. WALL AND
MATTHEW WILLIAMS, Policing diversity in
the digital age: Maintaining order in virtual communities
[1]
Mahasiswa S3, KIK-STIK PTIK Angkatan 1, Penugasan tentang Pemolisian pada Era
Digital, tanggal 14 Januari 2016.
[2]
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang
nomor 11 tahun 2008, adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi
elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi
yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di
luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.
No comments:
Post a Comment