Menjadi Manusia
Belajar Dari Aristoteles
By Franz Magnis
Suseno (Filsafat Book Review)
Pengantar
Tulisan ini merupakan book review dari
buku yang berjudul “Menjadi Manusia
Belajar dari Aristoteles”, karya Franz
Magnis Suseso terbitan tahun 2009. Pandangan saya terhadap judul buku
tersebut adalah bagaimana kita menjadi manusia pembelajar sesuai ajaran
Aristoteles.
Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak
merupakan cita-cita kita semua, manusia. Di kiri kanan kita jumpai manusia yang
bengkok, miring, berat sebelah, aneh, setengah lumpuh. Dan tidak utuh. Lebih
mengkhawatirkan lagi, kita terancam oleh kemiringan itu, bahwa kita sendiri
sering lumpuh secara fisik atau jiwani, bahwa hidup kita jauh dibawah
kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terbuka bagi kita. Kita tidak utuh.
Aristoteles[1], disamping Platon
filosof Yunani paling besar, persis menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh.
Selama sekitar seribu tahun Aristoteles
agak dilupakan. Ditemukan kembali oleh para filosof Islam, terutama Ibn Rushd (1126-1198), yang dijuluki
sebagai “Sang Bijak” dari Cordova.
Dari Ibn Rushd, Aristoteles
diperkenalkan ke Eropa pada abad pertengahan di mana Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikan dasar system filosofisnya.
Maka sejak itu Aristoteles dikenal
sebagai seorang “filosof”.
Tujuan manusia
Etika Nikomacheia yang terkenal dimulai
dengan kalimat,”Setiap ketrampilan adalah ajaran, begitu pula tindakan dan
keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai”. Apabila manusia melakukan
sesuatu, ia selalu melakukannya karena suatu tujuan, yaitu sebuah nilai. Apabila
manusia mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah;
Apakah tujuan manusia?
Setiap tindakan yang mengarah ke
pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menjunjang
tercapainya tujuan manusia, itu tidak masuk akal. Itulah prinsip etika Aristoteles dan karena itu, etika Aristoteles masuk akal. Pendekatan Aristoteles moralitas yang diajarkan
tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kita akan melihat dengan lebih
baik ajaran agama apabila memahami pertimbangan Aristoteles. Ia selalu menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk
yang berfikir dapat mengetahui bagaimana ia seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang
tujuan manusia secara analitis melalui langkah-langkah logis yang bertolak dari
sebuah fakta; bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukannya demi
sebuah tujuan.
Ada dua macam tujuan manusia, yaitu tujuan
sementara dan tujuan akhir. Tujuan
sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Sedangkan tujuan terakhir
mestinya sesuatu yang jika tercapai maka tidak ada lagi minat untuk
menggapainya, atau mencarinya. Apakah tujuan akhir itu? Aristoteles menjawab
tegas; KEBAHAGIAAN!
Jawaban Aristoteles diatas sangat masuk
akal, karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia. Kita
semua menginginkan kebahagiaan, sehingga apapun tujuan manusia apabila tidak
tercapai, maka akan tidak membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut,
kita dituntut memiliki moral, yang bertujuan mengantar manusia menuju tujuan
kebahagiaan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan;
pertama, Kebahagiaan
sebagai tujuan tujuan terakhir manusia, tidak perlu dipertentangkan dengan
tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Agama justru menegaskan bahwa tujuan
akhir itu menghasilkan kebahagiaan, yaitu syurga atau nirwana. Hal ini selaras
dengan pandangan Aristoteles, bahwa tuijuan akhir manusia adalah kebahagiaan,
karena menurut Agama manapun, penghormatan (pemujaan) terhadap Tuhan adalah
merupakan kebahagiaan tertinggi bagi manusia.
Kedua, kalua kebahagiaan
merupakan tujuan akhir manusia, maka menjadi semakin jelas bahwa beberapa hal
yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup dianggap tidak memadai lagi.
Aristoteles menyebut 2 (dua) tujuan hidup yang salah, yaitu money (uang) dan fame (ketersohoran[2]).
Ketiga, perlu diperhatikan
bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagiaan itu bukan semacam
sasaran yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah sesuatu yang lebih
bersifat “diberikan” daripada “direbut”. Kita akan menerima kebahagiaan,
apabila kita menjalani hidup yang menunjang kebahagiaan tersebut. Jadi, hidup
macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?
Mencari nikmat
sebanyak-banyaknya?
Mencari nikmat jasmani dan menghindari
perasaan sakit adalah apa yang kita miliki bersama dengan binatang, jadi bukan
khas manusia. Berfokus pada kecenderungan alami ini akan menggagalkan kita
dalam usaha menjadi manusia utuh.
Filosof Aristoteles menjelaskan, hanya
orang yang mampu menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Yang harus kita
kendalikan adalah kelakuan (hawa nafsu) yang bisa menghasilkan kebahagiaan.
Nah, kelakuan manakah itu? Salah satu jawaban yang berulang kali diberikan dalam filsafat dilontarkan oleh Epikuros [3](341-270), adalah sederhana
dan sepintas sangat masuk diakal, yaitu; ‘kalau ingin bahagia, hindari perasaan
sakit dan usahakan rasa nikmat”.
Aristoteles ternyata serta merta menolak
hedonism. Etika Nikomacheia menyebutkan 3 (tiga) pola hidup yang membawa
kepuasan dalam dirinya sendiri; hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan
berfilsafat. Namun yang pertama langsung disebutnya sebagai “pola hidup
ternak”. Binatang melakukan apapun
semata-mata demi pencapaian nikamt (misalnya makan dan seksualitas).
Filsafat dan
politik
“Bagi orang yang benar-benar jujur,
bertindak jujur tidak berat. Ia tidak akan bohong untuk menyembunyikan sesuatu.
Ia tidak menipu, dan sendirinya akan menolakterlibat dalam korupsi, karena ia
seorang pribadi yang kuat. Sedangkan bagi orang yang tidak jujur, bertindak
jujur selalu susah dan biasanya mengalah terhadap godaan dan akhirnya bertindak
curang”. (Welcome to politics for you).
Kita sudah melihat jawaban
Aristoteles, ada tiga cara hidup yang
bisa menjadi tujuan, yaitu; hidup mengejar nikmat, filsafat dan politik.
Pilihan pertama ditolak Aristoteles, tinggal pada pilihan filsafat dan politik.
Dalam tulisan Etika Nikomacheia, politik yang dimaksud oleh Aristoteles adalah
berpolitik dalam negara kota Yunani (Polis), dimana orang masih dapat saling
mengenal.
Berapa banyak manusia sempat berfilsafat
dan berpolitik? Bahkan di negara demokratis kebanyakan warga negara berpolitik
hanya dengan mengikuti pemilihan umum beberapa tahun sekali. Tentang filsafat,
yaitu suatu kegiatanyang ber”theoria”. Dalam Yunani, theoria berarti
“memandang”, merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang berubah,
realitas illahi. Sehingga, manusia mengarahkan dirinya kepada realitas yang
abadi. Dengan cara ini, manusia memperoleh Sophia (kebijaksanaan.
Aristoteles menjelaskan mengapa orang
berbagagia dengan berfilsafat. Dengan berfilsafat, manusai mengangkat rohnya
kea lam yang berbeda, melampaui batas-batas fisik jasmaninya. Melampaui dimensi
ruang dan waktu. Namun seiring dengan munculnya filsafat timur, seperti Zoroaster,
India, Budhisme, Tionghoa, Spekulasi Mistik Jawa dan munculnya agama monoteisme
(Yahudi, Kristen, Islam), maka kesatuan ini terpecah. Renungan filosofis
tentang Illahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup manusia
pada wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Dan terlebih lagi, monoteisme membuka
perspektif yang sama sekali baru, dengan penegasan bahwa “hidup tidak selesai
dengan kematian”, melainkan pencapaian eksistensi yang tetap setelah kematian,
entah di syurga atau neraka. Penegasan Aristoteles bahwa berfilsafat merupakan kegiatan tertinggi bisa diartikan
sebagai penegasan bahwa kita harus hidup dengan sadar, dengan rasio masuk akal,
kritis, reflektif, dialogis, dan dalam diskursus. Sikap ini menuntut
keterbukaan, keinginan untuk belajar terus, dan tak pernah berhenti ingin tahu,
sikap kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus
dengan semua yang terlibat, dan sikap rendah hati, karena seorang “filosof”
selalu akan tahu bahwa banyak sekali yang belum dipahami.
Aristoteles memikirkan polis, negara kota
khas Yunani. Dalam polis, setiap warga negara ikut mengurus masyarakat.karena
itu dalam polis, kegiatan politik memang terbuka bagi setiap warga negara. Bagi
laki-laki Yunani, terjun dalam pengurusan Polis, menjadi puncak cita-citanya
untuk menjadi manusia terhormat. Berpolitik merupakan puncak kesosialan manusia
(zoon politikon). Maka secara harfiah, arti berpolitik adalah keterlibatan
penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi-dimensi yang terbuka
baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun. Mereka yang tidak
langsung berpolitik tetap diharapkan memperhatikan apa yang terjadi di dalam
masyarakat, itupun deng penuh rasa tanggung jawab.
Kita dapat merangkum, bahwa manusia menjadi
bahagia dengan mengembangkan diri, dengan membuat nyata kemampuan dan
bakatnya. Pengembangan diri melalui
pendidikan yang bermutu merupakan tujuan penting dalam persiapan menghadapi
tantangan nyata. Tentu saja tidak
ringan, namun yang terpenting adalah bahwa kita tidak bisa berkembang dengan
hanya memandang, merenungkan, dan merefleksikan diri (walau kadang perlu),
melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam situasi
tertentu diharapkan dari kita.
Kebijaksanaan dan
rasionalitas
Aristoteles menegaskan bahwa manusia yang
mau menjadi utuh, mantap dalam dirinya dan mengalami kehidupannya sebagai
bermakna harus mengembangkan keutamaan intelektual dan etis. Orang yang
mempunyai keutamaan menjadi manusia yang berbudi luhur. Aristoteles membedakan
keutamaan menjadi dua macam, yaitu keutamaan dalam berfikir dan keutamaan dalam
bertindak.
Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat
penting bagi kita. Kalua kita “bijaksana”, kita menjadi biasa bertindak dengan
tepat dalam berbagai macam situasi. Phronesis (rasa dalam Bahasa Jawa) tahu
bagaimana harus membawa diri dan bagaimana menghadapi orang lain. Phronesis (Rasa) tumbuh berkembang
melalui pengalaman dan lebih penting dari sekedar episteme (ketajaman pengetahuan ilmiah). Meskipun diperlukan
pengetahuan episteme untuk pemecahan masalah-masalah spesifik dan detail
profesi, namun Phronesis membawa manusia untuk lebih pandai dan benar dalam
membawa diri melalui kemampuan bertindak maupun komunikasi yang tepat dan etis.
Manusia utama
Kebijaksanaan (Phronesis) merupakan semacam wawasan intelektual yang akan berguna
apabila didukung oleh keutamaan etis. Hanya orang yang mantap dalam bertindak
secara etis akan tetap bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang
tidak tertanam dalam kepribadian etis, lama kelamaan akan merosot menjadi
kepintaran dan oportunisme belaka. Tetapi kepintaran saja tidak cukup untuk
mendukung terwujudnya kepribadian yang mantap, kuat dan dapat diandalkan. Ketertanaman
sikap etis dalam kepribadian seseorang itulah yang dimaksud oleh Aristoteles
dengan keutamaan.
Manusia utama mesti mantap dan gembira
karena baginya bertindak secara etis menjadi gampang dan sebaliknya, bertindak
dengan tidak etis justru susah dan menyengsarakannya. Kita bisa mengambil contoh
masalah kejujuran. Orang yang betul-betul jujur, bertindak jujur merupakan
sesuatu yang ringan dan tidak berat. Demikian sebaliknya.
Contoh kejujuran diatas memperlihatkan
mengapa Aristoteles menghubungkan kehidupan bermoral dengan rasa nikmat-gembira
dan rasa sedih-sakit. Menjadi orang berkeutamaan berarti belajar merasa gembira
apabila ia bertindak sesuai dengan keutamaan etis, dan merasa sedih atau resah
apabila bertindak tidak etis. Tapi bagaimana kita memperoleh keutamaan? Aristoteles
menegaskan bahwa keutamaan bukan suatu nafsu maupun sudah bakat alami,
melainkan sesuatu yang harus kita pelajari.
Bagaimana mempelajari keutamaan? Aristoteles
menjawab; melalui kebiasaan. Orang yang ingin mengembangkan keutamaan harus
membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu. Makin lama berusaha,
maka akan semakin mudah keutamaan tersebut dilakukan. Hingga akhirnya bertindak
menurut keutamaan itu akan menjadi kodratnya. Pembiasaan untuk bertindak jujur,
adil, menepati janji, tidak berkeras hati dan berbagai jenis keutamaan lain
juga didukung oleh pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal. Tentu,
pendidikan adalah lebih daripada semacam pengkondisian, tetapi pembiasaan,
belajar melakukan sesuatu secara rutin, gampang dan seakan-akan dengan
sendirinya (otomatis) merupakan unsur penting dalam pembangunan karakter.
Dalam kaitan itu, Aristoteles menegaskan
suatu yang sampai hari ini masih kontroversial, yaitu tanggung jawab atas
perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas perkembangan kita menjadi manusia
seutuhnya. Dari sini, kita dituntut untuk belajar bahwa kita harus mengetahui
diri kita sendiri untuk lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan. Justru kelemahan
itulah yang harus dilawan. Seperti misalnya sifat kikir, harus belajar untuk
bermurah hati, dan sebagainya.
Persahabatan
Manusia mencapai puncak keutamaan dalam
persahabatan sejati. Persahabatan sejati bukan kebahagiaan diri sendiri,
melainkan kebahagiaan sahabatlah yang membuat kita bahagia. Persahabatan
termasuk hal yang sangat perlu dan penting dalam kehidupan manusia.
Persahabatan dalam arti sebenarnya adalah persahabatan antara dua manusia yang
saling mencintai. Aristoteles menuliskan dengan indah, bahwa keutamaan diantara
para sahabat adalah “cinta”. Persahabatan dua insan (pria dan wanita), bukan
semata-mata demi kelangsungan keturunan, namun demi persatuan hidup kedua orang
tersebut.
Aristoteles menegaskan bahwa manusia tidak
mungkin bahagia sendirian, namun perlu sahabat untuk kebersamaan dan berkomunikasi
untuk menemukan hakekat “diri sendiri’ melalui cinta. Cinta itu yang nampaknya
membuat kita terikat, namun justru membebaskan kita dari keterikatan pada diri
sendiri, sehingga dengan demikian kita justru semakin menjadi diri sendiri.
Hidup yang bermutu
Disini Aristoteles memberi pesan penting,
bahwa manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya
sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Sekali lagi,
manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan memiliki
sesuatu, melainkan mengerahkan diri pada usaha bersama bagi sahabat, lingkungan
dan masyarakatnya. Adalah lebih luhur mati demi sahabat daripada hidup tetapi
meninggalkannya. (Reviewed
by Eko SUDARTO)
[1]
Aristoteles (384 SM – 322 SM). Ia dilahirkan di Stagyra.
Pada tahun 335 mendirikan perguruan lykaion. Membuat buku-buku di Athena yang
salah satunya sangat terkenal berjudul Etika Nikomancheia, yang memuat filsafat
moral.
[2]
Kalau ketersohorannya itu karena mutu dan prestasinya, maka mutu dan
prestasinya itu yang perlu diusahakan, bukan keinginannya untuk tersohor.
[3] Yang
mengemukakan hedonisme (Yunani; hedone berarti
nikmat kegembiraan) adalah kaum sofis, suatu aliran filsafat yunani kuno,
sebelum Platon, John Stuart Mill (abad ke 19) dan Moritz Schlick (abad ke-20)
mempertahankan hedonisme.
No comments:
Post a Comment