High Context and Low Context communication
(Komunikasi
Pada Fungsi Reserse dan Pada Fungsi Intelijen)
Oleh; Eko
SUDARTO
Pendahuluan
Pada tulisan berikut ini ditujukkan
perbedaan komunikasi yang bersifat high
context dan low context pada 2
(dua) fungsi di lingkungan operasional Polri, yaitu Fungsi Reserse dan Fungsi
Intelijen. Ketika berlangsung suatu proses komunikasi, maka pada saat itu baik “komunikator”
(orang yang berbicara) maupun “komunikan” (orang yang diajak bicara), sangat
diperngaruhi pula oleh kebiasaan (habitual)
yang dimiliki sebagai latar belakang. Secara umum bahwa mereka tidak
memiliki kebiasaan yang sama karena dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan
pekerjaannya. Ketika itulah manusia berkomunikasi melintasi kebiasaan yang
berbeda, sehingga komunikasi antara personil kedua fungsi tersebut bisa
dikatakan sebagai bagian dari proses terbentuknya kebiasaan atau budaya
kepolisian.
Pentingnya memahami latar belakang (profesi
kebiasaan) seseorang, disamping akan mempermudah kita dalam berinteraksi dan
menemukan kesesuaian dalam berkomunikasi secara efektif, juga menuntun kita
kepada pemahaman akan kebiasaan yang membentuk suatu budaya.
Pengertian teori High Context dan
Low Context
Edward T. Hall mengemukakan sebuah teori Low Context Culture & High
Context Culture yang didasari pada teori individual dan collectivism.
Low context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya
individual, sedangkan High context culture terdapat pada masyarakat yang
menganut budaya kolektif. Edward T. Hall (1973) menjelaskan perbedaan konteks
budaya tinggi dan konteks budaya rendah.
Budaya konteks tinggi ditandai dengan
komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan pesan bersifat implisit tidak
langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam
perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan,
ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan
ruangan, benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan
dengan pesan nonverbal. Sebagaimana Edward T. Hall (1976) menyatakan bahwa,”A high context (HC) communication or message
is one in which most of the information is already in the person, while very
little is in the coded, explicit, transmitted part of the message”.
Konteks budaya rendah (A low context / LC)
ditandai dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan
terus terang. Pada budaya konteks rendah mereka mengatatakan maksud (They
say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakan (they mean
what they way). Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya
simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin
banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High Context
Culture. Jelasnya ditegaskan bahwa,”A
low context (LC) communication is just the opposite of high context (HC), the
mass of the information is vested in the explicit code”.
Namun dalam kenyataannya, sebuah kebiasaan
tidak secara utuh dikategorikan High Context Culture karena sebagiannya
memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Demikian pula
sebaliknya dalam sebuah kebiasaan yang didominasi Low Context Culture
didalamnya terdapat bagian High Context Culture. High Context adalah perkataan atau pernyataan yang sekedar basa basi
atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi arti yang serius, maksudnya
adalah type high contect ini
merupakan type yang suka berputar-putar dalam memberikan pernyataan sebelum
menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya. Sedangkan Low Context adalah perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak
mengandung candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. Low context memang kebalikan dari High Context.
Sebagai
contoh di lapangan adalah masalah
pengungkapan kasus-kasus kriminalitas oleh reserse dan pengungkapan kasus-kasus
kriminalitas oleh Intelijen. Secara konseptual, kedua fungsi tersebut
dipercayakan untuk saling mendukung dalam proses pengungkapan suatu kasus
criminal, baik pada level terkecil di satuan setingkat Polsek, Polres hingga ke
level Polda bahkan Mabes Polri. Namun realitanya, sangat jarang suatu
keberhasilan pengungkapan kasus kriminalitas berhasil melalui proses kerjasama
kedua fungsi tersebut. Nampaknya metode dan dinamika operasional menjadi alasan
terjadinya perbedaan tersebut.
Ada
2 (dua) tipe komunikasi yang dapat diinterpretasikan dalam dinamika operasional
kedua fungsi tersebut, yaitu High Context
dan Low Context. Pada type pertama
Fungsi Intelijen, bahwa dalam hal ini dapat dipandang sebagai High Context membutuhkan
informasi-informasi tambahan untuk memahami arti dari isi atau pesan
komunikasinya. Pada High Context sifatnya
terkadang tidak to the point alias
tersirat. Hal ini menjadi wajar karena sifat investigasi Intelijen yang
beranjak dari luar (arena TKP). Sementara type kedua, yaitu Fungsi Reserse
dipandang sebagai Low Context relatif
mudah diinterpretasikan atau dicerna kata-katanya, karena disitu menampilkan
makna tersurat, tidak bermakna ganda sehingga tidak perlu banyak usaha untuk
mengartikannya.
Pada
asumsi kasus diatas dapat premis bahwa ketika sebuah tugas operasi itu tidak
ditujukan dengan jelas untuk siapa dan apa yang diharapkan darinya, bisa
dikatakan bahwa si pemberi perintah sedang melakukan High Context Communication. Apabila mengharapkan perubahan pada mekanisme
operasional, maka seharusnya yang digunakan adalah Low Context Communication, dimana tipe tersebut merupakan type yang to the point pada permasalahan
dan spesifik dari sisi target khalayak maupun perilaku yang diharapkan.
Sebagai detail perbedaan komunikasi Low Context
Culture & High Context Culture pada
kedua fungsi tersebut, dapat dijelaskan sebagaimana diagram berikut:
Factor
|
High-context culture
|
Low-context culture
|
Pola Komunikasi
|
Banyak menggunakan metafora
pesan-pesan yang implisit. Tidak “to the point” Anggota berlatar belakang intelijen sangat kental dengan
pola komunikasi yang tidak “to the
point” dengan kata-kata halus (sandi) dan cenderung mengarah ke basa-basi
dalam rangka menjaga kerahasiaan dan perasaan lawan bicara agar tidak
mengetahui latar belakang anggota tersebut.
|
Pesan yang disampaikan “to the
point” tidak berputar-putar.
Anggota dengan latar belakang reserse berbicara dengan logat lugas dan “to the point”. Hal ini cerminan
dari kebiasaan untuk memperoleh informasi secara langsung, sehingga orang
harus berbicara apa adanya.
|
Sikap diri apabila terjadi
kesalahan
|
Menerima/menyikapi kesalahan yang
terjadi sebagai kesalahan pribadi, cenderung untuk menginternalisasi banyak
hal. Kebiasaan anggota intelijen indentik
dengan hal-hal yang lembut, dingin dan halus, kesannya cenderung mengalah
agar tidak terbuka kamuflasenya (penyamarannya)
|
Menilai kesalahan terjadi karena
faktor eksternal/orang lain.
Kebiasaan anggota reserse dikenal
dengan kebiasaan tidak mau mengalah dan cenderung berargumentasi. Hal ini
dikarenakan kebiasaannya melakukan investigasi dan mencari alibi.
|
Penggunaan
komunikasi
non-verbal
|
Menggunakan komunikasi non-verbal
dengan ekstensif. Kebiasaan anggota intelijen relatif lebih menggunakan
komunikasi nonverbal (isyarat atau sandi). Seperti gerakan tangan,anggukan
kepala dan diam.
|
cenderung untuk menggunakan
komunikasi verbal daripada non-verbal.
Kebiasaan anggota reserse cenderung
berbicara secara tegas dan langsung pada pokok masalah menjelaskan pentingnya
penggunaan komunikasi verbal.
|
ekspresi
|
Reserved,
mendem jero, ilmu padi (semakin berisi semakin merunduk-rendah hati). Kebiasaan anggota intelijen umumnya lebih senang
memendam perasaan dan secara emosional terlalu perasa dan terkesan agak penurut
kepada orang lain. Anggota Intelijen
lebih banyak diam dibandingkan mengungkapkan secara verbal. Lebih
kalem dan tidak banyak berbicara. Diam dalam kebiasaan Intelijen diartikan
sebagai berfikir dan menganalisa.
|
ekspresif, kalau tidak suka/tidak
setujuterhadap sesuatu akan disampaikan,tidak dipendam Kebiasaan anggota reserse
tidak lepas dari lingkungan pekerjaannya yaitu terbuka dalam segala
hal. Diam diartikan menolak atau tidak setuju dalam kebiasaan anggota reserse
mencerminkan pentingnya ekpresi mengenai persetujuan. Lebih ekspresif dan argumentative serta investigative.
|
Orientasi kepada kelompok
|
Pemisahan yang jelas
antaraKelompok saya VS bukan kelompok saya.
Kebiasaan anggota reserse lebih
memiliki orientasi pada kelompok lebih tinggi. Tercermin dengan adanya unit
(satgas-satgas khusus) dalam kelompok
kekerabatan yang sangat dipegang teguh. Karena kekerabatan ini dianggap penting
menyangkut keselamatan dan saling melindungi.
|
Terbuka tidak terikat dalam satu
kelompok, bisa berpindah-pindah sesuai kebutuhan. Kebiasaan anggota intelijen cenderung luwes dalam
melihat perbedaan dalam kelompoknya dan luar kelompoknya dengan menjadikan
kelompok lain sebagai referensi untuk menilai kelompoknya. Selain itu pola
hubungan tetap terbangun diantara kelompoknya dan kelompok lain.
|
Ikatan kelompok
|
Memiliki ikatan kelompok yang
sangat kuat, baik itu keluarga maupun kelompok masyarakat. Kebiasaan anggota reserse mencerminkan kuatnya ikatan
kelompok dalam lingkungan pekerjaannya.
|
Cenderung untuk tidak memiliki
ikatan kelompok yang kuat- lebih individual. Kebiasaan anggota intelijen memiliki sifat pertalian
yang kuat dalam masyarakat. Jalinan kekerabatan dan silaturahmi yang selalu
terjaga menjadi modal anggota intelijen dalam kehidupan bermasyarakat.
|
Komitmen terhadap hubungan dengan
sesama
|
Komitmen yang tinggi terhadap
hubungan jangka panjang-hubungan baik lebih penting daripada hubungan
tugas/pekerjaan. Kebiasaan anggota intelijen dikenal dengan sistem
kekerabatannya yang kental. Sikap saling mengenal, saling bahu-membahu
(gotong-royong) menjadi ciri dari anggota intelijen. Dalam memandang persepsi
tugas dan relasi, anggota intelijen cenderung mengutamakan relasi sosial dan
menjadikannya sebagai media untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama
(gotong-royong)
|
Komitmen yang rendah terhadap
hubungan antar sesama- hubungan tugas/pekerjaan lebih penting dari hubungan
baik. Kebiasaan personil reserse lebih mengutamakan tugas/pekerjaan. Dalam dunia
reserse esprit de corp penyidik, sehingga anggota reserse memiliki sifat
kompetitif dan daya saing yang tinggi. Dengan demikian anggota resersepun
dinilai lebih profesional
|
Fleksibilitas terhadap waktu
|
Waktu bukanlah sebuah titik,
melainkan sebuah garis-proses lebih penting daripada hasil akhir. Kebiasaan anggota reserse lebih disiplin mengenai waktu, dikarenakan
dikejar tengat waktu dalam proses penyidikan maupun pengungkapan suatu
perkara (kasus).
|
Waktu adalah sebuah titik, jika
tidak dimanfaatkan dengan baik akan terbuang percuma-hasil akhir lebih
penting daripada proses. Kebiasaan
anggota intelijen dalam Konsep
waktu cenderung fleksible dan bersifat luwes, karena perlu kesabaran dalam
proses penyelidikan.
|
Sebagaimana dijelaskan bahwa sebuah kebiasaan
tidak secara utuh dikategorikan sepenuhnya High Context Culture karena
sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Dalam
beberapa factor dijelaskan dalam diagram bahwa sebuah kebiasaan yang didominasi
Low Context Culture didalamnya terdapat bagian High Context Culture.
Penutup
Edward T.hall dalam bukunya The dance of Life panjang lebar membahas
arti pentingnya waktu bagi komunikasi antarbudaya. Menurut Hall, suatu kendala
dalam hubungan antarbudaya bahwa setiap budaya memiliki kerangka waktunya
sendiri yang ditandai dengan pola-pola yang unik. Pentingnya waktu bagi dalam
komunikasi antar budaya adalah bahwa seringkali waktu dengan konteks tertentu
(pagi, siang, sore, malam, cepat, lambat, dan sebagainya) memberikan makna
tertentu kepada pesan yang disampaikan dan sebagai konsekuensinya juga membawa
efek tertentu.
Daftar
Pustaka
Ampulembang Amran (2001), Perilaku Unit
Kerja Reserse Dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Di Polres Depok, thesis,
KIK-UI, Jakarta.
HALL, EDWARD T. The Silent
Language. Garden City, N.Y.:Doubleday & Company, Inc., 1959. "Adumbration
in Intercultural Communication." The Ethnography of Communication, Special
Issue, American Anthropologist, Vol. 66, No. 6, Part II (December
1964),pp. 154-63.
-----"Silent Assumptions in
Social Communication." Disorders of Communication, Vol. XLH, edited
by Rioch and Weinstein. Research Publications, Association for Research in
Nervous and Mental Disease, Baltimore: Williams and Wilkins Company,
1964.
—— "A System for the Notation
of Proxemics Behavior. “American Anthropologist, Vol. 65, No. 5 (October
1963), pp. 1003-26.
Nasution, CBS (2001), Perilaku
anggota unit operasional satuan intelijen dan pengamanan dipolresta bogor, thesis,
KIK-UI, Jakarta.
Jakarta,
27 September 2015
Eko
SUDARTO
S32015226003
No comments:
Post a Comment