Kenikmatan
ada di jiwa
(Philosophy
Book review)
Pengantar
filsafat
Tulisan
ini merupakan book review dari buku filsafat
yang berjudul “Arete: Hidup sukses
menurut Platon”, karya A. Setyo
Wibowo (2010) yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Judul
tulisan diatas merupakan bagian kecil dari isi buku “Arete; Hidup Sukses menurut Platon”. Hal ini menarik untuk diulas
lebih dalam pada materi tersebut, karena pada jiwa itulah terletak arête (keutamaan).
Buku
setebal 184 (serratus delapan puluh empat) halaman ini mengupas pandangan Platon[1] (filsuf Yunani yang hidup
sekitar 2.500 tahun lalu) tentang manusia dan bagaimana meraih keutamaan,
membahas apa itu filsafat, jiwa, keutamaan dan pendidikan. Buku yang terdiri
dari 4 (empat) bab ini, yaitu meliputi; 1) Filsafat artinya tahu mengabaikan
diri; 2) Jiwa adalah gerakan; 3) Hidup sukses secara rasional; dan 4) Disiplin
hasrat.
Hidup
sukses
Hidup
“sukses” merujuk pada kondisi excellent sebuah kehidupan yang optimal. Filsafat
Yunani memakai istilah arête untuk Excellency (keutamaan) dalam hidupnya, bagaimana menjadikan
kita sebagai “manusia utama”. Manusia dalam pemikiran Platon adalah jiwanya,
maka kita akan mendalami secara spesifik bagaimana kita mengoptimalkan jiwa
kita, khususnya rasio kita, untuk mencapai kebahagiaan.
Merujuk
pada studi-studi tentang Platon yang tidak pernah berhenti, penerbitan baru
yang terus menerus muncul serta tafsir-tafsir baru atas filsafat Platon yang
selalu hadir, baik dalam khasanah filsafat Barat, maka pemikiran Platon dari
masa 2.500 tahun yang lalu tetap baik dan berguna untuk mencerahkan kita.
Dari
dulu hingga kini, orang akan terus berusaha menemukan kebahagiaan. Tak jarang
orang percaya bahwa kebahagiaan akan diraih apabila hidupnya sukses dalam arti
memiliki harta benda berlimpah dan reputasi sosial tinggi.
Tawaran
Platon akan membantu kita memiliki sebuah sudut pandang mengenai kesuksesan
secara utuh dan menyeluruh. Sehingga diharapkan kita dapat secara kritis dan
mendalam berani memilih dengan jeli untuk meletakkan dengan benar mana yang
menjadi prioritas hidup ini.
Kesuksesan
Imajiner
Semua
orang hidup ingin mencari kebahagiaan. Bila orang sukses hidupnya, otomatis
kebahagiaan kan muncul. Kebahagiaan adalah sebuah efek yang muncul menyertai
ketika orang merasakan hidupnya berkembang sepenuhnya.
Masyarakat
kita menawarkan begitu banyak cerita kesuksesan. Harta milik, reputasi dan
kemansyuran menjadi kata kunci untuk meraih kesuksesan. Kita dikatakan sukses
jika memiliki harta berlimpah, terkenal, sejalan dengan itu memiliki segala
sarana untuk menampilkan citra diri secara apik sebagai halus, sopan, tampan,
elegan dan wangi. Dalam kondisi seperti ini kita dianalogikan sebagai bahagia
dan sukses. Ini yang disebut sebagai sofis.
Kaum
sofis merupakan orang-orang yang pintar dan berilmu yang dengan lihainya
menawarkan resep-resep kesuksesan secara instan. Mereka adalah orang-orang
pragmatis, karena ilmu bagi mereka mesti memiliki implikasi praktis. Bila kita
berilmu dan tidak memiliki uang serta tidak dipandang masyarakat, maka ilmu itu
tidak ada gunanya. Maka kaum sofis mengajarkan teknis berargumentasi (retorika)
supaya para politisi cantrik cepat naik daun berkat kepintaran memenangkan argumentasi
(terlepas benar atau salah).
Ilmu
sofisme mendidik orang untuk mampu meyakinkan dan merebut hati public, tidak
peduli content (isi), yang penting ilmunya efektif memenangkan orang yang telah
membayarnya mahal tersebut. Namun tanpa sofismepun, dalam kehidupan sehari-haripun masyarakat
selalu takluk di depan symbol-simbol material kesuksesan.
Lalu
apa ujud kesuksesan yang lain, yang bukan soal harta dan keterkenalan? Mungkin
orang lalu mencibir sinis; “ah, kesuksesan masuk syurga mah kuno. Syurga itu
urusan nanti. Sepanjang kita masih muda, kita nikmati dulu dunia ini. Baru
nanti kalua sudah gak laku, kita mikir syurga. Siapa tahu dengan mendaur ulang
image lewat baju agama, kita malah bisa meneruskan kemansyuran (keterkenalan)”.
Begitukah? Persis, disitu kita hidup dalam perangkap kesuksesan imajiner. Kita
hidup dalam dunia modern dimana kesuksesan dipahami sebagai money, fame, power and status. Orang
mengira bahwa uang dan reputasi hanyalah sarana. Namun, kebijaksanaan
menunjukkan bahwa tidak mudah mempertahankan diri di depan uang dan reputasi.
Apa yang kita kira sekedar sarana, dengan mudah menjadi tuan yang memperbudak
kita. Hasrat manusia akan uang dan reputasi adalah hasrat irrasional yang
cenderung tak terbatas. Saat kita memiliki banyak uang, reputasi dan nama
terkenal, dan saat mereka menjadi tuan atas diri kita, maka bersiap-siaplah
mencerna sesanti Benjamin Franklin;
success has ruined many man bahwa kesuksesan telah menghancurkan banyak
orang.
Apakah
kebahagian muncul dari kesuksesan eksternal atau dari dalam diri sendiri?
jawaban yang baik-baik tentu mengatakan bahwa sukses material dan sukses
bathiniah saling berkaitan. Platon dengan lugas mengkritik kesuksesan eksternal
yang dipahami sebagai money, fame, poer dan status.
Filsafat
artinya tahu mengabaikan diri
Filsuf
atau pencinta kebijakan adalah orang yang justru tahu bahwa ia belum memiliki
kebijaksanaan. Platon (dalam lysis); “mereka yang sudah bijaksana, entah
manusia atau dewa, tidak berfilsafat”. Kebijaksanaan adalah sesuatu yang
dimiliki para Dewa, yang wajar kalua tidak berfilsafat karena sudah dianugerahi
kebijaksanaan. Ada juga tipe lain yang tidak mau berfilsafat, yaitu orang bodoh
(amathes). Orang jenis ini tidak tahu
untuk apa memiliki pengetahuan (kebijaksanaan), sehingga tidak peduli dengan
kebijaksanaan. Orang bodoh tidak menghasrati filsafat karena mereka tidak membutuhkannya.
Diantara
kedua kelompok inilah keberadaan orang filsuf. Disatu sisi, mencari
kebijaksanaan yang tidak dimiliki dan disisi lain berhasrat mencari tahu
kebijaksanaan supaya tidak bodoh. Dengan demikian Platon menegaskan bahwa
seorang filsuf pada umumnya biasa-biasa saja, tidak terlalu bodoh namun juga
belum bijaksana. Sehingga secara paradoksal dihadapkan pada prinsip terbesar
Sokrates (guru Platon), yang mengatakan bahwa filsuf adalah “dia yang tau bahwa ia tidak tahu”.
Dengan kata lain, menjadi seorang filsuf artinya sadar untuk tahu “mengabaikan dirinya sendiri”.
Prinsip
Sokrates tersebut dikenal dengan Abai
sokratik atau ketidaktahuan Sokratik.
Ini justru sering menjadi petunjuk
bagi kita untuk melihat apakah seseorang benar-benar memiliki mental bijaksana.
Orang-orang sok tahu, yang merasa sudah tahu semuanya, lebih sering terlihat
bodoh. Mereka adalah orang yang sudah tidak mau belajar apapun. Entah karena
malas tak mau belajar atau tidak mau memperbaharui diri, orang yang merasa
sudah memiliki semua ilmu, biasanya akan terbukti konyol dan tidak menarik
pendapat-pendapatnya.ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman, tidak mampu
memahami ide-ide baru dan sekedar memutar kaset lagu lama. Sebaliknya, kita
akan spontan menganggap seseorang benar-benar pandai dan berpengetahuan, ketika
kita mendengar orang dengan sadar mengatakan bahwa mereka “tidak tahu”
semuanya. Secara sederhana kita tahu bahwa pengabaian diri adalah sesuatu yang
normal dan wajar.
So, kunci pertama kesuksesan dari definisi
Platon untuk menjadi filsuf (pecinta kebijaksanaan) kita mesti menjadi orang
yang berani mengabaikan diri. Manusia sukses adalah yang selalu berani
meruntuhkan keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapatnya sendiri, senantiasa
belajar dan terbuka pada hal-hal baru, berani memasuki gerakan dimana ia berada
dalam situasi yang tidak tahu dan tetap
behasrat untuk tahu. Ignorantia sokratik adalah sikap berani untuk
selalu mengosongkan diri, menganggap apa yang sudah diketahui tidak penting,
dan berani terbuka memberikan dirinya senantiasa untuk mencari pengetahuan.
Jiwa
adalah gerakan
Kunci
sukses kedua menurut Sokrates dan Platon adalah pengenalan diri (pencarian jati
diri manusia). Kalimat sederhana Platon, “kenalilah dirimu sendiri dan jangan
berlebih-lebihan”. Untuk mengenali diri sendiri tidaklah mudah, kita
mengenalnya dengan sebutan “jiwa” yang adalah merupakan “gerakan”. Definisi
jiwa secara simple menurut Platon merujuk pada “gerak dari dirinya sendiri”.
jiwa mereupakan kompleksitas dari semua gerakan internal dalam diri manusia.
Kadang termanifestasikan dalam badan (keinginan ingin makan, minum atau
kebutuhan sex), kadang bersifat melulu internal. Karena inilah pemikiran Platon
tentang manusia dikatakan memberi prioritas kepada jiwa ketimbang badan.
Baginya, jati diri manusia adalah jiwanya, sementara badan adalah sesuatu yang
bersifat “tanda” bagi jiwanya.
Ada
3 (tiga) unsur gambaran gerakan jiwa, yaitu sais
adalah lambing untuk rasio (logistikon),
sedangkan dua ekor kudanya , yang putih adalah lambing untuk hasrat harga diri
(thumos) dan yang hitam adalah
lambing bagi nafsu-nafsu rendah (ephitumia)
yang letaknya di bawah perut manusia.
Kenikmatan
ada di jiwa
Setiap
gerakan “jiwa” memiliki kenikmatannya sendiri-sendiri. bila orang hidup melulu
mengikuti ephitumia, maka kenikmatan
baginya adalah menumpuk harta benda, mendapatkan keuntungan material dan
sejenisnya. Mengapa? Karena dengan uang ia bisa memenuhi hasratnya akan makan,
minum, seks dana pa saja seputarnya. Sementara orang yang hidup mengikuti
thumos, kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan
penghargaan serta nama besar. Sementara orang yang mencintai pengetahuan,
baginya tidak ditemukan keuntungan material, bukan juga pada soal harga diri
dan reputasi diri. Kenikmatan pecinta kebijaksanaan (filsuf) adalah pengetahuan
akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar, baik dan indah. Platon
menekankan bahwa ada kenikmatan sejati yang muncul ketika filsuf mengenali
kebenaran dan realitas yang sejati (knowing
the truth and reality).
Platon
menyebutkan bahwa kenikmatan yang stabil dan murni hanya muncul dari aktivitas
berfikir saat intelek mengkontemplasikan yang intelligible, idea. Kenikmatan
tersebut berbeda dengan binatang sapi yang menurutnya hanya melihat ke bawah,
menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah. Tunduk pada nafsu-nafsu
makan, minum, seks yang tidak pernah puas, padahal semua itu semu, sehingga
orang seperti haus selalu mencari yang sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak
pernah puas, selalu mencari, semakin terbenam dalam lingkaran tanpa pernah bisa
melongok ke atas.
Hidup
yang baik bagi platon selalu diiringi kenikmatan, namun bukan sembarang
kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan selalu meminta lagi dan lagi,
melainkan sebuah kenikmatan (keterbatasan) yang diberi batas oleh rasio.
Ketika
menganalisa fenomena rasa nikmat (kesenangan, pleasure, hedone), Platon
menjelaskan dua macam kenikmatan. Pertama, kenikmatan sebagai efek terpenuhinya
suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Saat perut terisi, hal yang
bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, rasa nikmat. Sebaliknya, rasa
sakit juga bukan karena kosongnya perut, melainkan suatu efek yang menyertai
perut yang kosong. Kedua, Platon menjelaskan adanya jenis kenikmatan lain yang
tidak tergantung pada perubahan-perubahan fisiologis, yaitu rasa nikmat dan
rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa.
Dari
kedua macam kenikmatan tersebut, Platon mengusulkan bahwa kenikmatan sejati
adalah efek yang menyertai saat kita mempersepsi objek yang sejati (yang
intelligible). Artinya bagi Platon, aktivitas rasional mengkontemplasikan objek
sejati dengan sendirinya membawa kenikmatan. Selanjutnya Platon mengungkapkan
bahwa munculnya kenikmatan sebernarnya tidak lagi tergantung pada apa yang
dirasaan jiwa, melainkan dari hal yang dikomtemplasikan itu sendiri. hal yang
sejati (idea, keadilan, keindahan) dengan sendirinya membuat manusia senang,
nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang jelek membuat kita sakit.
AGEN
|
OBJEK KHASNYA
|
OPTIMALISASINYA
|
Ephitumia
|
Kebaikan
dalam arti makan, minum, seks
|
Keutamaan
ugahari (sophrosue)
|
Thumos
|
Kebaikan
dalam arti harga diri, bangga diri
|
Keutamaan
ugahari dalam keberanian (android)
|
Logisticon
(rasio)
|
Kebaikan
dalam dirinya sendiri
|
Keutamaan
ugahari, keberanian dan pengetahuan (Sophia). Bila rasio optimal, maka dengan
sendirinya di ketiga “bagian” ini akan muncul dalam harmoni, keselarasan.
Dikaiosune (keadilan) adalah efek yang
muncul ketika di bawah cahaya Sophia “tiap bagian melakukan tugasnya
masing-masing”.
|
Hidup
sukses secara rasional
Mencari
kebahagiaan terpulang kepada setiap manusia yang bebas mewujudkan dirinya
sendiri, namun menurut Platon harus didasarkan pada pilihan dan preferensi.
Baginya, ujud terbaik manusia adalah orang yang cinta belajar (philomates) atau
cinta kebijaksanaan (philosophos), yaitu orang-orang yang mengutamakan rasio
dan hasratnya untuk mencari pengetahuan dan kebijaksanaan.
Immortalitas
adalah ciri sejati dari kesucian jiwa. Dalam perumpamaan tentang patung dewa
laut Glaukos yang terbenam di dasar samudera, maka kodrat asali jiwa
diumpamakan seperti saat patung itu diangkat dan dibersihkan. Oleh karena itu,
rasio sebagai yang paling sejati pada diri manusia tidak harus dipahami secara
metafisis sebagai “bagian” jiwa kita yang paling murni, simple sehingga harus
immortal. Kemurnian dan simplisitas tidak pernah menjadi argument untuk
membicarakan immortalitas. Dengan demikian, jiwa-jiwa manusia adalah ibarat
jiwa dunia dengan tubuh dunianya, yaitu terus menerus berlangsung tanpa pernah
berakhir, artinya immortal.
Arête
atau keutamaan yang dimaksudkan Platon merujuk pada keutamaan manusia, yaitu
kondisi optimal manusia, dimana pada diri manusia yang menjadi prinsip adalah
jiwanya. Maka arête manusia muncul bila jiwanya termanifestasikan secara
optimal. Yang terbaik menurut Platon pada jiwa manusia adalah ketika ada
tatanan harmonis semua “bagian” jiwa, yaitu ephitumia, thumos dan logisticon
(rasion), di situ manusia bersifat adil. Dan sebaliknya, kejahatan terbesar
terhadap jiwa adalah ketidakadilan (ketidakbenaran). Saat manusia hidup jahat
dan sembrono, dalam diri orang itu tidak ada harmoni, melainkan “perang
saudara, sakit keburukan”. Sokrates menyimpulkan, bahwa “lebih baik
diperlakukan secara tidak adil daripada melakukan ketidakadilan, maka sudah
selayaknya dihukum supaya harmoni jiwa bisa dikembalikan.
Keutamaan
adalah pengetahuan sebagaimana ditegaskan Sokrates dan Platon, bahwa ada 4
(empat) keutamaan poko, yaitu sophrosune (ugahari), andreia (keberanian),
sophia (pengetahuan kebijaksanaan) dan dikaisoune (keadilan, ketegakan,
kebenaran). Yang paling utama dari keempat keutamaan tersebut adalah
pengetahuan kebijaksanaan (Sophia) yang mencerahi dan mengilhami
keutamaan-keutamaan lainnya.
Berbagai
tingkat kebaikan dalam pemahaman Yunani adalah memiliki kebaikan (ta agathon)
akan berbahagia (Eudaimonia). Karenanya pencarian kebaikan menjadi tujuan utama
setiap manusia. Namun apa artinya kebaikan? Secara umum, kebaikan selalu
merujuk pada “baik untuk…”, atau “berguna untuk…”. Oleh karena itu, istilah
kebaikan mencakup mulai dari hal yang paling kongkret sampai kepada hal yang
intelligible dan tampak abstrak
Hidup
utama, sukses dan bahagia menurut Platon hanya bisa diraih lewat sikap hidup
yang optimal, menempatkan rasio dan pengetahuan sebagai yang memerintah diri
manusia. Dan sejauh keutamaan didefinisikan sebagai pengetahuan, maka
pengetahuan menjadi syarat mutlak bagi hidup yang baik dan bahagia. Hidup yang
baik digambarkannya sebagai campuran antara “kenikmatan dan kebijaksanaan”. Hal
ini terletak diantara kenikmatan yang sifatnya “tak terbatas” dan pengetahuan
yang bersifat “membatasi”. Dengan demikian hidup yang baik adalah sesuatu yang
terukur. Tatanan dan ukuran, itulah kata kunci untuk hidup moral menurut
Platon. Sangat dipahami, bahwa pada masa Platon, sang legislatoir adalah
orang-orang yang memiliki the art of weaving (seni merajut), seni mencampur
unsur-unsur yang tampak bertentangan guna memunculkan sesuatu yang optimal.
Disiplin
hasrat
Flsuf
adalah orang yang mampu idup optimal, sukses dan bahagia, akan menjadi pembimbing
bagi orang lain. Ia tidak akan menjadi pendidik, namun mengingat pendidikan
tidak pernah merupakan pengisian botol kosong (seolah-olah murid dianggap botol
kosong, dan keutamaan sebagai program pendidikan menjadi materi yang akan
diisikan), maka problem yang dihadapi pertama-tama adalah mencari anak didik
yang tepat dan dianggap memiliki bakat kompatibel untuk menjadi seorang filsuf.
Menurut
Platon, hanya para “filsuf alamiah”, anak-anak yang secara kodratiah (physis)
memiliki kecenderungan-kecenderungan yang cocok untuk menjadi filsuf yang bisa
dididik. Anak-anak yang memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat khas, seperti hasrat
yang besar akan kebenaran yang menyeluruh dan kekal, anak-anak yang cenderung
benci pada sesuatu yang palsu dan munafik, jijik dengan segala bentuk
ketidakadilan dan kejahatan. Juga memiliki insting untuk beranggapan bahwa
kepuasan hidup tidak ditentukan pada hal-hal indrawi dan material, semacam
kecenderungan untuk merelatifkan duniawi. Dan akhirnya dalam diri anak-anak
tersebut harus ditemukan disposisi intelektual yang cukup; mudah belajar,
tangkas dan tanggap, serta memiliki daya ingat yang baik. Bila anak-anak
tersebut dididik dengan benar, diarahkan hasratnya pada yang benar, maka bisa diharapkan
mereka akan menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan. (Reviewed
by Eko SUDARTO)
[1]
Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM dan meninggal di kota yang sama pada
tahun 348/347 SM di usia 81 tahun. Ia hidup persis pada periode ketika polis
(kota/negara) Athena yang demokratis perlahan-lahan meredup sebelum akhirnya
dikalahkan oleh Philippos Makedonia, ayah Alexander Agung tahun 338 SM.
No comments:
Post a Comment