Sunday, September 27, 2015

Kenikmatan ada di jiwa (Philosophy Book review)



Kenikmatan ada di jiwa
(Philosophy Book review)
Pengantar filsafat
Tulisan ini merupakan book review dari buku filsafat yang berjudul “Arete: Hidup sukses menurut Platon”, karya A. Setyo Wibowo (2010) yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Judul tulisan diatas merupakan bagian kecil dari isi buku “Arete; Hidup Sukses menurut Platon”. Hal ini menarik untuk diulas lebih dalam pada materi tersebut, karena pada jiwa itulah terletak arête (keutamaan).
Buku setebal 184 (serratus delapan puluh empat) halaman ini mengupas  pandangan Platon[1] (filsuf Yunani yang hidup sekitar 2.500 tahun lalu) tentang manusia dan bagaimana meraih keutamaan, membahas apa itu filsafat, jiwa, keutamaan dan pendidikan. Buku yang terdiri dari 4 (empat) bab ini, yaitu meliputi; 1) Filsafat artinya tahu mengabaikan diri; 2) Jiwa adalah gerakan; 3) Hidup sukses secara rasional; dan 4) Disiplin hasrat.

Hidup sukses
Hidup “sukses” merujuk pada kondisi excellent sebuah kehidupan yang optimal. Filsafat Yunani memakai istilah arête untuk Excellency (keutamaan) dalam hidupnya, bagaimana menjadikan kita sebagai “manusia utama”. Manusia dalam pemikiran Platon adalah jiwanya, maka kita akan mendalami secara spesifik bagaimana kita mengoptimalkan jiwa kita, khususnya rasio kita, untuk mencapai kebahagiaan.
Merujuk pada studi-studi tentang Platon yang tidak pernah berhenti, penerbitan baru yang terus menerus muncul serta tafsir-tafsir baru atas filsafat Platon yang selalu hadir, baik dalam khasanah filsafat Barat, maka pemikiran Platon dari masa 2.500 tahun yang lalu tetap baik dan berguna untuk mencerahkan kita.
Dari dulu hingga kini, orang akan terus berusaha menemukan kebahagiaan. Tak jarang orang percaya bahwa kebahagiaan akan diraih apabila hidupnya sukses dalam arti memiliki harta benda berlimpah dan reputasi sosial tinggi.
Tawaran Platon akan membantu kita memiliki sebuah sudut pandang mengenai kesuksesan secara utuh dan menyeluruh. Sehingga diharapkan kita dapat secara kritis dan mendalam berani memilih dengan jeli untuk meletakkan dengan benar mana yang menjadi prioritas hidup ini.

Kesuksesan Imajiner
Semua orang hidup ingin mencari kebahagiaan. Bila orang sukses hidupnya, otomatis kebahagiaan kan muncul. Kebahagiaan adalah sebuah efek yang muncul menyertai ketika orang merasakan hidupnya berkembang sepenuhnya.
Masyarakat kita menawarkan begitu banyak cerita kesuksesan. Harta milik, reputasi dan kemansyuran menjadi kata kunci untuk meraih kesuksesan. Kita dikatakan sukses jika memiliki harta berlimpah, terkenal, sejalan dengan itu memiliki segala sarana untuk menampilkan citra diri secara apik sebagai halus, sopan, tampan, elegan dan wangi. Dalam kondisi seperti ini kita dianalogikan sebagai bahagia dan sukses. Ini yang disebut sebagai sofis.
Kaum sofis merupakan orang-orang yang pintar dan berilmu yang dengan lihainya menawarkan resep-resep kesuksesan secara instan. Mereka adalah orang-orang pragmatis, karena ilmu bagi mereka mesti memiliki implikasi praktis. Bila kita berilmu dan tidak memiliki uang serta tidak dipandang masyarakat, maka ilmu itu tidak ada gunanya. Maka kaum sofis mengajarkan teknis berargumentasi (retorika) supaya para politisi cantrik cepat naik daun berkat kepintaran memenangkan argumentasi (terlepas benar atau salah).
Ilmu sofisme mendidik orang untuk mampu meyakinkan dan merebut hati public, tidak peduli content (isi), yang penting ilmunya efektif memenangkan orang yang telah membayarnya mahal tersebut. Namun tanpa sofismepun,  dalam kehidupan sehari-haripun masyarakat selalu takluk di depan symbol-simbol material kesuksesan.
Lalu apa ujud kesuksesan yang lain, yang bukan soal harta dan keterkenalan? Mungkin orang lalu mencibir sinis; “ah, kesuksesan masuk syurga mah kuno. Syurga itu urusan nanti. Sepanjang kita masih muda, kita nikmati dulu dunia ini. Baru nanti kalua sudah gak laku, kita mikir syurga. Siapa tahu dengan mendaur ulang image lewat baju agama, kita malah bisa meneruskan kemansyuran (keterkenalan)”. Begitukah? Persis, disitu kita hidup dalam perangkap kesuksesan imajiner. Kita hidup dalam dunia modern dimana kesuksesan dipahami sebagai money, fame, power and status. Orang mengira bahwa uang dan reputasi hanyalah sarana. Namun, kebijaksanaan menunjukkan bahwa tidak mudah mempertahankan diri di depan uang dan reputasi. Apa yang kita kira sekedar sarana, dengan mudah menjadi tuan yang memperbudak kita. Hasrat manusia akan uang dan reputasi adalah hasrat irrasional yang cenderung tak terbatas. Saat kita memiliki banyak uang, reputasi dan nama terkenal, dan saat mereka menjadi tuan atas diri kita, maka bersiap-siaplah mencerna sesanti Benjamin Franklin; success has ruined many man bahwa kesuksesan telah menghancurkan banyak orang.
Apakah kebahagian muncul dari kesuksesan eksternal atau dari dalam diri sendiri? jawaban yang baik-baik tentu mengatakan bahwa sukses material dan sukses bathiniah saling berkaitan. Platon dengan lugas mengkritik kesuksesan eksternal yang dipahami sebagai money, fame, poer dan status.

Filsafat artinya tahu mengabaikan diri
Filsuf atau pencinta kebijakan adalah orang yang justru tahu bahwa ia belum memiliki kebijaksanaan. Platon (dalam lysis); “mereka yang sudah bijaksana, entah manusia atau dewa, tidak berfilsafat”. Kebijaksanaan adalah sesuatu yang dimiliki para Dewa, yang wajar kalua tidak berfilsafat karena sudah dianugerahi kebijaksanaan. Ada juga tipe lain yang tidak mau berfilsafat, yaitu orang bodoh (amathes). Orang jenis ini tidak tahu untuk apa memiliki pengetahuan (kebijaksanaan), sehingga tidak peduli dengan kebijaksanaan. Orang bodoh tidak menghasrati filsafat karena mereka tidak membutuhkannya.
Diantara kedua kelompok inilah keberadaan orang filsuf. Disatu sisi, mencari kebijaksanaan yang tidak dimiliki dan disisi lain berhasrat mencari tahu kebijaksanaan supaya tidak bodoh. Dengan demikian Platon menegaskan bahwa seorang filsuf pada umumnya biasa-biasa saja, tidak terlalu bodoh namun juga belum bijaksana. Sehingga secara paradoksal dihadapkan pada prinsip terbesar Sokrates (guru Platon), yang mengatakan bahwa filsuf adalah “dia yang tau bahwa ia tidak tahu”. Dengan kata lain, menjadi seorang filsuf artinya sadar untuk tahu “mengabaikan dirinya sendiri”.
Prinsip Sokrates tersebut dikenal dengan Abai sokratik atau ketidaktahuan Sokratik.  Ini justru sering menjadi petunjuk bagi kita untuk melihat apakah seseorang benar-benar memiliki mental bijaksana. Orang-orang sok tahu, yang merasa sudah tahu semuanya, lebih sering terlihat bodoh. Mereka adalah orang yang sudah tidak mau belajar apapun. Entah karena malas tak mau belajar atau tidak mau memperbaharui diri, orang yang merasa sudah memiliki semua ilmu, biasanya akan terbukti konyol dan tidak menarik pendapat-pendapatnya.ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman, tidak mampu memahami ide-ide baru dan sekedar memutar kaset lagu lama. Sebaliknya, kita akan spontan menganggap seseorang benar-benar pandai dan berpengetahuan, ketika kita mendengar orang dengan sadar mengatakan bahwa mereka “tidak tahu” semuanya. Secara sederhana kita tahu bahwa pengabaian diri adalah sesuatu yang normal dan wajar.
 So, kunci pertama kesuksesan dari definisi Platon untuk menjadi filsuf (pecinta kebijaksanaan) kita mesti menjadi orang yang berani mengabaikan diri. Manusia sukses adalah yang selalu berani meruntuhkan keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapatnya sendiri, senantiasa belajar dan terbuka pada hal-hal baru, berani memasuki gerakan dimana ia berada dalam situasi yang tidak tahu dan tetap  behasrat untuk tahu. Ignorantia sokratik adalah sikap berani untuk selalu mengosongkan diri, menganggap apa yang sudah diketahui tidak penting, dan berani terbuka memberikan dirinya senantiasa untuk mencari pengetahuan.

Jiwa adalah gerakan
Kunci sukses kedua menurut Sokrates dan Platon adalah pengenalan diri (pencarian jati diri manusia). Kalimat sederhana Platon, “kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan”. Untuk mengenali diri sendiri tidaklah mudah, kita mengenalnya dengan sebutan “jiwa” yang adalah merupakan “gerakan”. Definisi jiwa secara simple menurut Platon merujuk pada “gerak dari dirinya sendiri”. jiwa mereupakan kompleksitas dari semua gerakan internal dalam diri manusia. Kadang termanifestasikan dalam badan (keinginan ingin makan, minum atau kebutuhan sex), kadang bersifat melulu internal. Karena inilah pemikiran Platon tentang manusia dikatakan memberi prioritas kepada jiwa ketimbang badan. Baginya, jati diri manusia adalah jiwanya, sementara badan adalah sesuatu yang bersifat “tanda” bagi jiwanya.
Ada 3 (tiga) unsur gambaran gerakan jiwa, yaitu sais adalah lambing untuk rasio (logistikon), sedangkan dua ekor kudanya , yang putih adalah lambing untuk hasrat harga diri (thumos) dan yang hitam adalah lambing bagi nafsu-nafsu rendah (ephitumia) yang letaknya di bawah perut manusia.

Kenikmatan ada di jiwa
Setiap gerakan “jiwa” memiliki kenikmatannya sendiri-sendiri. bila orang hidup melulu mengikuti ephitumia, maka kenikmatan baginya adalah menumpuk harta benda, mendapatkan keuntungan material dan sejenisnya. Mengapa? Karena dengan uang ia bisa memenuhi hasratnya akan makan, minum, seks dana pa saja seputarnya. Sementara orang yang hidup mengikuti thumos, kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan penghargaan serta nama besar. Sementara orang yang mencintai pengetahuan, baginya tidak ditemukan keuntungan material, bukan juga pada soal harga diri dan reputasi diri. Kenikmatan pecinta kebijaksanaan (filsuf) adalah pengetahuan akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar, baik dan indah. Platon menekankan bahwa ada kenikmatan sejati yang muncul ketika filsuf mengenali kebenaran dan realitas yang sejati (knowing the truth and reality).
Platon menyebutkan bahwa kenikmatan yang stabil dan murni hanya muncul dari aktivitas berfikir saat intelek mengkontemplasikan yang intelligible, idea. Kenikmatan tersebut berbeda dengan binatang sapi yang menurutnya hanya melihat ke bawah, menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah. Tunduk pada nafsu-nafsu makan, minum, seks yang tidak pernah puas, padahal semua itu semu, sehingga orang seperti haus selalu mencari yang sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak pernah puas, selalu mencari, semakin terbenam dalam lingkaran tanpa pernah bisa melongok ke atas.
Hidup yang baik bagi platon selalu diiringi kenikmatan, namun bukan sembarang kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan selalu meminta lagi dan lagi, melainkan sebuah kenikmatan (keterbatasan) yang diberi batas oleh rasio.
Ketika menganalisa fenomena rasa nikmat (kesenangan, pleasure, hedone), Platon menjelaskan dua macam kenikmatan. Pertama, kenikmatan sebagai efek terpenuhinya suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Saat perut terisi, hal yang bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, rasa nikmat. Sebaliknya, rasa sakit juga bukan karena kosongnya perut, melainkan suatu efek yang menyertai perut yang kosong. Kedua, Platon menjelaskan adanya jenis kenikmatan lain yang tidak tergantung pada perubahan-perubahan fisiologis, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa.
Dari kedua macam kenikmatan tersebut, Platon mengusulkan bahwa kenikmatan sejati adalah efek yang menyertai saat kita mempersepsi objek yang sejati (yang intelligible). Artinya bagi Platon, aktivitas rasional mengkontemplasikan objek sejati dengan sendirinya membawa kenikmatan. Selanjutnya Platon mengungkapkan bahwa munculnya kenikmatan sebernarnya tidak lagi tergantung pada apa yang dirasaan jiwa, melainkan dari hal yang dikomtemplasikan itu sendiri. hal yang sejati (idea, keadilan, keindahan) dengan sendirinya membuat manusia senang, nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang jelek membuat kita sakit.

AGEN
OBJEK KHASNYA
OPTIMALISASINYA
Ephitumia
Kebaikan dalam arti makan, minum, seks
Keutamaan ugahari (sophrosue)
Thumos
Kebaikan dalam arti harga diri, bangga diri
Keutamaan ugahari dalam keberanian (android)
Logisticon (rasio)
Kebaikan dalam dirinya sendiri
Keutamaan ugahari, keberanian dan pengetahuan (Sophia). Bila rasio optimal, maka dengan sendirinya di ketiga “bagian” ini akan muncul dalam harmoni, keselarasan. Dikaiosune (keadilan) adalah efek yang  muncul ketika di bawah cahaya Sophia “tiap bagian melakukan tugasnya masing-masing”.


Hidup sukses secara rasional
Mencari kebahagiaan terpulang kepada setiap manusia yang bebas mewujudkan dirinya sendiri, namun menurut Platon harus didasarkan pada pilihan dan preferensi. Baginya, ujud terbaik manusia adalah orang yang cinta belajar (philomates) atau cinta kebijaksanaan (philosophos), yaitu orang-orang yang mengutamakan rasio dan hasratnya untuk mencari pengetahuan dan kebijaksanaan.
Immortalitas adalah ciri sejati dari kesucian jiwa. Dalam perumpamaan tentang patung dewa laut Glaukos yang terbenam di dasar samudera, maka kodrat asali jiwa diumpamakan seperti saat patung itu diangkat dan dibersihkan. Oleh karena itu, rasio sebagai yang paling sejati pada diri manusia tidak harus dipahami secara metafisis sebagai “bagian” jiwa kita yang paling murni, simple sehingga harus immortal. Kemurnian dan simplisitas tidak pernah menjadi argument untuk membicarakan immortalitas. Dengan demikian, jiwa-jiwa manusia adalah ibarat jiwa dunia dengan tubuh dunianya, yaitu terus menerus berlangsung tanpa pernah berakhir, artinya immortal.
Arête atau keutamaan yang dimaksudkan Platon merujuk pada keutamaan manusia, yaitu kondisi optimal manusia, dimana pada diri manusia yang menjadi prinsip adalah jiwanya. Maka arête manusia muncul bila jiwanya termanifestasikan secara optimal. Yang terbaik menurut Platon pada jiwa manusia adalah ketika ada tatanan harmonis semua “bagian” jiwa, yaitu ephitumia, thumos dan logisticon (rasion), di situ manusia bersifat adil. Dan sebaliknya, kejahatan terbesar terhadap jiwa adalah ketidakadilan (ketidakbenaran). Saat manusia hidup jahat dan sembrono, dalam diri orang itu tidak ada harmoni, melainkan “perang saudara, sakit keburukan”. Sokrates menyimpulkan, bahwa “lebih baik diperlakukan secara tidak adil daripada melakukan ketidakadilan, maka sudah selayaknya dihukum supaya harmoni jiwa bisa dikembalikan.
Keutamaan adalah pengetahuan sebagaimana ditegaskan Sokrates dan Platon, bahwa ada 4 (empat) keutamaan poko, yaitu sophrosune (ugahari), andreia (keberanian), sophia (pengetahuan kebijaksanaan) dan dikaisoune (keadilan, ketegakan, kebenaran). Yang paling utama dari keempat keutamaan tersebut adalah pengetahuan kebijaksanaan (Sophia) yang mencerahi dan mengilhami keutamaan-keutamaan lainnya.
Berbagai tingkat kebaikan dalam pemahaman Yunani adalah memiliki kebaikan (ta agathon) akan berbahagia (Eudaimonia). Karenanya pencarian kebaikan menjadi tujuan utama setiap manusia. Namun apa artinya kebaikan? Secara umum, kebaikan selalu merujuk pada “baik untuk…”, atau “berguna untuk…”. Oleh karena itu, istilah kebaikan mencakup mulai dari hal yang paling kongkret sampai kepada hal yang intelligible dan tampak abstrak
Hidup utama, sukses dan bahagia menurut Platon hanya bisa diraih lewat sikap hidup yang optimal, menempatkan rasio dan pengetahuan sebagai yang memerintah diri manusia. Dan sejauh keutamaan didefinisikan sebagai pengetahuan, maka pengetahuan menjadi syarat mutlak bagi hidup yang baik dan bahagia. Hidup yang baik digambarkannya sebagai campuran antara “kenikmatan dan kebijaksanaan”. Hal ini terletak diantara kenikmatan yang sifatnya “tak terbatas” dan pengetahuan yang bersifat “membatasi”. Dengan demikian hidup yang baik adalah sesuatu yang terukur. Tatanan dan ukuran, itulah kata kunci untuk hidup moral menurut Platon. Sangat dipahami, bahwa pada masa Platon, sang legislatoir adalah orang-orang yang memiliki the art of weaving (seni merajut), seni mencampur unsur-unsur yang tampak bertentangan guna memunculkan sesuatu yang optimal.

Disiplin hasrat
Flsuf adalah orang yang mampu idup optimal, sukses dan bahagia, akan menjadi pembimbing bagi orang lain. Ia tidak akan menjadi pendidik, namun mengingat pendidikan tidak pernah merupakan pengisian botol kosong (seolah-olah murid dianggap botol kosong, dan keutamaan sebagai program pendidikan menjadi materi yang akan diisikan), maka problem yang dihadapi pertama-tama adalah mencari anak didik yang tepat dan dianggap memiliki bakat kompatibel untuk menjadi seorang filsuf.
Menurut Platon, hanya para “filsuf alamiah”, anak-anak yang secara kodratiah (physis) memiliki kecenderungan-kecenderungan yang cocok untuk menjadi filsuf yang bisa dididik. Anak-anak yang memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat khas, seperti hasrat yang besar akan kebenaran yang menyeluruh dan kekal, anak-anak yang cenderung benci pada sesuatu yang palsu dan munafik, jijik dengan segala bentuk ketidakadilan dan kejahatan. Juga memiliki insting untuk beranggapan bahwa kepuasan hidup tidak ditentukan pada hal-hal indrawi dan material, semacam kecenderungan untuk merelatifkan duniawi. Dan akhirnya dalam diri anak-anak tersebut harus ditemukan disposisi intelektual yang cukup; mudah belajar, tangkas dan tanggap, serta memiliki daya ingat yang baik. Bila anak-anak tersebut dididik dengan benar, diarahkan hasratnya pada yang benar, maka bisa diharapkan mereka akan menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan.  (Reviewed by Eko SUDARTO)


[1] Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM dan meninggal di kota yang sama pada tahun 348/347 SM di usia 81 tahun. Ia hidup persis pada periode ketika polis (kota/negara) Athena yang demokratis perlahan-lahan meredup sebelum akhirnya dikalahkan oleh Philippos Makedonia, ayah Alexander Agung tahun 338 SM.

No comments:

Post a Comment