ANAK
JALANAN DI INDONESIA
DALAM
PERSPEKTIF PATOLOGI SOSIAL
Eko Sudarto[1]
Abstraksi
“Keberadaan anak-anak, selain merupakan penerus
keberlangsungan suatu generasi, juga aset yang berharga bagi sebuah keluarga
dan masyarakat dalam menyongsong masa depan. Lingkungan dan dukungan sosial
yang diciptakan dari keluarga dan masyarakat yang baik, akan menjadikan seorang
anak sebagai satu generasi yang baik. Indikasinya dapat dilihat pada kemampuan
diri si “anak” tersebut untuk berperan sosial sesuai harapan dan keinginan
masyarakatnya. Namun demikian tidak semua anak di Indonesia memiliki kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang secara lebih baik dalam kehidupannya. Banyak dari mereka
yang menghadapi masalah sosial yang serius, baik psiokologis, fisiologis,
ekonomis dan lain-lainnya. Mereka gagal menjadi generasi yang mampu menyesuaikan
dengan lingkungan. Kondisi “external”
di luar dirinyalah yang paling banyak menjadi penyebabnya, baik dari lingkungan
yang paling kecil yaitu keluarga, maupun lingkungan yang luas yaitu
masyarakatnya, bahkan negara. Mereka menjadi mengalami “patologi sosial” karena ketidakmampuan dirinya dalam beradaptasi
dengan lingkungannya yang membuat mereka menjadi “anak-anak jalanan”. Dari realitas tersebut perlu ditelaah secara cermat
untuk dicarikan solusi terhadap problem sosial anak-anak terlantar di Indonesia”.
I.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Tulisan ini tentang
permasalahan anak-anak jalanan di Indonesia. Ingin ditunjukkan kondisi
anak-anak jalanan dalam perspeltif patologi sosial sebagaimana penelitian Haenonen (2000, dalam Aptekar & Haenonen 2003), Saat ini terdapat
150 juta anak jalanan di seluruh dunia dan diperkirakan akan meningkat menjadi
800 juta pada tahun 2020. Rubini
(2002) menyebutkan bahwa anak jalanan yang terdata diseluruh Indonesia mencapai
170.000 jiwa. Jumlah tersebut diyakini terus meningkat seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk yang meningkat sangat pesat dan tidak diiringi oleh peluang
lapangan kerja yang memadai.
Penduduk di kawasan pedesaan melakukan urbanisasi, berusaha
mencari mata pencaharian di wilayah perkotaan dengan membawa keluarga, termasuk
anak-anak mereka. Urbanisasi merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan
mobilitas penduduk yang dapat dianalisakan menjadi 2 (dua) konteks. Pertama,
perpindahan penduduk dari desa ke kota karena adanya motivasi[2] dan kedua, berpindah penduduk
ke kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Menurut data
BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat urbanisasi nasional pada tahun 2000 adalah
36,46% naik menjadi 40.48% di tahun 2005. Tingkat urbanisasi ini
diperkirakan akan naik menjadi 48,41% di tahun 2015 serta naik menjadi 52,20%
ditahun 2020.
Mereka yang datang ke kota tanpa memiliki bekal keterampilan serta pengetahuan yang memadai
hanya akan menjadi tuna karya di kota. Kalaupun mereka bekerja biasanya hanya
menjadi buruh serabutan, pengemis, pengamen, pemulung dan bahkan ada juga yang
pada akhirnya menjadi penjahat di kota. Akibat persaingan yang ketat dalam
memperoleh pendapatan serta minimnya lapangan kerja memunculkan pula
pengangguran yang pada gilirannya melahirkan pekerjaan tidak terhormat,
disamping menyertakan pula istilah “patologis sosial”. Contohnya dengan mencuri,
memeras, dan mengabaikan anak-anaknya, sehingga maraklah istilah “anak jalanan”.
Selain mereka
adalah generasi yang “rentan” (vulnerable
generation), tak jarang iklim jalanan yang keras membuat mereka menjadi
korban, tentu masih ingat pelaku sodomi
dan pembunuhan anak jalanan Siswanto
alias Robot Gedek yang terjadi di
tahun 1994-1996 dengan korban 12 orang anak. Ia dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan dan mendekam di LP Nusakambangan, namun meninggal dunia karena
serangan jantung pada tanggal 26 Maret 2007. Dan tersangka Beikuni alias Babe (49),
tersangka mutilasi 14 bocah. Kasus-kasus tersebut mengingatkan kita semua,
bahwa anak-anak jalanan menjadi
fenomena perspektif patologi sosial yang perlu menjadi perhatian serius dari
kita semua, utamanya Pemerintah.
Pengertian
Anak dan anak jalanan
Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak bab I pasal 1, pengertian “anak” adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun (Sekretariat Negara.Repubilik Indonesia
(Setneg RI, 2008). Sementara “Anak jalanan” adalah anak yang hidup dan
beraktifitas di jalan. Anak jalanan beraktifitas sepanjang hari di jalan dengan
waktu rata-rata 8 jam (Werdiastuti,
1998). Menurut Friends International (2009),
anak jalanan adalah anak yang lebih banyak beraktifitas di jalan. Menurut Johanes (1996, dalam, Kartika, 1997), anak jalanan adalah anak
yang menggunakan sebagian waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak,
yang terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau
putus hubungan dengan keluarga, dan anak-anak yang hidup mandiri sejak masa
kecil karena kehilangan orang tua.
Definisi dan kriteria PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial), Dinas Sosial menyebutkan
bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum.
Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, salah satunya bekerja dengan mengemis
dan menjadi pengamen, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya.
Menurut M. Ishaq
(2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni: (1) mencari kepuasan; (2)
mengais nafkah dan, (3) tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan itu erat
kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di alun-alun,
bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar,
pertokoan, dan mall.
Sunusi (dalam Lestari dan Karyani, 1997) pada survey dan wawancara terhadap anak jalanan di
Jakarta dan Surabaya yang dilakukan Universitas Diponegoro dan Departemen
Sosial, mendefinisikan 4 kategori anak-anak jalanan yaitu: (1). Anak jalanan
tanpa ikatan keluarga; (2). Anak
jalanan yang masih mempunyai ikatan dengan keluarga; (3). Anak jalanan satu-satunya yang
mencari nafkah dalam keluarga (who are sole bread winners); (4). Anak jalanan yang berpendidikan atau
tidak berpendidikan atau tanpa ikatan dengan keluarga.
Sementara itu, Mulandar (1996) memberikan
empat ciri yang melekat ketika seorang anak digolongkan sebagai anak jalanan,
(1). Berada ditempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan)
selama 3-24 jam sehari, (2). Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah,
sedikit sekali yang tamat Sekolah Dasar); (3). Berasal dari keluarga-keluarga
tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak jelas
keluarganya); (4). Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor
informal).
Selain ciri khas yang melekat akan keberadaanya, anak
jalanan juga dapat dibedakan dalam tiga kelompok. Surbakti dalam Suyanto
(2002) membagi pengelompokan anak jalanan tersebut sebagai berikut; (1). Children
on the Street yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai
pekerja anak di jalanan, namun mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua
mereka. Fungsi anak jalanan dalam kategori ini adalah untuk membantu memperkuat
penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti
ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh orang tuanya; (2).
Children of the Street yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial dan ekonomi, beberapa diantara mereka masih
mempunyai hubungan dengan orang tua mereka tetapi frekuensinya tidak menentu.
Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya
kekerasan, lari, atau pergi dari rumah; (3) Children from Families of the Street
yakni anak anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan, walaupun
anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup
mereka terombang-ambing dari suatu tempat ketempat yang lain dengan segala
resikonya.
Menurut Depsos RI (1998, dalam Andari 2007), anak jalanan terdiri dari tiga kategori, yaitu: children
of the street, children on the street, dan vulnerable on the street.
Children of the street adalah anak yang beraktifitas dan tinggal di jalan,
serta sudah terlepas dari keluarga. Children on the street adalah anak
yang beraktifitas di jalan, tetapi masih mempunyai keluarga dan pulang ke
rumah. Vulnerable on the street adalah anak yang beresiko menjadi anak
jalanan yaitu dari keluarga miskin, keluarga yang sering konflik, anak yang
diacuhkan oleh keluarga, dan mulai bergaul dengan anak jalanan.
Dari berbagai definisi tentang istilah
“anak-anak jalanan” (street children)
tersebut, kamus Oxford menyatakan
bahwa anak jalanan adalah “a homeless or
neglected child who lives chiefly in the streets” (seorang gelandangan atau
anak yang diabaikan yang hidup mandiri di jalanan), sedangkan istilah yang
ditetapkan oleh UNICEF, sebagai berikut: “street
children are most practically difined as those minors who spend at least a
major part of their waking hours working or wandering in urban streets”
(anak-anak jalanan adalah mereka yang pada prakteknya didefinisikan sebagai
mereka kaun minoritas yang menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja atau
mengembara di jalanan).
II.
Patologi
Sosial
Secara etimologis, kata patologi berasal dari
kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang
berarti berbicara tentang/ilmu. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di
bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk
masyarakat organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan
konsep penyakit. Sedangkan kata sosial dapat diartikan sebagai tempat
atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok
manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang berinteraksi /
berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam arti fisik.
Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau masyarakat.
Sebenarnya, perspektif mengenai patologi sosial (social pathology) adalah merupakan
analogi organik. Herbert Spencer
memandang bahwa masyrakata tak ubahnya seperti sebuah organis (organism) yang jumlahnya besar, dengan
struktur yang kompleks dan hidup mengunggusli bagian yang lainnya” (society is like an organism in that it has
mass, a complexity of structure that increases with its growth, interdependent
parts and life that surpasses the life of any particular part).
Sementara itu, selama komunitas membuat individu mengikat
kebersamaan dalam hubungan sosial, patologi sosial merujuk kepada “ketidaksesuaian”
(maladjustment) dalam hubungan
sosial. Patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara
berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan
kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari
anggota anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. (Koe soe khiam. 1963)
Sejarah
dan latar belakang Patologi Sosial
Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog
mendefinisikan patologi sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan
dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik,
solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum
formal.
“This simplistic and conservative strand of social pathology
had its heyday before World War I, especially between 1890 and 1910. After the
war, it went into slow down but steady decline. In the 1960’s, however, there
was a resurgence of the social pathology perspective, with some sociologists
again writing about the “pathology” of our exixtence” (Smith; p.18)
Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi
kebutuhan hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat
sehingga melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari
kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi. Hal ini
disamping mampu memberikan berbagai alternatif kemudahan bagi kehidupan manusia
juga dapat menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan
kemanusiaan itu sendiri yang biasa disebut “masalah sosial” atau “patologi
sosial”.
Adanya revolusi industry “industry revolution” menunjukan betapa cepatnya perkembangan
ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan berkembangnya ilmu-ilmu
sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris dapat menghancurkan
umat manusia. Misalnya, Pemakaian mesin-mesin industri di pabrik-pabrik,
mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga manusia sekarang
diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran meningkat
(terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota
industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran.
Penduduk desa yang tidak terampil dibidang industri mengalir
ke kota-kota industri, jumlah pengangguran di kota semakin besar, adanya
kecenderungan pengusaha lebih menyukai tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih
murah dan lebih rendah upahnya). Pada akhirnya, keadaan ini semakin menambah
banyaknya masalah kemasyarakatan (social
problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang
pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial,
dan lain-lain. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan
kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam
batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia
cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang
umum dan melkuikan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri bahkan cenderung
dapat merugikan orang lain.
Banyak pribadi yang
mengalami gangguan jiwa, dan muncul konflik antar budaya yang ditandai dengan
keresahan sosial, pertikaian serta pertikaian kelompok-kelompok sosial disertai
prilaku melanggar norma-norma hukum formal. Situasi sosial sedemikian ini dapat
menimbulkan prilaku patologi sosial yang menyimpang dari pola umum. Dalam
keadaan seperti ini orang-orang hanya mentaati norma dan peraturannya sendiri.
Mereka terbiasa dengan
prilaku senang mengeksploitasi orang lain, merampas dan memeras hak-hak orang
lain. Akibatnya banyak muncul masalah sosial seperti sosiopatik, deviasi
sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial dan diferensi sosial apabila
tingkah laku menyimpang (deviance)
seperti merajalela korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maraknya kriminalitas
(pencurian, penodongan dan pembunuhan), deviasi seksual, dan seterusnya.
Anak
Jalanan dalam perspektif Patologi Sosial
Anak jalanan tumbuh dengan berbagai latar belakang
sosial, seperti anak broken home, anak yatim yang terbuang, anak-anak
yang kelahirannya tidak dikehendaki, atau anak-anak yang harus membantu ekonomi
orang tuanya maupun anak-anak yang lari dari berbagai problem keluarga maupun di lingkungan sekitarnya. Masyarakat
seringkali menganggap anak jalanan merupakan anak yang urakan, tidak tahu
aturan, terbelakang dan sangat dekat dengan tindak kriminal. Dari pandangan ini
maka secara tidak langsung memunculkan sifat introvet dari anak jalanan tersebut dalam bergaul dengan masyarakat.
Walaupun pengertian anak
jalanan memiliki konotasi yang negatif, namun pada dasarnya dapat juga
diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan yang bukan hanya sekedar
bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak
yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara
wajar baik secara jasmani, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara
lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain
sebagainya.
Patologi sosial melihat kondisi Kehidupan anak jalanan
yang keras, tidak kondusif bagi perkembangan anak dan pada umumnya berada
diambang kerawanan sosial, kesehatan, serta tindakan kriminal. Anak jalanan
tidak mengenal keluarga, pendidikan, dan bermain. Mereka hanya kenal kekerasan
di jalan setiap saat. Mereka cenderung tertutup dan hanya bisa terbuka dengan
teman seprofesi atau satu kelompok saja. Dan pada kenyataanya memang tidak
mudah bagi anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan untuk mencari
penghasilan atau pekerjaan yang layak ditengah kondisi yang serba sulit seperti
sekarang ini. Tak jarang kita temui anak-anak
yang mengemis dari rumah ke rumah bahkan adapula anak-anak yang melakukan
tindak kriminal seperti mencopet, mencuri bahkan merampok hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari yang mereka rasa kurang. Tetapi banyak diantara mereka
yang masih bisa berfikir dengan jernih dan mencari pekerjaan halal seperti
menyemir sepatu, menjual koran maupun mengamen.
Patologi
sosial terhadap anak jalanan karena perlakuan secara fisik dari lingkungan
sosial maupun keluarga. Berdasarkan hasil pengkajian pada anak jalanan oleh
Depsos RI (2006, dalam Andari 2007) menunjukkan bahwa sebagian besar anak
jalanan disebabkan oleh korban tindak kekerasan di keluarga yang bersifat fisik
(dicubit, ditempeleng, ditendang, dan ditampar), psikis (dimarah, dibentak,
dicemooh, dan diomeli), dan sosial (diusir, tidak boleh bermain, dan tidak
boleh sekolah), tekanan ekonomi keluarga, dipaksa oleh orang tua, diculik dan
dipaksa bekerja oleh orang dewasa.
Patologi
sosial pada anak-anak jalanan yang timbul karena adanya kebijakan Pemerintah
yang tidak tepat dan berpihak kepada masyarakat, akan berakibat banyaknya
fasilitas umum dikota besar yang menawarkan kemudahan ditengah rendahnya harga
beli masyarakat. Seperti; pusat kegiatan perdagangan jasa, transportasi,
hiburan, kesenian, perkantoran yang merupakan faktor penarik dari kota
tersebut, sehingga membuat semua orang tertarik termasuk anak jalanan,
Patologi
sosial bagi anak-anak jalanan yang merupakan akibat situasi internal keluarga faktor
lingkungan keluarga yang diwarnai oleh ketidakharmonisan, baik perceraian,
percekcokan, maupun kehadiran
orang tua tiri, faktor ekonomi rumah tangga yang kurang mendukung memaksa
setiap anggota keluarga untuk mencari penghasilan dan nafkah sendiri, faktor
pendidikan yang rendah, sangat mudah bagi anak untuk terjerumus ke jalan
melanggar norma sosial. Anak-anak dari keluarga miskin terpaksa meninggalkan
sekolah atau tidak sekolah sama sekali. Keadaan ini diperparah oleh sikap orang
tua yang lebih cenderung mendorong anaknya bekerja dan menghasilkan uang, dari pada bersekolah hanya menghabiskan uang,
dan tidak menjanjikan apa-apa sehingga terbentuk pola eksploratif antara orang
tua dan anak.
Anak
jalanan laki-laki mulai menampilkan nilai-nilai kejantanan ketika mulai tumbuh
lebih besar. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi
kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain
serta mengomentari penampilannya. Meski secara sosial mereka dikategorikan
sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan
sebagai tanda pembangkangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh
masyarakat.
Bentuk
kongkrit patologi sosial yang diperankan anak-anak jalanan sebagaimana
dilakukan orang dewasa, seperti: menenggak minuman keras, judi serta menggemari
perilaku seks bebas (free sex).
Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh
anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi
jantan. Secara bertahap anak jalanan
akan mengalami perubahan perilaku ke arah pelanggaran norma dan hukum. Mereka
mulai liar, cuek, seenaknya, dan tidak peduli terhadap orang lain. Perubahan
perilaku tampak dari ucapan dan tindakan, kata-kata kotor dan makian sering
diucapkan oleh anak jalanan (Andari,
2003). Kadang mereka juga berbuat hal-hal yang dapat merugikan orang lain, misalnya berkata kotor, mengganggu
ketertiban jalan, merusak body mobil dengan goresan dan lain-lain.
III. KESIMPULAN
Patologi artinya ilmu
tentang penyakit (ilmu kedokteran); agar diketahui berbagai jenis penyakit yang
mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada
manusia yang menderita semua jenis penyakit tersebut. Anak jalanan adalah
bentuk patologi sosial yang timbul melalui keterpaksaan yang harus mereka
terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi
fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah
anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional
yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia
jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan
pembentukan kepribadiannya. Banyak anak-anak jalanan yang harus gagal dalam
menghadapi iklim kehidupan yang keras tersebut.
Hal ini tentu harus menjadi
perhatian bersama, khususnya tanggung jawab Pemerintah Indonesia pada tahun
1990, yang turut serta mengesahkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) dengan konsekuensi harus melaksanakannya. Pada Konvensi Hak Anak PBB
terdapat hak anak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan, seperti:
kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan, memperoleh informasi, perlindungan
akibat kekerasan fisik, mental, penelantaran, kejahatan seksual. Perlindungan
anak jalanan mengacu pada UUD 1945 pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Landasan ini ditindaklanjuti dengan
UU Nomor 4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak, disebutkan bahwa
kesejahteraan anak yang dapat menjamin kehidupan dan penghidupan, yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara jasmani,
rohani maupun sosial adalah tanggung jawab orang tua.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Agung
Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia,
Sinar Grafika, 1993, Jakarta
2. Budhi
Mulyadi, 2009, Studi Fenomenologi, tesis FIK-UI, Jakarta
3. Buyung
Riady, 2011, Tindakan sosial anak jalanan (pengamen) di kawasan Pantai Losari,
Skripsi, Ujung Pandang.
4. Clemens
Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn
and Bacon Fourth Edition, 1985
5. Conyer Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta
: Gajah Mada University Press.
6. Darwan
Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
7. Gatot
Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005
8. Irwanto,
Farid, M. & Anwar, J. (1998). Situational analysis of children in need
of special protection. Jakarta: CSDS Atma Jaya & UNICEF.
9. Irwanto
et al. (2001). Trafficking of children in Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia and ILO-IPEC.
10. Irwanto
(1995). A review of the life styles of street children in Jakarta: Toward
the development of STD and HIV prevention programmes. Unpublished
monograph. Atmajaya Research Center-PACT.
11. Irma
Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,
1990,
12. Kartini
Kartono, Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung,
2006
13. Kartono,
K. 2002. Patologi Sosial, Jilid I, Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta;
PT Raja Gravindo Persada.
14. L.
Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency: A Metamorphosis
of the Impact of Broken Homes Sosial Problems, London, 1991
15. Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial,
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1997
16. Shin-ichi
MATSUMOTO, 2000, street children’s problem and servives in Indonesia; centering
of Jakarta, Wheat sheaf books; Sussex.
17. Sri
Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta,
1989, hlm.10-11.
18. Syamsu
Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2004
19. Soetomo,
Drs., 1995, Masalah Sosial dan Pembangunan, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
No comments:
Post a Comment