Patologi sosial,
disorganisasi sosial, konflik nilai, dan perilaku menyimpang[1]
Oleh
Eko SUDARTO
Pendahuluan
Saya menulis dan
mencermati tentang materi perkuliahan
masalah sosial sebagaimana ditulis oleh Prof. Dr. Paulus Tangdilintin pada bukunya yang berjudul “Masalah-masalah
sosial (suatu pendekatan analisis sosiologis)”. Tulisan ini mengulas perspektif
masalah-masalah sosial. Earl Rubington dan Martin S. Weinberg
(1995) dalam bukunya the study of sosial
problems seven perspectives sebagaimana diterangkan Paulus Tangdilintin (2000), menjelaskan bahwa ada 7 konsep
perspektif (sub-paradigma) perkembangan masalah sosial. perspektif tersebut
meliputi; Patologi sosial, Disorganisasi Sosial, Konflik Nilai, Perilaku
Menyimpang, Perspektif Krisis, Labeling dan Konstruktivisme.
Dalam kesempatan
ini akan dijelaskan 4 (empat) perpektif, dalam masalah-masalah sosial (Patologi
sosial, Disorganisasi Sosial, Konflik Nilai, Perilaku Menyimpang) yang disebut sebagai paradigm consensus dan
struktural fungsional. Tulisan ini bersifat review
atau pemahaman ringkas dan dijadikan sebagai bahan diskusi pada program Doktoral
(S 3) di Kajian Ilmu Kepolisian, PTIK Jakarta.
Patologi
Sosial
Perspektif
Patologi sosial diyakini merupakan perspektif tertua dari ke-7 perspektif. Jessie Bernard (1957) menamakannya
sebagai pendekatan individual. Analogi organik juga menjadi perdebatan dalam
pendekatan ini dan Bernard (1957) menyebutnya
sebagai pendekatan Budaya dan Institusi. Sementara Rubington dan Weinberg (1995: 16) menjelaskan hal ini sebagai
pengaruh analisis makro melalui pengambaran kongkret, yang menganalogikan
masyarakat dengan mahluk hidup, dimana “Pemerintah sebagai Kepala, Pelayanan
adalah pembuluh nadi dan polisi sebagai perpanjangan tangan dalam
pengaturannya”. Kemudian Herbert Spencer
membuat analogi simbolik yang menyebutkan bahwa masyarakat sebagai suatu
organisme yang memiliki massa, serta struktur yang terus berkembang secara
kompleks, dan mempunyai bagian-bagian yang berdiri sendiri. menurut para
penganut perspektif ini, seseorang atau masyarakat disebut mengalami masalah
sosial jika kegiatan organisme sosialnya terganggu. Gangguan ini disebut
semacam penyakit atau patologi.
Samuel
Smith (1911) dalam tulisannya Sosial Pathology serta Frank W. Blackmar dan J.L. Gillin (1923) dalam Outlines of sociology, mencerminkan
perspektif patologi sosial kontemporer[2]. Patologi sosial ini dapat
disebabkan oleh dua factor, yaitu (1). Ketidakmampuan individu menyesuaikan
diri dalam menjalankan peranannya (maladjustment),
dan (2). Kegagalan masyarakat melakukan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan
warganya (malfunction). Disinilah
ciri utama perspektif patologi sosial, bahwa permasalahan sosial selalu dicari
pada kelemahan, baik pada individu maupun masyarakat. Dengan kata lain, masalah
sosial itu selalu disebabkan oleh sesuatu yang tidak beres, karenanya perlu
dilakukan pengobatan terlebih dahulu terhadap masalah yang tidak beres
tersebut.
Perspektif
patologi sosial mengenal 3 (tiga) penyimpangan, yaitu cacat (defect) atau bawaan lahir yang tidak
bisa diajari, ketergantungan (dependent) yang menyebabkan kesulitan menerima
pengajaran dan kenakalan (delinquent)
yang bersifat menolak pelajaran. Penyebab dari penyimpangan tersebut bisa
dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh dari nilai-nilai yang salah di
lingkungannya (Smith, 1911), seperti
lingungan yang buruk akibat kepadatan penduduk, polusi, perkembangan teknoogi
dan lain sebagainya. Baik pandangan klasik maupun modern melihat bahwa
penanggulangan masalah sosial adalah melalui pendidikan moral.
Beberapa karya
ilmiah penganut perspektif patologi sosial adalah sebagai berikut:
a. The organic analogy oleh Samuel Smith (1911), yang mencontohkan
bagaimana cara seorang dokter dalam menyembuhkan pasiennya. Maka Ahli Patologi sosial
mempelajari masalah sosial dalam mencari solusi pemecahannya.
b. The criminal as a born criminal type
oleh Cesare Lombroso dan William Ferrero (1895), yang
memperkenalkan ciri-ciri kelainan (ketidakserasian) wajah sebagai ciri-ciri
pelaku warisan kejahatan.
c. The child saver oleh Anthony M. Platt
yang mengemukakan pandangan bagi proses penyembuhan kenakalan remaja sebagai
“kekurangan sifat insani yang utuh” (as less than a complete human being)
akibat sifat bawaan maupun muncul dalam perkembangannya.
d. A universal Criterion of Pathology oleh Vytautas Kavolis (1969) yang tidak
sepaham dengan menganalogikan perspektif patologi sosial dengan model medik. Argumennya
adalah bahwa patologi sosial dapat memberi konsep-konsep yang objektif dan
berguna jika disertai dengan pengkajian yang teliti.
e. The pursuit of Loneliness oleh Philip Slater
(1976), yang mengemukakan bahwa budaya individualsme yang dibawa bangsa
Amerika, selain belum sepenuhnya diterima juga
berakibat buruk karena individualism tidak dapat menghilangkan patologis
dari kebudayaan baru.
Disorganisasi
sosial
Dalam perspektif
disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai (1) jawaban terhadap keadaan yang terjadi
pada tingkat masyarakat luas; (2) jawaban terhadap perubahan dalam lapangan
sosiologi secara khusus.
Setelah
perang dunia pertama (1942), terjadi arus migrasi dan urbanisasi dari Eropa ke
Amerika dan menimbulkan masalah seperti kemiskinan, kejahatan, gangguan mental,
kecanduan alcohol dan sejenisnya. Pertemuan antara migran dan warga setempat
berbaur dengan kebudayaan yang ada menimbulkan masalah, terutama bagi yang
kurang berhasil menyesuaikan diri. Dan
dari mereka itulah tampaknya yang menjadi sumber masalah. Demikian juga proses
industrialisasi yang terus berkembang, namun selain menyisakan dampak
lingkungan, juga kapasitas tenaga kerja yang tidak tertampung sehingga
berakibat banyaknya pengangguran.
Jadi
setidaknya ada 3 faktor utama yang menyebabkan disorganisasi sosial, berupa
perubahan sosial dan kultural pada tahap ini di Amerika Serikat, yaitu Migrasi,
Urbanisasi dan Industrialisasi. Masalah yang berkembang tidak hanya sebatas
kejahatan namun masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini terus menimbulkan
tantangan baru bagi para sosiolog yang kemudian melahirkan perspektif
Disorganisasi Sosial, sebagimana disampaikan Samuel Huntington (1997) yang menghitung munculnya
perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi
dalam bentuk perbenturan peradaban “clash
of civilisation.”
Munculnya
perspektif Disorganisasi Sosial dinilai oleh Rubington dan Weinberg (1995) sebagai suatu refleksi yang
mengokohkan bahwa sosiologi telah merupakan suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Perspektif disorganisasi sosial sangat populer karena keberhasilan para
sosiolog untuk menunjukkan adanya hubungan antara masalah sosial dan
disorganisasi sosial. Tokoh-tokohnya antara lain Charles H. Cooley, W.I Thomas dan Florian Znaniecki dan William Ogburn.
Ada
perbedaan antara perspektif patologi sosial dan perspekti disorganisasi Sosial,
yaitu bahwa pada perspektif
disorganisasi Sosial lebih kompleks dan lebih sistematik, karena hasil kemajuan
sosiologi yang semakin berkembang. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa
perspektif patologi sosial berangkat dari anggapan bahwa masalah itu disebabkan
oleh kegagalan, baik pada individu maupun masyarakat, sedangkan perspektif
disorganisasi sosial mulai dengan penelitian mendalam atas peranan dari aturan
atau kebiasaan yang merupakan tatanan baru suatu kehidupan.
Beberapa
karya ilmiah penganut disorganisasi sosial diantaranya adalah sebagai berikut;
1. sosial change and sosial disorganization
oleh Robert E. Park, mengemukakan
gagasannya bahwa dasar bagi suatu organisasi sosial adalah tradisi dan kebiasaan.
Keluarga, tetangga, masyarakat yang stabil merupakan lembaga yang mampu
menjalankan pengendalian sosial. Namun masyarakat modern yang komplek seperti
urbanisasi, migrasi, industrialisasi yang berlangsung cepat karena teknologi
(komunikasi dan transportasi) berdampak pada disorgansasi sosial di masyarakat.
2. The ecology of urban disorganization
oleh Robert E.L.Farist dan H.Warren
Dunham yang mengungkapkan bahwa ternyata lebih banyak permasalahan yang
berhubungan dengan struktur ekologis disbanding dengan masalah urbanisasi dan
disorganisasi sosial.
3. Family disorganization oleh W.I Thomas
dan Florian Znaniecky yang mengemukakan bahwa inti permasalahan disorganisasi
keluarga adalah adanya sikap we
(kekitaan) dan sikap I (keakuan)
dalam struktur masyarakat.
Konflik
nilai
Pada tahun 1925, Lawrence K. Frank menggunakan perspektif
Konflik nilai dalam mempelajari masalah-masalah perumahan, yang ternyata
mengandung banyak konflik kepentingan (Rubington
dan Weinberg, 1995 dan Lawrence K. Frank, 1925).
Perspektif konflik
nilai tumbuh sebagai perpaduan antara teori-teori konflik Eropa dan Amerika.
Dipelopori oleh Karl Marx yang
melukiskan sejarah berkaitan dengan pertentangan kelas dan George Simmel yang mengaitkan dengan konflik dalam interaksi sosial.
Fuller dan Myers berpendapat bahwa masalah sosial ditemukan dalam 3 fase,
yaitu; kesadaran, penentuan kebijaksanaan dan perubahan. Mereka melihat bahwa
sejak perang dunia ke-2 tidak terjadi
disorganisasi, namun banyak terjadi perbedaan kepentingan, dimana masing-masing
pihak mempertahankan kepentingan dan nilai-nilainya dari kelompok lain.
Perspektif konflik
nilai dipandang lebih tajam daripada perspektif patologi dan lebih supel
diabanding disorganisasi sosial. Penyebab masalah sosial adalah konflik nilai atau
kepentingan. Jika perbedaan kepentingan mencapai titik kulminasi, maka pecah
konflik tidak terhindarkan. Ada 3 cara penyelesaian konflik, yaitu konsesus
dimana antara pihak yang bertikai
memilih nilai yang tertinggi. Kemudian trade, yaitu penyelesaian melalui
negosiasi. Dan ketiga adalah naked power dimana pihak yang kuat akan
mengalahkan pihak yang lemah.
Beberapa karya
ilmiah penganut perspektif konflik nilai adalah sebagai berikut
1. The stage of sosial problem oleh Richard C.
Fuller dan Richard R. Myers yang menyatakan bahwa masalah sosial berkembang
melalui 3 tahap, yaitu kesadaran, penetapan kebijaksanaan dan perbaikan.
Menurut mereka konflik nilai tampil dalam seluruh fase sejarah perkembangan
suatu masalah sosial.
2. Words without Deeds oleh Willard Waller yang menjelaskan bahwa
dalam menghadapi masalah sosial kita harus mempunyai alasan kenapa kita sebut
sebagai suatu masalah sosial. Ada dua kebiasaan dalam menyikapi, yaitu
pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan organisasional yang keduanya tidak
selalu sejalan. Artinya dalam setiap permasalahan sosial kita akan senantiasa
dihadapkan pada pertimbangan kemanusian dan pertimbangan organisasi. Dalam
kesimpulannya Waller menyatakan bahwa banyak masalah yang tidak terselesaikan
karena memang tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya.
Perilaku
menyimpang
Perspektif
perilaku menyimpang merupakan salah satu pendekatan dalam memahami masalah sosial.
Merton dan Nisbet (1961, dalam Tangdilintin 2000) menyatakan bahwa perilaku
menyimpang melihat masalah sosial sebagai suatu akibat dari suatu tidakan yang
menyimpang dari perangkat nilai berhubungan status sosial seseorang. Jadi suatu
perilaku akan dikatakan menyimpang atau tidak, sangat tergantung pada status orang
yang melakukannya. Perilaku menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi
terkait dengan aturan kebiasaan yang secara sosial telah diterima dan secara
moral bersifat mengikat penyandang status tertentu.
Brian J. Heraud (1970) membedakan
penyimpangan dalam beberapa jenis, seperti penyimpangan statis yaitu
penyimpangan pada kebiasaan umum dalam kehidupan sehari-hari. Penyimpangan
medis atau patologis, yaitu penyimpangan sebab dan akibat sosial atau
individual. Karenanya penyimpangan ini harus dikaji secara selektif untuk
menentukan mana yang tergolong perilaku menyimpang dan yang bukan.
Beberapa
konsep teoritis tentang perilaku menyimpang diantaranya adalah teori anomi yang
dikembangkan oleh Emile Durkein yang
mengemukakan 3 jenis bunuh diri yaitu bunuh diri egoistic[3], bunuh diri altruistic[4]
dan bunuh diri anomi[5].
Perkembangan
dinamika ilmu sosial melahirkan pemikiran-pemikiran khususnya sosiolog dan
ilmu-ilmu sosial yang mengembangkan teori anomi dan asosiasi. Teori anomi
berkembang di dalam suatu masyarakat atau kelompok pada saat cita-cita untuk
mencapai sesuatu yang menjadi dambaan umum, mempengaruhi pemikiran sebagian
besar orang dalam kelompok masyarakat itu, namun dilain pihak aturan-aturan
yang ada tidak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara pencapaian
cita-cita tersebut. Maka terjadilah anomia tau ketiadaan norma.
Edwin H. Sutherland mengembangkan teori
asosiasi diferensial, yaitu adanya penyimpangan dipelajari di dalam interaksi
dengan orang lain, terutama di dalam kelompok primer yang bersifat intim
seperti keluarga dan kelompok sebaya. Teori assosiasi diferensiasi didasari
aksioma Durkein, bahwa perilaku menyimpang merupakan bagian alami dari
kehidupan sosial, seperti halnya teori anomi yang dikembangkan Merton. Masalah sosial menurut perilaku
menyimpang disebabkan adanya sosialisasi yang tidak tepat karena kurangnya
kesempatan untuk belajar secara konvensional.
Penutup
Sebagai institusi
yang paling depan bersentuhan dengan masyarakat dan permasalahnnya, Polisi memiliki posisi sentral dalam
penanganan konflik masalah-masalah sosial. Akan tetapi polisi bukan merupakan
aktor utama dalam penentuan kebijakan penanganan konflik masalah-masalah social
tersebut. Dengan memahami dan mengetahui tentang perpektif masalah sosial, akan
memberikan bekal pengetahuan bagi Polri untuk sigap dalam menanggulangi
setiap ancaman, gangguan, hambatan, baik berupa pelanggaran maupun kejahatan
yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.
Daftar
pustaka
1. Tangdilintin, Paulus, 2000,
Masalah-masalah sosial (suatu pendekatan analisis sosiologis), Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, Jakarta.
2. Huntington, Samuel, 1997, the Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order, New York: Simon and Schuster.
[1]
Makalah dibawakan dalam semiar kelas program Doktoral S 3 Kajian
Ilmu Kepolisian PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 14 Juli 2015
[2] Patologi sosial biasanya menunjuk
kepada kondisi sosial yang diakibatkan (1) oleh kegagalan individu menyesuaikan
diri terhadap kehidupan sosial dimana fungsi mereka sebagai anggota masyarakat
mandiri memenuhi kebutuhan sendiri, yang dapat menyumbang secara wajar kepada
stabilitas dan kemajuan pembangunan, dan (2) oleh ketidakmampuan menyesuaikan
struktur sosial termasuk mengorganisasikan cara sesuatu dan mengorganisasikan
lembaga-lembaga, bagi perkembangan kepribadian. (Blacmar dan Gillin; 1923)
[3]
Bila seseorang memiliki ikatan persaudaraan yang lemah, sehingga tak mampu
menghalangi seseorang lain yang ingin bunuh diri.
[4]
Kebalikan dari bunuh diri egoistic, disini dilakukan oleh seseorang demi
berkorban karena ikatan kekerabatan yang kuat.
[5]
Terjadi sebagai respon adanya perubahan yang tiba-tiba (kaya maupun miskin),
sehingga sulit untuk menerima penyesuaian yang berakibat pada stress.
No comments:
Post a Comment