Memaknai arti
persahabatan
(Sebuah analisis)
a. Pengantar
Saya mencermati dan mengulas tulisan Dr.
Setyo Wibowo yang berjudul “Persahabatan Selalu Segitiga: Platon dalam Lysis. Penulis
mengawalinya dengan pernyataan, bahwa “Tidak ada yang kekal dalam persahabatan
(politik), kecuali kepentingan. Penyataan sinis tersebut hendak menggambarkan relasi koalisi beberapa partai politik di Indonesia yang saling
berkoalisi karena memiliki kepentingan
yang sama, demi memperoleh kemenangan pada Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil
Presiden 2014. Kajian dan ulasan yang disampaiakan berkaitan dengan fenomena tersebut
dianalogikan sebagai bentuk persahabatan yang didasarkan kepada “kepentingan”
atau kita coba sebut dengan “kebaikan”.
Persahabatan sejati menjadi impian maupun dambaan setiap
orang sepanjang masa. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern
ini, keberadaan term yang bernama persahabatanpun menjadi samar dan dipertanyakan.
Hal ini karena berbagai pertimbangan untung dan rugi dalam
membangun sebuah persahabatan. Sehingga memunculkan berbagai macam pertanyaan,
seperti apa arti persahabatan sejati itu? atau, adakah persahabatan sejati itu
sendiri? maupun siapa dan apa tujuan
dari persahabatan itu?
b. Ajaran Sokrates
(Platon) tentang persahabatan dalam Lysis
Saya
mencoba mengurai tulisan tersebut dengan mengungkapkan kisah Plato [1]
(murid setia Sokrates) dalam dialog
berjudul Lysis yang mengatakan tidak tahu arti sesungguhnya persahabatan dan
membiarkannya untuk terus menjadi misteri dialog tanpa akhir. Plato maupun
Sokrates tidak begitu saja mempercayai sesuatu sebagai kebenaran yang mutlak.
Dalam Lysis 218a-218b (bentuk dialog) dituliskan, bahwa mahluk yang tidak
membutuhkan pengetahuan kebijaksanaan (Sophia)
adalah para dewa (sudah bijaksana), binatang (sentien) dan orang bodoh (tidak memiliki kesadaran akan kegunaan sophia).
Tentang persahabatan ini, Sokrates maupun Platon mengemukakan
dua (2) buah tesis dalam sebuah dialektika. Tesis pertama ialah “seseorang yang
sama niscaya selalu membutuhkan sahabat yang sama” (to homoion to homoio
anagke aei philon einai). Diartikan bahwa orang yang baik (philon agathon) akan bersahabat dengan orang baik, sedangkan orang
jahat bersekongkol dengan orang yang sama. Tesis tersebut disanggah
bahwa “seseorang yang sama belum tentu bersahabat dengan yang sama”. Misalnya: “orang
yang sama-sama baik”. Orang baik selalu dapat mencukupi dirinya sendiri (bersifat
autarkes atau self-sufficient), sehingga tidak akan membutuhkan apapun dari
sesama yang baik. Orang yang tidak membutuhkan apapun dari orang lain, tidak mau
mengapresiasi orang lain. Selanjutnya, tidak mungkin ada hubungan saling
mencintai dalam ketidakmampuan untuk mengapresiasi. Demikian halnya “orang yang
sama-sama jahat, sangat tidak mungkin untuk bersahabat”. Mereka akan saling
menjahati, tentu salah satu akan jadi korban dan merekapun tidak akan mau bersahabat
dengan orang yang membuatnya menderita.
Tesis kedua ialah “sebuah persahabatan muncul dalam hal-hal
yang berlawanan”. Justru pada hal-hal yang paling berlawanan, ditemukan
persahabatan. Segala hal menginginkan (epithumein) bukan pada hal yang sama dengannya, tetapi apa yang
berlawanan dengannya. Akan tetapi, tesis ini juga ditentang dengan pendapat
bahwa sesuatu yang membenci tidak dapat bersahabat dengan sesuatu yang penuh
kebencian.
Dari kedua tesis tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Sesama
orang baik satau sesama penjahat, kecil kemungkinan merasakan persahabatan,
karena satu sama lain tidak mau saling mengapresiasi dan persahabatan pada jenis kedua
akan saling menjahati.
karena satu sama lain tidak mau saling mengapresiasi dan persahabatan pada jenis kedua
akan saling menjahati.
2. Orang
yang tidak 100% baik sekaligus tidak 100% jahat, bisa merasakan persahabatan
(kurang akan sesuatu), hal ini didasari pada keragaman adalah kekayaan, perbedaan
adalah ikatan maka Justru karena perbedaan maka persahabatan menjadi indah. Jadi
orang bersahabat karena di dalamnya ada unsur yang tidak baik dan unsur yang tidak
buruk.
(kurang akan sesuatu), hal ini didasari pada keragaman adalah kekayaan, perbedaan
adalah ikatan maka Justru karena perbedaan maka persahabatan menjadi indah. Jadi
orang bersahabat karena di dalamnya ada unsur yang tidak baik dan unsur yang tidak
buruk.
Pada
tingkat persahabatan tertinggi, Sokrates atau Platon menyatakan bahwa ada pihak
ketiga yang mengikat persahabatan, yaitu kebaikan atau kepentingan. Dengan kata
lain, jika ada kebaikan, maka akan terjalin persahabatan antar dua pihak yang
terlibat. Jadi, persahabatan itu bersifat segitiga (triangular).
Dalam Lysis, Platon memberikan contoh dalam
model orang yang bersahabat (philia),
dimana cinta seorang sahabat pada sahabatnya yang lain hanya mungkin terwujud jika
keduanya melihat kebaikan. Cinta philia
membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar seks, rasa, hasrat, dan kepuasan.
Sesuatu itu adalah hubungan timbal balik (resiprokal).
Disinilah problemnya. Jika dalam Eros (filsuf yunani) mengemukakan bahwa kita
dapat mencinta, dicinta, dan saling mencinta, maka dalam philia yang diperlukan adalah relasi dua arah saling mencintai.
Cinta Ibu pada anak, cinta ayah pada anak, cinta anak pada orang tua, cinta
antara dua sahabat, semuanya membutuhkan kondisi saling memberi dan menerima (resiprokalitas).
Platon menjelaskan bahwa orang bersahabat
karena adanya dorongan hasrat (kekurangan) akan sesuatu. Selanjutnya Eros
menguraikan ada tiga jenis hasrat (rasa kurang) pada manusia, pertama adalah
persahabatan terjalin karena dua pihak sama-sama suka makan, minum dan seks (epithunia). Plato menyebutnya sebagai
hasrat akan uang atau kebutuhan perut dan bawah perut. Hasrat kedua adalah
persahabatan yang mampu melampaui dan mengatasi urusan perut kebawah (thumos). Kebaikan ini terletak pada
tingkat bagian jiwa di dada, yang bercokol rasa bangga diri, harga diri maupun
ambisi. Platon menyebut kedua jenis persahabatan tersebut (epithunia dan thumos)
sebagai irrasional, berbahaya dan masih jauh dari kebahagiaan, maka hasrat
persahabatan ketiga adalah bersahabat karena sebuah nilai (keadilan, kesetiaan,
kebaikan hati). Platon menyebut hasrat persahabatan pada tingkat ini dilandasi
pengetahuan (logistikon) yang mampu
mengendalikan rasa senang dan nikmat.
Sokrates
maupun Plato mengatakan, “Jadi, kalau bisa menjadi bijaksana (sophos), anakku, semua akan menjadi
sahabatmu, dan semua akan seketurunan (oikeion
[2]) denganmu, karena kamu berguna dan baik; jika tidak, tak
seorangpun menjadi sahabatmu entah itu ayahmu, ibumu, atau orang-orang
seketurunan denganmu.” Dari kutipan ini dapat didefinisikan bahwa sahabat dan
persahabatan (philia) hanya muncul
bila ada pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan menjadi sumber atas apapun yang
“berguna” dan “baik.” Orang yang bersahabat dengannya akan menjadi
“seketurunan” (oikeion) dengannya,
yaitu merasakan dan mengikuti pada dorongan pada kebaikan yang sama.
c. Persahabatan
“kepentingan”
Plato melalui pemikiran filosofinya mencoba mengajarkan
bahwa persahabatan itu bukanlah sebatas pada relasi antar dua orang saja, namun
membutuhkan pihak ketiga yaitu kebaikan. Dalam lingkup yang lebih besar,
persahabatan terwujud pada lingkup kelompok / golongan (partai) hingga pada
tataran negara. Karena Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar yang dibagi dalam tiga golongan; golongan bawah, golongan tengah, dan golongan atas. Jadi seorang tidak dapat mengharapkan negara menjadi baik apabila ada beberapa orang kelakuannya tidak bertambah baik.
Secara tidak langsung Plato mengajak setiap orang agar:
1.
Mengarahkan segala aktivitas
persahabatan tidak pada nafsu duniawi (penampilan
maupun latar belakang keluarga) semata atau epithumia.
maupun latar belakang keluarga) semata atau epithumia.
2. Memiliki rasa "saling memiliki",
sehingga perbedaan-perbedaan yang sering kali terjadi,
tidak menyebabkan perpecahan.
tidak menyebabkan perpecahan.
3.
Menjadikan pengetahuan (logistikon) sebagai sumber dari segala relasi persahabatan.
Mencermati faktor utama yang mempengaruhi koalisi atau
persahabatan antar partai politik di Indonesia dewasa ini, saya sepaham dengan
penulis bahwa kita memang sangat memerlukan metode dialog untuk merangsang
sikap kritis terhadap setiap persoalan. Solusi merupakan hal yang tidak perlu
dijadikan tujuan akhir, yang terpenting ialah tetap terbuka pada kritik dan
bertanggungjawab dengan argumentasi yang diungkapkan. Pandangan umum membuktikan bahwa persabahatan
antar partai politik, khususnya di Indonesia saat ini pada umumnya tidak lain adalah adanya kepentingan akan
tujuan yang sama, yaitu pembagian kekuasaan (shared of power). Pada poin ini, tentu menjadi pertanyaan kita bersama,
apakah sebuah kepentingan atau kebaikan dari para partai
politik tersebut dilandasi oleh pengetahuan (rasional) yang dapat dipertanggungjawabkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut hendaknya menjadi
perhatian para aktor partai politik untuk tujuan kebaikan bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara di republik tercinta ini.
Paham Plato tentang pembentukan dunia ini berdasarkan pada pendapat Empedokles[3], bahwa alam ini tersusun dari
empat unsur yaitu api, udara, air, dan tanah, tetapi tentang proses pembangunan
seterusnya,
tentu memerlukan diskusi lanjut. Plato mengatakan
bahwa Tuhan sebagai pembangun alam menyusun ke-empat unsur tersebut
menjadi satu kesatuan. Kedalam bentuk
yang satu itu Tuhan memasukkan jiwa dunia yang akan menguasainya, yaitu umat manusia.
Meski ajaran Plato tentang
persahabatan ini sudah kuno (± 24 abad yang lalu), tetapi masih sangat relevan
bila di zaman ini nilai-nilai dari persahabatan itu terus diterapkan secara
benar.
Catatan penting dalam kapasitas sebagai
seorang polisi, saya ingin mengutip ungkapan Socrates yang termashur itu: “Lego gar tagathon kalon einai”
yang dapat diartikan bahwa “dengan demikian aku katakan bahwa kebaikan itu elok”.
Daftar Pustaka
1. Wibowo,
Setyo. Penj, Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis).
Jakarta: Ipublishing, 2009.
2. Wibowo,
Setyo. “Persahabatan Selalu Segitiga.” Basis (Nomor 01-02, Tahun Ke-63,
2014): 14-23.
3. Wibowo
Setyo, penj dan peny., Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis),
Jakarta: Ipublishing, 2009, 56-57.
Internet:
(https://thathit.wordpress.com/2010/02/16/biografi-dan-filsafat-plato/)
Diakses pada Jumat, 3 July 2015, pkl. 11.23 WIB.
2. Arti sebuah persahabatan (Plato dalam ajarannya tentang persahabatan oleh Angga Nofianto
diakses pada Sabtu, 4 Juli 2015 pukul 08.30 WIB.
[1] Plato (dalam bahasa Yunani Platon) merupakan nama julukan
dari Aristokles (nama asli Plato). Plato sendiri artinya lebar atau rata. Kata
lebar dikaitkan pada bentuk bahunya yang lebar. Lih. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Plato (judul asli: Plato in 90 Minutes), terj. Frans Kowa,
Jakarta: Erlangga, 2001, hlm. 7.
[2] Istilah oikeion diterjemahkan
sebagai “sekuturunan” (memiliki hubungan satu keturunan) karena istilah ini
merujuk pada orang tua, kerabat (keluarga dekat), atau siapa pun yang termasuk
dalam satu oikia (rumah). Ibid. hlm. 96.
[3] Empedokles (Empedocles) adalah seorang filsuf dari mazhab pluralism yang dilahirkan di Agrigentum, Sisilia Island, pada abad ke-5 SM (495-435 SM). Istilah anasir (stoikea) yang dikemukakannya digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah air, tanah, api dan udara. Ke-empat anasir tersebut dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat yang saling berlawanan. Api dikaitkan dengan sesuatu yang panas dan udara berhubungan dengan sesuatu yang dingin. Sedangkan tanah dikaitkan dengan sesuatu yang kering, sementara air berkait erat dengan sesuatu yang basah.
[3] Empedokles (Empedocles) adalah seorang filsuf dari mazhab pluralism yang dilahirkan di Agrigentum, Sisilia Island, pada abad ke-5 SM (495-435 SM). Istilah anasir (stoikea) yang dikemukakannya digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah air, tanah, api dan udara. Ke-empat anasir tersebut dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat yang saling berlawanan. Api dikaitkan dengan sesuatu yang panas dan udara berhubungan dengan sesuatu yang dingin. Sedangkan tanah dikaitkan dengan sesuatu yang kering, sementara air berkait erat dengan sesuatu yang basah.
No comments:
Post a Comment