“CODE OF SILENCE”
PADA TIPOLOGI KORUPSI POLISI
Eko Sudarto[1]
Pengantar
Tulisan
ini ingin menunjukkan sebuah budaya kepolisian secara umum di dunia yang
dikenal dengan istilah atau konsep “code
of silence”, yaitu mencermati suatu
pelanggaran dengan sikap diam (GTM: Gerakan tutup mulut) dalam konotasi bahwa seseorang
petugas tahu tentang adanya suatu
penyelewengan atau kejahatan korupsi tetapi tidak mau melapor (not
report) karena adanya suatu “saling pengertian”, khususnya dalam menghadapi
perilaku korupsi. Tujuan penulisan ini, selain membangun kritik pribadi (self-criticism)[2] yang harus dilakukan untuk
intropeksi bagi pembenahan organisasi ke depan, juga mencoba menggambarkan terjadinya
“code of silence” pada berbagai tipe
korupsi di tubuh kepolisian.
Skandal besar kepolisian
New York di tahun 1960an, dikenal dengan
scandal “ Frank Serpico” dapat diilustrasikan
bahwa:
A code of silence is a condition in
effect when a person opts to withhold what is believed to be vital or important
information voluntarily or involuntarily. The code of silence is usually either
kept because of threat of force, or danger to oneself, or being branded as a traitor
or an outcast within the unit or organization as the experiences of the police whistleblower[3]. Police are known to have a
well-developed Blue Code of Silence.
Keberadaan “code of
silence” pada organisasi kepolisian membentuk budaya negatif yang kronis
dan bisa merusak norma aturan yang berlaku berupa kode etik (ethic code) dan kode pelaksanaan tugas (code of conduct) bagi organisasi. Polri
harus secara serius menyikapi gejala atau tanda-tanda (symptom) tersebut dan hal ini harus dilawan dengan prosedur
penegakan hukum secara konsisten dan mengembangkan budaya transparansi serta
kontrol.
“Code of silence” menjadi paradigma yang memperkuat perilaku korupsi di tubuh kepolisian.
Hal ini terjadi karena lemahnya system kontrol dari dalam organisasi kepolisian
(internal) maupun maupun system kontrol
(external) publik.
Bentuk Korupsi polisi
Terdapat banyak asumsi, mengapa korupsi di tubuh kepolisian sulit untuk
dilawan, seperti luasnya kewenangan deskresi kepolisian, minimnya saksi yang
dapat dipercaya di pihak korban, itulah yang kemudian dikenal dengan
“tembok biru” (blue wall)” atau
“sandi diam” (code of silence) diantara
petugas kepolisian dan korupsi
pada umumnya secara alami tersembunyi.
Roebuck
dan Barker (1974), membagi ada 8
(delapan) jenis korupsi yaitu; (1) Korupsi yang dilakukan karena kekuasaan (Corruption of authority); (2)
mengembalikan (barang curian) kepada pemiliknya (kick back); (3) Mencuri kesempatan (Opportunistic theft); (4) Menyesuaikan dengan kondisi baru (Shakedowns); (5) Melindungi berbagai
aktivitas illegal (Protection of illegal
activities); (6) Melakukan penyuapan
atau pengaturan (The fix); (7) Melakukan aktivitas criminal secara langsung (Direct criminal activities); (8) Melakukan
suap / pembayaran di lingkup internal (
Internal payoffs).
Terdapat beberapa literatur dan definisi
korupsi polisi (police corruption),
namun menurut Roebuck dan Barker[4]
(1974) adalah berbagai bentuk “kebiasaan”
yang dilarang melibatkan aparat penegak hukum untuk menerima atau mengharapkan agar
mendapatkan sesuatu, melalui tindakan kebaikan karena posisi jabatannya, suatu
yang berpotensi mendapatkan secara tidak sah berupa hadiah materi atau
keuntungan.
Sementara
kebiasaan [5] adalah kebiasaan-kebiasaan
yang didefinisikan sebagai korupsi polisi dengan melanggar sistem norma-norma; (1) Penodaan-penodaan secara
format terhadap aturan-aturan departemen kepolisian, hukum-hukum,
perundang-undangan, kebijakan-kebijakan; (2) Penodaan-penodaan secara tidak
formal (Aturan Operasi secara Umum); (3) Penodaan-penodaan dari hukum-hukum
criminal.
Keberadaan
korupsi polisi menjadi semakin rusak bahkan bertambah parah dengan adanya “code of silence”, karena di hampir semua
aktivitas kepolisian sangat berkaitan erat dengan fungsi-fungsi otoritas
kekuasaan sebagaimana disebutkan diatas. Tumbuh suburnya kerusakan pada
system-sistem di kepolisian adalah karena sebagian besar petugas memegang dan
mempedomani “code of silence” sebagai
sebuah kehormatan dan jati diri yang sebenarnya salah arah. Karena Institusi
kepolisian memiliki “code of conduct”
dan “code of ethic” yang menjadi
dasar dan pedoman bertindak.
Dalam
prakteknya, code of silence dilakukan
dengan didasari oleh “saling tahu” antara sesama petugas, “saling
menguntungkan”, “saling menjaga”, dan
bahkan “ saling melindungi” perilaku korupsi polisi. Pola hubungan “code of silence” ini berlaku dalam
berbagai jenjang tingkat kepangkatan, baik antar sesama, antara senior dan
junior, maupun antar bawahan dan atasan.
Hal
tersebut menjadi suatu kebiasaan yang terpola dan berlangsung tetap “ajeg” atau terus menerus, sehingga
menjadi virus akut yang terus tumbuh subur menyebar ke seluruh sistem dalam
tubuh organisasi. Analisa akan mendapatkan bahwa jika organisasi polisi sudah seperti ini, maka
yang terjadi adalah ketidakefisienan (inefficient),
ketidakefektifan (ineffective)
ketidakpercayaan (untrusted), tidak
dapat diandalkan (unreliable) dan
pada akhirnya menjadi beban bagi stakeholder-nya,
yaitu masyarakat dan Negara.
Berbagai
peristiwa atau study kasus dari “code of silence” yang rawan terhadap
korupsi kepolisian bisa dianalisa pada bidang tugas operasional maupun bidang pembinaan.
Hal ini terutama terjadi pada fungsi atau bidang tugas kepolisian yang memiliki
wewenang atau otoritas yang bersifat
kekuasaan seperti fungsi pelayanan, penegakan hukum, penertbitan perijinan, pengendalian maupun
pengadaan baik barang maupun jasa dan
lain sebagainya.
Pada
Fungsi tugas operasional Lalu lintas dengan kewenangan perijinannya kita
seriang mendengar banyaknya complain masyarakat (public complain), sehingga bermunculan adagium seperti, “prit
jigo”, “jebakan polisi”, “wereng coklat”, dan lain sejenisnya. Pada fungsi reserse
kepolisian dengan kewenangan penegakkan hukumnya yang dapat memaksa bahkan
menahan orang, sangat kental dengan nuansa korupsi sehingga berurusan dengan
polisi (reserse) ibarat “lapor ayam hilang kambing”. Begitu mahalnya mencari
keadilan.
Dibagian
lain pada fungsi pembinaan personil dengan berbagai aktivitas pengelolaannya,
salah satunya adalah kewenangan pengendalian personil tidak kalah rawannya,
bahwa untuk menduduki suatu posisi jabatan perlu “deal-deal khusus” yang tidak pernah dapat diungkap (unrevealed) namun sudah menjadi rahasia
umum. Demikian halnya dengan berbagai pandangan proses pengadaan barang maupun
jasa di kepolisian, sangat rawan terjadinya korupsi kepolisian, seperti
pembelian barang.
Pada
berbagai contoh kasus tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penyebab
korupsi di tubuh kepolisian dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu; 1) proses
rekruitmen, pendidikan dan pelatihan serta promosi, 2) Sumber daya, seperti pembayaran dan peralatan,
3) pembuatan sistem-sistem yang akuntabel pada unit-unit kepolisian, 4)
kebudayaan tradisional.
Keterbukaan sistem kontrol
Sebagaimana
hasil riset tentang “code of conduct”
yang dilakukan antara Februari 1999 hingga Juni 2000 di kepolisian negara
bagian Amerika Serikat. Terungkap dari hasil riset bahwa “code of silence”, sebagai sebuah konsep pengetahuan yang apabila
kita mempelajarinya dengan seksama tentang bagaimana cara mengontrol maka
korupsi secara massive tidak akan terwujud
karena semua orang menjadi lebih waspada akan adanya bahaya serta dampak
negatifnya yang meluas.
Keterbukaan
terhadap kontrol publik[6] (public control) yang
dewasa ini terjadi merupakan suatu iklim yang patut dijadikan sebagai momentum
untuk terus berbenah. Pemerintah membuat UU No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan Polri sebagai salah satu badan publik telah
mempersiapkan mekanisme internal tersebut dengan Peraturan Kapolri No. 16 tahun
2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri.
Kebijakan ini signifikan mengingat Polri adalah salah satu badan publik sipil
yang memiliki fungsi untuk melindungi dan melayani masyarakat sebagai upaya
menuju pemolisian yang demokratis.
Kesimpulan
Bukanlah
hal yang mudah untuk memerangi korupsi di tubuh kepolisian. Bahwa budaya”code of silence “ dalam berbagai bentuk
kasus korupsi kepolisian telah terjadi dan perlu menjadi kesadaran bersama
bahayanya jika hal ini terus berlangsung tanpa mekanisme sistem control, baik internal
maupun eksternal. Hal ini terjadi karena lemahnya profesionalisme dan
mentalitas petugas yang dihadapkan pada berbagai tuntutan dan tantangan
lingkungan.
Polri sebagai institusi
Pemerintah yang bertanggung jawab pada publik, harus mempercepat dan memperluas
diseminasi aturan-aturan internal Polri terkait mekanisme keterbukaan informasi
publik yang menjangkau seluruh satuan kerjanya. Selain itu pelatihan
keterampilan memberikan pelayanan informasi kepada publik juga harus segera
dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Julian B. Roebuck and Thomas Barker, 1974, a typology of Police Corruption,
Mississippi State University.
2. Kontras (Komisi Untuk Orang Hil;ang dan Tindak
Kekerasan), 2011, Pemantauan Keterbukaan
Informasi Publik - POLRI 2011.
3. Neal Trautman, 2000, Police code of silence fact revealed, Legal Officer Section,
International Chief of Police.
4. Peter S. Temes, 1994, Laura (Riding) Jakson and the Refusal to
Speak, Modern Language Assosiation,
5. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik
6. Stuart
Morishita Dubois, 2010, an exploration of the
blue code of silence, university
of Portsmouth, institute of criminal justice studies.
7. Roberta Ann Johnson, 1999, whistleblowing and the police, Rutgers
university journal of law and urban policy.
[2] Shahar et al. (2006), we expected
self-criticism to be positively associated with controlled motivation.
must be a member or former member of the organization
at issue; (2) his information must be about
Nontrivial wrongdoing in that organization; (3) he
must intend to expose the wrongdoing; and (4) he must act in a way that makes
the information public.
[4] Police
corruption as any type of proscribed
behavior engaged in by a low enforcement officer who receive, by virtual of his
position, an actual or potential unauthorized material reward or gain
[5] Behavior defined as
police corruption transgress contra dictionary normative system; (1) violations
of formal police departmental rules, laws, regulations, policies; (2)
violations of informal (general operating) rules; (3) violations of criminal
laws.
[6] Definisi dari informasi yang bukan dikecualikan adalah bila ia tidak
memenuhi syarat-syarat pengecualian
sesuai dengan Pasal 17 pada UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, yaitu:
a. tidak menghambat proses penegakan hukum (penyelidikan, penyidikan,
mengungkap identitas informan, pelapor , saksi dan korban); bukan merupakan data inteijen kriminal dan rencana-rencana berhubungan
dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; tidak membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau
keluarganya dan tidak membayakan keamananperalatan, sarana dan/atau prasarana
penegak hukum.
c.
No comments:
Post a Comment