Pendahuluan
Buku ini memuat pandangan-pandangan kritis tentang
hubungan interasional dari para pemikir seperti; Theodor Adorno, Giorgio Agamben, Hannah Arendt, Alain Badiou, Jean
Baudrillard, Simone De Beauvoir, Walter Benjamin, Roy Bhaskar, Pierre Bourdieu,
Judith Butler, Gilles Deleuze, Jacques Derrida, Frantz Fanon, Michael Foucault,
Sigmund Freud, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, G.W.F. Hegel, Marthin
Heidegger, Immanuel Kant, Julia Kristeva, Emmanuel Levinas, Karl Marx, Juan-Luc
Nancy, Friedrich Nietzche, Jaques Ranciere, Richard Rorty, Edward Said, Carl
Schmitt, Gayatri Chakravority Spivak, Paul Virilio dan Slovaj Zizek.
Para penulis dalam buku “Teori-teori Kritis”
yang disusun secara sporadis tersebut hendak menciptakan gerbong-gerbong
pemikiran melalui metode kritis, sebagaimana yang telah disampaikan Michel Foucault bahwa “pengetahuan
tidak sekedar dibuat demi pemahaman; itu justru dibuat untuk memotong
setajam-tajamnya”. Apa yang menjadi pemahaman para teoritisi sosial maupun
politik, seharusnya tidak hanya menyajikan secara deskriptif persoalan-persoalan
yang di hadapi oleh manusia, atau dalam hubungan internasional adalah negara,
pada taraf ini Karl Marx juga berpesan
secara tegas terhadap para filsuf dengan pernyataan “tugas filsuf bukanlah
memberikan gambaran utuh tentang dunia, namun yang terpenting adalah merubahnya”,
seperti dalam buku ini, meskipun penulis menyajikan berbagai pendekatan teori
kritis dari banyak pemikir sosiolog atau politik, dan bahkan filsuf modern,
namun belum mampu secara jujur dan tegas berbicara tentang kelemahan dari para
pemikir-pemikir itu sendiri.
Tentang Teori Kritis
Teori
kritis merupakan suatu konsep akademisi
yang rumit untuk dimengerti dan dipahami yang lahir dengan tidak memiliki
ide-ide pokok sebagaimana layaknya sebuah teori, namun teori kritis muncul
sebagai kritikan terhadap teori-teori pendahulunya, yaitu teori Tradisional.
Teori Tradisional adalah sebuah teori yang terdapat dalam prespektif
realis dan liberalis.
Pengaruh teori kritis ini mulai dirasakan
disekitar tahun 1980 meskipun teori kritis sendiri telah ada sejak abad 20. Teori-teori kritis pada awalnya merujuk pada
serangkaian pemikiran mereka yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di
Universitas Frankfurt, tahun 1920an,
yang kemudian dikenal sebagai Die
Frankfurter Schule atau Frankfurt School yang banyak memperoleh inspirasi
dari, atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti George Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama
sekali, serta tidak bisa dilepaskan dari konsepsi pemikiran Karl Marx. Mazhab Frankfurt telah
berkembang dinamis melalui beberapa generasi pemikiran, dan memproduksi
sejumlah varian pemikiran, sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa
mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan pemikiran yang monolitik.
Teori kritis saat ini membuka kembali
asumsi-asumsi yang telah mendasari pemikiran politik, yaitu dengan
mempertanyakan titik awal berfikir secara politis. Dimana semua yang dipahami
sebagai struktur atau hal yang nyata dari partikel-partikel kecil merupakan
bentukan dari berbagai gagasan yang mapan. Adapun Pertentangan yang terjadi
adalah persoalan mengatur susunan partikel itu menjadi suatu hal yang
barangkali harus diterima sebagai kebenaran, atau yang lebih naif adalah
keniscayaan.
Ada pertanyaan yang harus diajukan pada buku
“Teori-teori Kritis”, yaitu kenapa rangkaian pemikiran ini dimulai dengan Theodor Adorno (dialectic of
enlightenment) yang menyebutkan bahwa pencerahan adalah totalitarian
(Adorno dan horkheimar 1997:6), padahal jika melihat narasi agung pemikiran
kritis ala barat, dimulai dengan perselisihan antara positivis dan empiris,
yang kemudian menjadi madzhab teori-teori sosial dan politik pasca renaisans; Yang
justru di buka oleh Hegel, Marx, Kant selanjutnya di bunuh oleh Nietzsche serta
Freud. Kecurigaan ini sangat kentara sekali dalam rangka memberikan legitimasi
forma pada hegemoni mazhab frankfrut, yang kemudian di gunakan sebagai
pendekatan politik internasional dan juga menjaga stabilitas pemikiran kritis
terhadap kritik atas teori-teori kritis (politik internasional dan geografi
pemikirannya).
Pada mulanya teori kritis di gunakan sebagai pisau analisa untuk mendapatkan
gejala-gejala umum pada sistem sosial, akan tetapi disini dari sebagain besar
pemikiran mulai dari mazhab frankfrut hingga mundur kebelakang seperti marx,
hegel, kant dijadikan suatu model pendekatan untuk menganalisis politik
internasional atau bahkan meniadakan kehadirannya. Negara akan berbeda makna
dan fungsi jika metode-metode kritis dilakukan dengan berbagai varian
pemikiran. Disatu sisi multyminded theory mereformasi struktur negara
dengan cara komprehensif yang bersifat temporal. Atau sesuai dengan dimensi
terbatas, bukan menjadi satu kesepakatan realitas sebagaimana yang di ajarkan
oleh kaum realisme atau neo realism.
Inti dan tujuan dari teori kritis adalah untuk menelusuri penderitaan
manusia akibat dari penindasan dan dengan membukanya praktek emansipatif. Teori
kritis ini memiliki maksud untuk mendobrak irasionalitas masyarakat modern. Dalam pandangan Horkheimer teori kritis merupakan sebuah teori yang tidak dapat
terlepas dari konteks sosial dimana munculnya teori tersebut denagan
disertainya penertapan praktis dalam teori tersebut. Dengan adanya sebuah
konteks jaman dalam sebuah teori kritis, manakala pada jaman tersebut memiliki
karakter yang sama, makan tidak mustahil bahwa teori itu pun mempunyai
relevansi dengan realitas jaman. Adanya kontekstual dengan logika situasi,
logika jaman atau zeit geschit (Popper, 1985). Salah satu contoh yang
membenarkan teori kritis ini adalah sebuah teori yang diusung oleh ajaran Marx,
yang memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian
pula sama halnya dengan kehidupan yang ada pada Indonesia dewasa ini, yang
menunjukan karakter yang sama, maka dengan demikian teori kritis memiliki
relevansinya. Oleh karena itu pula, sebuah teori kritis, dalam penilaian
Horkheimer (dalam Bohman, 2005; hal. 1), bisa dianggap mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga)
kriteria, yakni teori tersebut harus: Pertama, Explanotory, yakni harus
menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada. Pengertian
explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam teori, antara
lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya,
yang wajar dan tidak wajar. Kedua, Practical antara lain
menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu merobah
dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya
demikian. Ketiga, Normative memiliki keterkaitan dengan dua dimensi
terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan norma-norma yang jelas,
atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik
terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis
yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.
Penutup
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pendekatan teori ini bersifat
spekulatif murni yang mana pada titik tertentu, teori ini adalah sebagai
pewaris dari ajaran Karl Marx yang menjadi emansipatoris. Teori ini bukan hanya
menjelaskan, merefleksikan dan menata akan tetapi teori ini juga mau mengubah
realitas sosil yang ada. Keberadaan teori kritis ini adalah sebagai konstruktivisme, yang mampu memahani
struktur sosial dan politik sebagai produk dari intersubyektivitas dan
pengetahuan secara alamilah memiliki karakter politis yang terkait dengan
kehidupan sosial dan politik.
Dan berkembangnya sifat politis pengetahuan di pengaruhi oleh pemikiran Emmanuel Kant mengenai keterbatasan
pengetahuan, dimana dengan adanya keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tidak
dapat memahami dunia secara menyeluruh melainkan hanya sebagian saja (parsial).
Hegel dan Marx memiliki pemikiran
bahwa terbentuknya sebuah teori tidak terlepas dari figur seorang masyarakat.
Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap proses pembentukan sebuah teori. Sementara
pemikiran Max Horkheimer
membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni Teori Tradisional dan Teori
Kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoritis dan obyek
kajiannya, yang artinya teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai
keberadaan realitas yang berada di luar pengamat. Sementara Teori Kritis
menolak asumsi pemisahan antara subyek-subyek dan beragument bahwa teori selalu
memiliki dan tujuan fungsi tertentu.
Book Review;
Buku karangan Edkins,
Jenny,Vaughan-Williams, Nick, yang berjudul
Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Editor:
Tectona Radik.--Ed. 1, Cet. 1.--Yogyakarta:", tebal xv,
539 hlm; 23 cm, ISBN/ISSN; 979-2462-33-3,
terbitan Pustaka
Pelajar Group, cetak tahun 2012.
No comments:
Post a Comment