Budaya dan police
sub-culture[1]
Eko SUDARTO[2]
Pendahuluan
Tulisan
tentang kebudayaan dan Ilmu Kepolisian. Saya ingin menunjukkan bahwa kebudayaan
kepolisian merupakan akar yang terbentuk
dari budaya masyarakat yang lebih besar, dengan kata lain kebudayaan polisi adalah
bagian kebudayaan nasional (sub culture).
Hal ini karena Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) adalah bagian dari
bangsa (nation) Indonesia, sehingga
sub culture Polri sebenarnya merupakan bagian yang melengkapi kebudayaan Indonesia.
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah”, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture yang sering diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini akan disampaikan berbagai definisi tentang
kebudayaan.
Berbagai pandangan tentang kebudayaan
Definisi kebudayaan itu
banyak sekali lebih,
di Indonesia, sedikitnya ada 6
(enam) Sosiolog maupun Antropolog yang sangat concern tentang kebudayaan, diantaranya adalah:
Kuncaraningrat, Parsudi Suparlan, Ki Hajar Dewantoro, Selo Sumarjan, dan lain sebagainya. Kebudayaan
adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakarpada
nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses
belajar. Kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; 1) Wujud ideal meliputi
gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb; 2). Wujud sistem sosial yang
merupakan pola kelakuan manusia dalam masyarakatnya; 3). Wujud fisik yang
merupakan benda-benda hasil karya manusia, termasuk produk arsitektur.
Fungsi kebudayaan menurut Soewondo bs, (1982), bahwa kebudayaan
pada hakekatnya merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan maka
dengan sendirinya kebudayaan akan hilang.
Jadi kebudayaan mendasari dan mendorong
terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang timbul.
Kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan masyarakat, beberapa definisi tentang budaya dikemukakan oleh
beberapa ahli yaitu;
1. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964), dalam
bukunya setangkai Bunga Sosiologi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat mengkasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (immaterial culture). Rasa menghasilkan
kaidah dan nilai sosial, termasuk didalamnya agama, ideology, kebatinan dan
kesenian yang meruoakan hasil ekspresi jiwa. Cipta merupakan mental dan kemampuan
berfikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa dan Cipta dinamakan
kebudayaan rohaniah (immaterial culture).
2. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (1948) dalam bukunya “Man and his work”, mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Melville J.
Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat
teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik, sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4
unsur pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama
antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam
sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan
organisasi kekuatan (politik)
3. Andreas Eppink (2001), kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
4. Edward
B. Tylor (1884), “Culture... is that complex whole which includes knowledge, beliefs,
arts, morals, law, customs, and any other capabilities and habits acquired by
[a human] as a member of society”, bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
5. Koentjaraningrat (1982), sebagaimana pemikiran Malinoski bahwa konsep mengenai fungsi
sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi
mantap yang kemudian membedakan fungsi
sosial dalam tiga tingkat abstraksi yaitu: a).
Fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai
pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat; b). Fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua mengenai
pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang
bersangkutan; c). Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosila pada tingkat
abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk
berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Dari berbagai pengertian kebudayaan dapat
disimpulkan sebagai suatu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Unsur Kebudayaan Universal menurut konsep
Bronislaw Malinowski (1943) mempunyai tiga Wujud Kebudayaan, yaitu Sistem Budaya, Sistem
Sosial, dan Kebudayaan Fisik. Selanjutnya
Malinowski mendefinisikan kebudayaan
di dunia terbagi kedalam 7 (Tujuh) Unsur Universal, yaitu; 1) Bahasa; 2). Sistem
Teknologi; 3). Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian; 4). Organisasi Sosial; 5).
Sistem Pengetahuan; 6). Religi (agama) dan 7). Kesenian
Kasus Angeline dalam perspektif budaya
Polda
Denpasar, Bali menangani kasus Angeline
(8) ditemukan tewas di belakang halaman rumahnya di
dekat kandang ayam di rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar pada tanggal 10
Juni 2015. Angeline awalnya
dikabarkan hilang oleh ibu angkatnya Margriet
pada 16 Mei 2015. Polisi kemudian dituntut
melakukan penyelidikan, penyidikan dan telah menetapkan dua orang sebagai tersangka
dalam kasus ini yakni mantan pembantu di rumah Margriet, yaitu Agus sebagai tersangka
dengan dugaan pembunuh Angeline, dan Margriet sebagai tersangka dengan
dugaan
penelantaran anak.
Dalam
proses penyidikan, Polri membutuhkan Bantuan ahli kriminolog karena menemukan para tersangka memberikan keterangan
yang kerap berubah. Walaupun Polri
juga menggunakan bantuan alat pendeteksi kebohongan, namun demikian, alat
tersebut tidak dapat dijadikan indikator pasti seseorang berbohong atau tidak. Pelibatan ahli kriminolog dalam hal ini Prof. Ronny
Nitibaskara dalam kasus Angeline diperlukan untuk
pendalaman kebenaran atas keterangan Agus
melalui sistem lie detector.
Dalam penjelasan pada perkuliahan S3 Kajian Ilmu Kepolisian di
STIK-PTIK, Jakarta, Prof. Ronny Nitibaskara menjelaskan bahwa disiplin
ilmu kriminologi budaya bisa melihat apakah orang itu mengatakan benar atau berbohong.
Karena setiap manusia memiliki sinyal pada gerakan reflek yang tidak disadari
apabila ada reaksi tertentu yang tidak bisa dikendalikan oleh pikiran mereka,
dan gerakan tersebut secara umum itu
bisa dibaca ahli kriminologi. Beberapa contoh lainnya seperti kerutan dahi,
bentuk dagu, kerutan kening, kerlingan mata dan lain sebagainya.
6 (enam) focal concerns sebagai lower-class subculture
Kriminolog Walter B. Miller (1958), dalam bukunya berjudul “implications of urban lower-class culture for social work, mendefinisikan bahwa Sub culture disebut sebagai lower-class subculture yang menekankan
nilai-nilai yang dibangun di atas 6
(enam) focal concerns. Dari penjelasan Miller tentang perilaku budaya kelas
bawah, dapat dianalisa pada petugas
kepolisian sebagai adaptasi dengan premis sebagai berikut:
a.
Trouble
Hingga kini, sinyalemen terhadap
adanya perilaku kekerasan oleh pihak anggota kepolisian masih terjadi, hal ini karena adanya kesalahpahaman atau pun tidak
adanya kontrol emosi pada individu-individu anggota Polri. Perilaku tersebut
dapat terjadi dimana saja, baik di ruang interogasi, kerusuhan, ataupun dalam
aksi unjuk rasa. Dalam berbagai peristiwa demonstrasi yang tidak terkendali, maka sudah
pasti terjadi bentrokan fisik antara pelaku demonstrasi dan aparat kepolisian
yang bertugas. Pada saat itu aparat
kepolisian dituntut untuk memiliki kesabaran dan kesadaran yang tinggi. Jika petugas
kepolisian tidak dapat mengandalikan emosinya, maka yang terjadi adalah trouble
atau masalah, sehingga dapat melakukan tindakan yang cenderung bersifat agresif
terhadap para demonstran. Seperti menganiaya atau
melakukan penyiksaan yang berakibat luka fisik, cacat dan bahkan meninggal.
b.
Toughness
Dalam berbagai situasi tugas dan kewajiban, anggota Polri
yang selain dituntut mempunyai
berbagai aspek kemampuan, kelebihan atau keunggulan secara fisik
dan mental, juga dituntut untuk memiliki keteguhan (toughness). Hal ini sangat penting, karena dengan sikap dan
kemampuan keteguhan jiwa yang baik tentu akan mendukung berbagai bentuk
penugasan yang diberikan kepada petugas kepolisian tersebut. Seperti contoh,
seorang anggotan yang memiliki kemampuan
beladiri, selain mendapat pengakuan lebih didalam
kesatuannya, maka jika kemampuannya tersebut
hingga berprestasi akan sangat menunjang kariernya.
c.
Smartness
Salah satu persyaratan untuk bisa menjadi anggota Polri dalam
proses rekruitmen adalah melewati
seleksi dan lulus secara akademis. Hal ini berarti untuk menjadi petugas polisi
setidaknya harus memiliki tingkat kecerdasan yang memadai karena sistem pendidikan
di Polri terus berlanjut dan berjenjang. Dengan memiliki otak cemerlang diharapkan
dapat menyelesaikan tugas-tugas yang semakin beragamnya dan meningkat. Polri juga
terus mengembangkan sistem pendidikan dan mencerdaskan personilnya, baik
pendidikan kedinasan maupun ilmu kepolisian (sciences). Hal ini untuk mendukung dalam tugasnya sebagai pelayanan
kepolisian untuk mendapatkan rasa aman. Rasa aman tersebut akan diaktualisasikan
dengan baik oleh jajaran kepolisian melalui petugas-petugasnya yang cerdas,
seperti kemampuan melalukan antisipasi, prediksi dan tindakan deskresi
kepolisian secara tepat dan cepat.
d.
Exitement
Sebagai individu, pada hakekatnya anggota Polisi saja sama
dengan manusia pada umumnya yang memiliki keunikan sendiri dan tidak sama dengan
individu yang lain. Sifat dan perilaku tersebut berkembang dari pengalaman
hidup, dipengaruhi juga oleh adanya cita-cita, keyakinan hidup, sikap dan juga
etika serta moral. Juga memiliki berbagai Perasaan seperti gembira, sedih,
galau, gelisah dan lain sebaginya. Sebuah perasaan yang menggambarkan
kegembiraan yang berlebihan (excitement)
dicontohkan perayaan suatu keberhasilan dengan minuman berakohol tinggi
sambil menyanyi sekeras-kerasnya diiringi irama alat musik gitar
yang tidak beraturan.
e.
Authonomy
Polri merupakan lembaga tinggi negara yang otonom (authonomy)
dibawah Presiden Republik Indonesia. Keberadaannya yang begitu otonom, membutuhkan
pemimpin yang mampu memberikan kekuatan organisasi, memiliki kemandirian, keberanian,
ketegasan, memiliki tanggung jawab, dan serta menjadi tauladan. Organisasi yang
otonom sangat memerlukan seorang pemimpin yang berniat menjadikan institusi
Polri menjadi lebih baik.
Daftar
Pustaka
1. Walter B. Miller, 1995, Implication of urban
lower-class culture for social work, the social review, Special Youth Program,
Roxbury, Massachusetts.
2. Baal, J. Van.
1988. “Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya”, PT. Gramedia,
Jakarta
3. Kaplan, David
dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
4. Keesing, M.
Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I.:Erlangga.
Jakarta
5. Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Teori Antropologi I. UI Press. Jakarta
6. Sjaifuddin,
Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Prenada Media. Jakarta
7. TB. Ronny Nitibaskara, 2015, catatan mata kuliah Ilmu
kepolisian dan budaya, pada kuliah S3-Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK,
Jakarta.