Wednesday, July 15, 2015

Patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik nilai dan perilaku menyimpang



Patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik nilai, dan perilaku menyimpang[1]
Oleh

Eko SUDARTO


Pendahuluan
Saya menulis dan mencermati  tentang materi perkuliahan masalah sosial sebagaimana ditulis oleh Prof. Dr. Paulus Tangdilintin pada bukunya yang berjudul “Masalah-masalah sosial (suatu pendekatan analisis sosiologis)”. Tulisan ini mengulas perspektif masalah-masalah sosial.  Earl Rubington dan Martin S. Weinberg (1995) dalam bukunya the study of sosial problems seven perspectives sebagaimana diterangkan Paulus Tangdilintin (2000), menjelaskan bahwa ada 7 konsep perspektif (sub-paradigma) perkembangan masalah sosial. perspektif tersebut meliputi; Patologi sosial, Disorganisasi Sosial, Konflik Nilai, Perilaku Menyimpang, Perspektif Krisis, Labeling dan Konstruktivisme.
Dalam kesempatan ini akan dijelaskan 4 (empat) perpektif, dalam masalah-masalah sosial (Patologi sosial, Disorganisasi Sosial, Konflik Nilai, Perilaku Menyimpang) yang disebut sebagai paradigm consensus dan struktural fungsional. Tulisan ini bersifat review atau pemahaman ringkas dan dijadikan sebagai bahan diskusi pada program Doktoral (S 3) di Kajian Ilmu Kepolisian, PTIK Jakarta.

Patologi Sosial
Perspektif Patologi sosial diyakini merupakan perspektif tertua dari ke-7 perspektif. Jessie Bernard (1957) menamakannya sebagai pendekatan individual. Analogi organik juga menjadi perdebatan dalam pendekatan ini  dan Bernard (1957)  menyebutnya sebagai pendekatan Budaya dan Institusi. Sementara Rubington dan Weinberg (1995: 16) menjelaskan hal ini sebagai pengaruh analisis makro melalui pengambaran kongkret, yang menganalogikan masyarakat dengan mahluk hidup, dimana “Pemerintah sebagai Kepala, Pelayanan adalah pembuluh nadi dan polisi sebagai perpanjangan tangan dalam pengaturannya”. Kemudian Herbert Spencer membuat analogi simbolik yang menyebutkan bahwa masyarakat sebagai suatu organisme yang memiliki massa, serta struktur yang terus berkembang secara kompleks, dan mempunyai bagian-bagian yang berdiri sendiri. menurut para penganut perspektif ini, seseorang atau masyarakat disebut mengalami masalah sosial jika kegiatan organisme sosialnya terganggu. Gangguan ini disebut semacam penyakit atau patologi.
Samuel Smith (1911) dalam tulisannya Sosial Pathology serta Frank W. Blackmar dan J.L. Gillin (1923) dalam Outlines of sociology, mencerminkan perspektif patologi sosial kontemporer[2]. Patologi sosial ini dapat disebabkan oleh dua factor, yaitu (1). Ketidakmampuan individu menyesuaikan diri dalam menjalankan peranannya (maladjustment), dan (2). Kegagalan masyarakat melakukan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan warganya (malfunction). Disinilah ciri utama perspektif patologi sosial, bahwa permasalahan sosial selalu dicari pada kelemahan, baik pada individu maupun masyarakat. Dengan kata lain, masalah sosial itu selalu disebabkan oleh sesuatu yang tidak beres, karenanya perlu dilakukan pengobatan terlebih dahulu terhadap masalah yang tidak beres tersebut.
Perspektif patologi sosial mengenal 3 (tiga) penyimpangan, yaitu cacat (defect) atau bawaan lahir yang tidak bisa diajari, ketergantungan (dependent) yang menyebabkan kesulitan menerima pengajaran dan kenakalan (delinquent) yang bersifat menolak pelajaran. Penyebab dari penyimpangan tersebut bisa dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh dari nilai-nilai yang salah di lingkungannya (Smith, 1911), seperti lingungan yang buruk akibat kepadatan penduduk, polusi, perkembangan teknoogi dan lain sebagainya. Baik pandangan klasik maupun modern melihat bahwa penanggulangan masalah sosial adalah melalui pendidikan moral.


Beberapa karya ilmiah penganut perspektif patologi sosial adalah sebagai berikut:
a.         The organic analogy oleh Samuel Smith (1911), yang mencontohkan bagaimana cara seorang dokter dalam menyembuhkan pasiennya. Maka Ahli Patologi sosial mempelajari masalah sosial dalam mencari solusi pemecahannya.
b.         The criminal as a born criminal type oleh Cesare Lombroso dan William Ferrero (1895), yang memperkenalkan ciri-ciri kelainan (ketidakserasian) wajah sebagai ciri-ciri pelaku warisan kejahatan.
c.         The child saver oleh Anthony M. Platt yang mengemukakan pandangan bagi proses penyembuhan kenakalan remaja sebagai “kekurangan sifat insani yang utuh” (as less than a complete human being) akibat sifat bawaan maupun muncul dalam perkembangannya.
d.         A universal Criterion of Pathology oleh Vytautas Kavolis (1969) yang tidak sepaham dengan menganalogikan perspektif patologi sosial dengan model medik. Argumennya adalah bahwa patologi sosial dapat memberi konsep-konsep yang objektif dan berguna jika disertai dengan pengkajian yang teliti.
e.         The pursuit of Loneliness oleh Philip Slater (1976), yang mengemukakan bahwa budaya individualsme yang dibawa bangsa Amerika, selain belum sepenuhnya diterima juga  berakibat buruk karena individualism tidak dapat menghilangkan patologis dari kebudayaan baru.

Disorganisasi sosial
Dalam perspektif disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai  (1) jawaban terhadap keadaan yang terjadi pada tingkat masyarakat luas; (2) jawaban terhadap perubahan dalam lapangan sosiologi secara khusus.
            Setelah perang dunia pertama (1942), terjadi arus migrasi dan urbanisasi dari Eropa ke Amerika dan menimbulkan masalah seperti kemiskinan, kejahatan, gangguan mental, kecanduan alcohol dan sejenisnya. Pertemuan antara migran dan warga setempat berbaur dengan kebudayaan yang ada menimbulkan masalah, terutama bagi yang kurang berhasil menyesuaikan diri.  Dan dari mereka itulah tampaknya yang menjadi sumber masalah. Demikian juga proses industrialisasi yang terus berkembang, namun selain menyisakan dampak lingkungan, juga kapasitas tenaga kerja yang tidak tertampung sehingga berakibat banyaknya pengangguran.
            Jadi setidaknya ada 3 faktor utama yang menyebabkan disorganisasi sosial, berupa perubahan sosial dan kultural pada tahap ini di Amerika Serikat, yaitu Migrasi, Urbanisasi dan Industrialisasi. Masalah yang berkembang tidak hanya sebatas kejahatan namun masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini terus menimbulkan tantangan baru bagi para sosiolog yang kemudian melahirkan perspektif Disorganisasi Sosial, sebagimana disampaikan Samuel Huntington (1997) yang menghitung munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.”
            Munculnya perspektif Disorganisasi Sosial dinilai oleh Rubington dan Weinberg (1995) sebagai suatu refleksi yang mengokohkan bahwa sosiologi telah merupakan suatu disiplin ilmu yang mandiri. Perspektif disorganisasi sosial sangat populer karena keberhasilan para sosiolog untuk menunjukkan adanya hubungan antara masalah sosial dan disorganisasi sosial. Tokoh-tokohnya antara lain Charles H. Cooley, W.I Thomas dan Florian Znaniecki dan William Ogburn.
            Ada perbedaan antara perspektif patologi sosial dan perspekti disorganisasi Sosial, yaitu bahwa pada  perspektif disorganisasi Sosial lebih kompleks dan lebih sistematik, karena hasil kemajuan sosiologi yang semakin berkembang. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa perspektif patologi sosial berangkat dari anggapan bahwa masalah itu disebabkan oleh kegagalan, baik pada individu maupun masyarakat, sedangkan perspektif disorganisasi sosial mulai dengan penelitian mendalam atas peranan dari aturan atau kebiasaan yang merupakan tatanan baru suatu kehidupan.
            Beberapa karya ilmiah penganut disorganisasi sosial diantaranya adalah sebagai berikut;
1.         sosial change and sosial disorganization oleh Robert E. Park, mengemukakan gagasannya bahwa dasar bagi suatu organisasi sosial adalah tradisi dan kebiasaan. Keluarga, tetangga, masyarakat yang stabil merupakan lembaga yang mampu menjalankan pengendalian sosial. Namun masyarakat modern yang komplek seperti urbanisasi, migrasi, industrialisasi yang berlangsung cepat karena teknologi (komunikasi dan transportasi) berdampak pada disorgansasi sosial di masyarakat.
2.         The ecology of urban disorganization oleh Robert E.L.Farist dan H.Warren Dunham yang mengungkapkan bahwa ternyata lebih banyak permasalahan yang berhubungan dengan struktur ekologis disbanding dengan masalah urbanisasi dan disorganisasi sosial.
3.         Family disorganization oleh W.I Thomas dan Florian Znaniecky yang mengemukakan bahwa inti permasalahan disorganisasi keluarga adalah adanya sikap we (kekitaan) dan sikap I (keakuan) dalam struktur masyarakat.
Konflik nilai
Pada tahun 1925, Lawrence K. Frank menggunakan perspektif Konflik nilai dalam mempelajari masalah-masalah perumahan, yang ternyata mengandung banyak konflik kepentingan (Rubington dan Weinberg, 1995 dan Lawrence K. Frank, 1925).
Perspektif konflik nilai tumbuh sebagai perpaduan antara teori-teori konflik Eropa dan Amerika. Dipelopori oleh Karl Marx yang melukiskan sejarah berkaitan dengan pertentangan kelas dan George Simmel yang mengaitkan dengan konflik dalam interaksi sosial. Fuller dan Myers berpendapat bahwa masalah sosial ditemukan dalam 3 fase, yaitu; kesadaran, penentuan kebijaksanaan dan perubahan. Mereka melihat bahwa sejak perang dunia ke-2 tidak  terjadi disorganisasi, namun banyak terjadi perbedaan kepentingan, dimana masing-masing pihak mempertahankan kepentingan dan nilai-nilainya dari kelompok lain.
Perspektif konflik nilai dipandang lebih tajam daripada perspektif patologi dan lebih supel diabanding disorganisasi sosial. Penyebab masalah sosial adalah konflik nilai atau kepentingan. Jika perbedaan kepentingan mencapai titik kulminasi, maka pecah konflik tidak terhindarkan. Ada 3 cara penyelesaian konflik, yaitu konsesus dimana antara pihak yang  bertikai memilih nilai yang tertinggi. Kemudian trade, yaitu penyelesaian melalui negosiasi. Dan ketiga adalah naked power dimana pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah.
Beberapa karya ilmiah penganut perspektif konflik nilai adalah sebagai berikut
1.         The stage of sosial problem oleh Richard C. Fuller dan Richard R. Myers yang menyatakan bahwa masalah sosial berkembang melalui 3 tahap, yaitu kesadaran, penetapan kebijaksanaan dan perbaikan. Menurut mereka konflik nilai tampil dalam seluruh fase sejarah perkembangan suatu masalah sosial.
2.         Words without Deeds oleh Willard Waller yang menjelaskan bahwa dalam menghadapi masalah sosial kita harus mempunyai alasan kenapa kita sebut sebagai suatu masalah sosial. Ada dua kebiasaan dalam menyikapi, yaitu pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan organisasional yang keduanya tidak selalu sejalan. Artinya dalam setiap permasalahan sosial kita akan senantiasa dihadapkan pada pertimbangan kemanusian dan pertimbangan organisasi. Dalam kesimpulannya Waller menyatakan bahwa banyak masalah yang tidak terselesaikan karena memang tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya.

Perilaku menyimpang
Perspektif perilaku menyimpang merupakan salah satu pendekatan dalam memahami masalah sosial. Merton dan Nisbet (1961, dalam Tangdilintin 2000) menyatakan bahwa perilaku menyimpang melihat masalah sosial sebagai suatu akibat dari suatu tidakan yang menyimpang dari perangkat nilai berhubungan status sosial seseorang. Jadi suatu perilaku akan dikatakan menyimpang atau tidak, sangat tergantung pada status orang yang melakukannya. Perilaku menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi terkait dengan aturan kebiasaan yang secara sosial telah diterima dan secara moral bersifat mengikat penyandang status tertentu.
            Brian J. Heraud (1970) membedakan penyimpangan dalam beberapa jenis, seperti penyimpangan statis yaitu penyimpangan pada kebiasaan umum dalam kehidupan sehari-hari. Penyimpangan medis atau patologis, yaitu penyimpangan sebab dan akibat sosial atau individual. Karenanya penyimpangan ini harus dikaji secara selektif untuk menentukan mana yang tergolong perilaku menyimpang dan yang bukan.
            Beberapa konsep teoritis tentang perilaku menyimpang diantaranya adalah teori anomi yang dikembangkan oleh Emile Durkein yang mengemukakan 3 jenis bunuh diri yaitu bunuh diri egoistic[3], bunuh diri altruistic[4] dan bunuh diri anomi[5].
            Perkembangan dinamika ilmu sosial melahirkan pemikiran-pemikiran khususnya sosiolog dan ilmu-ilmu sosial yang mengembangkan teori anomi dan asosiasi. Teori anomi berkembang di dalam suatu masyarakat atau kelompok pada saat cita-cita untuk mencapai sesuatu yang menjadi dambaan umum, mempengaruhi pemikiran sebagian besar orang dalam kelompok masyarakat itu, namun dilain pihak aturan-aturan yang ada tidak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara pencapaian cita-cita tersebut. Maka terjadilah anomia tau ketiadaan norma.
            Edwin H. Sutherland mengembangkan teori asosiasi diferensial, yaitu adanya penyimpangan dipelajari di dalam interaksi dengan orang lain, terutama di dalam kelompok primer yang bersifat intim seperti keluarga dan kelompok sebaya. Teori assosiasi diferensiasi didasari aksioma Durkein, bahwa perilaku menyimpang merupakan bagian alami dari kehidupan sosial, seperti halnya teori anomi yang dikembangkan Merton. Masalah sosial menurut perilaku menyimpang disebabkan adanya sosialisasi yang tidak tepat karena kurangnya kesempatan untuk belajar secara konvensional.
Penutup
Sebagai institusi yang paling depan bersentuhan dengan masyarakat dan permasalahnnya, Polisi memiliki posisi sentral dalam penanganan konflik masalah-masalah sosial. Akan tetapi polisi bukan merupakan aktor utama dalam penentuan kebijakan penanganan konflik masalah-masalah social tersebut. Dengan memahami dan mengetahui tentang perpektif masalah sosial, akan memberikan bekal pengetahuan bagi Polri untuk sigap dalam menanggulangi setiap ancaman, gangguan, hambatan, baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.
Daftar pustaka
1.         Tangdilintin, Paulus, 2000, Masalah-masalah sosial (suatu pendekatan analisis sosiologis), Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.
2.         Huntington, Samuel, 1997, the Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York: Simon and Schuster.



[1] Makalah dibawakan dalam semiar kelas program Doktoral S 3 Kajian Ilmu Kepolisian PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 14 Juli 2015

[2] Patologi sosial biasanya menunjuk kepada kondisi sosial yang diakibatkan (1) oleh kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dimana fungsi mereka sebagai anggota masyarakat mandiri memenuhi kebutuhan sendiri, yang dapat menyumbang secara wajar kepada stabilitas dan kemajuan pembangunan, dan (2) oleh ketidakmampuan menyesuaikan struktur sosial termasuk mengorganisasikan cara sesuatu dan mengorganisasikan lembaga-lembaga, bagi perkembangan kepribadian. (Blacmar dan Gillin; 1923)
[3] Bila seseorang memiliki ikatan persaudaraan yang lemah, sehingga tak mampu menghalangi seseorang lain yang ingin bunuh diri.
[4] Kebalikan dari bunuh diri egoistic, disini dilakukan oleh seseorang demi berkorban karena ikatan kekerabatan yang kuat.
[5] Terjadi sebagai respon adanya perubahan yang tiba-tiba (kaya maupun miskin), sehingga sulit untuk menerima penyesuaian yang berakibat pada stress.

Friday, July 3, 2015

Filsafat Ilmu Pengetahuan


Memaknai arti persahabatan

(Sebuah analisis)


a.           Pengantar

Saya mencermati dan mengulas tulisan Dr. Setyo Wibowo yang berjudul “Persahabatan Selalu Segitiga: Platon dalam Lysis. Penulis mengawalinya dengan pernyataan, bahwa “Tidak ada yang kekal dalam persahabatan (politik), kecuali kepentingan. Penyataan sinis tersebut hendak menggambarkan relasi koalisi beberapa partai politik di Indonesia yang saling berkoalisi karena  memiliki kepentingan yang sama, demi memperoleh kemenangan pada Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden 2014. Kajian dan ulasan yang disampaiakan berkaitan dengan fenomena tersebut dianalogikan sebagai bentuk persahabatan yang didasarkan kepada “kepentingan” atau kita coba sebut dengan “kebaikan”.

Persahabatan sejati menjadi impian maupun dambaan setiap orang sepanjang masa. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini, keberadaan term yang bernama persahabatanpun menjadi samar dan dipertanyakan. Hal ini  karena  berbagai pertimbangan untung dan rugi dalam membangun sebuah persahabatan. Sehingga memunculkan berbagai macam pertanyaan, seperti apa arti persahabatan sejati itu? atau, adakah persahabatan sejati itu sendiri? maupun siapa dan  apa tujuan dari persahabatan itu?

b.         Ajaran Sokrates (Platon) tentang persahabatan dalam Lysis

Saya mencoba mengurai tulisan tersebut dengan mengungkapkan kisah Plato [1] (murid setia Sokrates) dalam dialog berjudul Lysis yang mengatakan tidak tahu arti sesungguhnya persahabatan dan membiarkannya untuk terus menjadi misteri dialog tanpa akhir. Plato maupun Sokrates tidak begitu saja mempercayai sesuatu sebagai kebenaran yang mutlak. Dalam Lysis 218a-218b (bentuk dialog) dituliskan, bahwa mahluk yang tidak membutuhkan pengetahuan kebijaksanaan (Sophia) adalah para dewa (sudah bijaksana), binatang (sentien) dan orang bodoh (tidak memiliki kesadaran akan kegunaan sophia).   
           Tentang persahabatan ini, Sokrates maupun Platon mengemukakan dua (2) buah tesis dalam sebuah dialektika. Tesis pertama ialah “seseorang yang sama niscaya selalu membutuhkan sahabat yang sama” (to homoion to homoio anagke aei philon einai). Diartikan  bahwa orang yang baik (philon agathon) akan bersahabat dengan orang baik, sedangkan orang jahat bersekongkol dengan orang yang sama. Tesis tersebut disanggah bahwa “seseorang yang sama belum tentu bersahabat dengan yang sama”. Misalnya: “orang yang sama-sama baik”. Orang baik selalu dapat mencukupi dirinya sendiri (bersifat autarkes atau self-sufficient), sehingga tidak akan membutuhkan apapun dari sesama yang baik. Orang yang tidak membutuhkan apapun dari orang lain, tidak mau mengapresiasi orang lain. Selanjutnya, tidak mungkin ada hubungan saling mencintai dalam ketidakmampuan untuk mengapresiasi. Demikian halnya “orang yang sama-sama jahat, sangat tidak mungkin untuk bersahabat”. Mereka akan saling menjahati, tentu salah satu akan jadi korban dan merekapun tidak akan mau bersahabat dengan orang yang membuatnya menderita.
           Tesis kedua ialah “sebuah persahabatan muncul dalam hal-hal yang berlawanan”. Justru pada hal-hal yang paling berlawanan, ditemukan persahabatan. Segala hal menginginkan (epithumein) bukan pada hal  yang sama dengannya, tetapi apa yang berlawanan dengannya. Akan tetapi, tesis ini juga ditentang dengan pendapat bahwa sesuatu yang membenci tidak dapat bersahabat dengan sesuatu yang penuh kebencian.

Dari kedua tesis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
          1.      Sesama orang baik satau sesama penjahat, kecil kemungkinan merasakan persahabatan,   
                   karena satu sama lain  tidak mau saling mengapresiasi dan persahabatan pada jenis kedua 
                   akan saling menjahati.
          2.      Orang yang tidak 100% baik sekaligus tidak 100% jahat, bisa merasakan persahabatan
                   (kurang akan sesuatu), hal ini didasari pada keragaman adalah kekayaan, perbedaan
                   adalah ikatan maka Justru karena perbedaan maka persahabatan menjadi indah. Jadi
                   orang bersahabat karena di dalamnya ada unsur yang tidak baik dan unsur yang tidak
                   buruk.

Pada tingkat persahabatan tertinggi, Sokrates atau Platon menyatakan bahwa ada pihak ketiga yang mengikat persahabatan, yaitu kebaikan atau kepentingan. Dengan kata lain, jika ada kebaikan, maka akan terjalin persahabatan antar dua pihak yang terlibat. Jadi, persahabatan itu bersifat segitiga (triangular).

Dalam Lysis, Platon memberikan contoh dalam model orang yang bersahabat (philia), dimana cinta seorang sahabat pada sahabatnya yang lain hanya mungkin terwujud jika keduanya melihat kebaikan. Cinta philia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar seks, rasa, hasrat, dan kepuasan. Sesuatu itu adalah hubungan timbal balik (resiprokal). Disinilah problemnya. Jika dalam Eros (filsuf yunani) mengemukakan bahwa kita dapat mencinta, dicinta, dan saling mencinta, maka dalam philia yang diperlukan adalah relasi dua arah saling mencintai. Cinta Ibu pada anak, cinta ayah pada anak, cinta anak pada orang tua, cinta antara dua sahabat, semuanya membutuhkan kondisi saling memberi dan menerima (resiprokalitas).

  Platon menjelaskan bahwa orang bersahabat karena adanya dorongan hasrat (kekurangan) akan sesuatu. Selanjutnya Eros menguraikan ada tiga jenis hasrat (rasa kurang) pada manusia, pertama adalah persahabatan terjalin karena dua pihak sama-sama suka makan, minum dan seks (epithunia). Plato menyebutnya sebagai hasrat akan uang atau kebutuhan perut dan bawah perut. Hasrat kedua adalah persahabatan yang mampu melampaui dan mengatasi urusan perut kebawah (thumos). Kebaikan ini terletak pada tingkat bagian jiwa di dada, yang bercokol rasa bangga diri, harga diri maupun ambisi. Platon menyebut kedua jenis persahabatan tersebut (epithunia dan thumos) sebagai irrasional, berbahaya dan masih jauh dari kebahagiaan, maka hasrat persahabatan ketiga adalah bersahabat karena sebuah nilai (keadilan, kesetiaan, kebaikan hati). Platon menyebut hasrat persahabatan pada tingkat ini dilandasi pengetahuan (logistikon) yang mampu mengendalikan rasa senang dan nikmat.

  Sokrates maupun Plato mengatakan, “Jadi, kalau bisa menjadi bijaksana (sophos), anakku, semua akan menjadi sahabatmu, dan semua akan seketurunan (oikeion [2]) denganmu, karena kamu berguna dan baik; jika tidak, tak seorangpun menjadi sahabatmu entah itu ayahmu, ibumu, atau orang-orang seketurunan denganmu.” Dari kutipan ini dapat didefinisikan bahwa sahabat dan persahabatan (philia) hanya muncul bila ada pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan menjadi sumber atas apapun yang “berguna” dan “baik.” Orang yang bersahabat dengannya akan menjadi “seketurunan” (oikeion) dengannya, yaitu merasakan dan mengikuti pada dorongan pada kebaikan yang sama.

c.         Persahabatan “kepentingan

Plato melalui pemikiran filosofinya mencoba mengajarkan bahwa persahabatan itu bukanlah sebatas pada relasi antar dua orang saja, namun membutuhkan pihak ketiga yaitu kebaikan. Dalam lingkup yang lebih besar, persahabatan terwujud pada lingkup kelompok / golongan (partai) hingga pada tataran negara.  Karena Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar yang dibagi dalam tiga golongan; golongan bawah, golongan tengah, dan golongan atas. Jadi seorang tidak dapat mengharapkan negara menjadi baik apabila ada beberapa orang kelakuannya tidak bertambah baik.
                Secara tidak langsung Plato mengajak setiap orang agar:
        1.     Mengarahkan segala aktivitas persahabatan tidak pada nafsu duniawi (penampilan              
                 maupun latar belakang keluarga) semata atau epithumia.
        2.      Memiliki rasa "saling memiliki", sehingga perbedaan-perbedaan yang sering kali terjadi,
                 tidak menyebabkan perpecahan.
        3.      Menjadikan pengetahuan (logistikon) sebagai sumber dari segala relasi persahabatan.
           Mencermati faktor utama yang mempengaruhi koalisi atau persahabatan antar partai politik di Indonesia dewasa ini, saya sepaham dengan penulis bahwa kita memang sangat memerlukan metode dialog untuk merangsang sikap kritis terhadap setiap persoalan. Solusi merupakan hal yang tidak perlu dijadikan tujuan akhir, yang terpenting ialah tetap terbuka pada kritik dan bertanggungjawab dengan argumentasi yang diungkapkan.  Pandangan umum membuktikan bahwa persabahatan antar partai politik, khususnya di Indonesia saat ini pada umumnya tidak lain adalah adanya kepentingan akan tujuan yang sama, yaitu pembagian kekuasaan (shared of power). Pada poin ini, tentu menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sebuah kepentingan atau kebaikan dari para partai politik tersebut dilandasi oleh pengetahuan (rasional) yang dapat dipertanggungjawabkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut hendaknya menjadi perhatian para aktor partai politik untuk tujuan kebaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di republik tercinta ini.
           Paham Plato tentang pembentukan dunia ini berdasarkan pada pendapat Empedokles[3], bahwa alam ini tersusun dari empat unsur yaitu api, udara, air, dan tanah, tetapi tentang proses pembangunan seterusnya, tentu memerlukan diskusi lanjut. Plato mengatakan bahwa Tuhan sebagai pembangun alam menyusun ke-empat unsur tersebut menjadi satu kesatuan. Kedalam bentuk yang satu itu Tuhan memasukkan jiwa dunia yang akan menguasainya, yaitu umat manusia. Meski ajaran Plato tentang persahabatan ini sudah kuno (± 24 abad yang lalu), tetapi masih sangat relevan bila di zaman ini nilai-nilai dari persahabatan itu terus diterapkan secara benar.
          Catatan penting dalam kapasitas sebagai seorang polisi, saya ingin mengutip ungkapan Socrates yang termashur itu: “Lego gar tagathon kalon einai” yang dapat diartikan bahwa “dengan demikian aku katakan bahwa kebaikan itu elok”.


Daftar Pustaka

1.        Wibowo, Setyo. Penj, Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis). Jakarta: Ipublishing, 2009.

2.         Wibowo, Setyo. “Persahabatan Selalu Segitiga.” Basis (Nomor 01-02, Tahun Ke-63, 2014): 14-23.

3.         Wibowo Setyo, penj dan peny., Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis), Jakarta: Ipublishing, 2009, 56-57.

Internet:
1.          Sasongko, Thathit Dwi. Biografi dan Filsafat Plato  
             (https://thathit.wordpress.com/2010/02/16/biografi-dan-filsafat-plato/)
             Diakses pada Jumat, 3 July 2015, pkl. 11.23 WIB.

2.          Arti sebuah persahabatan (Plato dalam ajarannya tentang persahabatan oleh Angga Nofianto

             diakses pada Sabtu, 4 Juli 2015 pukul 08.30 WIB.









[1] Plato (dalam bahasa Yunani Platon) merupakan nama julukan dari Aristokles (nama asli Plato). Plato sendiri artinya lebar atau rata. Kata lebar dikaitkan pada bentuk bahunya yang lebar. Lih. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Plato (judul asli: Plato in 90 Minutes), terj. Frans Kowa, Jakarta: Erlangga, 2001, hlm. 7.
[2] Istilah oikeion diterjemahkan sebagai “sekuturunan” (memiliki hubungan satu keturunan) karena istilah ini merujuk pada orang tua, kerabat (keluarga dekat), atau siapa pun yang termasuk dalam satu oikia (rumah). Ibid. hlm. 96.

[3] Empedokles (Empedocles) adalah seorang filsuf dari mazhab pluralism yang dilahirkan di Agrigentum, Sisilia Island, pada abad ke-5 SM (495-435 SM). Istilah anasir (stoikea) yang dikemukakannya digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah air, tanah, api dan udara. Ke-empat anasir tersebut dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat yang saling berlawanan. Api dikaitkan dengan sesuatu yang panas dan udara berhubungan dengan sesuatu yang dingin. Sedangkan tanah dikaitkan dengan sesuatu yang kering, sementara air berkait erat dengan sesuatu yang basah.