Pendahuluan
Buku ini memuat pandangan-pandangan kritis tentang
hubungan interasional dari para pemikir seperti; Theodor Adorno, Giorgio Agamben, Hannah Arendt, Alain Badiou, Jean
Baudrillard, Simone De Beauvoir, Walter Benjamin, Roy Bhaskar, Pierre Bourdieu,
Judith Butler, Gilles Deleuze, Jacques Derrida, Frantz Fanon, Michael Foucault,
Sigmund Freud, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, G.W.F. Hegel, Marthin
Heidegger, Immanuel Kant, Julia Kristeva, Emmanuel Levinas, Karl Marx, Juan-Luc
Nancy, Friedrich Nietzche, Jaques Ranciere, Richard Rorty, Edward Said, Carl
Schmitt, Gayatri Chakravority Spivak, Paul Virilio dan Slovaj Zizek.
Pada review buku Teori-teori kritis; Menantang
Pandangan Utama Studi Politik Internasional ini, dikupas pemikiran Pierre Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus
1930 di Denguin, Prancis dan meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis.
Bourdieu dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh
pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang dikembangkannya
amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21.
Sebelum meninggal, Bourdieu mengajar di
lycée di Moulins (1955–58), University of
Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en
Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982). Tema-tema
bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal,
globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Pemikiran
Pierre Bourdieu
Pandangan Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan
sosiolog merupakan salah satu tokoh
pemikir Perancis terhadap ilmu-ilmu sosial budaya adalah keberhasilannya
membangun teori umum tentang praktik sosial. Karya-karyanya bersumber dan
merupakan hasil pengolahan dari berbagai sumber daya intelektual semacam Marx, Durkheim, Weber, Saussure,
Wittgenstein, Benveniste, dan dari rentangan pemikiran fenomenologi hingga
strukturalisme bahkan ke filsafat analitis. Secara signifikan Bordieu berhasil
menerapkan secara konsisten kerangka pemikiran, teori, dan metodenya pada semua
subjek yang dia bahas. Bourdieu adalah sosiolog yang paling banyak dikutip
sebagai acuan. Hal ini menarik juga untuk dijadikan acuan tentang pemikiran
Bourdieu tentang hubungan internasional.
Bourdieu menyebut alirannya sendiri sebagai constructivist
structuralism atau structuralist constructivism. Itu artinya ia
masih mengaku diri seorang strukturalis, tetapi dalam pengertian yang berbeda
dengan tradisi Saussurian atau Levi
Straussian. Pemikiran Bourdieu terkait erat dengan perdebatan tentang
struktur dan agensi. Perdebatan itu memusat pada peran pengaruh institusional
dan struktural dalam membentuk masyarakat dan sebaliknya sejauh mana
tindakan-tindakan dan inisiatif individual bermain dalam proses yang sama.
Dua perkakas konseptual yang layak
diperdebatkan dalam karya Bourdieu adalah habitus dan arena. Kedua konsep ini
didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik
sosial (pratique sociale), pertarungan (lutte), dan strategi.
1. Praktik
Sosial (pratique sociale)
Dalam upaya mengatasi oposisi klasik
fenomenologi versus strukturalisme, Bourdieu menawarkan konsep praktik. Pada situasi
tersebut Bourdieu memperlakukan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi
struktur, disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi.
Praktik sosial memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah internalisasi
segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku (agents).
Dimensi kedua adalah pengungkapan dari segala sesuatu yang telah
terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku.
2. Habitus
Habitus menurut Bourdieu merupakan sistem yang
terdiri dari kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung tetap (ajeg) didalam
diri pelaku sepanjang hidupnya, yang berfungsi sebagai basis pembentuk praktik
yang terstruktur dan secara objektif disatukan. Dalam arti ini, habitus
adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui
proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap
menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia
tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya.
Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik
disebutnya sebagai Hexis. Skema habitus dan bentuk-bentuk klasifikasi
primer bergerak dari bawah atas kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan
pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan pelaku. Bourdieu
merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas
perilaku manusia.
3. Kapital
atau Modal
Kapital adalah modal yang
memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup.
Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital
ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa
diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Definisi
modal bagi Bourdieu sangatlah luas dan mencakup barang-barang material (yang
dapat memiliki nilai simbolis), juga yang tak tersentuh, tapi secara budaya
merupakan atribut yang signifikan, semacam prestise, status, otoritas, dan
legitimasi (yang diacu sebagai modal simbolis), sejalan dengan modal budaya (yang
didefinisikan sebagai pengetahuan atau juga selera yang bernilai secara budaya
dan pola-pola konsumsi). Istilah tersebut diperluas definisinya menjadi ‘semua
barang, baik material maupun simbolis, tanpa pembedaan, yang menampilkan
dirinya sebagai sesuatu yang langka dan berharga untuk dikejar dan dicari
didalam suatu formasi sosial tertentu’.
4. Arena
Arena (champ) dalam banyak hal
didefinisikan oleh suatu sistem hubungan-hubungan objektif kekuasaan antara
posisi-posisi sosial yang berhubungan dan suatu sistem hubungan-hubungan
objektif diantara titik-titik simbolis. Konsep arena memang diartikan sebagai
suatu arena kekuatan-kekuatan. Konsep ini dibutuhkan untuk menempatkan arena
sebagai sesuatu yang dinamis suatu arena yang didalamnya bermacam-macam potensi
hadir. Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada
beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena
politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk
mempunyai habitus dan kapital yang tepat.
Dengan demikian, konsep
habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa berhasil dalam salah
satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan kapital yang tepat
untuk arena itu. Jika seseorang tidak
memiliki habitus dan kapital yang tepat untuk satu arena, maka kemungkinan besar akan gagal dalam arena yang telah dipilihnya
tersebut.
5. Persaingan
dan Strategi (Competition and strategy)
Suatu arena selalu menjadi ajang konflik antar
individu atau antar kelompok yang berusaha mempertahankan atau mengubah
distribusi bentuk-bentuk kapital tertentu. Pelaku-pelaku yang berpartisipasi
dalam persaingan ini memiliki visi yang berbeda-beda. Sebagaian dari mereka
yang berada dalam posisi dominan berusaha melestarikan status quo, sebagian
lainnya yang terdominasi berusaha mengubah distribusi kapital dan posisi-posisi
didalamnya sehingga terjadi mobilitas sosial. Pertarungan tidak bisa dilepaskan
dari strategi. Dalam konsep Bourdieu strategi adalah sesuatu yang mengarahkan
tindakan, tetapi bukanlah semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar
dan terkontrol oleh si pelaku atau sebaliknya ia semata-mata hasil dari sesuatu
yang mekanis diluar kesadaran individu atau kelompok.
Strategi menurut Bourdieu dapat digolongkan
dalam beberapa jenis: (1) Strategi
investasi biologis, yang dalam kelompok ini dapat dibedakan dua hal:
strategi kesuburan (menggunakan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin
transmisi modal) dan pencegahan (ditujukan untuk mempertahankan keturunan dan
pemeliharaan fisik). (2) Strategi
suksesif, yaitu strategi ini bermaksud menjamin pengalihan harta warisan
antar generasi dengan pemborosan seminimal mungkin. (3) Strategi edukatif, yaitu suatu kelompok sosial bermaksud
memproduksi pelaku-pelaku sosial baru yang layak dan mampu menerima warisan
dari kelompok-kelompok sosial tersebut. (4) Strategi
investasi ekonomi, yaitu strategi yang berorientasi pada pelestarian atau
peningkatan modal ekonomi didalam berbagai ruang sosial. (5) Strategi investasi simbolis, yaitu strategi
terkait dengan semua tindakan yang melestarikan dan meningkatkan modal
pengakuan, legitimasi, dan kehormatan.
6. Dalam Praktik Penelitian
Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya
dengan praktik penelitian adalah penekanan pada pentingnya penelitian lapangan.
Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk
dibelakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan
dilapangan. Dalam praktik penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang
saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, harus menganalisis posisi arena
dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Kedua,
harus menetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi yang
dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berbeda didalam arena ini. Ketiga, harus menganalisis habitus para
pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperolehnya melalui
internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut kondisi sosial-ekonomi, yang
berada dalam satu jalur yang didefinisikan didalam arena yang dianggap
memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.
7. Pendidikan (education)
Pemikiran dan pandangan Bourdieu
tentang pendidikan adalah suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang
telah ada sebelumnya. Pendidikan menutup pintu bagi orang-orang yang tidak
memiliki habitus maupun kapital sebagai seorang pembelajar. Dan orang-orang
yang ditolak ini adalah umumnya kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki
habitus maupun kapital untuk belajar secara akademik. Dengan demikian,
pendidikan, pada hakekatnya, bersifat diskriminatif. Secara tidak langsung,
pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah “kalah”, baik
secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara mekanis, nyaris otomatis,
pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, antara
si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si “bodoh” (tidak
memiliki habitus maupun kapital intelektual).
Tentang pendidikan moral,
Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan
(eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tak
ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari.
Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah
teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Sehingga sarana
pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama yang penuh
dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam karya
sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi favoritnya. Tokoh
tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang
menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan. Sementara, dalam
ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di
dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah paksaan, atau
dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah sebabnya,
mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan
pendidikan moral.
8. Pembedaan (distinction)
Bourdieu juga merumuskan
konsep pembedaan (distinction). Secara singkat, pembedaan berarti tindakan
membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam
masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas menengah ekonomi ke atas
untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan dengan kelas ekonomi yang
lebih rendah.
Dalam konteks pendidikan,
lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya melakukan pembedaan terhadap
lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka merasa “berbeda”, jika mampu
membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak
dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam negerti. Inilah
permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas ekonomi menengah ke
bawah juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu, tindakan tersebut
bukanlah merupakan pembedaan, melainkan suatu bentuk perlawanan. Jadi, jika
datang dari atas, pengambilan posisi untuk mendapatkan pengakuan disebut
sebagai distinction. Dan jika datang
dari kelas ekonomi menengah ke bawah, misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian
anti kemapanan, atau justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa
Sanksekerta kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan (resistance).
9. Status Bahasa
Bourdieu juga banyak menulis
soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral,
tanpa kepentingan. Sebaliknya, bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan.
Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada
di dalam masyarakat, juga masyarakat dunia internasional. Tata bahasa yang
digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya di masyarakat.
Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu “teks” yang perlu
untuk terus dipahami secara kritis.
Ilmu pengetahuan modern
memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai pada kebenaran.
Keyakinan para ilmuwan modern bahwa bahasa ilmu pengetahuan adalah bahasa
obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu sendiri dan ilmu
pengetahuan merupakan jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada
kebenaran. Namun bagi Bourdieu, para ilmuwan secara sadar menyembunyikan
kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa
itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar
akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah
berlangsung di masyarakat. Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu
memilih menggunakan bahasa yang lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah
tingkat pendidikannya. Di masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal
dari kelas sosial yang lebih tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan
orang lainnya yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah.
11. Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan dengan
menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan,
tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan
tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. dalam
konteks pemolisian internasional misalnya, Seorang Instruktur Asing yang
otoriter di kelas, namun tidak mendapatkan perlawanan apapun dari muridnya,
karena muridnya telah menyetujui “penindasan” yang dilakukan oleh gurunya. Atau
seorang Tamu asing yang tidak mendapat perlakuan yang layak, walaupun telah
dirugikan oleh tuan rumah (Negara Asing), karena secara tidak sadar, telah
menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh tuan rumah (di negara asing).
12. Doxa
Puncak dari Mekanisme
dominasi simbolik adalah pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa
adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat.
Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan
penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah
dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut
mengandung banyak kesesatan. Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih,
mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang
berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap
kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan
penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena
mereka hidup dalam doxa.
Doxa juga berlaku di dalam
ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme kontemporer (realitas dilihat
sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung, seperti menghitung “uang
belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa yang dapat dilihat
oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas ilmiah) yang dianggap
sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai). Banyak ilmuwan modern
terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya. Mereka menerima begitu
saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka kehilangan sikap kritis.
Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan penguasa, dan kehilangan
sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
Penutup
Ketika
mencoba memahami pemikiran Bourdieu perlu direnungkan bahwa ilmu pengetahuan
sosial dan filsafat harus mampu mengangkat dan menganalisis berbagai situasi di
masyarakat yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan sosial yang disebutnya
sebagai sosiologi reflektif dan sosiologi kritis. Dalam dunia internasional
yang terus berubah sebagaimana dinamika perubahan sosial lainnya, Bourdieu berpendapat
bahwa perubahan sosial bisa dilakukan, jika orang memiliki habitus, kapital,
dan mampu menempatkan keduanya dalam konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip
ini berlaku untuk semua arena, mulai dari arena pendidikan, arena budaya, dan
sebagainya.
Namun, itu semua belum cukup,
karena perlu kemampuan menempatkan diri (positioning)
secara tepat dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan kepintaran
akademik bisa menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik, jika tidak
bisa menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada. Kemampuan
menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema yang tepat, nada yang
tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat.
Book Review;
Buku karangan Edkins, Jenny, Vaughan-Williams,
Nick, yang berjudul Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Editor:
Tectona Radik.--Ed. 1, Cet. 1.--Yogyakarta:", tebal xv,
539 hlm; 23 cm, ISBN/ISSN; 979-2462-33-3,
terbitan Pustaka Pelajar Group, cetak tahun 2012.