Keberadaan Pemolisian
Kapolri Jenderal
(Pol) Prof. H. M. Tito Karnavian, MA.,P.h.D bersama dengan Prof. (Ris) H.
Hermawan Sulistyo, MA.,Ph.D meluncurkan buku berjudul Democratic Policing,
merupakan paradigma pemolisian era demokrasi di Indonesia. Kapasitas keduanya
di dunia pengetahuan dan isu-isu kepolisian tidak lagi diragukan, baik sebagai
akademisi maupun praktisi dengan reputasi internasional.
Buku Demokratic Policing yang dirilis secara
resmi pada Selasa, 21 November 2017 lalu, mengupas landasan filosofis,
sosiologis dan yuridis berbagai dimensi pemolisian secara komprehensif. Secara
filosofis, fungsi pemolisian lahir karena adanya kebutuhan akan rasa aman di
dalam kehidupan masyarakat sehingga pada masyarakat pra-modern membentuk konsep
kepolisian dalam bentuk kerabat (kin
policing) yakni sistem kepolisian yang dibangun atas asas
kekerabatan.
Perkembangan dan
perubahan dinamika lingkungan strategis berdampak pada dinamika strategi dan
sistem keamanan nasional suatu negara. Universalisasi demokratisasi,
globalisasi, kemajuan sains dan teknologi, menjadi faktor-faktor yang secara
langsung maupun tidak langsung memaksa beberapa negara di dunia untuk menata
ulang strategi dan sistem keamanan dalam rangka meraih kepentingan nasionalnya.
Demokratikasi
pada dasarnya merupakan suatu paham yang menghargai adanya perbedaan serta
kebebasan dalam mengemukakan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis,
juga dalam hal tindakan pemikiran maupun fisik. Perbedaan dan kebebasan
tersebut biasanya terlihat pada saat pesta demokrasi berlangsung, seperti
pemilu atau pemilukada, yang sering memuncul berbagai friksi serta kebebasan dalam
hal mengeluarkan pendapat atau berbicara, melakukan unjuk rasa, menentukan
pilihan, serta masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk
menyesuaikan diri dengan paham demokratikasi tersebut, maka keberadaan polisi
lebih tepat jika berada pada posisi sebagai pelindungi masyarakat. Polri
sebagai pelindung dapat diartikan bahwa polisi senantiasa dituntut untuk selalu
melayani masyarakat dalam hal menciptakan rasa aman serta menciptakan
keteraturan dalam menjembatani adanya perbedaan serta kebebasan masyarakat
dalam menyampaikan pendapat.
Pemolisian
Demokratik
Konsep kin policing (bentuk
kekerabatan) di Anglo-Saxon Inggris
pada masa Raja Alfred Yang Agung membentuk konsep pemolisian Tything, yaitu adalah komunitas penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang
terdiri dari 10 (sepuluh) anggota keluarga dimana masing-masing keluarga
menunjuk salah seorang dari anggota untuk menjadi pemimpin yang disebut “Tythingman”. Dari komunitas 10 tithing (100 keluarga) menjadi komunitas
yang lebih besar yang disebut “Hundred”
dengan pimpinan disebut “Hundredman”.
Kelipatan dari jumlah komunitas Hundred
dinamakan komunitas “Shire” yang
dipimpin oleh “Shire Reeve” yang
kemudian dikenal dengan istilah “Sheriff”
yang banyak digunakan di daerah bekas jajahan Inggris, seperti Amerika,
Australia, Kanada, dan India. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal
polisi sipil (civilian police)
di negara-negara demokrasi.
Dengan landasan
filosofis ini, ditegaskan bahwa akar kelahiran konsep pemolisian tumbuh dan
berkembang dari masyarakat, bukan dari kekuasaan negara. Karena itu, polisi
bukan merupakan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi
masyarakat secara umum. Masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk
menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap implementasi tugas dan
fungsi pemolisian.
Titik awal sejarah
demokratikasi di Indonesia dimulai sejak reformasi 1998. Reformasi 1998,
berdampak adanya tuntutan terhadap institusi Polri untuk melakukan berbagai
perubahan pada aspek instrumental, struktural dan kultural yang kemudian
dikenal dengan reformasi Polri. Reformasi, bertujuan mengubah citra Polri yang
militeristik ke arah polisi sipil, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
(HAM) dan civil society
yang profesional dan akuntabel.
Dalam iklim demokrasi,
landasan dasar konsep pemolisian tidak bisa menghindar dari prinsip-prinsip HAM
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian. Dengan demikian, penegakan hukum
melalui fungsi pemolisian dalam rangka menciptakan kondisi keamanan (security) harus berjalan
seimbang dengan kebebasan (freedom)
HAM. Dalam iklim demokrasi landasan dasar konsep pemolisian tidak bisa
menghindar dari prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
kepolisian. Landasan dasar HAM ini digunakan sebagai tolok ukur akuntabilitas,
baik kepada pihak eksternal maupun internal kepolisian sendiri. Dengan
demikian, Polri dituntut memiliki kesesuaian antara fungsi pemolisian dengan
prinsip-prinsip HAM. Sehingga paradigma Democratic
Policing secara umum adalah pentingnya memerhatikan dimensi HAM, hak ekonomi
sosial serta penghormatan terhadap civil
society di alam demokrasi.
Gary
T. Marx dalam “police and democracy”,
mendefinisikan masyarakat demokratik adalah sebuah kepolisian yang; 1). Tunduk
pada peraturan hukum yang mewujudkan nilai-nilai yang menghormati martabat manusia,
dan bukan keinginan pemimpin atau partai yang berkuasa; 2). Dapat campur tangan
dalam kehidupan warganegara hanya dalam kewenangan terbatas dan berhati-hati
dalam mengendalikan situasi dan; 3). Bertanggung jawab secara terbuka.
Selanjutnya
secara lebih detail, makna dan hakekat democratic
policing sebagai sebuah “Ide ideal polisi yang demokratis pada umumnya
didukung oleh berbagai perangkat organisasi termasuk pembagian kerja antara
mereka yang menyelidiki, menangkap, mencoba dan menghukum; 1). Struktur
birokrasi seperti militer yang membatasi kebijaksanaan dan mencoba membuat
jalur audit; 2). Pemisahan polisi dari
militer dan penciptaan badan kepolisian yang bersaing dan bukan monolit; 3). Lembaga
eksternal (atau bagian organisasi yang terkotak-kotak) yang memantau
perilakunya dan itu harus memberi izin untuk tindakan-tindakan yang sangat
mengganggu; 4). Polisi yang dapat dengan mudah diidentifikasi seperti itu
(misalnya berseragam dengan nama atau nomor identifikasi dan mobil yang
ditandai dengan jelas) atau dalam kasus polisi yang menyamar yang identitasnya
disembunyikan, sidang di ruang sidang di mana tindakan polisi adalah penipuan
dinyatakan secara terbuka dan dinilai; 5). Dan rotasi tugas; 6). Kompensasi dan
kondisi kerja yang memadai setidaknya pada tingkat rata-rata masyarakat”.
Konsepsi Travis (1998) mengenai Prinsip-Prinsip Pemolisian Democratic; 1). Polisi harus
harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami
standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku; 2). Polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala
perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai
etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan; 3). Polisi harus mempunyai prioritas utama dalam
mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat; 4). Polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa
pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat; 5). Bahwa perlindungan yang
diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari
operasi polisi yang lain; 6). Tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat
manusia serta Hak Asasi Manusia; 7). Dalam pelaksanaan tugasnya polisi
hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.
Pandangan umum masyarakat
dewasa ini terhadap pemolisian adalah; 1). Setiap
jasa yang diberikan oleh polisi tidak semuanya dapat diterima, adakalanya
ditolak oleh publik. Oleh karena itu polisi dituntut untuk peka terhadap segala
situasi yang berkaitan dengan pelayanannya kepada masyarakat; 2). Kegiatan
kepolisian termasuk salah satu bagian dari isu demokrasi yang ada saat ini; 3).
Dalam tatanan masyarakat modern, kedudukan antara masyarakat dengan aparat
negara/aparat pemerintahan adalah sama (equal).
Implementasi
Pemolisian Democratik
Dalam konteks
negara demokrasi, polisi sebagai alat negara di bidang penengakan hukum dan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat memerlukan keselarasan dengan
struktur sosial sehingga peran Polri sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Reformasi Polri harus mengacu pada orientasi utama penegakan hukum (rule of law) dan hak asasi
manusia sebagai instrumen utama negara demokrasi. Status Polri sebagai
institusi sipil sejalan dengan norma universal yang tertuang dalam Resolusi PBB
Nomor 143 tanggal 14 Juli Tahun 1960 tentang Polisi Non-Combatant. Dengan status ini, semua norma atau kaidah
dalam masyaraat sipil berlaku bagi semua anggota Polri.
Bila dikaitkan
dengan kondisi negara kita saat ini (ideologi, budaya, sosial, politik,
ekonomi, keamanan, pertahanan), maka pemolisian democratic harus segera dilaksanakan
di Indonesia walaupun mengandung berbagai kontradiksi, resiko, serta tantangan
yang harus diperhitungkan secara matang. Disamping itu, dengan adanya
pemolisian democratic akan memunculkan masalah baru berkaitan penggunaan
diskresi kepolisian dalam menangani berbagai masalah yang timbul di masyarakat.
Meskipun
Pemolisian democratic belum bisa dikatakan mampu menghasilkan solusi bila
dilakukan dalam negara ini, dikarenakan struktur dari masyarakat saat ini masih belum
bisa memahami apa
arti dasar dari demokrasi itu sendiri. Masyarakat dan aparat pemerintahan
kita saat ini masih terbuai oleh “euforia“ reformasi yang telah mereka gulirkan tanpa mereka mengetahui
kejelasan ujung pangkalnya.
Modernisasi
Polri sebagai prasyarat democratic policing
Modernisasi
Kepolisian harus dipahami sebagai suatu upaya Polri secara terus menerus dan
berkesinambungan untuk selalu meningkatkan kemampuan pada berbagai aspek
manajemen operasional dan manajemen pembinaan kepolisian.
Profesionalisme
Polri dalam mewujudkan pemolisian demokratik hendaknya juga wajib ditunjang
oleh modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi, sehingga layanan
Polri semakin mudah dan cepat diakses masyarakat. Modernisasi juga meliputi
pemenuhan kebutuhan alat material khusus dan alat peralatan keamanan. Polri
yang terpercaya hendak diwujudkan melalui reformasi internal menuju Polri yang
bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang objektif,
transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Sementara itu, diakui bahwa tantangan
yang dihadapi Polri dalam penanganan gangguan kamtibmas akan semakin berat.
Polri diharapkan
makin cerdas dalam memberantas berbagai modus kejahatan baru yang makin
canggih. Misalnya, kejahatan di dunia maya (cybercrime)
yang korbannya bukan hanya individu, melainkan juga korporasi dan institusi
negara. Ini meliputi pembajakan melalui internet, pencurian data komputer,
bisnis bodong (palsu), pembobolan kartu kredit, pornografi anak, hingga
prostitusi. Selain itu, ancaman gangguan keamanan lintas negara (transnational crime) dalam bentuk
perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, maupun aksi terorisme juga kian
meningkat.
Di sisi lain,
Polri memiliki keterbatasan sumber daya internal. Di luar persoalan dukungan
anggaran dan sarana prasarana, ketersediaan jumlah personil Polri secara
keseluruhan belumlah optimal. Rasio polisi dan masyarakat berdasarkan data 2014
ialah 1:575, padahal rasio ideal menurut PBB ialah 1:300. Karena itu,
partisipasi masyarakat melalui sistem atau jaringan kemitraan antara polisi dan
masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga kamtibmas. Upaya membangun
kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kamtibmas memang merupakan salah
satu program prioritas.
Inisiatif ini
telah lama dirintis melalui Surat Keputusan Kapolri No 737/2005 tentang
penerapan perpolisian modern yang dikenal dengan community policing atau Pemolisian Masyarakat (Polmas). Polmas
mewadahi pranata sosial yang berkembang di masyarakat seperti siskamling maupun
pecalang. Dalam bentuknya yang lebih modern, Polmas mengadopsi model neighborhood watch yang diterapkan di
banyak negara maju. Model ini dikenal sebagai Forum Kemitraan Polisi Masyarakat
(FKPM).
Penelitian
lapangan yang dilakukan penulis terhadap FKPM-FKPM di Jawa Timur menunjukkan
beberapa fakta menarik. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Polmas
ternyata berfungsi efektif dalam membantu penyelesaian perkara tindak pidana
ringan di masyarakat. Selain itu, temuan di lapangan menunjukkan bahwa Polmas
menjadi media efektif untuk memperoleh masukan masyarakat tentang potensi
gangguan kamtibmas di wilayahnya. Di sisi lain, Polmas juga menjadi sarana
pemberdayaan masyarakat terkait dengan kesadaran hukum maupun hak dan kewajiban
warga negara. Karena itu, penulis menyambut baik dikeluarkannya Peraturan
Kapolri No 3/2015 yang menjadi panduan terbaru penerapan Polmas.
Melalui
ketentuan ini, infrastruktur Polmas diperluas melalui pilar kemitraan di
tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, hingga provinsi.
Bahkan, Polri dalam Rencana Strategis 2015 - 2019 berkomitmen menggelar
Bhabinkamtibmas, yaitu aparat pengemban Polmas di 81.711 desa dan kelurahan
se-Indonesia, guna meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap gangguan
kamtibmas.
Penutup
Democratic
policing sebagai
paradigma pemolisian pada era demokrasi membangun landasan filosofis mengenai
pemolisian yang memberikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Hak Ecosoc sebagai salah satu kovenan HAM yang memuat penegasan hak-hak dasar
ekonomi, sosial dan budaya setiap manusia.
Democratic
policing tidak lain merupakan demokrasi musyawarah yang
mengedepankan proses diskursus yang dialogis emansipatoris dalam upaya mencapai
mufakat. Untuk itu, Polmas perlu ditempatkan sebagai ruang publik, yakni
idealnya masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengonstruksi setiap
kebijakan yang akan diambil terkait dengan pemeliharaan kamtibmas di
lingkungannya. Sebaliknya, Polri perlu membangun kapasitas diri untuk
mengakomodasi partisipasi masyarakat tersebut. Melalui penerapan Polmas yang
demikian, kita berharap Polri makin memperoleh dukungan masyarakat dalam
mewujudkan visi Kapolri terpilih menuju watak perpolisian yang makin
profesional, modern, dan tepercaya.
Saat
ini Polri masih belum sepenuhnya melaksanakan pemolisian secara democratic. Hal
ini dikarenakan masih banyaknya indikator-indikator pemolisian democratic yang
belum digali dan diterapkan di negara kita sesuai dengan sejarah dan budaya
yang ada. Apapun bentuk kegiatan yang telah dilakukan kepolisian, tidak
semuanya dapat memuaskan dan memenuhi selera masyarakat. Oleh karena itu dengan
pemahaman pemolisian democratic diharapkan Polri semakin sadar untuk berbenah
diri sekaligus terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran dari masyarakat
demi kemajuan polisi sesuai harapan dari masyarakat.
Polri
dituntut memberdayakan peran serta masyarakat dalam bentuk upaya-upaya
pemolisian dan menjalankan pemolisian democratic. Berbagai indikator pemolisian democratic harus digali
secara cermat dan disesuaikan dengan sejarah dan kebudayaan bangsa, karena
tidak mungkin ada indikator pemolisian
democratic yang sama dan cocok dilaksanakan di berbagai negara yang
secara jelas berbeda dari sisi sejarah, ideologi, maupun kebudayaannya.
Referensi
Bunga Rampai. 2004. Pemikiran Tentang Alternatif Kegiatan Pemolisian. Jakarta :
KIK-UI.
Gazarin, Gardi. 2001. Bunga Rampai Polri Polri Mandiri Menengok Kebelakang Menatap Masa Depan.
Jakarta:
Panitia Workshop Wartawan Polri.
Guidebook
on Democratic Policing by the Senior Police Advisor to the OSCE Secretary
General.
Karnavian, Tito dan Sulistyo, Hermawan, 2017,
Democratic Policing, Pensil 324, Jakarta.
Soekanto,
Soerjono, dan Mustafa
Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat.
Jakarta:
Rajawali Press.