Komunikasi digital
Komunikasi
digital melalui media sosial dewasa ini adalah sebuah keniscayaan. Hal yang tidak
dapat dihindari adalah persinggungan maupun gesekan ide pemikiran pada berbagai
peristiwa dan dinamika wacana yang selalu mengemuka yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Dalam kondisi seperti tersebut, barangkali kita juga perlu sesekali menengok
mereka yang berseberangan ide dengan kita. Hal ini tidak cuma membuat kita
menghargai perspektif yang berbeda, tetapi juga "mengacaukan"
algoritme dan menyadarkan mereka bahwa kita juga bisa menghargai adanya
perbedaan dan toleran. Pada akhirnya, kita semua harus senantiasa bisa berdamai
dengan situasi (beradaptasi) agar tidak terus terjebak pada pencarian kebenaran
yang tidak berujung.
Tulisan
ini menunjukkan pandangan terhadap berbagai fenomena komunikasi digital yang massive
dan berbahaya di tanah air, seperti pengungkapan jaringan dan kelompok penyebar
kebencian, Seracen maupun kelompok penebar hoax lainnya oleh Direktorat Cybercrime Mabes Polri. Dalam diskusi
dengan Direktur Cybercrime Polri,
Brigjen Dr. Fadil Imran, diperoleh informasi bahwa berita hoax menimbulkan opini negatif, fitnah, penyebar kebencian yang
diterima dan menyerang pihak ataupun membuat orang menjadi takut, merasa terancam
dan dapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan
menimbulkan kerugian materi dan lebih bahaya lagi karena mampu merongrong
keutuhan (stabilitas) Bangsa dan Negara.
Lebih lanjut, pengungkapan jaringan kelompok
penyebar hoax beberapa waktu lalu sangat berdampak kepada dinamika kehidupan
masyarakat luas. Terungkapnya berbagai berita palsu tentang penyerangan
beberapa ulama, pendiskriditan agama, maupun ujaran kebencian seperti berbagai
isu tentang kemunculan PKI, SARA, dominasi China dan Asing. Kelompok bayaran
atau dikenal dengan kelompok Saracen diduga memiliki 700.000 (tujuh ratus ribu)
pengikut account. Kelompok ini
merupakan kelompok bayaran yang sengaja membuat berita-berita hoax. Penyebaran berita
hoax dari kelompok Seracen sanggup mempengaruhi pemilik account yang jumlahnya sekitar
3 atau 4 kali jumlah penonton di Gelora Bung Karno (kapasitas GBK pada Piala Asia 2007 adalah 88.083 penonton). Bisa dibayangkan bagaimana
dampaknya jika kelompok Seracen ini setiap hari berulang-ulang menebar hoax!
Pasca Kebenaran, “We’ve entered a post-truth world and there’s no going back”
Disamping
orang ramai berbicara tentang hoax atau berita bohong (fake news),
ada fenomena menarik lain yang patut dicermati, yaitu berupa persaingan dalam mengklaim
suatu kebenaran, atau disebut sebagai “setelah kebenaran” (post truth). Oxford
Dictionaries melalui diskusi, debat, serta riset, memutuskan memberikan
gelar "the word of 2016"
pada kata “post-truth”. Post-truth didefinisikan sebagai “circumstances in which objective facts are
less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal
belief”, (“berkaitan dengan atau
merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam
pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi”).
Era
post-truth beberapa dekade terakhir, untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Dramawan Steve Tesich dalam essay-nya yang terbit di majalah The
Nation, pada tahun 1992. Merupakan refleksi atas skandal Iran-Kontra dan
Perang Teluk Persia di tahun tersebut, Tesich meratapi bahwa “kita, sebagai
orang bebas, bebas memutuskan apa yang ingin kita hidupkan di dunia post-truth”.
Sejumlah sumber menyebutkan bahwa sebelum Tesich, istilah post-truth
sudah digunakan tapi dalam pengertian ‘setelah kebenaran diketahui’.
Ralph Keyes memopulerkan istilah post-truth
dalam bukunya yang terbit pada 2004, The Post-truth Era. Frekuensi
pemakaian istilah post-truth meningkat khususnya sepanjang 2016. Tim Oxford Dictionaries melihat fenomena
menarik ini, khususnya dalam konteks referendum Brexit di UK dan pemilihan
presiden di AS. Kata ajektif ini pun kemudian ditautkan dengan kata benda dalam
frasa post-truth politics. Di era post-truth politics, orang
dengan mudah mengambil data manapun dan membuat kesimpulan sendiri dan tafsir
sendiri sesuai keinginannya.
Begitu
trendy kata post-truth ini, sehingga banyak publikasi yang
memakainya tanpa penjelasan apa yang mereka maksud kata tersebut, seperti The
Economist yang melontarkan cuitan “Obama
founded ISI. George Bush was behind 9/11. Welcome to post-truth politics”.
The Independent melempar cuitan “We’ve
entered a post-truth world and there’s no going back”.
Pengertian
post-truth berbeda dengan hoax atau fake news yang
memuat kecenderungan menyesatkan atau dis-informasi atau faktanya yang
dipalsukan. Secara psikologis, post truth
menghinggapi setiap orang yang akan selalu merasa dirinya “benar” (pasti) dan orang lain “salah” (pasti), tidak ada niat
baik untuk sesekali mencoba sudut pandang orang lain. Setiap kelompok di dalam masyarakat
mengonstruksi kebenaran menurut versi dan kepentingannya masing-masing, dan
menenggelamkan fakta hingga ke dasar laut yang paling dalam. Hal yang
ditonjolkan adalah opini dan tafsir terhadap fakta, bahkan cenderung tidak bisa
menghilangkan “romantisme” akan suatu kejayaan dimasa lalu (comfort zone). Tidak menyadari bahwa
lompatan perubahan berlangsung sangat cepat dan bisa membawa turbulensi.
Apa
yang sebenarnya terjadi dewasa ini merupakan pergumulan dan pertarungan
pencarian pendapat akan suatu kebenaran yang berdiri di atas fakta-fakta yang
dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya. Kondisi
tersebut kemudian berproses melalui pendapat individu (agent atau actor) atau kelompok (structure) lebih ditonjolkan sebagai kebenaran. Kita (masyarakat)
dalam situasi ini sesungguhnya bagaikan bangunan rapuh yang dengan satu
sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh (domino
effect).
Internet
saat ini didominasi oleh media sosial. Facebook
dan Twitter telah menggantikan blog. YouTube (vlog) telah menggantikan jurnalisme. Meme dan foto telah
menggantikan konten dan tautan. Pamor media sosial semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya secara kuantitas pengguna platform tersebut. Media sosial tidak membuat kita menjadi lebih
bodoh, tetapi berpotensi mengubah berita menjadi disinformasi. Disinformasi
adalah informasi yang salah tempat (misplaced),
tidak relevan, terfragmentasi, dan superfisial. Informasi jenis ini menciptakan
ilusi seolah kita mengetahui sesuatu hal, padahal kita justru sedang menjauh dari
fakta yang sesungguhnya.
Medsos, “narsistik” yang mengerikan
Filosof
Inggris, A.C. Grayling memperingatkan
ihwal “korupsi integritas intelektual” akibat praksis post-truth, merupakan
buah dari keriuhan media sosial. Di dalamnya terkandung unsur “i-bite” (information) di mana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau
fakta. Fenomena post-truth dapat dilukiskan dalam kalimat “Pendapatku
lebih berharga daripada fakta-fakta”. Akibatnya, media sosial kini menjadi
seperti televisi konvensional yang mampu menghibur melebihi apa yang telah
dilakukan oleh televisi. Media sosial membuat kita lebih menggunakan perasaan daripada
nalar dan pikiran kita. Media sosial membuat kita merasa nyaman daripada
memberikan tantangan (intelektual). Hasilnya adalah masyarakat yang makin
terfragmentasi, lebih didorong oleh emosi, dan mudah diradikalisasi oleh
kurangnya kontak dan tantangan dari luar lingkungannya akibat kurangnya
berinteraksi secara fisik.
Grayling berpandangan bahwa era post-truth
bukan saja penuh aroma narsistik berupa selfie
maupun wefie, tapi sekaligus
narsistik yang mengerikan, yaitu mengguakan media untuk mengirim pesan yang
lebih menonjolkan opini ketimbang fakta. Narsistik mengerikan bermakna bahwa setiap
orang bisa mempublikasikan opininya sendiri, maka fakta apapun akan tenggelam
oleh kerasnya suara pengirim pesan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya,
setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan yang paling repot
adalah setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah
yang diangkat sebagai “kebenaran”, bukan faktanya.
Masalah
di masyarakat menjadi semakin memburuk dengan adanya ketercerabutan akibat
ketidakmampuan kita dalam memilah antara identitas fisik dan identitas digital.
Seorang pribadi dengan satu identitas fisik bisa memiliki beragam identitas digital
di dunia maya (sebagaimana dilakukan oleh kelompok Seracen). Hal ini bisa
menimbulkan adanya ilusi akan kekuasaan dan tanggung jawab. Seseorang tidak
bisa seenaknya mendiskreditkan opini orang lain di media sosial hanya karena
pengikutnya lebih sedikit. Seseorang tidak bisa seenaknya merendahkan orang lain
di dunia maya dan berharap tidak akan ada konsekuensi logis yang bakal diterima
di dunia nyata (real world). Karenanya,
demi menjaga keteraturan sosial terebut, Pemerintah mengatur dengan mewujudkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 19 tahun 2016
atau disingkat UU ITE.
Membangun kesadaran dan daya nalar
Problematika
post-truth ini lebih akut dan
mendalam daripada sekadar problematika kemajuan teknologi. Sebaiknya kita perlu
berhenti, beristirahat, dan sejenak berfikir mengasumsikan bahwa evolusi ini
merupakan perubahan yang organik dan alamiah. Ada kalanya kita perlu kembali
pada informasi tekstual seperti surat kabar, buku, atau jurnal ilmiah daripada
foto atau video. Betapapun, informasi tekstual masih lebih superior dalam
menyampaikan pesan-pesan yang kompleks dan merangsang daya nalar dan membangun
kesadaran pemikiran kita. Argumentasinya sangat mendasar, yaitu apabila kita
tarik sedikit ke belakang, dinamika dunia internet lima atau 10 tahun lalu
sangatlah jauh berbeda dengan saat sekarang.
Dulu,
internet bersifat tekstual, sangat terdesentralisasi, penuh dengan informasi
dan pengetahuan yang kaya dengan materi maupun latar belakang yang beragam.
Membaca internet lima atau 10 tahun lalu seperti membaca buku di perpustakaan terlengkap.
Kini, internet mengajak algoritme, menerima dengan pasrah peran media sosial yang
tidak kita ketahui cara kerjanya (black
box). Secara sederhananya, media sosial bekerja dengan tujuan memaksimumkan
waktu yang orang (pengguna) habiskan di platform
media social tersebut. Oleh karena itu, mereka berusaha membuat seseorang
merasa nyaman dan diterima. Siapa yang mau menggunakan media sosial dengan
informasi yang berseberangan? Kalau seseorang mengikuti (follow) politisi aliran libertarian,
media sosial tidak akan menyarankan orang tersebut untuk mengikuti politisi yang
beraliran authoritarian. Realita
lain, misalkan seseorang pengemar berat pada musisi pop (major label), media
sosial tidak akan merekomendasikan orang tersebut untuk mengikuti (follow) musisi alternatif (indie label). Sehingga, proses
fragmentasi dan radikalisasi yang didorong oleh faktor emosi menjadi makin
tajam. Pendukung aliran libertarian
akan semakin berseberangan dengan pendukung authoritarian.
Penggemar musik alternatif akan menganggap penggemar musik pop sebagai
pengkhianat. Dalam kondisi seperti ini, Media sosial jadi kehilangan fungsinya
sebagai salah satu pilar demokrasi pembangun kesadaran dan daya nalar yang
sehat.
ERS, 2018