Sabtu, 17 Oktober 2015
Konflik Penambangan Pasir Di Lumajang
(Studi Kasus;
Terbunuhnya Samsul alias Salim Kancil)
Oleh;
Eko SUDARTO[1]
Pendahuluan
Tulisan ini tentang konflik sebagai suatu proses adanya perebutan tujuan,
baik antar individu atau antar kelompok untuk memenangkan atau mencapai sesuatu,
juga ingin ditunjukkan pada tulisan tentang bagaimana konflik bersifat saling menghancurkan
lawan. Latar belakang tulisan ini adalah adanya peristiwa penganiayaan sekaligus
pembunuhan terhadap Topas dan Salim alias Kancil (46 tahun) pada 26 September 2015. Pembunuhan tersebut berkaitan
erat dengan penolakan para korban terhadap praktik penambangan pasir di Pantai
Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang.
Latar belakang peristiwa diatas bermula dari terpilihnya kembali Hariyono sebagai Kepala Desa sekitar
bulan Februari-Maret 2014 yang sering mengelar rapat pada malam hari dengan
agenda pengembangan Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-Awar sebagai kawasan
wisata. Dalam beberapa kali kesempatan rapat, dihadiri Hariyono sebagai Kepala Desa, Desir[2],
Hendra (asisten Perhutani Kecamatan
Pasirian) dan Hanafi (Tim Pendamping
Masyarakat), Rahmat (Sekretaris Desa Selok Awar-awar). Selain itu, Abdul Basar selaku Camat Pasirian, AKP Sudarmanto sebagai Kapolsek Pasirian dan
Ratmanto[3]
pegawai Administratur Perhutani KPH Probolingo juga pernah hadir pada suatu
rapat.
Pada beberapa rapat selanjutnya menghadirkan sejumlah kecil petani
pemilik sawah dengan imbalan uang Rp 50 ribu/sekali rapat. Dari para petani
tersebut, anggota tim sukses mengumpulkan KTP (Kaetu Tanda Penduduk) yang akan
diajukan untuk mengurus perizinan pengembangan kawasan wisata. Pengembangan
kawasan wisata dijadikan dasar bagi upaya penggusuran sawah-sawah petani di
kawasan pesisir Watu Pecak dan dilakukannya penambangan pasir menggunakan alat
berat. Para petani diusir dengan alasan lahan yang mereka garap adalah milik
Perhutani. Perhutani merupakan petugas yang mendampingi komunitas-komunitas
LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) di satu kecamatan, sedangkan TPM (Tenaga
Pelatih Masyarakat) merupakan mitra Perhutani dalam pendampingan LMDH. Perhutanipun
terusir dari hutan di Desa Selok Awar-Awar karena kuatnya dominasi preman
tambang pasir.
Hadirnya tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Paringin tersebut dianggap
merupakan petaka bagi para petani dan juga merusak hutan wisata sebagai jalur kendaraan
truk. Upaya pengusiran para petani dari sawah milik mereka di pesisir Watu
Pecak jelas mendapat perlawanan dari para petani penggarap sawah. Salah satu
pemilik sawah adalah Salim alias Kancil yang memiliki tanah garapan seluas 2, 5
(dua setengah) hektare dari hasil
kerja kerasnya menguruk (menimbun) kawasan pesisir sejak tahun 1980-an.
Sejak rencana pembukaan tambang, Salim
terus diteror karena sawah Salim
persis berada di jalur keluar-masuk dan parkir truk. Karena tidak kooperatif, Desir dan Haryono akhirnya menyita paksa
sawah Salim dan menjanjikan bagi
hasil dari parkir truk. Namun, janji itu tidak pernah ditepati dan Salim akhirnya berjuang bersama petani
lain yang juga menjadi korban pengerukan pasir untuk menyuarakan kebenaran dan
menuntut hak atas tanah mereka.
Sebelum terjadinya konflik atau “perang”,
sebenarnya sudah terlihat fenomena atau gejala adanya resistensi (perlawanan) dari
masyarakat lokal dan merupakan isu yang kerap terjadi di hampir setiap lokasi penambangan.
Salim dan kelompoknya
melaporkan adanya intimidasi dan ancaman terhadap warga penolak (kontra) penambangan
pasir tersebut ke pihak kepolisian, namun tidak direspon hingga terjadinya
penyiksaan dan berujung pembunuhan terhadapnya. Masyarakat akhirnya menyimpulkan
adanya indikasi terjadinya pembiaran dan absennya tindakan perlindungan dari aparat
kepolisian.
Konflik sosial di Lumajang tersebut menurut Kontras[4] (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) semakin menambah panjang catatan kekerasan dan kriminalisasi
terhadap pembela hak asasi manusia (human
right defender) di Indonesia. Setidaknya Kontras mencatat terdapat
13 (tiga belas)[5] bentuk
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sejumlah aktor dalam praktik tersebut. Secara
umum perubahan lingkungan akibat praktik tambang pasir ilegal menyebabkan berbagai kerusakan
lingkungan ekosistem, terganggunya kegiatan budaya warga akibat rusaknya pantai
Watu Pecak Kabupaten Lumajang, terjadinya perubahan lingkungan pemukiman
menjadi gersang dan berdebu, rusaknya sistem irigasi yang menyebabkan
kekeringan lahan pertanian warga, terganggunya kegiatan pertanian sebagai mata
pencaharian warga, rusaknya jalan desa akibat lalu-lalang truk pengangkut pasir
dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah masyarakat majemuk, kasus konflik di Lumajang mengindikasikan
terjadinya instabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri[6].
Hal tersebut bisa merupakan sumber potensi disintegrasi sosial yang memicu
meluasnya konflik komunal (sosial). Potensi konflik tersebut dapat terwujud
sebagai konflik-konflik antar individu yang berkembang menjadi konflik-konflik
soaial yang melibatkan seluruh anggota sukubangsa di Lumajang. Konflik sosial antar
kelompok masyarakat yang mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan dalam
negeri yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan nasional.
Setiap penanganan konflik berpotensi kekerasan horizontal memerlukan perhatian khusus,
sehingga Polri perlu mengantisipasi kerawanan yang lebih besar dengan
menggelar
berbagai operasional kepolisian, baik
pre-emtif, preventif maupun represif kepolisian berupa penegakan hukum. Adanya
berbagai ketidakseimbangan atau ketimpangan sosial dalam pengelolaan tambang
pasir di beberapa lokasi tersebut perlu disadari sebagai kegagalan pihak Pemerintah
Daerah dan kepolisian di Kabupaten Lumajang dalam melindungi keselamatan
warganya. Langkah tindakan cepat dari satuan atas pihak kepolisian di Polda
Jawa Timur dinilai sebagai quick respond
perlu diapresiasi dan dijaga kesinambungannya oleh satuan kepolisian di tingkat
bawah dengan wujud kesungguhan
penanganan kasus, khususnya pasca terbunuhnya Salim alias Kancil.
Konflik pertambangan
pasir di Lumajang
Lumajang
adalah salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki potensi sumber daya alam
yang cukup baik. Secara geografis kabupaten ini terletak pada koordinat 112°53'
- 113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang Selatan. Luas wilayahnya adalah
1.790,90 km2, sedangkan jumlah penduduknya 1.064.343 jiwa dan
memiliki wilayah administrasi dengan 21 Kecamatan, 7 Kelurahan dan 168 Desa,
diantaranya adalah desa Selok Awar-awar, Paringin[7].
Kabupaten
Lumajang berdekatan dengan beberapa gunung (Bromo, Tengger, Semeru) dan sekitar
60.000 hektarnya merupakan pertambangan pasir vulkanik dengan kualitas sangat
baik. Kandungan logam yang terdapat pada pasir Lumajang didominasi oleh
kandungan ferum (Fe) yaitu sekitar
40-50% dan mengandung berbagai bahan pengotor seperti Titanium (Ti), Vanadium (V), Nikel (Ni), dan Cobalt (Co). Dari
kandungan tersebut, maka pertambangan pasir Lumajang banyak digunakan sebagai
bahan dasar pemenuhan berbagai kebutuhan industry, seperti logam besi, industri
semen, bahan dasar tinta kering (toner)
pada mesin fotokopi dan tinta laser, bahan utama untuk pita kaset, pewarna
serta campuran (filter) untuk cat,
bahan dasar industri magnet permanent.
Peta: Potensi Kabupaten Lumajang dan lokasi
Desa Selok Awar-awar, Paringin
|
Kondisi
tersebut menuntut Kabupaten Lumajang menjadi “produsen” tambang pasir yang mengirim
pasir ke berbagai daerah, bahkan hingga eksport ke beberapa negara. Pasir Besi
adalah salah satu harta kekayaan alam yang dimiliki oleh Kabupaten Lumajang.
Namun, dengan keberadaannya yang sangat kontroversial ini, berbagai pihak yang
memiliki unsur kepentingan baik secara politik, ekonomi dan sosial mulai
meletakkan tangannya untuk berebut kebenaran yang salah. Hal ini terbukti
dengan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat muncul tanpa ada
pihak-pihak yang berani bertanggungjawab atas sebuah spekulasi yang mereka
pikir cukup rasional. Semakin komplek akar permasalahan galian Golongan C ini.
Semakin tak terarah pula paradigma yang terbangun di masyarakat.
Berdasarkan
data Dinas Perhubungan Kabupaten Lumajang, 2010 diketahui lebih dari 500 (Lima
ratus) truk angkutan tambang pasir dengan kapasitas 3 (tiga) hingga16 (enam
belas) ton melintasi jalan antara Probolinggo menuju Lumajang dalam setiap
harinya.
Sebuah
sumber daya besar yang harus dikelola dengan benar akan terwujud keseimbangan
lingkungan dan sosial. Namun ditengah hiruk pikuknya dinamika pertambangan
pasir di Lumajang tersebut tersebut, ternyata timbul konflik fisik akibat tidak
terwujudnya keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya tersebut, sehingga
mengakibatkan terbunuhnya Salim alias
Kancil dan Tosan yang mengalami luka
berat.
Terkait
suatu konflik fisik atau “bentrokan” yang melibatkan dua individu atau kelompok
(kelompok yang pro melawan kelompok kontra), biasanya terhenti untuk sesaat
untuk meredakan duka, dalam hal ini yang dialami keluarga Samsul alias Salim Kancil
dan merawat luka korban lain, yaitu Tosan.
Bahkan kedua kelompom tadi memanfaatkan peluang istirahat tersebut untuk
mengatur berbagai strategi pembalasan dendam atau mengalahkan sampai lawan. Situasi
kini semakin kompleks dan berkembang dengan kemajuan zaman dan peradaban, yaitu
bergabungnya berbagai kelompok kepentingan, seperti LSM maupun pemerhati
masalah Hak Asasi Manusia dan Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun
Pemerintah Pusat. Contoh klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat
dilihat dalam kehidupan sukubangsa Yale di Puncak Jaya yang sering terlibat
“perang suku” dengan sukubangsa Dani di lembah Baliem, Wamena, Papua (Suparlan, 2003).
Koch (1971) dalam Suparlan (2003) menjelaskan bahwa suatu perang sebagai sebuah simptom,
pada umumnya terjadi ketidakadaan, atau karena tidak cukupnya, atau juga telah
hancurnya prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk menjembatani adanya
perbedaan-perbedaan yang dapat digunakan untuk memecahkan dan menghentikan
“perang” atau konflik tersebut. Ada yang diungkapkan Koch tersebut menegaskan bahwa ketiadaan pranata aturan atau
prosedur yang ditaati oleh kelompok-kelompok yang berbeda pandangan menjadi
semakin jelas dengan tidak tercapainya solusi secara damai. Timbulnya korban
akibat perang kedua kubu menjadi sarana yang menghentikan perang atau konflik.
Dahrendorf
(1959) dalam Suparlan (2003)
mengembangkan model konflik berpandangan bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat
didasari oleh konflik-konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh
sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan Karl
Marx, tetapi disebabkan pula oleh berbagai aspek dari lingkungan masyarakat
itu sendiri. Masyarakat merupakan lingkungan organisasi sosial yang menyajikan
pendistribusian kekuatan yang tidak merata, sehingga timbul golongan-golongan
(kelas-kelas sosial) dalam masyarakat. Pada kasus ini menjadi jelas bagaimana dominasi
dan ketidakadilan antara kubu yang kuat dan kelompok masyarakat lebih lemah yang
diwakili Samsul alias Salim Kancil dan Tosan. Konflik
sosial dapat bersumber dari perebutan berbagai sumber daya, baik aspek politik,
ekonomi, sosial budaya, agama, antar suku, antar etnis, batas wilayah, sumber
daya alam, maupun berbagai aspek lainnya dalam masyarakat,
termasuk sumber daya pertambangan.
Coakley
(1986) dalam Suparlan (2003) melihat
kehidupan manusia sebagai sebuah keteraturan yang terwujud berkat adanya
berbagai dukungan yang bersumber di dalam masyarakat. Dukungan tersebut adalah
berbagai pranata sosial, Norma sosial serta nilai budaya dari masyarakat yang
bersangkutan. Model yang dianalogikan Coakley
adalah dialektik dari hakekat olah raga yaitu kompetisi sebagai suatu konflik.
Kompetisi adalah suatu persaingan antar individu atau kelompok untuk saling
mengalahkan namun melalui mekanisme aturan yang jujur (fair). Model keteraturan ini menuntut nilai-nilai budaya, etika, kejujuran
dan perwujudan permainannya dinamakan sportivitas. Untuk mengawal kompetisi
tersebut diperlukan wasit yang adil dalam memimpin jalannya pertandingan.
Sementara
itu, Bailey (1969) dalam Suparlan (2003) menjelaskan dalam
proses-proses politik, bahwa persaingan antara dua atau lebih kelompok untuk
memperebutkan posisi atau kekuasaan penentu bagi kebijakan umum atau publik
mengenai penguasaan suatu jabatan serta alokasi dan pendistribusian dari sumber
daya terbatas dan berharga. Model Bailey
tersebut disebut sebagai model zero sum
game karena dalam model ini yang ada hanya persaingan dari beberapa pihak
untuk mendapatkan pemenang. Tentu diperlukan wasit dan juri yang adil. Kedua
model tersebut berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip demokrasi.
Model
keteraturan dari Coakley dan Bailey
bertentangan dengan model ekuilibrium dari Talcott
Parson dan Edward Shill yang umumnya digunakan dalam system pemerintahan
pseudo demokrasi atau otoriter. Model ekuilibrim ini secara mencolok digunakan
oleh Pemerintahan Orde Baru pada masa Soeharto[8].
Dalam paradigm ekuilibrium, konflik dan dinamika masyarakat yang anti
kestabilan adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak fungsional dalam kehidupan
sosial sehingga merusak kestabilan dan harus ditiadakan atau ditumpas.
Konflik
penambangan Pasir di Lumajang menunjukkan secara singkat melibatkan masyarakat
lokal, Pemerintah dan korporasi (perusahaan). Nampaknya bahwa posisi antara
negara dengan masyarakat tidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan oleh
pengusaha mengekspresikan individualisme yang hanya dilakukan oleh mereka yang
berkuasa, seringkali dianggap memiliki hak untuk berpolitik termasuk berkonflik
sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf.
Selain itu dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah seringkali tidak
melibatkan masyarakat, padahal dalam kebanyakan kasus-kasus lingkungan,
korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun kolektif.
Dari
gambaran tersebut di atas sangat jelas bahwa masing-masing pihak yang
berkonflik memiliki kepentingan masing-masing, warga yang merasa memiliki
kepentingan atas tanah dan masa depan penghidupan mereka memperkirakan akan
terganggu jika proses penambangan pasir terus berlangsung. Disisi lain kepentingan
pemerintah kabupaten Lumajang yang untuk mengelola daerahnya melalui eksplorasi
bahan tambang pasir. Sebenarnya kebijakan tersebut merupakan tugas dan tanggung
jawab yang sah dari Pemerintah Kabupaten Lumajan , karena tertuang dalam UUD
1945 pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Perlawanan lokal (rakyat) mengandung
kepercayaan sosial bahwa kekuatan perubahan ada di tangan rakyat. Hal ini
merujuk kepada kelompok yang memiliki hubungan langsung dengan kepemilikan
sumber daya (asset) pada tanah dan
kawasan ulayat, tetapi tidak mendapatkan nilai ekonomi, sosial dan budaya yang
mendukung kelangsungan hidup mereka. Perlawanan yang mereka lakukan adalah
untuk memaksa negara mengubah mekanisme aturan terkait operasionalisasi
penambangan pasir.
Resistensi
Masyarakat Lokal di Penambangan
Resistensi
secara jelas bisa disebut sebagai “perlawanan”. Dalam pandangan Scott[9]
(2000) maka resistensi dalam konteks ini merujuk pada pengertiannya sebagai “tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kelompok yang kalah yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim
yang dibuat oleh kelompok yang berhadapan dengan
kelompok yang kalah”. Dalam teorinya, Scott
menyatakan bahwa resistensi yang dilancarkan oleh rakyat kecil bisa
sangat beragam, mulai dari gaya subversif yang halus, pembangkangan, hingga
pemberontakan.
Pendekatan
dalam teori ini berawal dari perspektif moral ekonomi Scottian (2013) yang dibangun oleh James C Scott. Menurutnya kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral yang
sangat mengedepankan prinsip keselamatan petani. Moralitas keselamatan adalah kunci
dalam pendekatan moral ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian Scott di Malaysia,
Everyday Forms Of Resistance, bahwa bentuk perlawanan terselubung petani
sebagai reaksi atas everyday forms of repression yang dilakukan oleh
para tuan tanah, korporasi dan negara yang merupakan musuh bersama mereka. Dengan
demikian, prinsip mendahulukan keselamatan menjadi sumber kekuatan moral yang
memungkinkan para
petani untuk menolak perubahan dan siap melakukan perlawanan bila dihadapkan
pada kenyataan yang tidak berpihak pada mereka. Aktivitas kegiatan yang
dilakukan Salim dan kelompoknya jelas
mengadopsi perspektif Scottian.
Schein (1988) berpendapat bahwa sebelum
terjadinya konflik, biasanya didahului oleh munculnya gejala atau simptom
berupa adanya resistensi terhadap perubahan dan simptom merupakan suatu yang paling
mendasar pada fenomena organisasi (masyarakat). Sejumlah penulis telah
menentukan adanya fenomena resistansi dalam suatu konflik. Misalnya, Ansoff (1988) mendefinisikan resistensi
sebagai fenomena beragam, yang memperkenalkan penundaan tak terduga, biaya dan
ketidakstabilan ke dalam proses perubahan strategis, sementara Zaltman dan Duncan (1977) mendefinisikan
resistensi sebagai setiap perilaku yang berfungsi untuk mempertahankan status quo dalam menghadapi tekanan
untuk mengubah status quo.
Dengan
demikian, resistensi dalam pengaturan organisasi, adalah ekspresi dari
pemesanan yang biasanya muncul sebagai respon atau reaksi untuk mengubah (Block 1989). Ungkapan ini biasanya
disaksikan oleh manajemen sebagai tindakan karyawan yang dianggap mencoba untuk
menghentikan, menunda, atau mengubah perubahan (Bemmels dan Reshef, 1991).
Jadi resistensi paling sering dikaitkan dengan sikap karyawan yang berkonotasi
negatif atau dengan perilaku kontra produktif. Bahwa terdapat 3 (tiga) kelompok
yang melakukan resistensi, pertama, resistensi obyektif yaitu
penolakan yang cukup beralasan, masuk akal dan itu dinyatakan dengan tegas. Kedua, resistensi subyektif-pasif yaitu penolakan yang tidak
jelas alasannya secara organisasi, pribadi dan dilakukan secara diam-diam. Ketiga, Resistesi subyektif-aktif, yaitu tidak jelas
alasannya secara organisasi, pribadi, melawan terang-terangan.
Menurut Raymond L.Bryant dan Sinéad Bailey, (1997) dalam bukunya “Third World Political Ecology” menjelaskan
bahwa ada beberapa asumsi mendasar
dalam praktek ekologi politik:
“First, costs and benefits
associated with environmental change are distributed unequally. Changes in the
environment do not affect society in a homogenous way: political, social, and
economic differences account for uneven distribution of costs and benefits.
Political power plays an important role in such inequalities. Second, this unequal
environmental distribution inevitably reinforces or reduces existing social and
economic inequalities. In this assumption, political ecology runs into
political economies as any change in environmental conditions must affect the
political and economic status quo. Third,
the unequal distribution of costs and benefits and the reinforcing or reducing
of pre-existing inequalities hold political implications in terms of the
altered power relationships that are produced”.
Secara singkat asumsi Raymond L.Bryant dan Sinéad Bailey tersebut
dapat dijelaskan bahwa pertama, bahwa
biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para
aktor secara tidak merata. Kedua,
bahwa distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong
terciptanya ketimpangan sosial ekonomi. Ketiga,
bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut
juga memiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan
dalam hubungan satu aktor (pelaku) dengan aktor lainnya.
Beberapa aktor dalam organisasi masyarakat yang terlibat
dalam konflik salah satu dan aktor yang penting pertama adalah negara (state) yang berfungsi sebagai pengguna
maupun pelindung sumber daya alam. Karena itu negara juga sering mengalami
konflik kepentingan. Namun, secara teoretis, banyak kritik terhadap eksistensi
negara ini, seperti yang disampaikan Bryant
and Bailey (1997). Salah satunya karena negara mempersulit upaya memecahkan
masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha mengejar
pembangunan ekonomi, termasuk berusaha menarik perusahaan multinasional untuk
melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan lingkungan.
Aktor kedua adalah pengusaha (corporate), baik perusahaan multinasional maupun nasional. Aktor
ini yang sering disebut sebagai kekuatan kapitalisme. Telah sedikit disinggung
diatas bahwa kapitalisme seolah merupakan suatu keharusan yang menjadi target
pencapaian tujuan suatu pembangunan kemakmuran suatu negara, sehingga
mengabaikan nilai-nilai sosial dan lingkungan ekologi. Dengan kebijakan politik
demikian membela kepentingan pengusaha, maka dapat dipastikan bahwa ada pihak
yang termarginalkan, yaitu masyarakat.
Aktor yang ketiga adalah rakyat jelata yang merupakan pihak
yang terlemah dalam politicized
environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses
mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan.
Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab,
menurut Herbert Marcuse (2002) melalui buku One
Dimensional Man (Masyarakat satu dimensi), bahwa dominasi terhadap alam
terkait dengan dominasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam
dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga de-humanisasi menjadi
tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap alam.
Adapun yang menjadi latar belakang
timbulnya resistensi penambangan yang berakibat pada konflik komunal menurut Regus, Max (2009) dapat dikategorikan
dalam 5 (lima) penyebab, yaitu adanya dominasi, marginalisasi, degradasi
ekologis, degradasi sosial budaya dan kemiskinan. Dapat digambarkan dalam
diagram berikut;
Tabel 1. Analisa sebab
resistensi menurut mekanisme Max Regus
(2009) dijelaskan sebagai berikut:
SEBAB
|
FOKUS
|
Dominasi
|
Posisi
negara dan korporasi tanpa melibatkan kontrol rakyat lokal
|
Marginalisasi
|
Mekanisme
yang dijalankan korporasi dan negara untuk mengasingkan “masyarakat lokal”
dari keseluruhan persoalan tambang (regulasi, operasi, dampak, dan lain
sebagainya)
|
Degradasi
Ekologis
|
Menurunnya
kualitas lingkungan terutama kawasan hutan, tanah, ekosistem laut yang
mempengaruhi masyarakat lokal sebagai masyarakat petani di Lumajang
|
Degradasi
Sosial Budaya
|
Rusaknya
tata kelola sosial masyarakat lokal akibat penghancuran massive atas
lingkungan hidup (kawasan, hutan dan tanah) yang memiliki hubungan dengan
kehidupan manusia.
|
Kemiskinan
|
Konsep
sirkulasi kemakmuran dengan mekanisme pembagian hasil antara negara dan
korporasi tidak berkaitan secara signifikan dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat lokal di desa Selok Awar-awar.
|
Skeman Max Regus (2009) diatas dapat dijelaskan pertama, Adanya struktur dominasi
mendeskripsikan posisi satu atau lebih kekuasaan (elemen) yang menguasai elemen
lainnya dalam konstruksi sosial. Dominasi merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari dalam terciptanya kapasitas (kekuasaan) yang melampaui keberadaan
elemen lain. Dominasi berarti kekuatan dan implementasi kekuasaan tanpa
kontrol. Penguasaan ini tidak hanya berhubungan dengan praktik tambang saja,
melainkan pada keseluruhan proses operasional, baik penyusunan regulasi yang
dikeluarkan negara maupun aspek-aspek lainnya. Dalam konteks ini, kekuatan
negara dan korporasi melampai posisi dan kepentingan masyarakat lokal di
Lumajang.
Kedua, adanya “marginalisasi”
adalah suatu proses atau usaha membatasi peran terhadap kelompok tertentu,
menempatkan atau menggeser kepinggir bahkan kalua perlu melenyapkan. Jadi
marginalisasi adalah merupakan proses pengabaian hak-hak yang seharusnya
didapat oleh pihak-pihak termarginalkan.
Ketiga “degradasi ekologis” yaitu adanya
dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup, yaitu bersifat
langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab utama
kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah
pemerintah, perusahaan dan penduduk setempat yang mengeksploitasi tambang/
lingkungan secara illegal dan berlebihan karena desakan kebutuhan.
Keempat, adanya “degradasi sosial
budaya”, bahwa pengaruh globalisasi dan neoliberalisme kini telah
menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Trend
globalisasi yang sering diperbincangkan oleh banyak orang dewasa ini
seolah-olah itu terjadi secara alamiah dan wajar sebagai konsekuensi logis dari
dinamika pembangunan yang progresif. Pengabaian terhadap fakta dibalik by
design globalisasi dan neoliberalisme yang merupakan metamerfosa dari
liberalisme, kian memperlemah refleksi kritis negara-negara berkembang yang
termasuk Indonesia akan posisinya yang terhimpit oleh arus globalisasi dan
hegemoni neoliberalisme yang sedang mengarahkan bangsa ini menjadi republik
pasar bebas. Degradasi budaya adalah pemindahan budaya yang disebabkan oleh
budaya yang kurang menarik, dipublikasikan sehingga budaya itu dianggap kuno. Degradasi
budaya di Indonesia dinilai sudah cukup mengkhawatirkan baik fisik maupun
non-fisik. Dengan demikian dibutuhkan upaya pemajuan kebudayaan yang bersifat
pragmatik, holistik, dan sinergis.
Kelima, masih tingginya angka Kemiskinan.
Pertanyaan yang muncul yaitu seberapa efektifkah keberadaan perusahaan (korporasi)
di suatu wilayah pertambangan dalam mengurangi tingkat kemiskinan? Logikanya,
pertambahan jumlah perusahaan pertambangan akan berbanding lurus terhadap
pengurangan jumlah penduduk miskin. Hal ini akanterealisasi manakala perusahaan
pertambangan mempunyai komitmen untuk berkontribusi dalam pembangunan
masyarakat baik pada aspek ekonomis, sosial, maupun lingkungan. Inilah yang
disebut dengan corporate social responsibility (CSR) yang menekankan
pada tanggung jawab moral terhadap masyarakat dimana perusahaan beroperasi,
baik dalam lingkungan sekitar maupun masyarakat luas. Perusahaan yang bergerak
di bidang eksplorasi sumber daya alam selayaknya tidak hanya bertanggung jawab
dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Namun sudah seharusnya
berkontribusi terhadap dampak yang telah ditimbulkan atas kegiatan operasi
perusahaan. Eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan tidak serta
merta berjalan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Keberadaannya tidak
jarang memberikan dampak negative terhadap lingkungan masyarakat sekitar,
misalnya suara bising, polusi, hilir mudik kendaraan yang merusak fasilitas
publik, hingga kecemasan apabila eksplorasi yang dilakukan akan menimbulkan
bencana baik akibat gangguan alam maupun faktor kelalaian manusia.
Perpektif Solutif konflik
Berbagai
konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat manapun di dunia, termasuk yang
terjadi di Lumajang, didahului oleh adanya perebutan kepentingan akan sumber-sumber
daya atau sumber rejeki. Dari perebutan yang sifatnya antar individu kemudian
meluas antar kelompok kecil hingga meluas menjadi kelompok yang lebih besar.
Apaila perselisihan tersebut berlangsung sesuai norma dan mengikuti pranata
aturan main yang adil (sum zero game),
maka kemungkinan terciptanya konflik sosial diantara mereka tidak akan terjadi.
Premise berikutnya, yaitu walaupun
perebutan tadi berjalan tidak adil atau sewenang-wenang oleh kelompok yang kuat
kepada yang lemah, tetapi apabila ada wasit (penegak hukum atau Pemerintah)
yang bertindak adil, maka konflik bisa diredam. Namun kasus di Lumajang
mengindikasikan sebaliknya, bahwa Pemerintah yang selayaknya berfungsi sebagai
wasit justru menjadi penekan yang dominan, sehingga masyarakat bukannya
mendapatkan perlindungan secara layak (adil) malahan menjadi semakin
termarginalkan.
Pemerintah
sebaiknya mendengar dan memposisikan masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan
lokal yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai
dari zaman pra-sejarah sampai sekarang ini. Geertz
(2007) dalam Hartono berpendapat
bahwa kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan bertindak dan
berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang
sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Bentuk
kearifan lokal dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu aspek yang berwujud (tangible) dan aspek yang tidak berwujud
(intangible). Lebih jauh kearifan
lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan
lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat
istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara
alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di
sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah
dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang
unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Peran
Pemerintah sebagai penyelenggara negara hendaknya memfungsikan Wirausaha sosial
yang bisa dikelola bersama oleh masyarakat dengan kearifan lokalnya seperti menggunakan
kekuatan modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Melalui kearifan
lokal dan modal sosial tersebut maka sumberdaya alam/potensi yang ada bisa
terjaga kelestariannya untuk kesejahteraan warga masyarakat.
Permasalahannya
yang terjadi dewasa ini adalah terkikisnya peran dan fungsi kearifan lokal dan
modal sosial akibat pengaruh modernisasi, sehingga yang perlu dilakukan yaitu
membangun serta menumbuhkannya kembali. Kearifan
lokal dan modal sosial masyarakat sebagai akar kekuatan dapat mendorong
munculnya berbagai aktivitas ekonomi untuk kepentingan bersama. Dengan begitu,
akan lahir kelompok-kelompok warga yang produktif, inovatif, dan mampu membuka
peluang kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Usaha-usaha
masyarakat tersebut dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
sehingga tercipta hubungan keduanya saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Kebutuhan perusahaan terpenuhi dan
masyarakat pun memperoleh keuntungan. Dalam hal ini program-program CSR (corporate
social responsibility) yang dilakukan oleh perusahaan dapat diarahkan pada
peningkatan kapasitas masyarakat, manajemen usaha, menjembatani perluasan
jaringan, dalam hal pemasaran produk usaha masyarakat maupun program
pengentasan kemiskinan.
Pada
kasus ini sebenarnya terungkap beberapa upaya solusi dari Pemerintah Desa,
yaitu dengan penggunaan kekuatan kekuasaan (power)
yang biasa dilakukan dimasa Soeharto. Dimana
orang-orang yang berkuasa atau yang berpengaruh “memaksakan kehendaknya” untuk masuk
ke dalam kelompok yang menolak perubahan itu melalui berbagai cara. Yang
terjadi adalah kegagalan total yang berakibat konflik fisik yang membawa
kematian Salim alias Kancil.
Solusi
yang perlu dilakukan adalah menggunakan berbagai cara berkomunikasi yang cocok
dan sesuai dengan situasi dan keadaan, seperti memberikan penjelasan untuk
orang yang tidak paham, gunakan penjelasan yang jelas pengertiannya (clear-cut). Untuk orang yang senior
(orang tua), gunakan ajakan bersifat himbauan secara halus. Untuk orang yang
berpengaruh lebih baik menggunakan bahasa yang memuliakan. Untuk orang yang
banyak dan berbeda-beda (misalnya dalam meeting), gunakan bahasa
yang mudah dipahami (tidak berbelit-belit atau bahkan tidak dimengerti). Dan bila
harus menggunakan “paksaan”, maka dilakukan sesuai aturan yang sudah disepakati
dalam organisasi (masyarakat),
misalnya peringatan atau sangsi. Menurut Anderson
(1990) bahwa langkah pemecahan masalah dalam rangka menghadapi resistensi ada 6
(enam) tahapan, yaitu:
- Lakukan Identifikasi dan defenisikan masalah itu dengan tepat, sehingga resistensi tidak menjadi besar karena kesalah pahaman arti tehadap tujuan yang akan dicapai.
- Koleksi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Resistensi, bukan berarti perjuangan kalah menang, namun dapat ditangani dengan menawarkan win-win solution.
- Tentukan kriteria penyelesaian masalah yang akan digunakan untuk mengevaluasi solusi alternatif.
- Evaluasi solusi alternatif yang sudah dipilih sebagai satu-satunya sikap dalam mengatasi resistensi
- Pemilihan solusi alternatif dengan tegas dan beribawa, tidak ambivalen.
- Lakukan dan laksanakan solusi alternatif itu dengan tegas dan berikan penghargaan kepada mereka yang menerimanya dengan baik.
Saran solutif lain dalam
literatur manajemen adalah menggunakan teknik partisipatif yang dianggap metode
terbaik untuk penanganan resistensi. Partisipasi karyawan (masyarakat) dalam
manajemen sebagai sarana menyelesaikan resistensi telah diteliti sejak
pertengahan 1940-an. Penelitian secara klasik oleh Lewin (1991) dan Coch dan
Perancis (1948) menyimpulkan bahwa keduanya terlibat dalam tahap pembelajaran,
perencanaan dan pelaksanaan proses perubahan secara signifikan mempengaruhi
komitmen untuk berubah dan tampaknya menurunkan resistensi.
Penyelesaian konflik
Pola penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa
proses atau pendekatan, di antaranya melalui negosiasi, yaitu dilakukannya proses
tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara
satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak lain (kelompok atau
organisasi). Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai
melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini, negosiasi
merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan
pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang
berbeda.
Selain negosiasi, hal lain yang bisa dilakukan adalah melalui
reconciliation,
yaitu melakukan diskusi penyelesaian masalah sosial melalui lembaga-lembaga
tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di
antara pihak-pihak yang berkonflik. Proses mediasi juga bisa digencarkan oleh pihak
kepolisian yang sudah seharusnya mampu memfasilitasi untuk memediasikan kedua
belah pihak untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini sangat
dimungkinkan karena konflik ini sudah melibatkan beberapa tindakan kriminal
dari warga seperti penganiayaan terhadap Tosan, Perebutan Tanah milik Salim, dan
lain-lain. Karena tindak kriminalitas inilah penegak hukum dapat masuk berperan
dalam memediasi pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tidak meluas dan
berkepanjangan.
Proses penyelesaian konflik berikutnya bisa melalui lembaga Arbitration,
dimana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga,
yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka
menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan
pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer. Kepolisian sebagai pihak
ketiga, selain berfungsi sebagai wasit (birokrasi pemerintah), dituntut untuk
melakukan penanganan sebaik mungkin. Penanganan terbaik seharusnya dilakukan
untuk mencegah terjadinya konflik fisik antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tuntutan dilakukannya deteksi dan pencegahan dini (early detection) sangat diperlukan dalam mengantisipasi setiap
dinamika organisasi (masyarakat), sehingga keberhasilan kepolisian sebenarnya
terlihat pada tataran terjadinya keseimbangan konflik di masyarakat. Jika
konflik memang terjadi, sedapat mungkin dilakukan mediasi melalui proses tawar
menawar diantara pihak yang berkonflik mengenai solusi yang bisa diterima oleh
kedua belah pihak (win win solution).
Suatu konflik bersifat fisik antar
perorangan atau konflik sosial yang telah ditangani dan diselesaikan hingga
mencapai kesepakatan damai, tidak serta merta selesai begitu saja. Ibarat teori
gunung es, masih tersisa dendam akibat kerugian pada salah satu pihak (harta
benda apalagi koban nyawa). Walaupun sudah ada tindakan hukum (rule of law) dan kompensasi atas
kerugian tersebut, tetapi perasaan sakit hati dan dendam tersebut tidak akan
hilang begitu saja. Anak keturunan Salim
alias Kancil, pasti akan selalu “trauma” jika mengenang dan teringat
bagaimana kelompok 12 (dua belas) menghabisi ayahnya dengan kejam di depan mata
kepalanya sendiri. Kepolisian sebagai pihak ketiga (wasit) sekaligus
penyelenggara negara dalam konteks keamanan dan ketertiban, sedapat mungkin
menjadi pengendali masalah-masalah sosial tersebut. Meredam setiap upaya-upaya
pertengkaran agar konflik fisik tidak terwujud kembali diantara mereka.
Penutup
Konflik
adalah bagian dari dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keberadaan konflik menjelaskan adanya suatu proses perubahan sosial dalam
tatanan kehidupan, sehingga dapat dipastikan bahwa apabila “tidak ada konflik” maka
tidak ada suatu bentuk pemecahan terhadap suatu permasalahan sosial. Ketika
suatu daerah memiliki potensi sumber daya, maka upaya untuk melakukan
eksplorasi oleh Pemerintah sangat dimungkinkan sebagai tugas dan tanggung
jawabnya dalam pencapaian tujuan pencapaian kesejahteraan raknyatnya. Masalah
timbul ketika, pembuatan kebijakan itu tidak melibatkan masyarakat sebagai
subjek yang sejak lama memanfaatkan potensi alam tersebut dalam bentuk lain
(pertanian, peternakan, perkebunan, dan lain-lain).
Pemerintah
harus dan wajib hukumnya melakukan berbagai cara untuk melakukan sosialisasi
terhadap masyarakat, bukan serta merta mengeluarkan kebijakan yang justru
sangat membebani dan merugikan masyarakat. Jika tidak melalui komunikasi dan
sosialiasi yang baik tentunya akan menimbulkan benih-benih resistensi yang
berujung konflik hingga “perang secara fisik”. Mengubah tatanan kehidupan
masyarakat pada dasarnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Adanya resistensi
lokal adalah ungkapan perlawanan masyarakat terhadap ekspansi korporasi tambang
yang mendapat dukungan regulasi negara pada proses eksploitasi.
Etika
lingkungan dalam perspektif lokal yang merujuk pada apresiasi korporasi
terhadap keberadaan aspek-aspek lokal belum menjadi bagian dari keseluruhan
paradigm industri tambang di Lumajang. Hal ini menjadi menarik karena
masyarakat lokal mampu menempatkan posisi kritis terutama untuk melihat,
mengukur serta mengevaluasi peran-peran utama yang seharusnya ditunjukkan
negara dan bagaimana korporasi mesti memperhatikan kepentingan masyarakat lokal
di Lumajang.
Selain
Salim alias Kancil dan Tosan, tentu
masih ada banyak lagi permasalahan yang belum dapat diungkap dari konteks
permasalahan tambang di Lumajang ini. Namun ola yang ditunjukkan korporasi
selalu sama, yaitu merebut basis justifikasi regulasi untuk setiap tindakan
yang berpeluang merugikan masyarakat lokal dan negara. Degradasi multi aspek
yang telah ditimbulkan sebagai akibat operasi korporasi telah menumbuhkan
perlawanan tanpa henti dari masyarakat lokal maupun pengiat hak-hak asazi
manusia dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Rekomendasi
Kepolisian disamping harus mengusut tuntas kasus salim alias Kancil dan Tosan secara transparan, juga harus mampu
menjaga keamanan di wilayahnya melalui mekanisme tugas pokoknya, seperti
peningkatan deteksi dini (early detection). Memberikan jaminan
rasa aman kepada semua pihak pasca konflik, memastikan proses penegakan hukum
seadil-adilnya dijalankan sesuai aturan yang berlaku serta berperan menjadi
wasit yang adil dalam setiap penanganan konflik maupun masalah-masalah sosial.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang diharapkan secara cepat melakukan
evaluasi dan perbaikan terhadap berbagai kebijakan dalam proses mengelola
sumber daya alam, seperti mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan pertambangan
pasir secara tepat untuk kemakmuran masyarakatnya. Mampu mengatur penggunaan dan
pemanfaatan kembali sumber daya alam dengan mengendalikan setiap kebijakan yang
berdampak sosial, memberikan peluang bagi pelibatan masyarakat secara proporsional
serta mengembangkan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Dhrendorf, Ralf. 1986. Konflik
dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisa-Kritik. Jakarta: CV
Rajawali.
Lester R, Brown,
(1992) “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat
Manusia Berdasarkan Kesinambungan Lingkungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Marcuse,
H - One-Dimensional Man, 2nd edn. (Routledge, 2002)
Scott, J.
C. (1985). Weapons of the weak: everyday forms of pleasant resistance. New Haven and London, Yale University Press
Rahardjo Satjipto (2002) Polisi
Sipil dalam perubahan sosial, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Robbins, Stephen P. (2002). Perilaku
Organisasi, Terjemahan Hadyana Pujaatmaka, PT Prenhallindo, Jakarta.
Regus, Max (2009), Tambang dan Perlawanan Rakyat; Studi kasus Tambang di
Manggarai, NTT; Jurnal Sosiologi Masyarakat, Januari 2011, Universitas
Indonesia.
Raymond
L.Bryant and Sinéad Bailey, 1997, Third World Political Ecology, Simultaneously published in the USA and
Canada, by Routledge, 29 West 35th Street, New York, NY 10001.
Suparlan, Parsudi (2008), Dari masyarakat majemuk menuju masyarakat multi
kultural; Konflik, Konflik Sosial, Konflik Antar Suku bangsa dan upaya
mengatasinya. YPKIK (Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian), Jakarta.
Yudi Hartono, (tanpa tahun), Kearifan Lokal Tradisi Uyen Sapi Perajut
Integrasi Sosial (Studi Kasus Di Desa Jonggol Kecamatan Jambon Kabupaten
Ponorogo), Artikel.
Mula
Tambang di Selok Awar-Awar,
http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman1/15/10/03/nvmsia1-mula-tambang-di-selok-awarawar,
diunggah pada 15 Oktober 2015 pukul10.13 AM.
Peta
Kecamatan dan Desa di Kabupaten Lumajang
http://desnantara-tamasya.blogspot.co.id/2011/09/peta-kecamatan-dan-desa-di-kabupaten.html
diunggah pada 15 Oktober 2015 pukul 3.03 PM.
[1] Penugasan Akhir
Semester I mata Kuliah Hubungan Antar Suku Bangsa dan Masalah-masalah sosial,
Program Doktoral, Kajian Ilmu Kepolisian, STIK-PTIK, Jakarta.
[2] Selain sebagai Ketua LMDH Selok Awar-Awar, juga Ketua Tim 12 yang mendukung pemenangan Kades Haryono dan menjadi
pasukan sadis yang membantai Salim Kancil dan Tosan
[3] Perhutani KPH Probolingo mengemban penguasaan hutan di
Probolinggo, Lumajang, dan Situbondo.
[4] Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk pada tanggal 20 Maret
1998, adalah sebuah gugus
tugas yang dibentuk oleh sejumlah LSM seperti LPHAM (Lembaga Pembela Hak-hak Asazi Manusia), ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), CPSM (Center for Policy Strategic Management), PIPHAM (Pusat
Pendidikan Hak Asasi Manusia - Center for
Human Right Education), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan sebuah organisasi mahasiswa PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
[5] antara lain; (1) hak atas
lingkungan yang baik dan sehat, (2) hak atas kesehatan, (3) hak atas air
bersih, (4) hak atas pekerjaan, (5) hak atas pangan, (6) hak atas pemukiman
yang baik, (7) hak atas pelayanan publik, (8) hak atas penikmatan warisan
budaya, (9) hak atas rasa aman, (10) hak atas kebebasan berekspesi dan
beropini, (11) hak untuk berkumpul dan berserikat, (12) hak untuk tidak
mengalami penyiksaan dan tindakan keji lainnya, (13) hingga hilangnya hak hidup
yang dialami Salim alias Kancil.
[6] Dalam
Pasal 1 angka 6 UU No 2 tahun 2002 tentang Polri dijelaskan Keamanan dalam
negeri (Kamdagri) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
[8] Soeharto merupakan
Presiden Republik Indonesia ke-dua yang dikenal sebaga
satu-satunya Presiden yang memiliki masa jabatan terlama yaitu sekitar 32
Tahun.
[9] James C. Scott adalah seorang Professor of Political Science and Chairman of the Council
on Southeast Asian Studies, di Universitas Yale.